POV Grayson
Suara langkah berat perlahan memudar di koridor saat beberapa orang keluar untuk menyiapkan perlengkapan. Aku masih berdiri di tengah ruang bawah tanah, kedua tanganku menekan meja dingin penuh peta. Cahaya lampu gantung berayun pelan di atas kepala, menimbulkan bayangan panjang yang menari di dinding bata tua. Bayangan itu seolah memperlihatkan wajah Eleanor yang memudar setiap detik aku terlambat.
Aku tidak bisa membiarkan waktu menjadi musuhku.
“Gray.” Suara Vincent memecah lamunanku. Dia mendekat, menaruh tablet di meja lagi. “Aku sudah minta orangku menyiapkan rute transportasi. Kita bisa berangkat dalam dua belas jam. Jet pribadi sudah siap di hanggar.”
“Dua belas jam terlalu lama,” sahutku cepat, mataku menatap tajam. “Kita harus berangkat malam ini.”
Vincent menghela napas. “Kalau berangkat malam ini, persiapan amunisi tidak sempurna. Logistik juga b
POV GraysonPeluruku melesat, menghantam udara dengan kecepatan kilat. Tapi Verena terlalu cepat—dia mendorong Eleanor ke samping, pisau hampir terlepas dari tangannya. Eleanor terhuyung, terjerembab ke lantai marmer yang berlumur debu dan darah.Suara raungan menggema dari seberang. Antonio. Matanya membara, wajahnya merah karena amarah dan rasa sakit. Bahunya masih berdarah dari tembakanku sebelumnya, tapi dia tidak peduli. Dengan satu geraman, ia melempar pistolnya ke lantai dan menerjangku.Benturan tubuh kami terdengar keras. Aku terhempas ke belakang, punggung menghantam pilar dingin. Nafasku terputus sejenak, tapi aku menangkis tinjunya yang meluncur ke wajahku. Tinju keras itu menghantam telapak tanganku, kekuatannya seperti palu.“Dia milikku, Blake!” raungnya.Aku membalas dengan kepala menghantam wajahnya. Darah segar mengucur dari hidungnya, tapi Antonio hanya terkekeh miring. Tangannya mencengkeram le
POV GraysonAsap menelan ruangan, membuat setiap langkah terasa seperti menembus kabut neraka. Suara tembakan bergaung di segala arah, bercampur dengan jeritan dan hantaman tubuh yang tumbang. Bau mesiu menusuk hidung, darah yang tumpah di lantai marmer berkilau samar di bawah cahaya lampu darurat yang berkelip-kelip.Mataku menyapu kabut. Eleanor. Aku harus menemukannya. Suaranya barusan masih terngiang di telingaku, jeritan yang menusuk sampai ke tulang.“Gray! Kananmu!” teriak Clara.Aku berbalik cepat, menembak dua bayangan yang muncul dari asap. Tubuh mereka jatuh dengan bunyi berat, senjata terlepas dari tangan. Markus di sisi lain berteriak liar, pisaunya menebas leher salah satu penjaga.Aku melangkah ke depan, napasku berat. Dan di sana, melalui kabut yang menipis, aku melihat mereka.Antonio Moretti—tinggi, gagah, dengan senyum sinis yang mengiris. Tangannya masih berlumuran darah segar, pistolnya diarahkan entah k
POV EleanorPelipisku masih terasa dingin oleh moncong pistol Antonio. Logamnya menusuk kulit, menempel begitu erat hingga aku hampir bisa merasakan getarannya saat ia bernapas di belakangku. Tangannya mencengkeram bahuku, keras, kasar, seakan aku hanya mainan yang siap dipatahkan.Aula Castel dipenuhi cahaya lampu kristal yang menyilaukan, berkilau di atas lantai marmer putih yang ternodai darah dari beberapa penjaga yang tumbang. Bau mesiu tipis bercampur dengan aroma parfum tajam Verena, yang berdiri anggun di ujung ruangan, menatap Grayson seperti seorang ratu iblis menunggu persembahan.Aku ingin berteriak, ingin melawan, tapi rantai besi di pergelangan tanganku terlalu ketat. Tubuhku sakit—memar, goresan, dan rasa perih yang menusuk di setiap inci kulit. Tapi yang paling menyiksa adalah rasa takut yang menekan dadaku.Takut kehilangan satu-satunya orang yang kini menatapku dengan sorot mata penuh janji.Grayson.
