Share

Bab 12 – Simulasi Nyata

Penulis: skusumahendang
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-19 20:30:11

Malam harinya, aku kembali ke balkon. Angin malam berembus pelan. Vila ini terlalu tenang untuk tempat yang penuh rahasia dan bahaya.

Aku memejamkan mata sebentar. Tapi sebelum aku sempat menenangkan diri, suara langkah kaki kembali terdengar.

Aku menoleh.

Grayson.

Tanpa jas, hanya mengenakan kemeja hitam dan celana panjang. Rambutnya sedikit acak, wajahnya tidak setegas biasanya.

“Kau selalu ada di sini sekarang,” ucapnya datar.

“Aku tak suka kamar itu. Terlalu sunyi.”

Ia berjalan mendekat, lalu berdiri di sampingku. Kami memandangi langit malam dalam diam. Lama.

“Aku tahu Damien menyimpan sesuatu,” katanya tiba-tiba.

Aku menoleh. “Apa maksudmu?”

“Dia tidak bilang padamu siapa dia sebenarnya, kan?”

Aku diam. “Apa kau akan memberitahuku?”

“Belum saatnya.”

Aku mengepalkan tangan di balik selimut tipis yang menutupi bahuku. “Aku lelah dijaga seperti boneka, Grayson. Kau menyuruh orang mengawasiku, melatihku, lalu memperingatkanku tentang mereka. Tapi kau tak pernah memberiku kebenaran.”

Ia menatapku.

“Dan jika kau tak ingin aku percaya siapa pun, maka mulai sekarang... aku hanya percaya pada diriku sendiri.”

Kali ini, dia tidak membantah.

Tidak memerintah.

Dan tidak pergi.

Dia hanya berdiri di sampingku. Diam.

Untuk pertama kalinya, mungkin... karena dia tahu, aku benar.

Hari keempat latihan.

Tubuhku sudah tidak bisa membedakan antara rasa nyeri dan kelelahan. Tapi pikiranku… justru terasa lebih jernih dari sebelumnya.

Mungkin karena aku mulai memahami apa yang sedang terjadi. Bukan hanya latihan fisik, bukan hanya ancaman. Tapi juga permainan kepercayaan. Siapa yang bisa dipercaya, siapa yang tidak. Dan lebih penting: bagaimana bertahan ketika tak satu pun bisa digenggam.

Di lapangan belakang, Damien menungguku seperti biasa. Tapi kali ini, wajahnya tampak lebih serius dari sebelumnya. Bukan sekadar guru, tapi seperti pria yang sedang menguji hidup atau mati seseorang.

“Ada perubahan hari ini?” tanyaku, membuka pembicaraan.

Damien mengangguk pelan. “Hari ini bukan latihan biasa.”

Aku menaikkan alis. “Lalu?”

“Simulasi. Serangan malam. Tanpa senjata. Hanya refleks, strategi, dan insting.”

Hatiku berdebar.

“Kau akan melemparku ke lantai gelap?” Aku mencoba bercanda. Tapi dia tak tersenyum.

“Bukan aku.”

Aku menatapnya heran. “Maksudmu?”

Damien mendekat. “Aku sudah siapkan seseorang dari tim luar. Kau tidak tahu siapa, kapan, atau dari arah mana. Itu bagian dari latihan. Dunia Grayson tidak mengenal peringatan.”

Aku menelan ludah. “Dan kalau aku gagal?”

“Setidaknya kau tahu bagaimana rasanya diserang saat tidak siap.”

Hari berjalan lambat. Setiap suara membuatku tegang. Setiap lorong di vila terasa lebih sempit. Aku kembali ke kamar menjelang malam dengan dada sesak.

Simulasi ini bisa terjadi kapan saja. Bahkan saat aku tidur. Bahkan saat aku mandi.

Skenario terburuk mulai berputar di kepalaku. Tapi aku menahannya. Aku tak boleh panik. Damien sudah mengajarkanku bernapas dalam tekanan. Bertahan dalam ketakutan. Dan kali ini, aku harus menguji semua yang telah kupelajari.

Aku menyembunyikan pisau kecilku di balik selimut. Memastikan tidak ada benda tajam di bawah ranjang atau laci yang terbuka.

