Pagi datang tanpa permisi. Cahaya matahari menembus tirai kamar dan menyentuh wajahku, tapi rasa letih di tubuhku belum ikut pergi. Aku belum benar-benar tidur tadi malam. Setelah ketukan misterius itu, aku hanya terbaring, terjaga dalam gelap, menunggu suara lain… yang tak pernah datang.
Kepalaku berat. Tapi bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena satu hal: aku tidak tahu siapa yang sedang mempermainkanku.
Pesan misterius. Pisau berukir namaku. Dan sekarang, ketukan di pintu kamar. Semua itu seperti potongan teka-teki yang belum bisa kususun.
Apakah aku hanya paranoid?
Atau benar-benar ada mata yang terus mengikuti ke mana aku melangkah?
Di lapangan belakang, Damien sudah menungguku. Hari ini, aku datang lebih lambat dari biasanya. Kaki kiriku sedikit keseleo, tapi aku tetap datang.
“Kenapa terlambat?” tanyanya tanpa basa-basi.
Aku menarik napas. “Kaki kiri bermasalah.”
Dia hanya mengangguk, lalu melemparkan seikat tali elastis latihan. “Kita ubah rencana. Hari ini lebih banyak teknik bertahan, bukan menyerang.”
Selama hampir satu jam, aku berlatih melepaskan diri dari cengkeraman, menangkis, dan belajar membaca arah serangan. Damien jarang bicara, tapi setiap gerakannya tepat. Kadang ia hanya memiringkan kepala atau menggerakkan alis, dan aku tahu aku melakukan kesalahan.
Namun hari ini, ada sesuatu yang berbeda darinya. Tatapannya lebih tajam. Lebih... mengamati.
“Ada yang berubah,” katanya tiba-tiba, saat kami istirahat sejenak.
Aku menoleh. “Apa?”
“Sikapmu. Gerakanmu. Matamu.”
“Aku tidur dengan ketakutan semalam,” jawabku jujur.
Damien diam. “Ada yang masuk ke kamarmu?”
Aku menggeleng. “Tapi ada yang mengetuk. Dan tidak bicara apa pun.”
Damien mengangkat bahu, lalu berdiri. “Mulai besok, latihannya akan lebih keras. Anggap ini bukan pelatihan lagi, Eleanor. Tapi persiapan perang.”
Aku menatapnya lama. “Perang dengan siapa?”
Dia tidak menjawab.
Siang itu, saat aku berjalan melewati lorong menuju ruang perpustakaan kecil di vila, aku mendengar suara percakapan. Pelan, namun cukup jelas untuk ditangkap telingaku.
Grayson dan seseorang yang tak kukenal.
“Damien terlalu sering bersama dia,” suara pria itu berkata. Berat dan berbisik.
“Kau pikir aku tidak melihatnya?” jawab Grayson dengan suara dingin.
“Kalau dia berpihak ke Moretti, kita dalam masalah besar.”
Aku menahan napas. Damien? Moretti?
“Kau pikir aku serahkan perempuan itu ke tangan siapa pun tanpa pengawasan?” suara Grayson terdengar tajam. “Aku tahu semua geraknya.”
Pembicaraan terputus saat pintu ruangan dibuka dari dalam. Aku segera berjalan cepat, pura-pura tidak mendengar apa pun, tapi jantungku berdebar seperti dipukul dari dalam.
Mereka mencuriga Damien.
Tapi kenapa?
Malam harinya, aku duduk di balkon, membiarkan angin malam membelai wajahku yang mulai terbiasa dengan lelah. Pisau kecil itu sekarang selalu kusembunyikan di bawah bantal. Hanya itu yang membuatku merasa sedikit aman.
Dari balik bayang-bayang, Grayson muncul. Diam-diam, seperti biasa.
Aku menoleh saat mendengar langkahnya.
“Kau seperti hantu,” kataku pelan.
“Aku bisa jadi apa pun yang kubutuhkan.”
Aku berdiri dari kursi. “Kau menyuruh orang melatihku, memperingatkanku soal dia, tapi tidak memberiku alasan untuk percaya siapa pun.”
