Mata Bulan sampai melotot, wajahnya berubah pucat. Jantungnya berdetak hebat, keringat dingin membasahi pelipisnya yang tertutup dengan poni.
Kepalanya sangat berisik dengan berbagai pikiran, melihat pria yang suka sekali mengancam dirinya itu ada di sana bertemu keluarganya—ditambah sedang ada tamu. Ketakutan merayap hatinya, berpikir pria itu datang untuk menunjukkan video pada Papi karena mengetahui dirinya akan dilamar orang lain. “O-om, sedang apa disini?” tanya Bulan gugup. “Om?” seru mereka yang ada disana hampir bersamaan, terkejut dengan panggilan Bulan pada pria berwajah datar itu. “Kamu memanggil kekasihmu, dengan panggilan, Om?” itu suara Galih, kakek dari Bulan. “Ke-kekasih?” Bulan menoleh pada pria sepuh itu, lalu kembali beralih pada pria yang masih tetap di posisinya tanpa merubah ekspresi wajahnya. Hanya tatapan dingin dan tajam yang bisa dilihat Bulan. Bulan tercekat, paham sekali arti tatapan yang diberikan padanya. Sudah berulang kali Air meminta pada gadis itu untuk tidak memanggilnya dengan sebutan ‘Om’, Bulan yang keras kepala sama sekali tidak mempedulikannya. “Iya, kalian sepasang kekasih. Masa memanggil kekasih-nya dengan sebutan, Om? Ada-ada saja kamu ini, biarpun usia kalian terpaut jauh. Panggil dengan panggilan mesra, bukan begitu Tuan Aksa.” Ucap Galih dan meminta persetujuan dari Tuan Aksa Zelandra, Ayah dari Air. Dan pria itu pun mengangguk, menampilkan senyum simpul. ‘Kapan aku jadi kekasihnya om mesum ini? yang ada tubuh aku yang dijamahnya.’ Keluh Bulan kesal, namun semua itu hanya bisa dikeluhkan dalam hati. “Sikapnya memang seperti itu, kamu pasti sudah tidak heran. Sangat tidak mencerminkan seperti namanya, Air. Air itu cair, sedang putra Daddy ini sangat kaku. Daddy sangat bersyukur, kamu bisa melunakkan kanebo kering ini. Daddy pikir dia tidak tertarik dengan perempuan, rupanya dia merahasiakan kamu dari kami. Entah apa yang ada dalam pikirannya, tiba-tiba pagi tadi dia menelpon minta kami untuk segera melamar kamu. Beruntung saja Daddy sama Mommy-nya tidak punya riwayat penyakit jantung.” Beber Tuan Aksa panjang lebar pada Bulan, tidak lupa pula pria tampan yang tak lagi muda itu menyindir putra bungsunya. ‘Oh, jadi nama om-om mesum ini, Air. Kenapa aku bisa tidak tau, haiss.. dasar bodoh, padahal di surat perjanjian jelas tertulis nama si om-om ini. Bisanya aku tidak baca. Besok, lebih baik kamu reparasi otak. Lemot sekali jadi orang.’ Tiada hentinya Bulan merutuki dirinya yang mendadak jadi bodoh. “Cantik sekali menantu kita ya, Dad. Lihat saja putra kita, matanya terus saja menatap pada menantu kita.” Ucap wanita paruh baya yang duduk di samping suaminya. Ia sekaligus juga menyindir putranya yang tak beralih dari menatap Bulan. Posisi mereka saling berhadapan terhalang oleh satu meja, dengan Bulan yang sudah mengambil duduk disamping Tuan Lukman—sang Papi. Sedangkan Air duduk di sofa single di sebelah Tuan Aksa, dari tempatnya dia bisa bebas memandang gadisnya dengan jelas. “Pantas saja setiap kali Mommy ingin menjodohkannya dengan anak teman Mommy selalu ditolak, rupanya sukanya yang masih sekolah. Mana cantik lagi, Mommy jadi punya saingan.” Wanita cantik dan anggun itu terkekeh