Aku bahkan menyiapkan kursi kecil di belakang pintu, sebagai pengganjal darurat.

Saat lampu kamar kupadamkan, gelap itu terasa berbeda. Bukan hanya gelap karena malam—tapi karena kemungkinan ada bahaya yang mengintai di dalamnya.

Sekitar pukul dua pagi, suara kecil terdengar dari arah balkon.

Aku membuka mata perlahan.

Hening.

Tapi tirai bergoyang.

Kupandangi gagang pintu balkon. Tidak bergerak. Tapi aku tahu... seseorang ada di luar sana.

Kupeluk pisau kecil di bawah bantal, lalu turun dari tempat tidur. Napasku dijaga agar tetap tenang.

Langkah kaki. Sangat pelan.

Aku tidak menunggu lebih lama. Dengan gerakan cepat, aku tarik tirai dan membuka pintu balkon.

Seseorang meloncat masuk—berpakaian hitam, bertopeng penuh, postur besar.

Refleksku menyalak.

Kaki kananku menendang lutut penyerang itu, cukup kuat untuk membuatnya goyah. Tanganku mencengkeram lengan kirinya, dan aku gunakan momentum tubuhku untuk menjatuhkannya ke lantai.

Kami terjatuh bersama. Dia mencoba membalikkan tubuhku, tapi aku menusukkan gagang pisau—bukan bilahnya—ke sisi lehernya.

“Berhenti!”

Suara Damien terdengar dari arah jendela. Lampu kamar langsung menyala.

Penyerang itu mengangkat kedua tangannya.

Aku masih di atasnya, berkeringat, dada naik turun, lutut menekan perutnya.

Damien melangkah masuk dan membuka topeng penyerang itu. Seorang pria asing. Wajahnya dingin, tapi tersenyum.

“Kau hampir membunuhku,” katanya pada Damien, bukan padaku.

Damien menatapku lama. “Simulasi selesai.”

Aku bangkit pelan. Kakiku gemetar. Bukan karena takut. Tapi karena ledakan adrenalin itu terlalu besar.

“Aku kira… ini hanya latihan,” kataku lemah.

“Dan itu memang latihan.” Damien mendekat. “Tapi hanya dengan ancaman yang nyata… kau bisa tahu seberapa siap dirimu.”

Aku mengangguk. Masih terengah.

Lalu, tanpa aba-aba, suara langkah lain masuk ke kamar.

Grayson.

Matanya menyapu seisi ruangan—penyerang bertopeng, Damien, aku yang masih memegang pisau.

Sorot matanya gelap.

“Apa yang terjadi di sini?” suaranya serak, menahan emosi.

“Simulasi,” jawab Damien tenang. “Permintaan Anda sendiri.”

Grayson mendekat, menatapku lama. “Apa dia menyakitimu?”

Aku menggeleng. “Tidak. Tapi dia cukup membuatku sadar.”

“Bahwa aku tidak boleh lengah,” lanjutku dengan suara yang lebih mantap.

Untuk pertama kalinya, Grayson tidak menanggapi dengan dingin. Ia hanya menatapku dengan mata yang sulit kubaca. Seolah antara bangga… dan takut.

Takut kehilangan kendali.

Atau kehilangan aku.

Setelah pria bertopeng itu pergi dan Damien berpamitan, kamar kembali sunyi. Tapi kali ini, bukan kesunyian yang menenangkan. Melainkan kesunyian yang membuatku sadar: aku nyaris bisa membunuh seseorang.

Tanganku masih gemetar. Bukan karena takut—tapi karena betapa nyata semua ini.

Aku menunduk memandangi pisau kecil di tangan. Gagangnya masih hangat. Darah tidak menodainya, tapi bayangan kemungkinan itu cukup membuat napasku sesak.

Aku tak lagi berada di tempat yang hanya penuh amarah dan luka batin. Aku kini benar-benar berada di medan perang. Tempat di mana jika aku lemah, aku bisa mati.

Pikiranku kacau, tapi sebelum aku sempat menenangkan diri, Grayson masih berdiri di ambang pintu. Ia tidak pergi. Tidak juga bicara. Hanya menatapku seolah aku adalah teka-teki yang tak bisa dia pecahkan.

“Kau bisa membunuh orang,” katanya akhirnya.