“Kau tak perlu percaya siapa pun.”
“Lalu kenapa kau mulai peduli?” Aku menatapnya, kali ini tak menunduk.
Dia mendekat. Tak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuat napasku berubah tak stabil.
“Karena ada hal-hal yang tak bisa kubiarkan disentuh orang lain,” bisiknya.
Aku menahan napas. “Aku bukan barang milikmu, Grayson.”
Dia tersenyum sinis, tapi tatapannya tak melepas wajahku.
“Kau akan belajar… kadang kepemilikan bukan soal cinta. Tapi soal perlindungan.”
Dia berbalik, lalu menghilang ke dalam gelap. Meninggalkanku sekali lagi—dengan kata-kata yang lebih menyesakkan daripada senyap.
Aku kembali ke kamar setelah pertemuan singkat itu di balkon. Kata-kata Grayson masih terngiang dalam kepalaku.
“Kadang kepemilikan bukan soal cinta. Tapi soal perlindungan.”
Apa itu maksudnya?
Apa dia melindungiku karena aku miliknya, atau karena aku hanya aset berharga yang tak boleh disentuh orang lain?
Aku menatap bayanganku di cermin. Wajahku pucat, mata sayu, tubuhku memar, tapi di balik itu… aku mulai merasa lebih kuat. Lebih sadar.
Aku bukan lagi Eleanor yang pasrah menerima takdir. Tapi juga belum cukup kuat untuk melawan semua ini sendirian.
Pikiranku kembali pada percakapan Grayson dan pria misterius tadi siang. Mereka mencurigai Damien. Seseorang yang selama ini melatihku, menjatuhkanku ke tanah, mengajarkanku bagaimana bertahan dari serangan—dan yang diam-diam, aku mulai percayai.
Jika Damien ternyata musuh, aku tak punya siapa-siapa lagi di tempat ini.
Aku menggenggam pisau kecil berinisial E.H. dan menyelipkannya di bawah bantal. Aku tahu aku tidak akan bisa tidur malam ini. Tapi aku harus berpura-pura. Setidaknya untuk membuat siapa pun yang mengintai berpikir aku lemah dan tak waspada.
Sekitar pukul dua dinihari, aku mendengar langkah kaki di luar pintu kamarku. Pelan. Sangat hati-hati. Tidak seperti langkah Grayson yang tegas dan teratur.
Aku segera duduk di ranjang, jantungku berdetak cepat. Tanganku meraih pisau di bawah bantal. Lampu masih padam. Aku tak bergerak, hanya menunggu.
Langkah itu berhenti tepat di depan pintu kamarku.
Sepi.
Tidak ada ketukan seperti semalam. Tidak ada suara.
Tapi seseorang ada di sana.
Kupandangi celah di bawah pintu. Tidak ada bayangan kaki. Tidak ada suara napas.
Setelah satu menit yang terasa seperti seabad, langkah itu menjauh.
Aku menahan napas hingga semuanya benar-benar hening. Lalu pelan-pelan, aku berdiri dan mengunci pintu kamar dari dalam—lebih kuat kali ini.
Apa itu Damien?
Atau seseorang yang menyamar jadi pelayan?
Atau lebih buruk... orang yang menaruh pesan di bawah piringku kemarin?
Keesokan paginya, aku berjalan ke lapangan belakang dengan tubuh lelah. Damien sudah menunggu, seperti biasa. Tapi hari ini, dia tak langsung bicara.
“Kau tidak tidur,” katanya tanpa menoleh.
“Bagaimana kau tahu?”
“Gerakanmu lemah. Langkahmu lebih lambat. Bahumu lebih rendah dari biasanya.”
Aku mencibir. “Ternyata kau bisa menilai orang juga, bukan hanya teknik bertarung.”
Dia menatapku. Lama. Lalu menjawab, “Aku harus tahu siapa yang bisa kupercayai di tempat seperti ini.”
Aku terdiam.
“Aku juga,” gumamku.
