BAB 111 “Pergi? Ke mana?” tanya Dokter Ardian sembari mengerutkan keningnya. “Saya tidak tahu, Pak. Tadi waktu saya baru sampai di depan gerbang, saya melihat Mbak Citra pergi dengan membawa tas yang dulu pertama kali ia bawa ke sini. Sudah saya panggil, tadinya mau nanya hendak pergi ke mana, tapi Mbak Citra-nya keburu naik taksi dan sudah terlalu jauh. Mungkin tidak dengar,” tutur Bik Yati menjelaskan. “Oh gitu. Ya sudah, Bik. Makasih, ya. Kalau capek istirahat saja. Jangan dipaksakan kerjanya. Kan baru sembuh,” balas Dokter Ardian dengan ramah seperti biasanya. “Iya, Pak,” balas Bik Yati sopan. Setelah itu Dokter Ardian pun segera menaiki anak tangga dengan tidak sabar. Sesampainya di lantai atas, ia masuk ke dalam kamar Citra. Ia berjalan mendekati almari Citra dan membukanya. Ia ingin tahu apakah Citra membawa semua pakaiannya atau tidak. Saat pintu almari terbuka, ia melihat beberapa lipatan pakaian Citra tampak berantakan dan terlihat berkurang jumlahnya. Sepertinya Citra
BAB 113 Usai itu Citra buru-buru keluar dari rumah dan tidak lupa mengunci pintunya kembali. Kemudian ia naik taksi kembali menuju Puskesmas di mana Ibunya dirawat tanpa menoleh ke belakang. Sesampainya di depan Puskesmas Anggrek, Citra pun segera turun setelah membayar argo taksi yang ditumpanginya. Ia sempat terkejut karena argo taksi yang mahal. Ia terbiasa naik angkot yang cukup murah dan terjangkau di kantongnya. Dengan segera Citra mencari di mana Ibunya berada. Mulai dari UGD hingga akhirnya ia bertanya pada bagian informasi. Setelah mendapatkan informasi di mana kamar Ibunya, Citra pun segera masuk untuk melihat keadaan Ibunya. “Ibuk!” panggil Citra dengan menangis. Ia tidak pernah melihat Ibunya tidak sadarkan diri seperti ini. Ia pun memeluk Ibunya yang terbaring di atas tempat tidur. “Udah nggak apa-apa. Cuma luka sedikit. Ibu kamu pingsan karena terkejut,” ujar Tina tiba-tiba di ambang pintu. Sedari tadi ia menjaga Bu Ratna karena tidak ada yang menjaganya. Sebelum Ci
BAB 115 Adzan subuh berkumandang. Alarm pada ponsel Dokter Ardian pun berbunyi. Tidak lama kemudian Dokter Ardian terjaga dan membuka matanya untuk mematikan alarm pada ponsel-nya. Usai itu ia melihat ke samping kanannya. Biasanya Citra berbaring di sampingnya. Namun, kali ini tidak ada. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya dengan malas untuk menunaikan ibadah salat subuh. Pagi hari, Dokter Ardian menuruni anak tangga dengan langkah tidak bersemangat. Di tangan kanannya, ia membawa tas yang biasa ia bawa bekerja. Di tangan kirinya ia membawa tas lain yang berisi pakaian yang akan ia bawa ke rumah Bu Ratna. Kali ini ia akan menikmati sarapan paginya seorang diri. Dulu, sebelum menikah dengan Nadia, ia menikmati sarapan dengan Mama dan Papa-nya. Usai itu muncul Nadia di hidupnya. Hari-harinya pun ditemani Nadia, tapi itu tidak berlangsung lama karena Tuhan mengambilnya saat melahirkan Nizam. Setelah kematian Nadia, Citra-lah yang menemaninya sarapan setiap harinya hingga saat ini Citra
BAB 117 “Ibuk kenapa?” tanya Dokter Ardian. “Hanya jatuh, tapi Ibuk nggak apa-apa, kok,” jawab Bu Ratna dengan tersenyum lembut. “Ibuk kecelakaan kemarin, Mas,” sahut Citra seraya mengambilkan Ibunya air minum. “Nggak parah, kok. Besok sudah boleh pulang kata dokter-nya,” sahut Bu Ratna santai. “Syukurlah kalau begitu.” Dokter Ardian merasa lega. “Setelah menyuapi Ibuk, kita bicara sebentar, ya. Aku tunggu di luar,” ucap Dokter Ardian pada Citra lalu keluar dari bilik Bu Ratna. “Ibuk sudah makannya. Ibuk mau tidur sekarang. Kamu keluar saja temui suami kamu, Nak,” ucap Bu Ratna dengan tersenyum pada Citra. “Iya, Buk,” balas Citra lalu menyelimuti Ibunya. Kemudian ia menyusul Dokter Ardian yang duduk di kursi depan ruang kamar Bu Ratna. “Ada apa, Mas?” tanya Citra setelah duduk di samping Dokter Ardian. “Bisa nggak sih kalau pergi itu pamit dulu? Atau nggak, ponsel jangan dimatikan, Cit,” ujar Dokter Ardian seraya menghadap Citra. “Maaf, Mas. Kemarin aku panik banget karena m