pelan. Air tetap acuh, mata tajam miliknya tidak lepas pada Bulan yang menunduk menatap lantai. Senyuman samar terbit di wajah datarnya, menikmati kecanggungan dan tingkah laku Bulan. Pembicaraan antara dua keluarga terus berlanjut ke tahap yang lebih serius, baik Bulan maupun Air hanya menjadi pendengar saja. Bulan tidak bisa membantah karena Perusahaan sang Papi yang jadi taruhannya. Gadis itu sesekali melirik ke arah Air, mendelikkan matanya pada pria dewasa itu sebagai tanda permusuhan. Air terlihat santai, sama sekali tidak terintimidasi dengan tatapan Bulan. Di matanya, ketika Bulan melotot terlihat lucu dan menggemaskan. Sikapnya yang menyebalkan itu semakin membuat Bulan kesal dan memperlihatkan wajah cemberutnya. Tanpa keduanya sadari interaksi mereka tak lepas dari mata tua Galih—sang kakek. Pria sepuh itu menyunggingkan senyum tipis, entah apa yang ada pikirannya melihat tingkah dua anak manusia di depannya. “Baiklah, berarti kita sepakat kalau pernikahan anak-anak kita dilakukan hari ini juga.” Ucap Tuan Aksa sambil melirik Bulan dan Air. Lukman sebenarnya cukup terkejut ketika Tuan Aksa minta untuk menikahkan anak-anak mereka hari itu juga. Ia pikir kedatangan mereka hanya sekedar kunjungan dan lamaran saja. Namun, siapa menyangka. Tuan Muda Zelandra, tidak ingin pernikahannya ditunda lagi, dia ingin menikahi gadis yang diakui sebagai kekasihnya dan menjadikan Bulan miliknya seorang. “Kamu tidak keberatan, sayang. Kalian menikah hari ini?” Lukman menyentuh kepala bagian belakang putrinya. Sejujurnya ia berat melepaskan putri kecilnya, tapi membiarkan mereka berpacaran terlalu lama juga tidak baik. Dan Lukman percaya jika Air, pria yang baik dan bisa menjaga dan menyayangi putrinya meskipun sikapnya terlihat cuek. “Tidak Pi, Bulan ikut saja.” Sahutnya asal menyetujui. “Bulan sudah setuju menikah hari ini, Mommy akan menghubungi penata rias untuk mendandani menantu Mommy yang cantik jelita ini.” Ucap Malika tersenyum sumringah. “Tu-tunggu, siapa yang menikah?” tanya Bulan dengan wajah polosnya. “Kamu dengan Tuan Muda, bukannya tadi kamu sudah setuju kalian menikah hari ini.” Ucap Lukman heran, keningnya berkerut menandakan kebingungan. “Hah? Bulan bicara seperti itu?” tak hanya Lukman saja, yang lain pun mengangguk membenarkannya. Bulan meringis, lagi dan lagi dia ceroboh. Sementara Air, dalam hatinya menertawakan kecerobohan Bulan yang tentu saja sangat menguntungkan baginya. “Tapi, Pi. Bulan masih sekolah, kalau pihak sekolah tau bagaimana. Bulan bisa dikeluarkan, Pi.” Ucapnya lirih, mengiba agar papinya menunda pernikahan mereka sampai dia lulus sekolah. Setidaknya dalam jangka waktu itu dia memiliki kesempatan untuk mencari cara agar terlepas dari perjanjian konyol Air. “Untuk urusan itu kamu jangan khawatir, sayang. Biar jadi urusan Mommy. Kamu sekolah di yayasan keluarga Zelandra, tidak akan ada yang berani mengusik menantu Zelandra.” “Tapi, Tante.” “Mommy! Panggil Mommy sama seperti Air, kamu jangan pikir apapun. Serahkan semuanya pada Mommy dan Daddy, kamu tinggal terima beres. Lagi pula besok Air harus keluar negeri, ada pekerjaan selama dua minggu disana dan dia tidak akan pergi tanpa membawa kamu ikut bersamanya.” Bulan melirik Air, ia menelan saliva nya kasar. Di tangan Air, pria itu memainkan ponsel miliknya. Matanya seakan berkata jika menolak, maka rekaman itu akan tersebar. Bulan hanya bisa pasrah, dengan terpaksa ia menerima pernikahan dadakan tersebut. Semua orang tersenyum lega ketika mendapati anggukan kepala calon pengantin wanita. ‘Awass, kau om-om mesum. Akan kubalas! Kesialan apa ya Tuhan, bertemu om-om gilaaa.’