Damien tak berkata apa pun lagi. Kami mulai latihan seperti biasa. Tapi kali ini, aku jauh lebih waspada. Mataku mengamati setiap gerakannya. Setiap sentuhan koreksi yang ia berikan saat aku jatuh atau salah posisi terasa lebih asing dari biasanya.
Dan itu membuatku sedih.
Aku ingin mempercayainya. Tapi benih keraguan yang ditanam Grayson... terlalu dalam untuk dicabut dalam semalam.
Setelah latihan, saat aku sedang membersihkan luka kecil di tangan, seorang pelayan wanita datang membawakan air dan handuk bersih.
“Terima kasih,” kataku.
Dia hanya mengangguk dan membisik pelan sebelum pergi, “Berhati-hatilah, Nona. Tak semua yang tampak melindungi... benar-benar ingin melindungi.”
Aku mematung. Wajah pelayan itu asing. Mungkin baru. Tapi kata-katanya membuat hatiku kembali sesak.
Siapa sebenarnya musuhku di tempat ini?
Dan kenapa semua orang berbicara dengan teka-teki?
Malam harinya, aku kembali ke balkon. Angin malam berembus pelan. Vila ini terlalu tenang untuk tempat yang penuh rahasia dan bahaya.Aku memejamkan mata sebentar. Tapi sebelum aku sempat menenangkan diri, suara langkah kaki kembali terdengar.Aku menoleh.Grayson.Tanpa jas, hanya mengenakan kemeja hitam dan celana panjang. Rambutnya sedikit acak, wajahnya tidak setegas biasanya.“Kau selalu ada di sini sekarang,” ucapnya datar.“Aku tak suka kamar itu. Terlalu sunyi.”Ia berjalan mendekat, lalu berdiri di sampingku. Kami memandangi langit malam dalam diam. Lama.“Aku tahu Damien menyimpan sesuatu,” katanya tiba-tiba.Aku menoleh. “Apa maksudmu?”“Dia tidak bilang padamu siapa dia sebenarnya, kan?”Aku diam. “Apa kau akan memberitahuku?”“Belum saatnya.”Aku mengepalkan tangan di balik selimut tipis yang menut
Pagi datang tanpa permisi. Cahaya matahari menembus tirai kamar dan menyentuh wajahku, tapi rasa letih di tubuhku belum ikut pergi. Aku belum benar-benar tidur tadi malam. Setelah ketukan misterius itu, aku hanya terbaring, terjaga dalam gelap, menunggu suara lain… yang tak pernah datang.Kepalaku berat. Tapi bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena satu hal: aku tidak tahu siapa yang sedang mempermainkanku.Pesan misterius. Pisau berukir namaku. Dan sekarang, ketukan di pintu kamar. Semua itu seperti potongan teka-teki yang belum bisa kususun.Apakah aku hanya paranoid?Atau benar-benar ada mata yang terus mengikuti ke mana aku melangkah?Di lapangan belakang, Damien sudah menungguku. Hari ini, aku datang lebih lambat dari biasanya. Kaki kiriku sedikit keseleo, tapi aku tetap datang.“Kenapa terlambat?” tanyanya tanpa basa-basi.Aku menarik napas. “Kaki kiri bermasalah.”Dia hanya menganggu
Damien meninggalkan kamarku tak lama kemudian, dan saat pintu tertutup, aku merasa seluruh tubuhku diselimuti tekanan yang tak bisa dijelaskan. Ini bukan hanya tentang pelatihan atau pernikahan yang dipaksakan.Ini tentang bertahan di tengah dunia yang bisa membunuh dalam senyap.Dan aku harus belajar membaca siapa yang menggenggam pisau di balik senyuman.Di ruang bawah tanah vila, Grayson duduk sendirian dengan rokok menyala di jarinya. Di hadapannya, laptop menampilkan rekaman kamera keamanan yang baru saja dia unduh.Wajah Eleanor muncul di layar. Lelah. Tapi tatapan matanya mulai berbeda. Bukan lagi ketakutan—melainkan waspada.Damien juga muncul. Terlalu dekat. Terlalu sering menatapnya.Grayson menghembuskan asap rokok, lalu menyandarkan tubuh ke kursi. Dia tidak suka perasaan ini. Tidak suka ketika seseorang berada terlalu dekat dengan miliknya—meski ia tak pernah menyentuh, bahkan nyaris tak berbicara dengan wanita itu.Dia menatap layar lama. Matanya menyipit saat melihat El
