Perjalanan malam menuju tempat pelatihan seperti perjalanan menuju dunia lain. Kota pelabuhan tertinggal jauh di belakang, digantikan dengan hutan pinus yang membungkus jalanan sempit berliku. Tidak ada lampu jalan. Hanya sorot mobil Vincent yang menerobos gelap seperti peluru.Setelah satu jam, kami tiba di depan bangunan beton tersembunyi di balik ladang kosong. Sekilas terlihat seperti gudang tua. Tapi saat pintunya dibuka, semuanya berubah.Ruangan luas dengan dinding kedap suara. Lantai empuk. Cermin lebar di satu sisi. Rak senjata di sisi lain. Dan seorang wanita tinggi berambut pendek yang menunggu di tengah ruangan.“Ini dia?” tanya wanita itu pada Vincent.Vincent mengangguk. “Eleanor Hayes.”Wanita itu tersenyum tipis. “Kau terlihat lebih kurus dari yang kubayangkan.”Aku diam.“Namaku Clara. Pelatih tangan kosong. Mantan CIA. Aku tidak peduli siapa kau, siapa suamimu, atau berapa ba
Aku memutuskan berjalan kembali ke gang sempit di belakang pasar tua, tempat Ana pernah memberitahuku ada penginapan bayangan yang murah. Bukan hostel resmi, lebih seperti kamar yang disewakan diam-diam untuk mereka yang tak ingin dicari.Aku menemukan rumahnya. Pintu tua dengan bel rusak dan lampu merah kusam di atasnya. Seorang wanita berambut kelabu membukakan pintu. Ia menatapku dari atas ke bawah, lalu berkata pelan, “Malam. Bayar tunai. Tidak ada nama. Tidak ada tanya-tanya.”Aku mengangguk.Kamar yang ia berikan hanya berisi ranjang sempit dan jendela kecil. Tapi aku bersyukur. Setidaknya, malam ini aku punya atap.Aku rebahkan tubuhku perlahan, dan untuk pertama kalinya sejak meninggalkan vila… aku menangis. Tanpa suara. Tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena lelah. Mungkin karena takut. Atau mungkin karena aku tak tahu siapa sebenarnya diriku sekarang.Tapi satu hal yang pasti—aku tidak akan kembali.Aku ak
Aku tak tahu berapa lama aku berjalan.Langit mulai memudar ke abu-abu saat fajar menjelang. Jalanan berbatu yang kulalui sepi, hanya sesekali terdengar suara burung hantu yang tersisa di antara pepohonan. Rambutku berantakan, ransel kecilku semakin berat di pundak, dan setiap langkah terasa seperti perjudian. Tapi setidaknya, aku masih hidup.Dan itu… lebih dari cukup untuk saat ini.Aku menyusuri jalan tanah hingga menemukan sebuah kota kecil yang tertidur. Tak banyak kendaraan lalu lalang, hanya toko roti dengan pintu setengah terbuka dan pom bensin tua dengan bangku berkarat. Aku menyembunyikan wajah di balik hoodie dan masuk ke kedai kopi yang baru buka.Barista tak banyak tanya. Hanya memberikan secangkir kopi hangat dan roti kering setelah aku menyodorkan uang tunai. Mungkin aku terlihat seperti mahasiswa kabur, atau turis tersesat. Apa pun itu, aku bersyukur.Setelah makan, aku membuka amplop dari Damien. Di dalamnya, selain uang, ad
Mentari menembus celah-celah tirai menerpa wajahku. Aku bangun dengan perasaan yang tidak seperti biasanya. Perasaan yang sulit diartikan. Sikap Grayson yang semakin membuatku tak yakin harus terus berada disisinya. Semenjak ciumannya yang penuh amarah itu, ia malah menjauhiku dengan alasan aku akan menghancurkan dirinya.Meski aku juga begitu marah dengan sikapnya yang takku inginkan. Suara dalam kepalaku—yang terus menerus berbisik bahwa aku harus pergi, sebelum semuanya terlambat.Jika aku menjadi kelemahan Grayson dan menjadi target Moretti, lebih baik aku segera pergi dari sini. Sehingga Grayson bisa menjaga keutuhan posisinya yang kuat dan tak terkalahkan.Kini kau tak akan mendapatkan kelemahan lagi Gray… Aku akan pergi.Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu mendekati meja kayu kecil di samping tempat tidur, membuka laci kedua—di sana aku menyembunyikan peta lama area vila. Cetakan yang berhasil kudapatkan diam-diam dari perpustakaan bawah, saat Dami
“Kamu belumTidur?” tanyanya datar.Aku menggeleng.Ia diam sejenak, lalu menyerahkan secarik kertas kepadaku. “Ini... catatan komunikasi terakhir dari Dion. Kode pesan mereka tak semudah sebelumnya.”Aku mengambilnya. “Kenapa kau kasih padaku?”“Karena aku tahu kau ingin tahu. Dan aku tidak ingin menahannya.”Untuk pertama kalinya malam itu, aku melihat sisi Grayson yang tidak terbungkus baja. Ia tidak mencoba melindungi, atau mengendalikan. Ia... memberi.Hanya itu.Dan anehnya, itu jauh lebih menggetarkan dari pelukan atau ciuman apa pun.Aku menggenggam kertas itu. “Terima kasih.”Grayson hendak berbalik pergi, tapi aku menahannya dengan suara lirih. “Grayson.”Ia menoleh.“Kalau malam itu... kau menciumku bukan karena marah, tapi karena sesuatu yang lain... kau akan bilang?”Ia tidak menjawab.Tapi sorot matanya—panas, terluka, dan penuh perang batin—sudah menjawab segalanya.“Selamat malam, Eleanor.”Dan kali ini, aku membiarkannya pergi.Karena mungkin... rasa sakit itu adalah s
POV GraysonPintu ruang kerja kututup pelan. Tapi suara dari lorong masih bergema. Langkah Damien. Dan tawa Eleanor.Tawa yang tidak seharusnya kudengar dari arah itu. Bukan sekarang. Bukan setelah semalam dia bicara padaku dengan mata yang basah dan suara yang pecah, mengatakan bahwa ia tidak butuh perlindungan... melainkan kejujuran.Sial.Aku berdiri di balik meja, menatap layar monitor yang menampilkan hasil laporan keamanan vila. Tapi otakku tak bisa fokus.Bibir Damien menyentuh telinga Eleanor tadi. Tangannya membetulkan posisi Eleanor saat menembak boneka target, dengan sentuhan yang terlalu akrab untuk disebut profesional. Dan dia tertawa. Mereka berdua tertawa—di ruangan latihan yang selama ini lebih sering berisi bentakan dan rasa sakit.Tanganku mengepal.Aku mengenal Damien. Loyalitasnya tidak diragukan. Tapi dia pria. Dan lebih buruk lagi… dia pria yang tahu cara bicara, cara mendekat, dan c