“Kenapa lama banget di toilet, Bulan?” seru Yona dengan nada tak sabar.“Semedi,” jawab Bulan asal, menarik kursi dan duduk santai.“Kita tunggu kamu, tahu! Ada berita penting,” timpal Tania, ikut kesal.“Berita penting apa?” Bulan mengernyit heran, lalu celingukan. “Eh, bakso aku mana?”“Sabar, itu lagi dibawa Mang Ucup,” sahut Yona sambil mengangguk ke arah penjual yang sedang melangkah ke meja mereka.“Oh.” Bulan menerima mangkuk bakso yang disodorkan Mang Ucup, “Makasih Mang,” menghirup aromanya sebentar, lalu mulai mengaduk pelan. “Terus, beritanya apa?” “Si Swallow kejepit, dikeluarin dari sekolah!” kata Leoni. “Swallow kejepit siapa?” Bulan mengangkat kepalanya bingung, pandangannya berpindah dari satu wajah ke wajah lain.“Ih, kamu ini. Lemot banget sih,” Yona berdecak. “Itu lho, selingkuhannya mantan kamu!”“Apa?” Bulan terkejut. “Kenapa bisa?”“Ya mana kita tahu?” Mereka serempak mengedikkan bahu. Tidak tahu dan tidak mau tahu.“Mungkin gara-gara kejadian waktu itu,” tebak
“Ingat, jangan jauh-jauh dari pengawasan Zack,” ucap Air tegas sebelum istrinya turun dari mobil.Bulan memutar bola mata malas. Entah sudah berapa kali suaminya itu mengingatkan; telinganya sampai panas. Pria itu benar-benar tidak percaya padanya. Padahal, dia nanti hanya pergi ke rumah sakit bersama teman-teman sekolah. Tetapi sikap Air seakan-akan dia akan ikut pelatihan militer.“Iya, Hubby,” balas Bulan singkat. “Sudah bisa aku turun? Sebentar lagi bel bunyi.”“Hem.”Begitu pintu mobil ditutup, Bulan menarik napas panjang. Rasanya seperti baru bebas dari tahanan—bisa menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.“Haah… menyebalkan sekali! Untung suami, kalau bukan sudah aku lelang di pasar loak... Eh, tidak akan laku juga, soalnya terlalu bossy,” gerutunya pelan sambil melangkah menuju gerbang sekolah.“Ke markas,” titah Air datar, setelah memastikan siput nakalnya masuk ke area sekolah.“Baik, Tuan,” jawab Jeff, lalu melajukan mobil menuju tempat yang dituju.***Setengah jam kemu
“Hubby, boleh aku tanya sesuatu?” Bulan bertanya hati-hati sekali. “Mau tanya apa, sweetie?”‘Yesss, hatinya sedang baik.’“Janji ya jangan marah?” Bulan mengacungkan kelingkingnya di depan wajah tampan suaminya. Ekspresi mukanya dibuat memelas sekali. Alis Air tertarik, seringai kecil muncul di bibirnya. “Hem,”“Iss, janji dulu Hubby. Seperti ini,” Bulan menautkan kelingking mereka dengan tak sabaran. “Nah, sudah janji. Hubby tidak boleh marah,”Bulan menarik napas panjang, jujur saja dia sangat gugup. Suaminya susah ditebak, sewaktu-waktu bisa berubah menjadi harimau ganas dan memangsanya. “Bukan Hubby kan yang membuat Mirza masuk rumah sakit?”“Hu-Hubby dengar dulu, aku belum selesai. Nanti aja marahnya, ya. Kita bicara dulu.” Sela Bulan cepat saat mata tajam suaminya menghunusnya tajam. “Aku hanya bertanya, bukan karena aku masih punya rasa atau peduli. Hanya ingin tau saja, just it.” ucap Bulan pelan. “Hem,” Bulan mencebik, bibirnya mengerucut. Suaminya kembali mode es–di
