(POV Eleanor)
Deru baling-baling helikopter memekakkan telinga, bergetar sampai ke tulang. Udara di dalam kabin sempit itu bercampur bau minyak mesin dan parfum tajam Verena. Tanganku terikat di belakang kursi besi, tubuhku dipaksa duduk tegak, sementara sabuk pengaman melilitku erat.
Aku mencoba mengatur napas. Setiap hembusan udara membawa kesadaran pahit: aku sedang dipindahkan. Entah ke mana, tapi arah hidung helikopter yang condong ke selatan membuatku tahu—ini menuju Italia. Menuju jantung masa lalu yang paling kutolak.
Di seberangku, Verena duduk dengan anggun. Gaun hitamnya terbungkus mantel panjang, rambut pirangnya berkilau meski cahaya lampu kabin redup. Ia menatapku dengan senyum tipis, seperti pemangsa yang menikmati aroma ketakutan mangsanya.
Di sampingnya, Antonio Moretti bersandar santai, kaki disilangkan, matanya tajam meneliti wajahku. Tatapannya tak pernah benar-benar berpindah. Ada ketertarikan aneh di sana—bukan h
(POV Eleanor)Deru baling-baling helikopter memekakkan telinga, bergetar sampai ke tulang. Udara di dalam kabin sempit itu bercampur bau minyak mesin dan parfum tajam Verena. Tanganku terikat di belakang kursi besi, tubuhku dipaksa duduk tegak, sementara sabuk pengaman melilitku erat.Aku mencoba mengatur napas. Setiap hembusan udara membawa kesadaran pahit: aku sedang dipindahkan. Entah ke mana, tapi arah hidung helikopter yang condong ke selatan membuatku tahu—ini menuju Italia. Menuju jantung masa lalu yang paling kutolak.Di seberangku, Verena duduk dengan anggun. Gaun hitamnya terbungkus mantel panjang, rambut pirangnya berkilau meski cahaya lampu kabin redup. Ia menatapku dengan senyum tipis, seperti pemangsa yang menikmati aroma ketakutan mangsanya.Di sampingnya, Antonio Moretti bersandar santai, kaki disilangkan, matanya tajam meneliti wajahku. Tatapannya tak pernah benar-benar berpindah. Ada ketertarikan aneh di sana—bukan h
(POV Grayson)Suara ombak memecah keheningan malam. Kapal selam kecil yang kami gunakan bergetar pelan ketika mesin senyapnya mendorong kami semakin dalam ke perairan Marseille. Lampu merah di dalam kabin menyinari wajah timku—Clara di sebelah kanan, Vincent di kursi depan memantau sonar. Semua bergerak dengan keheningan yang nyaris sakral, hanya suara napas dalam masker oksigen yang terdengar.Aku menatap layar sonar. Bentuk struktur besar mulai muncul—bekas gudang bawah laut, peninggalan perang yang kini digunakan sebagai markas rahasia. Informasi dari jaringan intel Clara jelas: Eleanor disembunyikan di sana, dijaga ketat oleh loyalis Verena dan pasukan bayaran Moretti.Jantungku berdegup kencang, tapi wajahku tetap dingin. Aku sudah terlalu sering melalui operasi semacam ini. Bedanya, kali ini taruhannya bukan wilayah, bukan senjata, bukan kekuasaan. Taruhannya adalah Eleanor.“Sepuluh menit sebelum docking,” bisik Vincent.Aku meraih
