Bulan merasa kesal setengah mati dan juga sekaligus malu. Saat terjaga dan mendapati dirinya memeluk pria itu seperti guling. Dan yang lebih mencengangkan adalah mereka sudah berada di pesawat yang sedang mengudara, sementara dirinya masih mengenakan piyama tidur.
Bagaimana bisa ia tidak menyadari saat pria itu memindahkan tubuhnya dari sofa rumah ke ranjang pesawat. Entah terlalu lelah atau karena perasaan nyaman. Setelah membersihkan diri dan berpakaian Bulan keluar dari kamar, ia berdecak kagum melihat interior pesawat itu. Kafi yang melihat Nona mudanya berdiri di depan pintu kamar, mempersilakan gadis itu untuk duduk di kursinya. Disana telah tersaji sarapan yang sudah disiapkan untuknya. “Silahkan, Nona.” Ucap Kafi. “Terima kasih,” balas Bulan tersenyum ramah lalu melangkah menuju kursinya dan ternyata bersebelahan dengan Air. Lelaki itu sudah selesai dengan sarapannya, terlihat seorang pramugari sedang membereskan meja di depannya. Bulan melirik Air dengan wajah juteknya, kemudian dengan gaya anggun ia duduk di kursinya dan mulai menikmati makanannya. Kepala Bulan bergerak-gerak kiri dan kanan tiap kali makanan masuk kedalam mulutnya. Alis Air terangkat sebelah melihat tingkah gadisnya yang terlihat sangat lucu. ‘Makan saja terlihat sangat menggemaskan!’ Perjalanan mereka masih sangat panjang, memakan waktu hingga belasan jam. Bulan mulai merasa bosan, duduknya sudah terlihat gelisah. Fasilitas lengkap dalam pesawat itu tak mampu membuatnya betah. Dengan siku bertumpu pada sandaran kursi, tangannya menopang sisi kepala sambil memandang Air yang serius menatap layar laptop di depannya. ‘Apa yang sedang dia lakukan, tidak bosan apa melotot terus di depan layar?’ gumam Bulan dalam hati, mencoba mengusir rasa bosan yang menghinggapi dengan memandangi Air. Mumpung pria itu tengah sibuk pasti tidak akan sadar kalau dia memperhatikannya, pikir Bulan Kacamata kerja yang bertengger di atas hidung mancungnya menambah kesan kedewasaan pada wajahnya. Matanya yang tajam menatap, membuat siapa pun yang melihatnya seakan terhipnotis. Garis rahangnya yang tegas, memancarkan aura yang begitu memikat. Pria itu laksana jelmaan Dewa Yunani yang sedang turun ke bumi. Visual-nya sangat sempurna untuk seorang manusia. Namun, rasa kagum itu seketika buyar ketika kalimat menyebalkan terlontar dari bibir merah Air. Sambil tersenyum mengejek Air berkata, “Saya memang tampan, pandanglah saya semau-mu.” Wajahnya yang semula tampak menawan, kini berubah menjadi sumber kekesalan bagi Bulan. Rasanya gelas yang berisi jus mangga di depannya ingin dia lempar ke arah kepala pria itu, siapa tau dengan begitu laki-laki yang berstatus suaminya bisa lebih bersahabat dalam bertutur kata tidak membuat orang di sekitarnya emosi tingkat tinggi. Bulan memalingkan mukanya melihat keluar jendela pesawat, merutuki dirinya. Ditengah rasa bosan melanda ia sampai memandangi Air. Sudah tau pria itu memiliki kepercayaan diri yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari tubuhnya yang seperti tiang listrik. “Kapan sampainya!” Bulan sengaja berucap demikian, ia sangat jenuh tidak ada yang mengajaknya bicara. Pria itu sama sekali tidak bisa diharapkan, ia terlalu kaku, tidak asik. Sekalinya bicara memancing emosi, huuhh… Disaat seperti ini, Bulan merindukan sahabatnya, dia juga merindukan sekolahnya. Dimana mereka