POV Eleanor
Udara dipenuhi asap dan bau mesiu yang menusuk, membuat paru-paruku terasa terbakar setiap kali menarik napas. Tubuhku masih gemetar dalam pelukan Grayson ketika ia menarikku melewati koridor sempit yang dipenuhi reruntuhan batu. Suara ledakan tadi masih menggema di telinga, bercampur dengan teriakan orang-orang Castel yang mengejar dari belakang.
Aku hampir tersandung saat kakiku menimpa pecahan kaca, tapi Grayson meraih pinggangku lebih erat. “Tetap bersamaku, Eleanor!” suaranya terdengar garang, penuh tekad.
Aku mengangguk, meski suaraku tercekat. “Aku… aku bersamamu.”
Koridor itu seakan tak berujung. Batu-batu tua menjulang di kedua sisi, dihiasi ukiran lambang Castel yang kini dipenuhi debu dan retakan. Ironis. Dinding yang dulu menjadi simbol kebanggaan kini jadi labirin neraka yang menahan napas kami.
Clara menyusul di belakang, tembakannya berulang kali menghentikan musuh yang mend
POV EleanorDentuman peluru menggema, memantul di dinding batu kapel tua itu, bercampur dengan jeritan, suara teriakan, dan denting kaca pecah. Lampu gantung berayun liar, sebagian kristalnya pecah, jatuh berhamburan di lantai, memantulkan kilatan cahaya dari moncong senjata.Aku menunduk, merapat pada dinding pilar marmer yang dingin, napasku memburu. Grayson bergerak di depan, tubuhnya kaku, lincah, seperti bayangan yang tahu betul medan ini. Markus meraung di sisi lain, menumbangkan musuh dengan kekuatan brutalnya. Clara menembak tepat sasaran, gerakannya dingin dan presisi.Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Pasukan Castel berhamburan dari setiap pintu, mengurung kami di tengah kapel seperti binatang buruan.Verena berdiri di balkon, wajahnya memerah oleh amarah. “Habisi mereka! Jangan biarkan satu pun keluar hidup-hidup!” teriaknya.Antonio tidak ikut berteriak. Dia hanya berdiri dengan tenang di sampingnya, satu t
POV EleanorUdara dipenuhi asap dan bau mesiu yang menusuk, membuat paru-paruku terasa terbakar setiap kali menarik napas. Tubuhku masih gemetar dalam pelukan Grayson ketika ia menarikku melewati koridor sempit yang dipenuhi reruntuhan batu. Suara ledakan tadi masih menggema di telinga, bercampur dengan teriakan orang-orang Castel yang mengejar dari belakang.Aku hampir tersandung saat kakiku menimpa pecahan kaca, tapi Grayson meraih pinggangku lebih erat. “Tetap bersamaku, Eleanor!” suaranya terdengar garang, penuh tekad.Aku mengangguk, meski suaraku tercekat. “Aku… aku bersamamu.”Koridor itu seakan tak berujung. Batu-batu tua menjulang di kedua sisi, dihiasi ukiran lambang Castel yang kini dipenuhi debu dan retakan. Ironis. Dinding yang dulu menjadi simbol kebanggaan kini jadi labirin neraka yang menahan napas kami.Clara menyusul di belakang, tembakannya berulang kali menghentikan musuh yang mend
POV GraysonUdara di aula seketika berubah. Hening yang baru saja kuraih setelah menjatuhkan Antonio pecah oleh derap langkah sepatu berat. Pintu samping terbuka lebar, dan belasan pria bersenjata masuk, senjata otomatis terangkat, cahaya lampu dari luar memantul di laras mereka.Verena berdiri di atas podium, wajahnya pucat tapi matanya berkilau puas. Dia mengangkat pisau yang masih berlumuran darah ke udara, lalu menunjuk ke arahku.“Bunuh dia!”Suara teriakannya menggema, memicu gelombang kematian.Aku meraih Eleanor sekilas dengan tatapanku. Dia masih terikat di tiang, tubuhnya gemetar, matanya melebar saat melihat laras senjata diarahkan ke arahku. Napasnya terputus-putus, tapi aku bisa membaca satu hal jelas di sana jangan menyerah.Markus muncul dari balik pintu yang kami dobrak sebelumnya, darah mengalir di pelipisnya tapi senapannya masih di tangannya. “GRAY!” teriaknya, lalu
POV GraysonPeluruku melesat, menghantam udara dengan kecepatan kilat. Tapi Verena terlalu cepat—dia mendorong Eleanor ke samping, pisau hampir terlepas dari tangannya. Eleanor terhuyung, terjerembab ke lantai marmer yang berlumur debu dan darah.Suara raungan menggema dari seberang. Antonio. Matanya membara, wajahnya merah karena amarah dan rasa sakit. Bahunya masih berdarah dari tembakanku sebelumnya, tapi dia tidak peduli. Dengan satu geraman, ia melempar pistolnya ke lantai dan menerjangku.Benturan tubuh kami terdengar keras. Aku terhempas ke belakang, punggung menghantam pilar dingin. Nafasku terputus sejenak, tapi aku menangkis tinjunya yang meluncur ke wajahku. Tinju keras itu menghantam telapak tanganku, kekuatannya seperti palu.“Dia milikku, Blake!” raungnya.Aku membalas dengan kepala menghantam wajahnya. Darah segar mengucur dari hidungnya, tapi Antonio hanya terkekeh miring. Tangannya mencengkeram le
POV GraysonAsap menelan ruangan, membuat setiap langkah terasa seperti menembus kabut neraka. Suara tembakan bergaung di segala arah, bercampur dengan jeritan dan hantaman tubuh yang tumbang. Bau mesiu menusuk hidung, darah yang tumpah di lantai marmer berkilau samar di bawah cahaya lampu darurat yang berkelip-kelip.Mataku menyapu kabut. Eleanor. Aku harus menemukannya. Suaranya barusan masih terngiang di telingaku, jeritan yang menusuk sampai ke tulang.“Gray! Kananmu!” teriak Clara.Aku berbalik cepat, menembak dua bayangan yang muncul dari asap. Tubuh mereka jatuh dengan bunyi berat, senjata terlepas dari tangan. Markus di sisi lain berteriak liar, pisaunya menebas leher salah satu penjaga.Aku melangkah ke depan, napasku berat. Dan di sana, melalui kabut yang menipis, aku melihat mereka.Antonio Moretti—tinggi, gagah, dengan senyum sinis yang mengiris. Tangannya masih berlumuran darah segar, pistolnya diarahkan entah k
POV EleanorPelipisku masih terasa dingin oleh moncong pistol Antonio. Logamnya menusuk kulit, menempel begitu erat hingga aku hampir bisa merasakan getarannya saat ia bernapas di belakangku. Tangannya mencengkeram bahuku, keras, kasar, seakan aku hanya mainan yang siap dipatahkan.Aula Castel dipenuhi cahaya lampu kristal yang menyilaukan, berkilau di atas lantai marmer putih yang ternodai darah dari beberapa penjaga yang tumbang. Bau mesiu tipis bercampur dengan aroma parfum tajam Verena, yang berdiri anggun di ujung ruangan, menatap Grayson seperti seorang ratu iblis menunggu persembahan.Aku ingin berteriak, ingin melawan, tapi rantai besi di pergelangan tanganku terlalu ketat. Tubuhku sakit—memar, goresan, dan rasa perih yang menusuk di setiap inci kulit. Tapi yang paling menyiksa adalah rasa takut yang menekan dadaku.Takut kehilangan satu-satunya orang yang kini menatapku dengan sorot mata penuh janji.Grayson.