Aku menarik napas dalam. Udara asin terasa pahit di tenggorokan. Tanganku meraih pipa, dinginnya membuat kulitku merinding.
Setiap tarikan otot terasa berat, tapi aku tidak berhenti. Satu langkah, lalu satu langkah lagi. Di bawah, Grayson mengawasi, pandangannya tajam meski wajahnya setengah tertutup bayangan.
Saat aku sampai di dekat jendela, Vincent sudah memegangnya terbuka. “Hati-hati, pijakan di dalam licin,” bisiknya.
Aku masuk perlahan. Lantai di dalam gudang terbuat dari kayu tua yang berderit halus. Bau debu bercampur aroma garam laut memenuhi udara.
Di kejauhan, samar-samar terdengar suara musik klasik. Bukan dari pengeras suara besar, tapi seperti dimainkan dari gramofon tua. Suara serak piringan hitam yang berputar membuat suasana semakin aneh—nyaris seperti mimpi buruk yang tenang.
Clara menyusul, lalu Grayson. Begitu semua masuk, kami berjongkok di balik tumpukan peti kayu besar, mengamati sekeliling.
Tidak ad
Pintu kamar tertutup di belakangku dengan bunyi klik yang nyaris seperti sebuah penguncian sel. Tapi kali ini, aku tidak merasa terpenjara. Atau… mungkin aku sudah terlalu terbiasa dengan kurungan yang dibalut kenyamanan.Grayson berdiri di dekat meja, melepaskan jasnya, gerakannya perlahan tapi penuh kendali. Cahaya lampu kuning temaram membuat siluetnya tampak lebih gelap, seperti sosok yang selalu membayangiku, bahkan dalam mimpi.Aku masih bisa merasakan sisa adrenalin dari interogasi Melissa tadi. Kata-kata kakak tiriku itu masih terngiang, membuat darahku setengah panas, setengah beku. Tapi tatapan Grayson sekarang—tajam, fokus, dan hanya tertuju padaku—membuatku melupakan semua, setidaknya untuk sesaat.“Kemarilah,” ucapnya rendah. Bukan perintah keras, tapi juga bukan permintaan.Aku melangkah pelan, seakan jarak di antara kami adalah jurang yang harus kutaklukkan. Saat jarak itu terhapus, ia mengangkat tanganku, mem
Hujan belum berhenti ketika mobil kami menembus gerbang vila. Lampu-lampu perimeter menyala terang, menerangi jalan basah yang memantulkan bayangan pohon seperti siluet raksasa. Meski dinding beton tinggi melindungi kami, aku tidak merasa aman—tidak malam ini.Grayson turun lebih dulu, memeriksa situasi di luar sebelum mengulurkan tangannya untuk membantuku keluar. Sentuhannya dingin, tapi genggamannya tegas, seolah mengatakan bahwa ia tidak akan melepaskanku lagi.Begitu masuk ke dalam, Clara dan Vincent sudah menunggu di ruang utama, pakaian mereka basah oleh hujan. Vincent masih memegang peta digital yang tadi digunakannya di gudang. “Kami berhasil menyingkirkan sebagian besar mereka, tapi Verena lolos. Dion juga.”Aku menatapnya tajam. “Damien?”Vincent ragu. “Dia... tidak ikut Verena. Tapi juga tidak ikut kita.”Grayson mengeraskan rahang, tapi tidak berkata apa-apa. Aku tahu amarahnya sedang mengendap
Udara di gudang itu begitu pekat hingga setiap tarikan napas terasa seperti menelan serpihan besi. Lampu gantung berayun perlahan di atas kepala, menebarkan bayangan panjang yang seolah menari di lantai beton. Semua mata saling terkunci, semua jemari tegang di sekitar pelatuk senjata.Aku berdiri di antara Grayson dan Verena, meski jarak fisik memisahkan, rasanya kami hanya dipisahkan oleh sehelai benang tipis yang bisa putus kapan saja. Damien berdiri di sisi Verena, tapi aku bisa melihat sedikit ketegangan di rahangnya—sebuah pertanda bahwa apa pun yang sedang terjadi di kepalanya, itu bukanlah keyakinan mutlak.“Jangan bodoh, Gray,” Verena memecah keheningan. Suaranya tenang, tapi tajam seperti pisau yang baru diasah. “Kau tahu aku bisa menembak Eleanor bahkan sebelum pelatukmu selesai ditarik.”Grayson tidak menurunkan pistolnya. “Coba saja,” ujarnya dingin. “Dan aku akan pastikan napas terakhirmu terjadi di la