menghabiskan waktu istirahat di kantin dengan kegilaan yang mereka lakukan. Bulan lebih bisa mengekspresikan dirinya, tidak seperti sekarang ini, dia seperti berada di dunia lain. “Sekarang dia pasti sedang makan bakso mang ucup.” gumam Bulan memandang awan-awan di luar jendela pesawat dengan wajah nelangsa. Bulan membayangkan makanan berbentuk bulat dan kuah bening dengan kepulan asap. Taburan bawang goreng yang banyak di atasnya ditambah beberapa telur puyuh. Sungguh nikmat sekali, membuat liur gadis itu ingin menetes. Ia mengecap-ngecap mulutnya seakan makanan itu ada di depannya saat ini. Bulan menarik nafas dalam dan panjang lalu menghembuskan secara kasar, ia berdiri dari duduknya lalu berseru, “Hei, kalian, pria-pria berbadan besar.” Ucap Bulan yang ditujukan pada beberapa anak buah Air yang ikut di dalam pesawat pribadi milik keluarga Zelandra. Dengan sigap mereka berdiri, membungkukkan badan memberi hormat pada Nona Muda Zelandra. “Kenapa kalian mau bekerja dengan pria kaku seperti dia?” Bulan menunjukkan ke arah Air dengan dagunya, “Tidakkah kalian lelah menghadapi sikapnya yang membuat kalian darah tinggi. Aku saja yang baru…” Bulan menunduk menghitung jari tangannya, untuk mengetahui berapa lama berurusan dengan pria itu. “Hah, berapa sih!” Kesal Bulan karena tidak yakin dengan hitungannya, “Sudahlah, tidak penting juga berapa lama, yang penting intinya aku tidak suka dekat dengan dia. Wajahnya saja sedatar lantai granit, jika ditanya menunggu jawabannya sampai ubanan. Apalagi kalau matanya itu sudah seperti mau mencabut nyawa saja.” Bulan melirik sinis Air, akan tetapi yang dilirik tetap tenang di posisinya. Air memilih diam, membiarkan istri kecilnya melakukan apa yang didinginkan. Pria itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, duduk tenang sambil melipat kedua tangannya di depan dada—menikmati drama dari gadisnya yang sangat nakal. “Lebih baik kalian semua bekerja padaku saja, dari pada tekanan batin bekerja pada pria tua itu. Kalian tidak ingin ikutan cepat tua seperti dia, kulit pada keriput-keriput. Mau ya, aku akan menjamin hidup kalian semua lebih sejahtera dan berwarna dan yang paling penting tidak cepat mati karena kena serangan jantung. Bagaimana? Tenang saja untuk urusan bayaranya, jauh lebih besar.” Bulan sudah seperti seorang marketing handal dalam membujuk pembeli untuk tertarik dengan barang yang ditawarkan. Kafi yang duduk di kursi tak jauh dibelakang pasangan itu, melipat bibirnya sambil menundukkan kepala agar tidak tertawa. Bisa dalam masalah besar dia jika sampai kelepasan menertawakan Tuan mudanya. Sejauh ini, tak ada seorang pun yang berani melontarkan buruk kepada Tuan Air, kecuali jika mereka ingin mengalami nasib tragis. Namun, Kafi justru tergelitik melihat tingkah laku Nona mudanya yang sama sekali tidak ada rasa takut. Malah dengan gamblang memanggil Tuan Muda dengan sebutan 'Om tua, muka sedatar lantai granit'. “Kenapa diam?” tanya Bulan melihat para pria berbadan besar hanya menundukkan kepala tidak ada yang menjawab. “Hmm, aku tau kalian pasti takut sama si Om ini. Badan saja yang besar seperti Hulk, tapi tidak bernyali.” Ucap Bulan meremehkan, menjentikkan sedikit ujung jarinya. Namun, Bulan tak menduga apa yang terjadi selanjutnya. Dalam sekejap, tubuhnya melayang di udara, diangkat oleh sang Tuan Muda yang sejak tadi menjadi