Aku menatap kartu itu lama. Dunia rasanya berhenti sejenak. Karena jika Antonio sudah mulai mengirim peringatan langsung padaku, itu artinya semua permainan halus sudah selesai.
Ini bukan lagi soal pengkhianatan dalam bayangan.
Ini adalah pengumuman perang.
Aku kembali duduk di ranjang dengan napas berat. Di luar, malam semakin larut. Tapi di dalam dadaku, alarm bahaya sudah berbunyi nyaring.
Aku membuka pesan Damien sekali lagi.
"Jangan tidur terlalu nyenyak malam ini. Segalanya baru saja dimulai."
Dan aku membalas:
"Aku tak pernah tidur nyenyak sejak hari pertama aku menjadi istri Grayson Blake."
**
Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Langit vila kelabu, seolah tahu bahwa sesuatu sedang mengendap di balik dinding-dinding megah ini. Aku menatap kartu logam yang semalam kuterima, masih kusimpan di saku mantelku. Satu kalimat dari Antonio Moretti cukup untuk membuat dadaku sesak semalaman.
"Perhit
Malam belum sepenuhnya larut saat aku turun ke dapur kecil untuk mengambil air hangat. Damien sudah ada di sana. Duduk di kursi bar sambil membaca sesuatu di tablet, dengan jaket pelatihan masih dikenakan separuh bahunya.Begitu melihatku, dia langsung berdiri.“Kau tidak tidur?”Aku menggeleng, lalu duduk di kursi sebelahnya. “Tak bisa. Terlalu banyak pikiran.”Damien tak berkata apa-apa, tapi dia menuangkan air ke cangkirku tanpa diminta. Lalu menyodorkannya dengan satu senyum kecil yang hangat—bukan senyum yang menginginkan sesuatu, hanya... senyum seseorang yang ingin kau percayai.“Besok kau tidak dijadwalkan latihan. Aku suruh Livia beri hari bebas.”Aku menatapnya. “Kau benar-benar... seperti tahu kapan aku butuh ruang napas.”“Karena aku memperhatikan,” jawabnya tanpa keraguan. “Seseorang harus.”Pernyataannya membuat dadaku sesak.Kare
Peluru pertama meleset.Bahkan tidak menyentuh tepi boneka sasaran.“Aku pikir sudah cukup lihai setelah menembak penyerang waktu itu,” gumamku sambil menurunkan senjata.Damien tertawa kecil dari belakang. “Insting itu beda dengan akurasi. Hari ini kita latih bagian yang kedua.”Aku berdiri tegak kembali. Di hadapanku berdiri tiga boneka dengan rompi pelindung, dipasang di rel mekanik yang bisa bergerak cepat ke kiri dan kanan. Jarak tembak sekitar lima belas meter. Tidak terlalu jauh. Tapi cukup menantang untuk akurasi.Tanganku kembali mengangkat pistol. Tapi goyangan kecil di pergelangan terasa. Dan sebelum aku menarik pelatuk lagi, Damien sudah berdiri di belakangku.“Boleh?” tanyanya, suaranya rendah dan nyaris menyentuh telingaku.Aku mengangguk pelan, tak menoleh.Tangannya perlahan menyentuh sikuku, memperbaiki sudut. Satu tangannya lagi menyentuh jemariku di gagang pistol.&l
Sudah tiga hari sejak aku menarik pelatuk itu.Tiga hari sejak darah pertama menyentuh tanganku.Tiga hari sejak Grayson mulai benar-benar menjauh.Bukan menjauh secara fisik—dia masih muncul di meja makan, masih memberi perintah dengan nada dinginnya yang biasa. Tapi tidak ada lagi percakapan sepatah dua patah kata di lorong, tidak ada lagi tatapan yang bertahan lebih dari tiga detik.Dan yang paling kurasakan…tidak ada lagi dirinya yang menungguku pulang dari ruang latihan.Aku merindukan jarak yang dulu terasa dekat meski tak ada pelukan. Sekarang, jarak itu bukan sekadar diam.Sekarang, itu... retakan.Damien menatapku dari seberang ruangan latihan pagi ini. Kami sedang istirahat setelah sesi tinju ringan.“Bagaimana rasanya sekarang?” tanyanya.“Kau tahu aku tidak akan menjawab itu.”Ia tertawa pelan. “Kupikir kau sudah mulai terbiasa.”“Ak
Pagi datang dengan udara dingin yang tak biasa.Vila dipenuhi langkah kaki. Drone melayang di langit. Sistem keamanan ditingkatkan dua kali lipat.Tapi aku tahu, tidak ada tembok yang benar-benar bisa mencegah kematian jika dia sudah memanggil namamu.Dan hari ini... namaku dipanggil.Damien menemaniku ke ruang latihan bawah tanah pagi itu. Tapi dia tidak membawakan sarung tangan latihan atau bantalan pelindung seperti biasanya.Yang dia bawa... sebilah pisau lipat dan pistol kecil dengan peluru berlapis titanium.“Apa ini pelatihan?” tanyaku, menatap senjata di atas meja.“Bukan,” sahutnya pendek. “Ini simulasi nyata.”Jantungku berdetak lebih cepat.Grayson muncul beberapa menit kemudian, diam-diam.Ia tidak berkata apa pun, hanya berdiri di sudut ruangan dan menyilangkan tangan di depan dada. Tapi tatapannya tak pernah lepas dariku.Damien mulai menjelaskan.&ld
Aku tahu dia akan datang.Grayson selalu tahu. Selalu mengamati. Tak perlu CCTV atau pelapor—dia bisa membaca udara di vila ini seperti membaca napas musuhnya.Dan sore itu, langkah kakinya terdengar pelan tapi tajam di lorong.Aku masih di ruang rapat. Para kepala divisi sudah pergi, satu per satu, dengan sorot mata yang berbeda dari saat mereka masuk.Sekarang ruangan ini kosong.Kecuali aku, dan pintu yang sebentar lagi akan terbuka.Klik.Dan benar saja.Grayson melangkah masuk. Tanpa Damien. Tanpa pengawal. Hanya tubuh tinggi itu dalam balutan hitam, dan mata kelam yang menyimpan badai.Dia menutup pintu.Dan menatapku.Aku berdiri. Tapi tidak bicara.Aku menunggunya lebih dulu. Karena kali ini… aku tahu, bukan aku yang harus membuktikan apa pun.“Kau mengumpulkan mereka semua?” tanyanya pelan.Aku mengangguk. “Aku harus bicara sebelum rumor membunuhk
Pagi datang dengan langit biru pucat seperti tak peduli pada badai semalam. Tapi aku tahu… ketenangan ini hanya lapisan tipis sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi.Aku baru saja selesai mengenakan pakaian latihan ketika Livia mengetuk pintu."Ada paket untuk Anda, Nona Eleanor."Paket?Aku membuka pintu dan menerima kotak kecil berbalut kertas merah tua, dengan pita hitam di atasnya. Tidak ada nama pengirim. Tapi ketika aku menatap bentuk tulisan di bagian atas—huruf ‘E’ bergaya klasik dan rapi—aku langsung tahu.Verena.Aku membuka paket itu perlahan.Isinya hanya dua benda:Sebuah bros dari emas putih, berbentuk ular melilit mawar hitam.Dan secarik kertas kecil dengan tulisan tangan:“Kau bisa memeluk singa, tapi jangan lupa... siapa yang menyiramkan darah ke cakarnya pertama kali.”—VTanganku menggenggam kertas itu erat. Mata pe