“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Maaf, Tuan. Mau makan di sini atau dibungkus?” tanya Kamila. Kamila yang sejak tadi menunggu pria di depannya ini untuk memesan makanan merasa heran, ia menoleh ke sekitar. Tapi tak ada seorang pun, hanya mereka berdua di warung tendanya ini. “Menikahlah dengan saya,” titah seorang pria dengan tubuh tegap nan wajah rupawannya. Jujur saja, Kamila sedikit kikuk karena pria itu menatapnya dalam, belum lagi penampilannya yang terlihat seperti orang kaya. Walau kotanya ini tidak sebesar kota yang lain, tapi jangan salah. Hasil panen dan perkebunan di kota ini begitu subur dan makmur. Tak heran banyak yang menjadi supplier buah-buahan serta sayuran yang dibawa ke kota besar, serta menjadi langganan restoran mewah maupun hotel berbintang. Dan yang menguasai kota kecil ini adalah keluarga Dewangga, mempunyai tanah puluhan hektar serta menjadi orang terkaya di kota ini. Keluarga mereka sangat terpandang, walau kehidupannya begitu privasi. “Kau tidak dengar atau pura-pura mengalihkan pembi
“Apa maksudmu, coba ulangi sekali lagi.” Aron mendekat dengan sorot tajam, selama hidupnya ia tak pernah menerima penolakan. Dalam bentuk apa pun itu. Keinginannya selalu terpenuhi, baik dari sang kakek ataupun kedua orangtuanya.“Saya tidak bisa menikah dengan Tuan Aron, karena pernikahan itu sangat sakral, dan saya hanya menikah bersama pria yang saya cintai,” balas Kamila mencoba untuk berani. Aron tertawa remeh, harga dirinya terasa diinjak-injak sekarang. Sejak kapan seorang pria matang dan kaya raya sepertinya ditolak mentah-mentah oleh gadis kecil? Yang bahkan tak ada apa-apanya dibandingkan sang kekasih. “Apa kau tahu konsekuensi jika menolak permintaan dari keluarga Dewangga?” Kamila menggeleng ketakutan, ia bangkit dari duduknya seraya melangkah mundur. “Tidak, tapi Tuan Aron tak mungkin memaksa saya, bukan?”Dari mana keberanian gadis kecil ini berasal. Mengapa begitu lancang? Aron semakin tak sabaran untuk memaksanya. “Kau seharusnya merasa bersyukur, karena keluarga kaya
Tidur seorang gadis manis terusik ketika pintu rumahnya digedor kuat, belum lagi suara teriakan yang memekikkan telinga. Kamila terbangun seketika, netranya langsung melihat ke arah jam dinding, sudah menunjukkan pukul enam pagi. Ia melirik ke samping, menemukan Arfin yang masih tertidur pulas. Secara perlahan, Kamila bangkit dari tidurnya, lalu melangkah menuju pintu dengan cat kayu yang sudah terkelupas itu. Ia tersentak mundur kala membukanya, jantungnya bergemuruh hebat dengan tatapan penuh ketakutan. “Halo anak manis,” sapa pria tambun dengan bau nikotin serta alkohol. “Ma–mau apa Anda kemari, bukankah saya sudah membayar cicilan untuk dua bulan ke depan?” Kamila memundurkan langkahnya. Sementara pria bertubuh tambun dengan tato pada lehernya itu menyeringai mesum. Bau alkohol semakin menyeruak tatkala ia semakin mendekat, membuat Kamila mual serta ketakutan di saat yang bersamaan.“Benar-benar gadis yang sangat cantik, saya bisa saja menganggap lunas semua hutang kedua orang t
Sepanjang perjalanan mereka menuju kediaman keluarga Dewangga. Kamila hanya diam membisu, di sampingnya ada Arfin yang sudah tertidur pulas. Perjalan mereka membutuhkan waktu satu jam, dan ini pertama kalinya Kamila keluar dari kampung halamannya menuju pusat kota. Kamila yang hendak memejamkan mata langsung tersentak ketika suara bariton memanggil namanya. “Nona Kamila, sudah sampai. Anda bisa mengikuti saya.” Bimo berujar sopan. Kamila mengangguk gugup, lalu membangunkan Arfin. Ia mengikuti langkah Bimo dalam keheningan, sementara Aron sudah melangkah lebar menuju rumah yang terlihat lebih besar dari yang lainnya. “Kakak, rumah ini sangat besar dan luas! Apakah kita akan tinggal di sini?” Kamila hanya tersenyum tipis sembari mengusap sayang kepala sang adik.Ia melihat lagi bangunan kokoh di hadapannya, walau Kamila begitu kagum, tapi sebisa mungkin ia menyembunyikannya. Mungkin ini adalah rumah termegah di kota ini, udara di sekelilingnya juga sangat menyejukkan. “Ini adalah r
Wanita cantik dengan bibir merah merona itu menyorot Kamila tajam, raut angkuh dan tegasnya membuat siapa pun akan segan. “Angkat kepalamu, jika ingin menjadi bagian dari keluarga Dewangga, jangan pernah sekali-kali menunduk!”Kamila tergugu, ia langsung mengangkat kepalanya, menatap tepat pada Dona. Sang nyonya besar di rumah ini. “Ba–baik, Nyonya.” “Berapa usiamu?” tanya Tama, meneliti gadis muda di hadapannya itu. Kini atensi Kamila beralih pada pria paruh baya yang begitu mirip dengan Aron. “Sembilan belas tahun, Tuan.”Aron berdeham melihat kedua orang tuanya yang saling melirik satu sama lain. “Apa kau sedang melanjutkan pendidikan saat ini?” balas Tama. Pancaran matanya terlihat ramah kala menatap Kamila.“Tidak, Tuan. Saya seorang pedagang dan buruh cuci.” Hening, tak ada yang membuka suara kembali. Kamila juga mulai merasakan atmosfer tak enak di sekelilingnya. Benar saja, firasatnya memang tak pernah salah tatkala nyonya besar di rumah ini melayangkan protes pedas. “Menga