Aku menegakkan bahu. “Kalau itu satu-satunya cara untuk bertahan, ya.”

Ia melangkah masuk, perlahan, hingga berdiri beberapa meter dariku. Tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuat jantungku berdebar. Entah karena takut… atau sesuatu yang lebih membingungkan.

“Aku tidak suka ini,” gumamnya.

“Kau yang memerintahkannya,” balasku dingin.

“Aku tak menyangka kau akan secepat itu bisa melawan.” Suaranya pelan, tapi ada sesuatu yang getir di sana.

Aku menatapnya tajam. “Jadi selama ini kau berharap aku tetap lemah?”

Dia tak menjawab. Tapi sorot matanya menjauh. Seperti ada bagian dari dirinya yang mulai takut pada versi baru diriku ini—versi yang tidak bisa ia kendalikan lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 12 – Simulasi Nyata

    Malam harinya, aku kembali ke balkon. Angin malam berembus pelan. Vila ini terlalu tenang untuk tempat yang penuh rahasia dan bahaya.Aku memejamkan mata sebentar. Tapi sebelum aku sempat menenangkan diri, suara langkah kaki kembali terdengar.Aku menoleh.Grayson.Tanpa jas, hanya mengenakan kemeja hitam dan celana panjang. Rambutnya sedikit acak, wajahnya tidak setegas biasanya.“Kau selalu ada di sini sekarang,” ucapnya datar.“Aku tak suka kamar itu. Terlalu sunyi.”Ia berjalan mendekat, lalu berdiri di sampingku. Kami memandangi langit malam dalam diam. Lama.“Aku tahu Damien menyimpan sesuatu,” katanya tiba-tiba.Aku menoleh. “Apa maksudmu?”“Dia tidak bilang padamu siapa dia sebenarnya, kan?”Aku diam. “Apa kau akan memberitahuku?”“Belum saatnya.”Aku mengepalkan tangan di balik selimut tipis yang menut

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 11 – Dalam Rumah Ini, Aku Diawasi

    Pagi datang tanpa permisi. Cahaya matahari menembus tirai kamar dan menyentuh wajahku, tapi rasa letih di tubuhku belum ikut pergi. Aku belum benar-benar tidur tadi malam. Setelah ketukan misterius itu, aku hanya terbaring, terjaga dalam gelap, menunggu suara lain… yang tak pernah datang.Kepalaku berat. Tapi bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena satu hal: aku tidak tahu siapa yang sedang mempermainkanku.Pesan misterius. Pisau berukir namaku. Dan sekarang, ketukan di pintu kamar. Semua itu seperti potongan teka-teki yang belum bisa kususun.Apakah aku hanya paranoid?Atau benar-benar ada mata yang terus mengikuti ke mana aku melangkah?Di lapangan belakang, Damien sudah menungguku. Hari ini, aku datang lebih lambat dari biasanya. Kaki kiriku sedikit keseleo, tapi aku tetap datang.“Kenapa terlambat?” tanyanya tanpa basa-basi.Aku menarik napas. “Kaki kiri bermasalah.”Dia hanya menganggu

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 10 – Tatapan yang Tak Terlihat

    Damien meninggalkan kamarku tak lama kemudian, dan saat pintu tertutup, aku merasa seluruh tubuhku diselimuti tekanan yang tak bisa dijelaskan. Ini bukan hanya tentang pelatihan atau pernikahan yang dipaksakan.Ini tentang bertahan di tengah dunia yang bisa membunuh dalam senyap.Dan aku harus belajar membaca siapa yang menggenggam pisau di balik senyuman.Di ruang bawah tanah vila, Grayson duduk sendirian dengan rokok menyala di jarinya. Di hadapannya, laptop menampilkan rekaman kamera keamanan yang baru saja dia unduh.Wajah Eleanor muncul di layar. Lelah. Tapi tatapan matanya mulai berbeda. Bukan lagi ketakutan—melainkan waspada.Damien juga muncul. Terlalu dekat. Terlalu sering menatapnya.Grayson menghembuskan asap rokok, lalu menyandarkan tubuh ke kursi. Dia tidak suka perasaan ini. Tidak suka ketika seseorang berada terlalu dekat dengan miliknya—meski ia tak pernah menyentuh, bahkan nyaris tak berbicara dengan wanita itu.Dia menatap layar lama. Matanya menyipit saat melihat El