target dari aksi provokasinya. “Aaaa…! Om mesum! kamu mau bawa aku kemana? Lepasiiiiin…! Hei kalian kenapa pada berdiri saja bantuin akuuu...” Bulan meronta-ronta minta dilepaskan, namun usahanya sia-sia. Ia juga meminta bantuan pada anak buah suaminya, tapi mereka cari aman tidak mau terlibat dengan urusan snag Tuan Muda. Air menulikan telinganya, pria itu memanggul sang istri di bahu kirinya dan membawa gadis kecilnya yang tubuhnya terasa ringan bagaikan kapas masuk ke dalam kamar pribadi yang ada di dalam pesawat. Nah kan, makanya Bulan diam saja jangan mencari masalah. Suka sekali kamu memancing di air yang tenang. Sekali airnya riak di sambar kan, semoga dirimu baik-baik saja didalam sana. “Tidaaakkk…”Dua tahun usia Xabiru, Air membuat perayaan untuk putranya. Halaman Mansion sudah di dekor sedemikian indah dengan dominan warna biru sesuai nama putra kecilnya. Acara sederhana namun terlihat mewah. Tanpa sepengetahuan Bulan, sang Mr. Arogan mengundang sahabat istrinya. Kejutan itu tentu saja diberikan Air untuk istri tercinta. Dan kedatangan mereka akan menjadi acara reuni. Xabiru terlihat sangat tampan dengan jas biru dan dasi kupu-kupu yang dipakainya. Tak beda dari sang putra, Air pun terlihat gagah dan makin mempesona di usianya yang semakin matang dengan jas senada dengan sang putra. Begitu pula dengan Bulan yang terlihat semakin cantik dengan gaun birunya, rambutnya disanggul kecil menambah kesan elegan, tidak terlihat jika wanita muda itu telah melahirkan seorang putra. “Jagoan Daddy, ayo potong kue dulu. Nanti baru main lagi,” bujuk sang Daddy pada putranya yang tidak mau turun dari mobil-mobilannya. “Kue, aku mau!” Serunya semangat menyodorkan kedua tangannya minta dig
Alur hidup tak ada yang bisa menebak, kemana takdir akan membawanya. Sekecil apapun kebaikan atau keburukan tentu akan ada balasannya. Dendam, benci, cinta adalah bumbu yang mewarnai setiap langkah kehidupan. Perputaran waktu tak ada yang bisa menghentikan walau hanya sedetik saja. Hari-hari yang dilalui pasangan orang tua baru itu tanpa keluhan, meskipun banyak perubahan yang terjadi sejak kelahiran putra pertama. Bayi mungil dan rapuh, kini sudah bisa berguling kanan dan kiri. Berceloteh dengan suara khas bayi, terkadang tingkahnya membuat kedua orang tuanya menarik napas dalam-dalam berusaha menyetok banyak kesabaran. “Xabiii! Astaga ini bocah,” pekik sang Mommy melihat putranya sudah berada di bawah kolong meja. Baru sebentar di tinggal, sudah berpindah posisi. “Nyonya, ada apa?” Eora mendekat cepat mendengar teriakan nyonya mudanya, gadis itu terlihat khawatir. Bulan mendesah kasar, lalu menunjuk arah dimana putranya yang tengah berceloteh tanpa beban. Ibunya sudah frustasi
“Cintamu tak layak untuk aku, Karin.”Setelah meredakan rasa terkejutnya atas ungkapan cinta dari gadis di sampingnya yang tak di duga. Mirza bersuara dengan lirih, sadar dirinya tak pantas mendapat cinta dari gadis seperti Karina. Dia bukan lelaki baik-baik, masa lalunya sangat kelam. “Apa aku seburuk itu?” Karina berusaha tegar, dia menoleh dan menatap teduh laki-laki yang tengah menunduk. Melihat gelengan lemah kepala Mirza, Karina kembali menuntut jawaban. “Lantas apa yang membuat aku tak dapat kesempatan itu?”Mirza mengangkat kepalanya seraya menarik napas dalam dan melepaskan perlahan. “Kamu berhak bersama laki-laki yang baik. Aku, aku hanya laki-laki brengsek!” Ucapnya dengan suara bergetar karena rasa emosional. Mengingat betapa buruknya kelakuannya dulu. “Aku tidak peduli dengan masa lalumu. Yang aku inginkan masa depan bersamamu!” Tegas Karina. “Kamu tidak tau aku, Karina!” Bentak Mirza menatap tajam, matanya merah. Kesal dan juga bingung. Karina membalas dendam tat
