Aku berlari menembus lorong batu dengan jantung yang masih berdetak kacau, menggenggam pisau di tangan kanan seakan itu satu-satunya pegangan dunia nyata. Clara tertinggal beberapa langkah di belakang, tertatih karena hantaman yang ia terima. Asap sisa granat masih menempel di rambut dan pakaianku, meninggalkan bau logam menyengat yang menusuk hidung.
Aku tak berhenti sampai pintu baja menuju ruang kendali terbuka. Begitu aku masuk, semua kepala menoleh—Vincent, beberapa orang anak buah, dan di tengah ruangan, Grayson.
Ia berdiri tegak di depan layar besar, tapi begitu melihat wajahku, matanya berubah. Keras, tajam, dan penuh sesuatu yang tak bisa kuterjemahkan selain amarah murni.
“Apa yang terjadi?” suaranya berat, mengguncang udara.
Aku terengah, mencoba menyusun kata-kata. “Ada penyusup… lorong barat. Dia membawa pisau beracun. Hampir…” Suaraku serak, terhenti. Aku menggigit bibir, menahan gemetar.
Gr
Aku tidak pernah menyukai keheningan. Bagi orang lain, hening bisa menenangkan, tapi bagiku... itu adalah ruang di mana semua kemungkinan buruk berbisik. Dan malam ini, keheningan menjerit lebih keras dari dentuman peluru.Jejak Eleanor lenyap begitu saja.Mobil yang membawanya keluar dari area bentrokan di Nice sudah hangus, ditemukan di sebuah jalur pegunungan. Tubuh pengemudi gosong tak bisa dikenali, dan aku tahu itu bukan Eleanor. Mereka tidak akan membunuhnya dengan cepat. Tidak ketika dia adalah kunci.“Ada kamera lalu lintas di jalur tol timur,” suara Vincent pecah lewat radio di tanganku. “Kami cek rekaman, mobil kedua keluar jalur dan berganti kendaraan. Platnya palsu. Tidak ada wajah yang terekam jelas. Mereka menutup setiap sudut.”Aku menggenggam radio itu terlalu kencang hingga sendi jariku memutih. Mereka pikir bisa menyembunyikan Eleanor dariku? Mereka lupa—aku sudah kehilangan segalanya sekali. Aku tidak akan m
Aku menekan pedal gas sedalam mungkin. Deru mesin mobil terdengar seperti raungan binatang terluka, seolah ikut merasakan kegelisahanku. Jalanan berliku di pegunungan hanya jadi bayangan kabur di mataku. Hanya ada satu hal yang jelas—Eleanor.Sejak laporan masuk melalui radio, jantungku seperti diperas. Ada kontak senjata di gedung tua itu, Vincent sempat kehilangan sinyal radio dengan salah satu tim, dan Eleanor… Eleanor yang seharusnya aman dalam pengawasan, tidak lagi memberi tanda.Aku mengepalkan setir, kulit tanganku memutih. “Bertahanlah,” bisikku pada udara. “Kali ini aku tidak akan terlambat.”Elio duduk di sampingku, wajahnya menegang. “Kami kehilangan visual terakhirnya dua menit setelah baku tembak. Ada gangguan sinyal.”Kata-katanya menusuk dadaku. Jebakan. Seharusnya aku tahu. Seharusnya aku tidak membiarkan Eleanor maju terlalu jauh ke dalam arena itu.Aku menghantam setir dengan kepal