Suara pintu kamar mandi yang dibuka, berhasil mengalihkan fokus Air dari layar iPad. Dia yang sedang duduk bersandar pada headboard tempat tidur, kini menatap sosok kecil yang baru saja keluar dari sana. Bulan baru selesai menyikat gigi, membersihkan diri, dan berganti pakaian tidur. Dia enggan jadi bahan ledekan suaminya lagi—dikatain bau daging. ‘Masa, cantik-cantik bau daging.’ Kalimat singkat itu, tapi sangat menjengkelkan di rungu Bulan. Dalam diam, Air memperhatikan istri kecilnya yang sedang sibuk di depan cermin. Rutinitas wajib setiap malam yang dilakukan gadis itu sebelum tidur. Dari cermin, Bulan bisa melihat suaminya yang menatapnya tanpa ekspresi. Tatapan yang bikin risih seolah dia punya utang miliaran. “Hubby, bisa tidak melihat itu seperti orang normal. Jangan seperti penagih utang. Aku tau, aku ini emang cantik dan manis. Gula sama madu saja minder lihat aku,” ujarnya narsis sambil melangkah ke ranjang. Air menaikkan sebelah alis. Salah satu sudut bibirnya teran
Sentuhan lembut yang diberikan Air di pipi Bulan, membangunkan gadis itu dari tidur lelapnya. Kelopak mata dihiasi lentiknya bulu panjang itu bergerak-gerak dan perlahan terbuka. Disambut senyum tipis sang pria yang menatapnya lembut dan penuh cinta.“Maaf, saya harus bangunkan kamu. Sebentar lagi malam,” ucap Air masih mengelus pipi kenyal Bulan.Bulan tersenyum dengan mata terbuka sayu, dia memegang tangan yang mengusap pipinya. Dengan gerakan pelan Bulan merubah posisi tidurnya jadi menyamping dan kini tangan lebar itu dijadikan alas bantalnya.“Maaf, tidurnya sampai lupa waktu.” Sesal Bulan, melupakan suaminya yang hari ini pulang lebih awal dari biasanya.“Kamu memang harus banyak istirahat, sayang.” Sahut Air lembut, Bulan sudah terbiasa dengan panggilan sayang dari pria dewasa itu. Jika di awal dia suka mencak-mencak dan mengamuk, sekarang panggilan itu selalu bisa membuatnya merasa nyaman.Gadis itu tersentak, teringat akan sang Ayah. “Papi dimana? Ya ampun, aku sampai melupak
“Anak haram?” Keduanya sontak menoleh ke arah pintu. Di ambangnya, Shallo berdiri terpaku, wajahnya menunjukkan kebingungan mendalam. Dia baru saja pulang dari rumah sakit setelah menjenguk Mirza—dan kini, kata-kata sang Ayah menghantamnya seperti badai. “A-apa maksud Papa? Siapa anak haram? Apa Papa punya anak lagi dari perempuan lain?” tanyanya tajam, menatap pria yang selama ini ia panggil Papa dengan sorot curiga. “Jangan pernah lagi panggil saya Papa,” suara Bagas dingin, penuh penolakan. “Karena saya bukan Papamu.” Sudah cukup aku membiarkan mereka bersikap semaunya. Terlalu besar harga yang harus dia bayar atas diamnya selama ini. Perusahaan miliknya di ambang kehancuran. “Maaass... dia anakmu!” jerit Rini panik. Dia berdiri, melangkah mendekati Shallo yang kini mematung. “Papamu sedang emosi, sayang. Masuklah ke kamar.” bujuknya lembut. Wanita itu tidak ingin Shallo mendengar lagi kata-kata yang lebih menyakitkan dari suaminya. Namun langkah Shallo terhenti saat su