Matahari belum sepenuhnya terbit saat aku tiba di lapangan belakang. Rumput masih basah oleh embun, udara dingin menggigit kulitku, tapi langkahku tak ragu.Tubuhku masih pegal sejak latihan kemarin—pundak kaku, lengan penuh memar, dan perut seperti tertinju berkali-kali. Tapi aku datang lebih awal. Bukan karena aku rajin, melainkan karena satu hal sederhana: aku ingin hidup.Damien Wolfe sudah berdiri di bawah pohon, melatih napas dengan gerakan ringan. Wajahnya seperti kemarin—dingin, tajam, dan sulit ditebak. Tapi tidak mengintimidasi. Tidak seperti Grayson."Kau datang lebih cepat dari jadwal," katanya, tak menoleh."Aku butuh lebih banyak waktu untuk bisa menyamamu," jawabku, mencoba terdengar percaya diri.Damien berbalik, mengangguk kecil. “Bagus. Hari ini kita mulai belajar mengatasi rasa takutmu. Karena rasa takut itulah yang akan membunuhmu lebih cepat daripada peluru.”Aku mengepalkan tangan. “Aku tidak takut.”“Semua orang takut. Tapi orang pintar tahu cara menyembunyikann
"Jadi begitu… Melissa mulai menunjukkan taringnya." Dia berjalan ke meja, menuang bourbon ke dalam gelas kristal, lalu meneguknya sekali teguk."Rafael Vega adalah seorang eksekutor berdarah dingin. Dulu dia anak didikku. Sekarang… dia musuhku."Aku menegakkan tubuh. "Dan Melissa? Kenapa dia terlibat?"Grayson menatapku dari balik gelasnya. "Karena dia serakah. Karena dia ingin menggantikanmu."Perutku terasa mual. Aku tahu Melissa membenciku, tapi aku tak menyangka dia akan sejauh ini."Aku hanya beban dalam pernikahan ini, bukan? Jadi kenapa... kenapa aku dipertahankan?" tanyaku lirih.Grayson meletakkan gelasnya dengan suara denting kecil. Lalu dia mendekat di hadapanku. Untuk pertama kalinya, dia menatapku bukan dengan kebencian atau dingin, tapi... seolah sedang menilai sesuatu yang belum dia pahami."Kau belum mengerti posisimu, Eleanor. Kau bukan hanya istri kontrak. Kau adalah perisai. Sasaran. Dan entah bagaimana... kau juga jadi titik lemah yang tak kuinginkan."Dadaku sesak
Tiba-tiba ponselku berbunyi.Bukan dari siapa pun yang kukenal. Nomor tak dikenal. Tapi sesuatu dalam hatiku menyuruhku mengangkatnya.“Halo?”Suara di seberang terdengar berat. Pria. Pelan tapi penuh tekanan.“Kau Eleanor Hayes?”Aku diam. Jantungku berdegup.“Ya. Siapa ini?”“Aku orang yang seharusnya kau temui sejak lama. Dan aku tahu apa yang terjadi padamu. Aku tahu kau bukan milik Grayson Blake. Aku tahu siapa ayah tirimu sebenarnya.”Aku berdiri dari kursi, panik. “Siapa kau?!”“Tunggu aku. Aku akan datang padamu. Dan saat itu tiba, kau harus memilih. Bertahan... atau kabur.”Klik.Telepon terputus.Tanganku gemetar. Aku menatap layar kosong ponsel, merasa seolah-olah seluruh duniaku baru saja bergeser.Siapa pria itu?Dan apa maksudnya... aku harus memilih?Aku duduk di ranjang, menggenggam ponsel erat-erat hingga jemariku memutih. Sudah lebih dari satu jam sejak panggilan misterius itu, tapi suaranya masih terngiang di telingaku. Dalam satu kalimat pendek, dia membuat semua l