Share

Terpaksa Menikah dengan Mantan Kakak Ipar
Terpaksa Menikah dengan Mantan Kakak Ipar
Author: Alice Gio

1. Bertemu Lagi

Beberapa bulan yang lalu

"Bunda!"

Senyuman manis seketika menghias wajah lelah Disti saat suara bening itu memanggilnya. Disti segera turun dari sepeda motor, lalu membuka helm dan meletakkannya di atas jok. Secepatnya, Disti berjalan ke arah  Arjuna, putra semata wayangnya, yang tengah menanti di teras. Wanita yang masih mengenakan seragam kerja itu kemudian merengkuh Arjuna ke dalam pelukan dan mengecup pipinya dengan lembut.  

"Bunda kok tumben pulangnya malam banget?" tanya anak laki-laki berusia empat tahun itu.

"Bunda kan lembur, Juna." Disti kembali memeluk erat Arjuna selama beberapa saat. "Juna kangen sama Bunda, ya?"

"Iya. Juna kangen sama Bunda," ucap Arjuna manja.

Disti membelai lembut punggung Arjuna. Pancaran matanya meredup dan perasaan sedih mulai menyelimuti. Malam ini Disti harus membohongi Arjuna. Kenyataannya, Disti tidak lembur. Ia hanya sedang memperjuangkan haknya sebagai buruh pabrik karena pemecatan sepihak oleh pihak pabrik. Dua tahun bekerja sebagai penjahit di sebuah pabrik garmen, tak membuat keahlian Disti dipertahankan oleh pihak pabrik. Kesulitan keuangan yang melanda pabrik tempat Disti bekerja membuat Disti menjadi salah satu buruh yang terkena PHK.

"Ti, belum mandi kok sudah peluk-peluk Juna? Mandi dulu sana!" Seorang perempuan berusia lima puluhan berdiri di ambang pintu memberi peringatan.

Disti mengurai pelukannya dari Arjuna dan membiarkan anak itu mengikuti langkahnya masuk ke rumah. "Iya, Bu."

Di kamar rumah kontrakannya yang berukuran tiga kali tiga meter, Disti duduk di tepi kasur tanpa ranjang yang terhampar di atas karpet plastik bercorak catur. Ia ragu untuk membuka seragam kerjanya. Bayangan Varen, almarhum suaminya, berkelebat di pelupuk mata yang berkabut. Menjadi orang tua tunggal di usianya yang baru menginjak 24 tahun bukanlah keinginan Disti. Lima tahun lalu, setelah ia menyelesaikan SMA-nya, ia memutuskan untuk menikah dengan Varen. Meski tanpa persetujuan orang tua Varen dan Varen harus terusir dari keluarganya, pernikahan mereka tetap berlangsung. Namun, kecelakaan itu telah merenggut nyawa suaminya. Varen meninggal tepat saat Arjuna berulang tahun yang ke-2 tahun.

Disti kemudian berandai-andai sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Seandainya Varen masih berada di sampingnya, Disti pasti bisa menghadapi hidup yang begitu keras dan merawat Arjuna lebih baik tanpa harus meninggalkan anak itu bersama neneknya selama ia bekerja. Dua tahun wanita itu kehilangan masa tumbuh kembang Arjuna lantaran setiap harinya ia harus bergelut dengan kain, jarum, dan benang di pabrik garmen.

"Ti, kok kamu melamun? Mandi dulu sana, salat isya, terus makan. Istirahat. Kamu pasti capek. Besok kan kamu harus bangun pagi dan kerja lagi." Suara Sari, ibu Disti, membuyarkan lamunannya.

"Besok Disti nggak kerja, Bu," ucap Disti pelan.

"Libur?"

"Ada pengurangan karyawan di pabrik, Bu. Disti termasuk salah satunya."

Sari mengembus napas. Ia melangkah mendekati Disti dan meletakkan tangannya di pundak anak perempuannya itu. Ada kekecewaan tersirat di matanya, tetapi ia berusaha menghibur Disti dengan kalimat menyejukan. "Kamu masih muda dan punya pengalaman. Tidak semua orang bisa menjahit loh, Ti. Mungkin rezeki kamu harus kamu cari di tempat lain lagi. Jangan berkecil hati. Ayo, mandi sana dan jangan lupa salat isya!"