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 9 – Luka di Balik Latihan

    Matahari belum sepenuhnya terbit saat aku tiba di lapangan belakang. Rumput masih basah oleh embun, udara dingin menggigit kulitku, tapi langkahku tak ragu.Tubuhku masih pegal sejak latihan kemarin—pundak kaku, lengan penuh memar, dan perut seperti tertinju berkali-kali. Tapi aku datang lebih awal. Bukan karena aku rajin, melainkan karena satu hal sederhana: aku ingin hidup.Damien Wolfe sudah berdiri di bawah pohon, melatih napas dengan gerakan ringan. Wajahnya seperti kemarin—dingin, tajam, dan sulit ditebak. Tapi tidak mengintimidasi. Tidak seperti Grayson."Kau datang lebih cepat dari jadwal," katanya, tak menoleh."Aku butuh lebih banyak waktu untuk bisa menyamamu," jawabku, mencoba terdengar percaya diri.Damien berbalik, mengangguk kecil. “Bagus. Hari ini kita mulai belajar mengatasi rasa takutmu. Karena rasa takut itulah yang akan membunuhmu lebih cepat daripada peluru.”Aku mengepalkan tangan. “Aku tidak takut.”“Semua orang takut. Tapi orang pintar tahu cara menyembunyikann

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 8 — Jejak Gelap

    "Jadi begitu… Melissa mulai menunjukkan taringnya." Dia berjalan ke meja, menuang bourbon ke dalam gelas kristal, lalu meneguknya sekali teguk."Rafael Vega adalah seorang eksekutor berdarah dingin. Dulu dia anak didikku. Sekarang… dia musuhku."Aku menegakkan tubuh. "Dan Melissa? Kenapa dia terlibat?"Grayson menatapku dari balik gelasnya. "Karena dia serakah. Karena dia ingin menggantikanmu."Perutku terasa mual. Aku tahu Melissa membenciku, tapi aku tak menyangka dia akan sejauh ini."Aku hanya beban dalam pernikahan ini, bukan? Jadi kenapa... kenapa aku dipertahankan?" tanyaku lirih.Grayson meletakkan gelasnya dengan suara denting kecil. Lalu dia mendekat di hadapanku. Untuk pertama kalinya, dia menatapku bukan dengan kebencian atau dingin, tapi... seolah sedang menilai sesuatu yang belum dia pahami."Kau belum mengerti posisimu, Eleanor. Kau bukan hanya istri kontrak. Kau adalah perisai. Sasaran. Dan entah bagaimana... kau juga jadi titik lemah yang tak kuinginkan."Dadaku sesak

  • Terpaksa Menikah dengan Bos Mafia Billionaire   Bab 7 – Sangkar Emas dan Ancaman yang Mengintai

    Tiba-tiba ponselku berbunyi.Bukan dari siapa pun yang kukenal. Nomor tak dikenal. Tapi sesuatu dalam hatiku menyuruhku mengangkatnya.“Halo?”Suara di seberang terdengar berat. Pria. Pelan tapi penuh tekanan.“Kau Eleanor Hayes?”Aku diam. Jantungku berdegup.“Ya. Siapa ini?”“Aku orang yang seharusnya kau temui sejak lama. Dan aku tahu apa yang terjadi padamu. Aku tahu kau bukan milik Grayson Blake. Aku tahu siapa ayah tirimu sebenarnya.”Aku berdiri dari kursi, panik. “Siapa kau?!”“Tunggu aku. Aku akan datang padamu. Dan saat itu tiba, kau harus memilih. Bertahan... atau kabur.”Klik.Telepon terputus.Tanganku gemetar. Aku menatap layar kosong ponsel, merasa seolah-olah seluruh duniaku baru saja bergeser.Siapa pria itu?Dan apa maksudnya... aku harus memilih?Aku duduk di ranjang, menggenggam ponsel erat-erat hingga jemariku memutih. Sudah lebih dari satu jam sejak panggilan misterius itu, tapi suaranya masih terngiang di telingaku. Dalam satu kalimat pendek, dia membuat semua l

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status