Kabut asap semakin menebal, seakan terowongan itu berubah menjadi labirin hantu. Suara peluru bersahutan, memantul di dinding batu, memekakkan telinga. Aku menunduk di balik pintu mobil, tubuhku menempel erat pada dinginnya logam, sementara jari-jariku menggenggam pistol dengan kaku.“Jangan lepaskan pandanganmu, Eleanor!” teriak Vincent dari sisi lain, tubuhnya setengah keluar jendela sambil membalas tembakan.Aku mengangguk meski ia mungkin tak melihatnya. Dadaku naik-turun cepat, napas pendek-pendek. Setiap detik terasa seperti garis tipis antara hidup dan mati.Dari balik kabut, sosok-sosok hitam bermunculan. Langkah mereka cepat, terlatih, formasi mereka bukan milisi biasa. Aku bisa melihat pantulan lampu senjata di antara kepulan asap, lalu—DOR!Salah satu dari mereka terjatuh, darahnya membasahi lantai terowongan. Tapi jumlah mereka lebih banyak. Terlalu banyak.“Aku hitung ada dua belas,” desis
Udara malam di vila begitu tebal, seakan tiap embusan angin menyimpan rahasia. Aku berdiri di ruang kendali, menatap layar monitor yang menampilkan tiga jalur berbeda—tiga umpan yang sengaja dirancang untuk menjerat pengkhianat yang bersembunyi di antara kami.Vincent berdiri di sampingku, menunjuk ke salah satu jalur. “Informasi pertama: Eleanor akan dibawa keluar menuju safe house di Menton. Jalur kedua: pengiriman senjata dari Marseille. Jalur ketiga: pertemuan rahasia dengan salah satu kontak lama Castel di Monaco.”Clara, meski bahunya masih terluka, mengambil alih koordinasi radio. “Masing-masing jalur hanya diketahui tiga orang berbeda. Begitu salah satunya bocor, kita tahu siapa tikusnya.”Aku menarik napas panjang. “Dan aku… bagian dari umpan pertama.”Grayson menoleh tajam ke arahku, suaranya penuh ketegasan. “Tidak ada perdebatan. Kau ikut karena itu pilihanmu. Tapi ingat, aku tidak akan me
Aku berlari menembus lorong batu dengan jantung yang masih berdetak kacau, menggenggam pisau di tangan kanan seakan itu satu-satunya pegangan dunia nyata. Clara tertinggal beberapa langkah di belakang, tertatih karena hantaman yang ia terima. Asap sisa granat masih menempel di rambut dan pakaianku, meninggalkan bau logam menyengat yang menusuk hidung.Aku tak berhenti sampai pintu baja menuju ruang kendali terbuka. Begitu aku masuk, semua kepala menoleh—Vincent, beberapa orang anak buah, dan di tengah ruangan, Grayson.Ia berdiri tegak di depan layar besar, tapi begitu melihat wajahku, matanya berubah. Keras, tajam, dan penuh sesuatu yang tak bisa kuterjemahkan selain amarah murni.“Apa yang terjadi?” suaranya berat, mengguncang udara.Aku terengah, mencoba menyusun kata-kata. “Ada penyusup… lorong barat. Dia membawa pisau beracun. Hampir…” Suaraku serak, terhenti. Aku menggigit bibir, menahan gemetar.Gr
Udara dini hari terasa berat, seolah dinding vila menyerap bau besi dari darah yang masih menempel di lorong bawah tanah. Aku berjalan sendirian di sepanjang koridor yang diterangi lampu redup. Setiap langkahku menggema, membawaku semakin dekat ke ruang bawah tempat Leonardo Castel dikurung.Aku berhenti di depan pintu baja. Dua penjaga berdiri tegak di sisi kanan dan kiri, wajah mereka tegang. Mereka memberi hormat singkat sebelum membuka pintu.Ruangan itu dingin, lembap, dan hanya diterangi satu lampu gantung kecil. Leonardo duduk di kursi besi dengan tangan terikat rantai, kepalanya tertunduk. Darah kering menodai bajunya, tapi matanya masih menyala penuh perlawanan saat ia menoleh menyadari kehadiranku.“Kau seharusnya membunuhku tadi malam,” katanya serak, suaranya seperti pisau yang diseret di lantai. “Membiarkan aku hidup hanya akan jadi kutukan bagimu, Eleanor.”Aku melangkah pelan, menahan gemuruh dadaku. “Tidak. Ak