Gelombang masa lalu kembali menghantamnya. Tepatnya dua tahun silam, beberapa hari setelah Varen dimakamkan. Saat itu, orangtua Varen dan Yasa datang ke rumah kontrakannya. Mereka berniat mengambil alih hak asuh Arjuna. Namun, Disti menentang keras. Masih terngiang di telinganya ucapan ibunda Varen yang mengatakan bahwa ia tidak mungkin bisa membesarkan Arjuna dengan cara baik. Sekarang di hadapan Yasa, ia membuktikan ketidakbecusannya. Berada di tempat hiburan dan menghibur para pria yang mencari kesenangan di mana seharusnya ia menemani malam Arjuna. Namun, bantahan tajam segera muncul di kepalanya. Ia tidak salah. Ia sudah berjuang sangat keras untuk merawat dan membesarkan Arjuna. Jika pekerjaannya dianggap salah, lalu apa bedanya dengan Yasa yang datang ke tempat itu? Semua pertanyaan dan jawaban yang ia ciptakan sendiri memenuhi kepalanya.
Gelegar suara sound system mengembalikan Disti ke hingar bingar ruangan karaoke. Disti tersenyum kaku. Ia memilih duduk di ujung di samping pria berblazer, mencoba membenamkan diri sedalam mungkin ke dalam obrolan dan lagu yang ia nyanyikan kemudian. Sesekali ia menghirup air mineral dari botolnya langsung untuk membasahi tenggorokannya yang kering lantaran banyak mengeluarkan suara. Meskipun tidak sedikit dari pemandu lagu yang ikut meminum minuman para tamu, namun Disti tetap memilih air mineral sebagai pelepas dahaga. Satu jam pertama yang sangat melelahkan untuk Disti. Berpura-pura tak peduli pada Yasa dan bersikap manis pada yang lainnya membuat energinya hampir terkuras habis.
Dengan sedikit membungkuk dan berjalan selangkah demi selangkah, Disti menuangkan wiski ke dalam rock glass yang tersedia di atas meja di hadapan para eksekutif muda itu. Sudah menjadi tugasnya untuk melayani tamu sebaik mungkin. Namun, ia tetap tak bisa mengubur rasa malu dan cemas yang menghinggapi saat tatapannya beradu kembali dengan tatapan merendahkan Yasa.
"Bisa kita bicara?" cetus pria itu.
Pria berkaus putih yang duduk di samping Yasa menyikut lengan pria itu. "Masih sore, Yas. Sayang kalau buru-buru."
Yasa tersenyum tipis menanggapi candaan rekannya. Jauh di dalam hatinya, ia ingin sekali menyeret paksa Disti untuk keluar dari tempat itu.
"Berapa voucher yang harus aku keluarkan untuk bisa membawamu ke luar?" tanya Yasa mendesak.
Pembayaran di tempat karaoke tersebut menggunakan sistem voucher. Satu voucher bernilai satu juta dua ratus ribu rupiah dan itu berlaku untuk membayar semua aktivitas di tempat karaoke tersebut, termasuk makanan, minuman, dan layanan plus pemandu lagu yang nakal.
"Maaf, aku tidak keluar dengan tamu," tolak Disti sehalus mungkin, meskipun ia sudah bisa menduga arah pembicaraan Yasa.
"Oke." Yasa mencebik. "Tamu? Kalau begitu kamu akan keluar dengan Kakak—"
"Sepuluh voucher." Disti memotong dengan nada geram.
Yasa mengangkat alis tebalnya dan melayangan tatapan ragu. Ia hampir tidak pernah merendahkan orang dengan cara halus, tidak termasuk dalam kamus hidupnya. Namun, di hadapan mantan adik iparnya ia harus tetap menjaga wibawanya.
"Tarifku dikategorikan tarif model, Mas." Disti meyakinkan Yasa. Ia tahu Yasa meragukan ucapannya dari ekspresi yang ditunjukkan pria itu.
Pihak karaoke tersebut sudah mengkategorikan Disti sebagai model sejak ia mulai bekerja di tempat tersebut, meskipun ia tidak pernah berjalan di atas catwalk, difoto oleh fotografer profesional, dan mengenyam pendidikan tentang dunia modeling. Namun, tubuh tinggi semampai dan wajah ayu wanita itu bagai magnet yang menarik perhatian setiap mata yang memandang. Pihak tempat hiburan itu mensejajarkannya dengan para model yang bekerja sampingan di tempat itu. Toh, yang dicari tempat itu adalah wanita-wanita cantik yang mau menemani dan melayani para pengunjung. Klasifikasi pemandu lagu hanyalah sebuah formalitas semata.