(POV Grayson)Udara dini hari terasa dingin, menusuk tulang, tapi kepalaku justru mendidih. Peta, laporan intel, dan foto satelit berceceran di meja ruang taktis. Vincent berdiri di sampingku, tangan bersedekap, sementara Clara menunduk menatap layar laptop dengan wajah tegang.“Ada tiga gudang yang bisa menjadi lokasi penahanan,” ucap Clara, suaranya cepat. “Semuanya di bawah jaringan lama Moretti. Tapi ada tanda aktivitas hanya di satu tempat—kompleks pelabuhan tua di Marseille.”Aku menatap tanda merah yang berkedip di layar. Hatiku berdenyut kencang. Eleanor… apa kau di sana?Vincent mendesah berat. “Masalahnya, itu jebakan yang terlalu jelas. Mereka tahu kita mencari jejak. Mereka ingin kita datang ke sana.”Aku mengepalkan tangan di atas meja hingga kuku-kuku jariku memutih. “Mereka bisa pasang seribu jebakan, Vincent. Aku tidak peduli. Aku tidak akan duduk diam
Udara di ruang bawah tanah itu pengap, berbau logam berkarat bercampur dengan bau darah kering yang menempel di dinding. Tanganku diikat dengan rantai besi pada kursi, kulit pergelangan sudah terluka. Setiap kali aku berusaha bergerak, besi itu menoreh lebih dalam, mengingatkanku bahwa aku bukan lagi Eleanor bebas yang berdiri di sisi Grayson—aku hanyalah tawanan, pion yang mereka coba bentuk.Verena duduk di depanku, anggun dengan gaun hitam panjangnya. Satu kaki disilangkan di atas kaki yang lain, segelas anggur di tangannya. Matanya menatapku seperti predator yang menunggu mangsa kelelahan.“Lucien dulu selalu berkata darah Castel tak akan pernah mati,” ucapnya pelan, seakan mengulang doa lama. “Dan kau, Eleanor, adalah bukti hidupnya. Cantik, keras kepala, dan—sayangnya—lahir dari pengkhianatan.”Aku tidak menjawab. Aku tahu apa yang ia inginkan: membuatku membela diri, membuatku menyerahkan satu celah emosi yang bis
Pov : GraysonMalam ini suhu udara begitu panas, panas seperti hatiku. Sudah beberapa hari aku dan tim mencari titik dimana Eleanor dibawah. Namun, perjuangan kami belum juga membuahkan hasil.Tanganku mengepal, menghantam meja hingga kayunya retak. “Di mana kau, Eleanor…”Hening.Lalu, perlahan, aku duduk. Napasku berat, tapi otakku bekerja keras. Jika ini permainan Verena, maka dia tidak akan membunuh Eleanor begitu cepat. Dia terlalu menikmati siksaan, terlalu mencintai permainan kuasa. Itu berarti Eleanor masih hidup.Masih bisa kuselamatkan.Aku menarik peta digital, membuka jalur pelarian yang kemungkinan digunakan Verena. Dari pengalaman bertahun-tahun berhadapan dengannya, aku tahu ia selalu memilih tempat yang punya makna simbolis—lokasi yang bisa memperkuat egonya.Salah satunya: reruntuhan vila Castel di utara Nice.Aku menyipitkan mata, menandai titik itu. “Kau ingin m
Cahaya lampu redup menyorotiku dari atas, membuat bayangan rantai yang menggantung di tanganku menari di dinding batu. Udara di ruangan itu lembap, berbau karat bercampur darah. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku di sini—jam, atau mungkin hari—karena waktu seakan kehilangan artinya ketika setiap detik adalah siksaan.Verena berdiri di hadapanku, matanya tajam bagai kaca pecah. Ia tak puas meski tubuhku sudah penuh memar. Ia haus sesuatu yang lebih—pengakuan. “Kau bisa menghentikan semua ini,” bisiknya, suaranya licin seperti racun. “Ucapkan saja bahwa kau bagian dari kami. Castel tidak mati. Kau adalah warisan itu.”Aku mendongak, meski wajahku berat karena lebam. “Kau salah. Castel mati di saat ayahku memilih cinta, bukan darah. Dan aku mewarisi keberanian itu, bukan warisanmu.”Tawa tipisnya pecah, melengking, lalu mendadak hilang. Ia menamparku sekali lagi, keras, hingga kursi tempatku diikat bergeser. &