Musim berganti, namun cinta tak pernah tergantikan. Walaupun cinta tak berbalas, namun tekad seorang gadis tak pernah sirna. Dia yakin, ada celah untuk masuk ke dalam hati laki-laki yang telah menghadirkan debaran tak biasa di dalam dadanya. Rasa itu tak pernah sekalipun dia rasakan sebelumnya, meskipun bertemu dan berteman dengan laki-laki. Namun, tidak dengan sosok itu. Dari pertemuan pertama mereka hingga sekarang ini, debaran itu tetap sama. Getar cinta yang membuatnya gugup dan salah tingkah walau hanya melihat dari kejauhan. “Aku yakin, suatu hari nanti. Aku tidak akan mencintai seorang diri.” Ucapnya, pandangannya tertuju pada satu objek di kejauhan. Senyum tulus itu menghiasi wajah cantiknya, tak ada kesedihan, hanya keyakinan kuat. “Masih mengharapkan dia?” Karina terjengit, gadis itu mengusap dadanya, menetralkan rasa kaget akibat ulah laki-laki yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. “Sama seperti kamu,” balasnya yang membuat laki-laki itu tersenyum kecil. “Terka
Usapan lembut yang diberikan suaminya membuat Bulan tenang dan tertidur. Air sangat khawatir dengan kondisi istrinya, tidak hanya itu saja, Bulan-nya juga mengkhawatirkan kondisi Eora. Beruntung Eora cepat tertolong, dia cepat menghubungi rekannya supaya mengejar perempuan yang membuatnya mendapatkan dua luka tusukan di punggung dan pinggang kiri. Ditengah rasa sakit dari luka yang didapat, dengan sisa tenaga dia menghadang perempuan itu mencelakai nona mudanya. Dengan gerakan pelan, Air beringsut turun dari ranjang keluar dari kamar, membiarkan istrinya istirahat. Wanitanya itu sangat terguncang dengan apa yang terjadi hari ini. “Bagaimana kondisi Bulan?” tanya Nyonya Malika khawatir. Air menarik napas panjang, “Tidur,“ sahut Air singkat. Menjatuhkan dirinya di atas sofa. “Apa perlu kita panggilkan Dokter?”“Tidak perlu, Mom. Istriku hanya syok melihat Eora terluka.”“Ck, siapa yang sudah berani cari masalah sama keluarga kita.” Wanita itu sangat geram, “Lalu bagaimana keadaan
“Sayang, sudah belum?” Air masuk kamar mendekap putra kecilnya dalam gendongan, pria itu menyusul istrinya yang tak kunjung turun. “Hubby kenapa tidak sabaran sih?” Sahut Bulan sekali lagi memperhatikan penampilan di cermin. “Kita mau kerumah sakit, sayang. Bukan pergi acara besar.”“Biarpun hanya ke kerumah sakit, tetap saja aku harus memperhatikan penampilanku. Biarpun badan aku melar sana sini, tapi aku tetap harus cantik. Disana pasti banyak Dokter dan perawat genit cape sama Hubby.” Cetus Bulan meraih tas miliknya, “Tas perlengkapan Xabi udah di bawa Eora kan, By?” “Sudah!”Zack mengemudi, di sampingnya Eora duduk sambil memangku tas Tuan muda kecil. Wajah keduanya datar fokus ke depan tidak peduli keluarga kecil dibelakang bersenda gurau dengan si kecil. “Nanti kalau Xabi menangis gimana, By?” Jujur saja dia sangat cemas bayi sekecil itu harus di suntik. “Paling menangis sebentar aja, sayang. Tapi kan demikian kebaikan anak kita juga!” Air berusaha menenangkan istrinya, sej