"Whatever. Kita keluar sekarang." Yasa bangkit lalu berjalan keluar diikuti Disti.
"Have fun, Yas!" Teriakan salah satu rekan Yasa tidak digubris olehnya.
Yasa berjalan dengan langkah arogan menuju kasir. Di sana, ia membayar semua biaya voucher dengan kartu debitnya. Tampak jelas tidak pernah ada masalah dengan keuangan pria itu, walaupun harus mengeruk banyak pundi-pundi rupiah dari tabungannya hanya untuk bersenang-senang. Disti menelan ludah dengan susah payah. Pertama kalinya selama ia bekerja di sana ia mau di-booking seorang pengunjung. Jika saja ia tidak tahu watak Yasa yang keras yang bisa memberhentikannya dari pekerjaan itu, Disti tidak akan pernah mengizinkan pemesanan atas dirinya. Pertemuannya dengan Yasa saat pemakaman Varen dan saat perebutan hak asuh Arjuna sudah menunjukkan seperti apa seorang Yasa Mahanta Wijaya. Disti tidak mau mengambil risiko pekerjaannya terancam.
Yasa menghentikan laju mobil berjenis SUV yang dikendarainya di ujung gang rumah kontrakan Disti. Matanya masih menatap lurus ke depan dan tanpa menoleh pada Disti yang duduk di sampingnya, ia bertanya, "Kamu masih tinggal di sini?"
Disti mengangguk, namun kemudian ia menyadari bahwa Yasa tidak melihat anggukannya. Ia mempertegas jawabannya dengan kata. "Iya, Mas."
"Sudah lama kamu kerja di tempat karaoke plus-plus itu? Kenapa kamu tidak mencari pekerjaan yang lebih baik? Apa karena gaji yang ditawarkan tempat karaoke itu lebih besar dari tempat yang lebih layak disebut sebagai tempat untuk bekerja?" Yasa memberondong Disti dengan beberapa pertanyaan yang berujung merendahkan Disti secara tidak langsung.
"Apakah pekerjaanku begitu hina hingga Mas bertanya seperti itu?"
"Aku tidak akan mengatakan pekerjaan kamu hina jika kamu tidak menerima voucher booking-an tadi." Yasa masih tidak mau menatap Disti. Ia menggertakkan rahang tegasnya. Tatapan tajamnya masih terarah ke jalanan yang mulai sepi dan gelap.
Disti ingin sekali membela diri. Ia sudah berusaha keras untuk menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya yaitu menjahit. Namun, sekali lagi keberuntungan masih belum berpihak kepadanya. Ia bahkan sudah menjual sepeda motor peninggalan Varen satu-satunya untuk menutupi biaya kebutuhan sehari-hari dan ongkos mencari pekerjaan. Hidup di zaman di mana kekuasaan dan koneksi lebih berperan untuk mendapatkan sebuah pekerjaan membuat Disti hampir putus asa. Seorang teman yang akhirnya mengajak Disti untuk bekerja di tempat karaoke tersebut memunculkan harapan baru untuk Disti.
"Jika pekerjaanku hina, lalu apa bedanya dengan Mas yang sudah datang ke sana dan mem-booking-ku?" Disti bertanya dengan penuh antisipasi.
"Dengar, aku punya alasan datang ke sana dan aku juga punya alasan mem-booking kamu. Jangan pernah berpikir aku ingin melakukan hal seperti pria-pria mesum yang sering mem-booking-mu."
Pernyataan Yasa menghujam bagai belati, begitu sakit dan menyesakkan dada Disti. "Astagfirullahal adzim. Aku tidak pernah di-booking, Mas. Kecuali malam ini, oleh Mas. Jika Mas punya alasan datang ke sana, aku juga punya, Mas. Aku butuh pekerjaan untuk menghidupi Arjuna."
"Makanya jangan berlagak sok jagoan bisa merawat Arjuna sendirian. Nyatanya, kamu tidak becus."