POV GraysonAsap memenuhi aula, menelan cahaya lampu kristal dan jeritan para tamu undangan yang berubah jadi panik. Suara tembakan menggema, bercampur dengan suara besi jatuh dan teriakan terputus.Aku bergerak cepat, menarik pelatuk lagi—satu penjaga terjatuh, darahnya membasahi lantai marmer. Markus sudah menjadi badai di sisi kiri, pisau dan peluru bergantian menumbangkan musuh. Clara menutupi sisi kanan, setiap tembakannya presisi.“Vincent, arah jam dua!” teriakku.Dia segera menembak, seorang pria berjas jatuh dari balkon dengan tubuh terjerembab keras.Namun pikiranku hanya terfokus pada satu titik: Eleanor.Kabut asap membuat pandanganku kabur, tapi aku tahu dia ada di tengah aula, masih diikat di kursi itu. Aku bergerak maju, menembak dua pria yang berlari ke arahnya.“Clara, lindungi belakang!”“Aku tahu!” balasnya cepat.Sebuah peluru hampir mengenai kepalaku. Aku menunduk, meluncur ke balik meja panjang. Kaca pecah berhamburan saat meja itu roboh. Darah berdesir cepat di
POV GraysonCahaya menyilaukan dari lampu gantung kristal memukul wajahku begitu pintu aula terbuka. Ruangan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan dinding batu tua berukir lambang Castel. Musik klasik mengalun dari gramofon di sudut, terdengar kontras dengan suasana penuh ketegangan.Puluhan pria berdiri melingkar, gelas anggur di tangan, tawa kasar mereka menusuk telinga. Mereka bukan tamu biasa—mereka adalah loyalis Castel dan Moretti, orang-orang yang hidup dari darah dan perdagangan kotor.Dan di tengah lingkaran itu… Eleanor.Dia diikat ke kursi kayu, rantai besi mengikat pergelangan tangannya. Gaun yang ia kenakan sudah compang-camping, sobek di sisi dada dan lengan. Wajahnya memar, bibir pecah, tapi matanya—mata itu tetap membara. Ia tidak menangis, tidak memohon. Ia hanya menatap lurus ke depan, dengan tatapan yang lebih tajam dari belati.Aku menahan napas. Seluruh dunia seakan menyempit hanya pada sosok itu.“Lihatlah,” suara perempuan dingin menggema.Verena Callisto me
POV EleanorPintu besar dengan ukiran singa Castel berderit terbuka. Suara itu menusuk telingaku seperti lonceng kematian. Rantai besi yang menjerat tanganku bergetar ketika aku berusaha meredam napas. Seluruh tubuhku gemetar, bukan hanya karena luka yang belum sembuh, tapi juga karena firasat buruk yang menggantung di udara.Aula utama villa Castel menyambut dengan cahaya berlebihan. Lampu kristal raksasa bergantung dari langit-langit, memantulkan sinar emas ke dinding batu kuno. Di sepanjang sisi ruangan, meja panjang dipenuhi botol anggur, piala perak, dan lilin yang masih menyala. Seolah ini bukan tempat penyiksaan, melainkan pesta bangsawan.Tapi yang membuat perutku mual adalah pandangan puluhan pasang mata yang mengarah padaku. Orang-orang Castel. Orang-orang Moretti. Aliansi berdarah itu kini berkumpul, menatapku seakan aku hanya boneka pertunjukan.Dan di tengah aula, di atas panggung kayu kecil yang sengaja dipasang, Ve