BAB 119 Dokter Ardian hanya bisa mendesah pelan. Mau mengejar juga tidak bisa karena ia belum membayar dan belum menghabiskan makanannya. “Istri kamu kenapa, Yan?” tanya Dokter Anisa sembari melihat Citra yang tengah menyeberang di tengah jalan raya. “Nggak apa-apa. Ibunya kan sedang sakit. Wajar aja dia khawatir,” balas Dokter Ardian lalu kembali melanjutkan aktivitas makannya. “Yan, anakmu sudah berapa?” tanya Dokter Anisa. Entah kenapa ketika bertemu dengan Dokter Ardian hari ini, tiba-tiba ia ingin tahu banyak tentang Dokter Ardian. “Masih satu. Masih umur sembilan bulan,” jawab Dokter Ardian dengan santai. “Yang benar? Hebat dong istrimu. Masih muda, habis melahirkan sudah bisa selangsing itu,” sahut Dokter Anisa takjub. “Mm … jadi sebenarnya gini. Citra itu istri kedua aku. Aku baru nikah sama dia belum ada satu bulan. Istri pertama aku meninggal saat melahirkan anakku. Jadi, Citra ini belum pernah hamil ataupun melahirkan. Makanya badannya masih langsing,” papar Dokter Ar
BAB 121 “Enggak!” sahut Citra singkat. “Terus kenapa dari tadi cemberut, marah, sewot? Capek? Sini aku pijitin,” ujar Dokter Ardian. Tangannya pun pindah ke bahu Citra dan sedikit menekannya. Citra menggoyang-goyangkan bahunya karena merasa sangat sakit pada bahunya. “Nggak usah, Mas. Aku nggak apa-apa,” tolak Citra hendak pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok giginya sebelum tidur. “Mau ke mana?” tanya Dokter Ardian seraya menarik tangan Citra supaya tidak pergi. “Ke kamar mandi,” jawab Citra singkat. “Cit, kamu kok menghindari aku terus-terusan sih? Padahal aku datang dari jauh-jauh. Bukannya disambut, malah dicuekin kayak gini,” gerutu Dokter Ardian mulai kesal lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Citra tidak menggubris-nya. Ia pun segera keluar dari dalam kamar dan pergi ke kamar mandi karena sudah tidak tahan ingin buang air kecil. Usai itu ia bingung harus kembali ke kamar atau tidur di ruang tengah. Ia duduk di ruang tengah beberapa saat, tapi tiba-tib
BAB 123 “Selamat pagi, Dokter Ardian …,” sapa Dokter Herlina dengan tersenyum dan membawa bekal di tangannya. “Pagi, Dok,” sahut Dokter Ardian sopan dengan menundukkan kepalanya. “Tumben bawa bekal? Jadi sia-sia dong bekal yang saya bawa,” ujar Dokter Herlina dengan cemberut manja. “Nggak sia-sia kok. Bekal itu bisa Dokter Herlina berikan ke bidan atau perawat yang membantu Dokter di ruang poli. Saya duluan ya,” pamit Dokter Ardian lalu pergi meninggalkan Dokter Herlina yang semakin memajukan bibirnya. Sesampainya di ruang poli kandungan, tiba-tiba ponsel Dokter Ardian berdering. Dengan segera Dokter Ardian merogoh saku kemeja-nya untuk melihat siapa yang menelepon-nya. Tampaklah nama “Mama” pada layar ponsel itu. “Iya, Ma?” ucap Dokter Ardian setelah menggeser tombol hijau pada layar ponsel-nya. “Katanya kemarin kamu mau menjemput Nizam. Dari kemarin Mama tungguin loh. Barang-barangnya juga sudah Mama kemasi, tapi kamu nggak datang-datang. Jadi, Mama bongkar lagi barang-barangn
BAB 125 Setelah menikmati dan menghabiskan bakso bersama, Citra membuka kardus ponsel baru itu dan segera mencobanya. “Buk, agak deketan dikit wajahnya. Ayo kita sel-fie …,” ucap Citra seraya mendekatkan wajahnya ke arah Bu Ratna. Dan tidak lama kemudian terdengar bunyi “Cekrek-cekrek-cekrek”. “Aduh, Cit …, kamu ini apaan sih? Ibuk sampai kaget,” ujar Bu Ratna seraya menempelkan telapak tangan di depan dadanya. Ia memang jarang berfoto, apalagi foto selfie. “Hihihi. Maaf, Buk. Citra lagi mencoba kamera-nya. Bagus ternyata. Ibuk jadi kelihatan lebih muda dan cantik,” puji Citra sambil melihat-lihat hasil jepretan-nya. “Ah, kamu bisa aja,” sahut Bu Ratna tersipu malu. “Oh iya, Buk. Ini sudah ada kartu sim-nya. Internetnya juga sudah aktif. Jadi, Ibuk dan Citra nanti bisa video call dan saling kirim foto. Gini caranya, Buk …,” ucap Citra seraya menjelaskan bagaimana cara mengirim foto lewat aplikasi hijau. Bu Ratna mengamati dengan seksama bagaimana caranya mengirim foto lewat apli