Malam berikutnya datang dengan lebih sunyi daripada sebelumnya. Hanya desiran angin yang menembus celah dinding batu, membawa bau lembap bercampur besi tua. Aku duduk di lantai dingin dengan rantai yang masih membelenggu pergelangan, menatap baut karatan yang sudah menjadi obsesi baruku.
Hari ini aku tidak banyak bicara dengan siapa pun. Bahkan ketika penjaga melemparkan roti basi dan air ke dalam sel, aku hanya diam. Aku ingin mereka percaya aku sudah mulai menyerah, pasrah pada keadaan. Padahal sebaliknya—malam ini aku siap bertaruh nyawa.
Aku kembali mengeluarkan benda kecil yang kusimpan: potongan besi runcing dari kerangka ranjang, yang berhasil kulepas diam-diam pagi tadi. Potongan itu lebih kuat daripada tutup botol kemarin, dan aku tahu ini satu-satunya senjata sekaligus kunci yang kumiliki.
Dengan hati-hati, aku menyelipkan ujungnya ke celah baut. Tarikan pertama masih kaku, tapi kemudian aku menemukan sudut yang tepat. Aku menekan lebih keras, ra
POV GraysonUdara di aula seketika berubah. Hening yang baru saja kuraih setelah menjatuhkan Antonio pecah oleh derap langkah sepatu berat. Pintu samping terbuka lebar, dan belasan pria bersenjata masuk, senjata otomatis terangkat, cahaya lampu dari luar memantul di laras mereka.Verena berdiri di atas podium, wajahnya pucat tapi matanya berkilau puas. Dia mengangkat pisau yang masih berlumuran darah ke udara, lalu menunjuk ke arahku.“Bunuh dia!”Suara teriakannya menggema, memicu gelombang kematian.Aku meraih Eleanor sekilas dengan tatapanku. Dia masih terikat di tiang, tubuhnya gemetar, matanya melebar saat melihat laras senjata diarahkan ke arahku. Napasnya terputus-putus, tapi aku bisa membaca satu hal jelas di sana jangan menyerah.Markus muncul dari balik pintu yang kami dobrak sebelumnya, darah mengalir di pelipisnya tapi senapannya masih di tangannya. “GRAY!” teriaknya, lalu
POV GraysonPeluruku melesat, menghantam udara dengan kecepatan kilat. Tapi Verena terlalu cepat—dia mendorong Eleanor ke samping, pisau hampir terlepas dari tangannya. Eleanor terhuyung, terjerembab ke lantai marmer yang berlumur debu dan darah.Suara raungan menggema dari seberang. Antonio. Matanya membara, wajahnya merah karena amarah dan rasa sakit. Bahunya masih berdarah dari tembakanku sebelumnya, tapi dia tidak peduli. Dengan satu geraman, ia melempar pistolnya ke lantai dan menerjangku.Benturan tubuh kami terdengar keras. Aku terhempas ke belakang, punggung menghantam pilar dingin. Nafasku terputus sejenak, tapi aku menangkis tinjunya yang meluncur ke wajahku. Tinju keras itu menghantam telapak tanganku, kekuatannya seperti palu.“Dia milikku, Blake!” raungnya.Aku membalas dengan kepala menghantam wajahnya. Darah segar mengucur dari hidungnya, tapi Antonio hanya terkekeh miring. Tangannya mencengkeram le
POV GraysonAsap menelan ruangan, membuat setiap langkah terasa seperti menembus kabut neraka. Suara tembakan bergaung di segala arah, bercampur dengan jeritan dan hantaman tubuh yang tumbang. Bau mesiu menusuk hidung, darah yang tumpah di lantai marmer berkilau samar di bawah cahaya lampu darurat yang berkelip-kelip.Mataku menyapu kabut. Eleanor. Aku harus menemukannya. Suaranya barusan masih terngiang di telingaku, jeritan yang menusuk sampai ke tulang.“Gray! Kananmu!” teriak Clara.Aku berbalik cepat, menembak dua bayangan yang muncul dari asap. Tubuh mereka jatuh dengan bunyi berat, senjata terlepas dari tangan. Markus di sisi lain berteriak liar, pisaunya menebas leher salah satu penjaga.Aku melangkah ke depan, napasku berat. Dan di sana, melalui kabut yang menipis, aku melihat mereka.Antonio Moretti—tinggi, gagah, dengan senyum sinis yang mengiris. Tangannya masih berlumuran darah segar, pistolnya diarahkan entah k