Plaaak! Tamparan Disti mendarat di pipi Yasa. Wanita itu tidak menduga Yasa akan berkata yang menyakitkan hatinya seperti tadi. Apa yang bisa Disti lakukan jika Yasa benar-benar membawa masalah hak asuh Kieran ke ranah hukum? Yasa punya segalanya. Jelas ia akan memenangkan hak asuh itu, meskipun anak di bawah umur seharusnya dibesarkan oleh ibunya. Yasa bisa melakukan apa saja untuk merebut hak asuh Kieran.Disti terdiam. Semua kata tertahan di tenggorokannya. Hanya air mata yang membasahi pipi yang mewakili kehancuran hati dan harapannya. Begitupun, dengan Yasa. Pria itu tertegun merenungi bagaimana ia dengan bodohnya melayangkan kalimat intimidasi pada Disti. Wanita yang pernah mengisi hati dan telah memberinya seorang putri. Dorongan yang tak terbendung memberikan kekuatan pada Yasa. Mengabaikan semua permasalahan yang ada, Yasa merengkuh Disti ke dalam pelukannya.
Wanita berkulit putih yang mengenakan gaun merah selutut itu tersenyum. Mata sebiru lautannya berbinar terang seolah tidak ada beban sedikit pun di pundaknya ketika ia harus berhadapan dengan mantan istri Yasa."Halo, aku Azra. Yasa pasti sudah memberitahukanmu bahwa aku yang akan menjemput anak-anak." Azra mengulurkan tangannya.Tidak mau terlihat gugup Disti menjabat tangan Azra. Entah Azra bisa merasakan kegugupannya atau tidak, Disti hanya ingin terlihat kalau ia tidak gentar dengan penampilan sempurna wanita itu."Halo, aku Disti. Iya, Mas Yasa sudah memberitahuku."Pertemuan sekaligus perkenalan canggung itu berlangsung singkat. Sebelum Azra membawa kedua anaknya, ia meminta perempuan cantik itu untuk menyampaikan pesannya pada Yasa agar ia tidak lupa untuk mengant
Mata Disti mulai berkaca-kaca. Dahulu, ia sempat mengira David hanya pria egois yang ingin memanfaatkannya. Namun, seiring waktu, ia melihat sisi lain dari David—pria yang ternyata bijaksana dan tulus. Ia mulai sadar, bahwa di balik sikapnya yang flamboyan, David adalah seseorang yang memahami dirinya lebih dari yang ia duga.David mengulurkan tangan dan menyentuh bahu Disti dengan lembut. "Aku akan tetap di sini, menemanimu. Tapi, kamu perlu berdamai dengan hatimu dulu, Dis. Cari tahu apa yang benar-benar kamu inginkan. Aku nggak akan memaksamu untuk memilihku atau siapa pun. Kamu yang berhak menentukan jalanmu sendiri."Disti mengangguk, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Kata-kata David menyentuh bagian terdalam hatinya, membuatnya merasa tenang, tapi juga tergugah untuk mencari kejelasan dalam perasaannya.David tersenyum hangat, lalu berkata, "Sekarang makan, ya. Nggak usah banyak pikir dulu. Biar hatimu nggak lelah sendiri."Disti tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya
Yasa kembali menghela napas, pandangannya kosong. "Aku bingung, Dis. Saat itu, Shalimah ... kondisinya memburuk. Aku tahu aku yang salah karena membiarkannya merasa tersisihkan, karena aku terus memikirkanmu. Aku sudah jadi pria yang kejam, lebih mementingkan perempuan lain daripada istri yang selalu setia di sampingku. Aku larut dalam penyesalanku. Sampai tiba waktunya aku ingin menemui kalian, David sudah benar-benar menggantikan posisiku." Yasa tersenyum masam, “Aku pengecut, ya?”Disti hanya bisa memandang Yasa tanpa kata-kata. Semua kata-kata yang keluar dari mulut pria itu menusuk hatinya, menciptakan rasa bersalah yang kian menumpuk."Apa yang terjadi pada Mbak Shalimah, Mas?" tanyanya akhirnya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Pertanyaan itu mengandung harapan bahwa jawabannya mungkin berbeda dari apa yang ia duga.Yasa menunduk, suaranya terdengar serak. "Shalimah meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan Gyan, putra kami.""Innalillahi wa inna ilaihi ra'jiun," gumam