Aku menarik napas dalam. Udara asin terasa pahit di tenggorokan. Tanganku meraih pipa, dinginnya membuat kulitku merinding.Setiap tarikan otot terasa berat, tapi aku tidak berhenti. Satu langkah, lalu satu langkah lagi. Di bawah, Grayson mengawasi, pandangannya tajam meski wajahnya setengah tertutup bayangan.Saat aku sampai di dekat jendela, Vincent sudah memegangnya terbuka. “Hati-hati, pijakan di dalam licin,” bisiknya.Aku masuk perlahan. Lantai di dalam gudang terbuat dari kayu tua yang berderit halus. Bau debu bercampur aroma garam laut memenuhi udara.Di kejauhan, samar-samar terdengar suara musik klasik. Bukan dari pengeras suara besar, tapi seperti dimainkan dari gramofon tua. Suara serak piringan hitam yang berputar membuat suasana semakin aneh—nyaris seperti mimpi buruk yang tenang.Clara menyusul, lalu Grayson. Begitu semua masuk, kami berjongkok di balik tumpukan peti kayu besar, mengamati sekeliling.Tidak ad
Udara malam terasa basah, menusuk tulang. Di luar vila, deru mesin kendaraan terdengar seperti dengungan serangga raksasa, siap bergerak menuju medan yang sudah menunggu di kegelapan. Langit malam tak berbintang, hanya selapis awan kelabu yang seakan menekan bumi.Aku duduk di kursi belakang kendaraan lapis baja, diapit oleh Clara di sebelah kiri dan Vincent di sebelah kanan. Grayson berada di kursi depan, matanya terus memindai jalan melalui kaca spion, sesekali memberi perintah singkat lewat radio.“Jaga formasi. Jangan terlalu rapat, jangan terlalu renggang. Satu mobil di depan, dua di belakang. Pantau sisi kiri-kiri jalur. Mereka bisa muncul dari mana saja.”Aku menarik napas panjang, mencoba mengusir gemetar yang sejak tadi merayap di jemariku. Pisau Damien terselip di pinggangku, tersembunyi di balik jaket kulit hitam. Rasanya seperti jimat—bukan hanya senjata, tapi pengingat bahwa aku datang bukan untuk menyerah.Melissa duduk di
Ruang latihan di bawah tanah vila kini berubah fungsi. Meja panjang di tengahnya penuh dengan peta terperinci, cetakan denah terowongan, senjata yang dibongkar-pasang, dan kotak amunisi. Lampu neon di atas kepala memancarkan cahaya putih dingin, memantulkan kilau logam yang siap menyala kapan saja.Aku berdiri di ujung meja, mengenakan rompi taktis berwarna hitam tanpa lengan, rambutku diikat ketat. Di sekelilingku, suara logam dan klik senjata bercampur dengan aroma pelumas senjata api yang tajam.Vincent menunjuk peta dengan ujung pena laser. “Target utama ada di titik ini—ruang pusat logistik yang berada di lantai dua. Mereka simpan server utama dan alat komunikasi di sana. Ledakkan itu, dan seluruh jaringan internal mereka mati total.”Clara menyambung, “Tiga pintu keluar di permukaan. Dua jalur terowongan Castel di bawah tanah. Kita kunci semua pintu sekunder dulu. Begitu mereka sadar jalur itu tertutup, mereka akan panik. Panik memb