POV EleanorPelipisku masih terasa dingin oleh moncong pistol Antonio. Logamnya menusuk kulit, menempel begitu erat hingga aku hampir bisa merasakan getarannya saat ia bernapas di belakangku. Tangannya mencengkeram bahuku, keras, kasar, seakan aku hanya mainan yang siap dipatahkan.Aula Castel dipenuhi cahaya lampu kristal yang menyilaukan, berkilau di atas lantai marmer putih yang ternodai darah dari beberapa penjaga yang tumbang. Bau mesiu tipis bercampur dengan aroma parfum tajam Verena, yang berdiri anggun di ujung ruangan, menatap Grayson seperti seorang ratu iblis menunggu persembahan.Aku ingin berteriak, ingin melawan, tapi rantai besi di pergelangan tanganku terlalu ketat. Tubuhku sakit—memar, goresan, dan rasa perih yang menusuk di setiap inci kulit. Tapi yang paling menyiksa adalah rasa takut yang menekan dadaku.Takut kehilangan satu-satunya orang yang kini menatapku dengan sorot mata penuh janji.Grayson.
POV GraysonAsap memenuhi aula, menelan cahaya lampu kristal dan jeritan para tamu undangan yang berubah jadi panik. Suara tembakan menggema, bercampur dengan suara besi jatuh dan teriakan terputus.Aku bergerak cepat, menarik pelatuk lagi—satu penjaga terjatuh, darahnya membasahi lantai marmer. Markus sudah menjadi badai di sisi kiri, pisau dan peluru bergantian menumbangkan musuh. Clara menutupi sisi kanan, setiap tembakannya presisi.“Vincent, arah jam dua!” teriakku.Dia segera menembak, seorang pria berjas jatuh dari balkon dengan tubuh terjerembab keras.Namun pikiranku hanya terfokus pada satu titik: Eleanor.Kabut asap membuat pandanganku kabur, tapi aku tahu dia ada di tengah aula, masih diikat di kursi itu. Aku bergerak maju, menembak dua pria yang berlari ke arahnya.“Clara, lindungi belakang!”“Aku tahu!” balasnya cepat.Sebuah peluru hampir mengenai kepalaku. Aku menunduk, meluncur ke balik meja panjang. Kaca pecah berhamburan saat meja itu roboh. Darah berdesir cepat di
POV GraysonCahaya menyilaukan dari lampu gantung kristal memukul wajahku begitu pintu aula terbuka. Ruangan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan dinding batu tua berukir lambang Castel. Musik klasik mengalun dari gramofon di sudut, terdengar kontras dengan suasana penuh ketegangan.Puluhan pria berdiri melingkar, gelas anggur di tangan, tawa kasar mereka menusuk telinga. Mereka bukan tamu biasa—mereka adalah loyalis Castel dan Moretti, orang-orang yang hidup dari darah dan perdagangan kotor.Dan di tengah lingkaran itu… Eleanor.Dia diikat ke kursi kayu, rantai besi mengikat pergelangan tangannya. Gaun yang ia kenakan sudah compang-camping, sobek di sisi dada dan lengan. Wajahnya memar, bibir pecah, tapi matanya—mata itu tetap membara. Ia tidak menangis, tidak memohon. Ia hanya menatap lurus ke depan, dengan tatapan yang lebih tajam dari belati.Aku menahan napas. Seluruh dunia seakan menyempit hanya pada sosok itu.“Lihatlah,” suara perempuan dingin menggema.Verena Callisto me