Disti menahan napas, kemudian membelai lembut tangan Kieran. "Sayang, Om ini papa kandung Kieran. Jadi, mulai sekarang, Kieran bisa panggil Om ini ‘Papa Yasa’, ya?"Mata Kieran membulat, lalu tersenyum cerah. "Jadi Kieran punya dua papa, ya, Bunda?"Disti mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Iya, Sayang. Satu Papa David, satu lagi Papa Yasa."Yasa mencoba tersenyum, meskipun ada kegetiran yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan. "Iya, Kieran. Kamu bisa panggil Om, ‘Papa Yasa’."Kieran tampak berpikir sejenak, lalu menatap Disti dengan wajah bingung. "Om ini temannya Bunda ya, Bunda?"Pertanyaan itu membuat Yasa spontan menatap Disti, pandangan mereka berserobok sejenak. Disti menelan ludah, lalu menjawab hati-hati, "Iya, Sayang. Papa Yasa ini teman Bunda."Yasa menunduk, menyembunyikan perasaan sakit yang bergemuruh di dadanya. Jawaban Disti mungkin untuk melindungi Kieran yang masih terlalu muda untuk memahami semua ini, tetapi tetap saja menyakitkan mendengarnya."Assa
Ketukan di pintu ruang kerjanya mengalihkan sejenak pikiran Disti yang tengah kalut, memaksanya kembali pada realitas di senja yang pekat."Assalamualaikum. Maaf, aku datang tanpa kabar," ucap David sambil mendorong pintu terbuka. Senyuman yang biasa menghiasi wajah orientalnya segera memudar ketika ia melihat Disti duduk tersedu-sedu. Tanpa berpikir panjang, David mendekati Disti, menaruh tangannya di pundak Disti untuk menenangkan. "Dis, ada apa? Kenapa kamu menangis?"Disti menunduk. Suaranya terdengar bergetar saat akhirnya ia bicara, tapi bukan menjawab pertanyaan David. "Maafkan aku, Mbak. Maafkan aku. Aku yang salah. Aku yang menjadi duri dalam kehidupan kalian."David terdiam sejenak mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Pandangannya menyapu ruang kerja Disti dan berhenti pada layar laptopnya yang masih menyala, menunjukkan sebuah file bernama ‘Shalimah’. Hatinya mencelos dan ia tak butuh melihat lebih jauh untuk menyimpulkan bahwa video itu adalah penyebab tangis Disti.“
“Assalamualaikum,” ucap Yasa, suaranya berat dan tegas, membawa suasana dingin yang langsung memenuhi ruangan.Disti mengangguk singkat, mencoba menutupi kegugupannya. “Waalaikumsalam,” jawabnya sambil berusaha menjaga nadanya tetap stabil.Yasa melangkah masuk. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah Disti. Sementara itu, Disti bisa merasakan ada sesuatu yang berat dalam tatapan Yasa sesuatu yang membara di balik ketenangan yang Yasa tampilkan.“Kenapa kamu tidak bilang padaku kalau kamu sedang hamil saat kita bercerai?” Yasa langsung bertanya, tanpa basa-basi.Disti tertegun. Pertanyaan itu menghantamnya tanpa ampun, tepat di titik yang paling ia coba sembunyikan selama ini. Ia menatap Yasa, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kemar
“Kamu melamarku, Dave?” tanya Disti, suaranya bergetar sedikit, antara terkejut dan tidak percaya.David tersenyum tipis, lalu berpura-pura melempar pandangan ke arah bunga-bunga mawar merah yang tumbuh di sepanjang jalan setapak. “Aku? Melamar kamu? Nggak kok. Aku cuma curhat sama bunga-bunga ini,” jawabnya santai sambil menunjuk ke arah bunga-bunga di sepanjang koridor.Disti tertawa pelan, melirik David dengan pandangan penuh arti. “Begitu saja ngambek,” katanya menggoda. “Tapi serius, Dave, tentu saja aku senang kalau kamu mau menjadi imamku. Hanya saja apa kamu siap menjadi imam seorang janda beranak dua?”David menatap Disti beberapa saat, matanya menyorotkan ketulusan yang begitu dalam. “Menurutmu gimana?” balasnya lembut.
Jantung Disti berdegup kencang, nyaris melompat keluar saat melihat Yasa berjalan mendekat. Tatapannya terkunci pada sosok pria berpostur atletis dengan sorot mata yang masih sama, meski ada sesuatu yang tampak lebih matang, lebih tenang. Waktu seakan melambat. Dan dalam beberapa detik yang panjang itu, kenangan masa lalu menghantamnya bertubi-tubi.Sadar bahwa ia tidak sendirian, Disti segera menoleh ke Kieran yang berdiri di sampingnya. Wajah kecil putrinya yang begitu mirip dengan Yasa membuatnya gelisah. Ia tahu betul, Kieran adalah gambaran Yasa dalam versi perempuan kecil. Jika Yasa memperhatikan lebih teliti, ia pasti akan mengenali kemiripan itu.Dengan sigap, Disti meraih tangan Kieran dan menempatkan gadis kecilnya di belakang tubuhnya, seolah ingin melindungi Kieran dari tatapan yang mungkin penuh pertanyaan. Ketika ia melirik ke arah ana