"Iya, Bu." Ucapan Sari memberi sedikit kekuatan pada Disti untuk tetap bersemangat. Dalam setiap kesusahan Disti, dukungan sang ibu selalu menyertainya. Disti sangat bersyukur. 

Disti berjalan ke kamar mandi. Ia pikir ia tidak boleh terpuruk hanya karena pabrik tempatnya bekerja mem-PHK-nya. Masih ada ibunya dan Arjuna yang membutuhkannya. Hidup terus dan harus berjalan meski ia sudah tak berstatus sebagai karyawan pabrik garmen lagi.

***

Kini, Disti duduk di sebuah ruangan luas bercahaya redup. Ruangan yang dilengkapi sofa sudut putih super empuk dan layar LED yang lebarnya sepertiga lebar layar bioskop. Ruangan berjenis presidential suite yang biasa diperuntukan untuk para pejabat dan kalangan berkantong tebal. Sesekali Disti menghela napas panjang dan mengeluarkan perlahan-lahan untuk menenangkan diri. Pada akhirnya Disti harus terjebak di tempat yang bertentangan dengan hati nuraninya. Tempat yang membuat Disti dihargai dengan harga fantastis setiap kali ia duduk menemani dan melayani tamu yang ingin bersenang-senang dengan bernyanyi atau sekadar bersantai untuk melepas penat. Tidak pernah sedikit pun terbersit dalam benaknya untuk menjadi pemandu lagu di sebuah tempat karaoke dan pub ternama.

Disti memindai arloji di tangan kirinya. Ia menunggu dengan gelisah kehadiran para eksekutif muda yang sudah mem-booking ruangan sekaligus pemandu lagu. Sebagian dirinya berharap para eksekutif muda itu membatalkan pesanannya. Tidak jarang dari mereka yang selain ingin bersenang-senang dengan bernyanyi, beberapa di antaranya menginginkan penuntasan hasrat bawah pusar juga. Sebagian dari mereka yang berpikiran mesum menjadikan tempat karaoke sebagai ajang seleksi pemandu lagu yang bisa diajak ke atas ranjang.

"Kamu tegang amat, sih, Ti. Tidak seperti biasanya," tutur Rini, sesama pemandu lagu yang sekaligus menjadi tetangga kontrakannya.

"Nggak tahu nih, Rin. Mungkin karena aku semalam kurang tidur kali, ya?" kilah Disti.

"Semoga aja mereka cakep-cakep, ya. Aku bosan melayani bandot-bandot tua yang bisanya nyuruh aku nyanyi terus, tapi irit tip."

Disti tertawa mendengar celotehan Rini. Sejawatnya itu kadang suka asal bicara. Namun, tawanya terhenti saat pintu ruangan mulai terbuka. Ia dan Rini otomatis berdiri, lalu merapikan rok yang membungkus setengah paha dan kaus biru ketatnya. Senyum merekah menyambut kedatangan para eksekutif itu.

"Selamat datang," sambut Disti pada pria pertama yang mengenakan kaus putih, lalu mempersilakannya duduk.

"Selamat datang." Kali ini Rini yang menyambut pria kedua yang mengenakan blazer abu-abu.

"Selamat da ...." Sambutan Disti menghilang di ujung saat tatapannya bertemu dengan tatapan pria yang terakhir masuk.

Disti tersentak. Tatapan pria itu seakan menamparnya. Ketegangan di perutnya meningkat saat sorot mata pria yang mengenakan kemeja flanel—bermotif plaid hitam-merah—menyapu seluruh tubuhnya dan berakhir dengan lirikan yang menyayat. Sialnya, Disti justru membiarkan netranya tak berpaling dari pria itu. Bukan karena tubuh tinggi atletis dan wajahnya yang memukau, Disti hanya teringat bagaimana pria itu pernah menunjukkan sikap yang sama, dulu.

Mas Yasa tidak berubah, batinnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status