Mentari menembus celah-celah tirai menerpa wajahku. Aku bangun dengan perasaan yang tidak seperti biasanya. Perasaan yang sulit diartikan. Sikap Grayson yang semakin membuatku tak yakin harus terus berada disisinya. Semenjak ciumannya yang penuh amarah itu, ia malah menjauhiku dengan alasan aku akan menghancurkan dirinya.Meski aku juga begitu marah dengan sikapnya yang takku inginkan. Suara dalam kepalaku—yang terus menerus berbisik bahwa aku harus pergi, sebelum semuanya terlambat.Jika aku menjadi kelemahan Grayson dan menjadi target Moretti, lebih baik aku segera pergi dari sini. Sehingga Grayson bisa menjaga keutuhan posisinya yang kuat dan tak terkalahkan.Kini kau tak akan mendapatkan kelemahan lagi Gray… Aku akan pergi.Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu mendekati meja kayu kecil di samping tempat tidur, membuka laci kedua—di sana aku menyembunyikan peta lama area vila. Cetakan yang berhasil kudapatkan diam-diam dari perpustakaan bawah, saat Dami
“Kamu belumTidur?” tanyanya datar.Aku menggeleng.Ia diam sejenak, lalu menyerahkan secarik kertas kepadaku. “Ini... catatan komunikasi terakhir dari Dion. Kode pesan mereka tak semudah sebelumnya.”Aku mengambilnya. “Kenapa kau kasih padaku?”“Karena aku tahu kau ingin tahu. Dan aku tidak ingin menahannya.”Untuk pertama kalinya malam itu, aku melihat sisi Grayson yang tidak terbungkus baja. Ia tidak mencoba melindungi, atau mengendalikan. Ia... memberi.Hanya itu.Dan anehnya, itu jauh lebih menggetarkan dari pelukan atau ciuman apa pun.Aku menggenggam kertas itu. “Terima kasih.”Grayson hendak berbalik pergi, tapi aku menahannya dengan suara lirih. “Grayson.”Ia menoleh.“Kalau malam itu... kau menciumku bukan karena marah, tapi karena sesuatu yang lain... kau akan bilang?”Ia tidak menjawab.Tapi sorot matanya—panas, terluka, dan penuh perang batin—sudah menjawab segalanya.“Selamat malam, Eleanor.”Dan kali ini, aku membiarkannya pergi.Karena mungkin... rasa sakit itu adalah s
POV GraysonPintu ruang kerja kututup pelan. Tapi suara dari lorong masih bergema. Langkah Damien. Dan tawa Eleanor.Tawa yang tidak seharusnya kudengar dari arah itu. Bukan sekarang. Bukan setelah semalam dia bicara padaku dengan mata yang basah dan suara yang pecah, mengatakan bahwa ia tidak butuh perlindungan... melainkan kejujuran.Sial.Aku berdiri di balik meja, menatap layar monitor yang menampilkan hasil laporan keamanan vila. Tapi otakku tak bisa fokus.Bibir Damien menyentuh telinga Eleanor tadi. Tangannya membetulkan posisi Eleanor saat menembak boneka target, dengan sentuhan yang terlalu akrab untuk disebut profesional. Dan dia tertawa. Mereka berdua tertawa—di ruangan latihan yang selama ini lebih sering berisi bentakan dan rasa sakit.Tanganku mengepal.Aku mengenal Damien. Loyalitasnya tidak diragukan. Tapi dia pria. Dan lebih buruk lagi… dia pria yang tahu cara bicara, cara mendekat, dan c
“Kau menghindariku,” tuduhnya.“Aku hanya butuh udara.”“Udara dari apa? Aku, atau Damien?”Aku mengepal tangan. “Ini bukan tentang Damien.”“Tapi kau terus ada di dekatnya.”“Karena dia ada untukku! Saat kau sibuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja padahal jelas tidak!”Tatapan Grayson menajam. Dia melangkah maju, hingga jarak kami hanya beberapa sentimeter.“Jadi menurutmu aku harus bagaimana, Eleanor? Harus merangkulmu setiap malam dan bilang bahwa aku takut kehilanganmu? Harus memohon agar kau tetap di sisiku?”“Bukan!” jawabku sengit. “Aku hanya ingin kau jujur! Jangan bilang aku penting, lalu perlakukan aku seperti ancaman!”Ia menatapku lama. Napasnya berat. Rahangnya mengatup.“Karena kau memang ancaman,” desisnya pelan.Aku terdiam.“Kau mengacaukan semuanya.
Malam telah turun sepenuhnya ketika aku melangkah masuk ke ruang kerjaku. Pikiranku terlalu kacau untuk duduk diam.Aku menyalakan lampu baca. Bayanganku memantul di jendela besar yang menghadap ke taman belakang vila. Di luar sana, suara jangkrik menyatu dengan gemerisik angin.Aku menyesap teh yang sudah tak hangat lagi. Pahit.Pikiranku kembali ke momen sore tadi—momen ketika Grayson menciumku dengan cara yang tidak seharusnya. Bukan lembut, bukan karena cinta. Tapi karena kemarahan.Aku mengusap bibirku yang masih terasa panas meski waktu sudah berlalu. Bukan karena ciuman itu menyenangkan. Tapi karena lidahku terbakar oleh emosi yang tak kupahami."Aku tidak akan pernah menjadi milik siapa pun," gumamku, lebih kepada diri sendiri.Tapi perasaan itu menusuk. Ada bagian dari diriku yang ingin menyangkal. Tapi juga bagian lain yang berharap—walau kecil—bahwa ciuman itu bukan hanya karena emosi.Aku tidak bodoh.
“Aku melihat video dari Melissa,” kataku.Grayson mengepalkan tangannya. “Dia hanya menggertak.”“Tapi kau tahu, dia tidak pernah melakukan sesuatu tanpa tujuan.”“Aku tahu.”“Dan karena itu… aku ingin ikut dalam perburuan. Aku tidak akan duduk menunggu hasil. Aku akan turun ke medan.”“Kau tak cukup kuat Eleanor!” bentak Grayson dengan suara yang tinggi.Dia masih mengepalkan tangannya, seakan ingin memukul sesuatu untuk melepaskan amarahnya, tapi tatapanku membuatnya diam seketika.Aku melangkah cepat, menjauhi ruang kerja Grayson. Dadaku berdebar hebat, napasku berat, dan rasanya tubuhku terlalu panas—bukan karena marah saja, tapi karena adrenalin, karena emosi yang tidak bisa kugambarkan.Tanganku mengepal. Rasa sakit di dada ini bukan karena Grayson berteriak. Tapi karena ia kembali menarik tembok yang selama ini perlahan kubongkar.