Share

Kilasan masa lalu

“Cuih! Jijik aku sama dia. Amit-amit jabang bayi kalo sampai jadi pacarnya. Sudah gendut, jelek, hitam, kucingku di rumah bahkan lebih cantik dari wajah dia itu.”

Aku hanya bisa berdiam saja di bangku kelasku, saat mendengar celotehan yang tak kunjung usai sejak tadi dari Nathan. Jarak kami sudah cukup jauh. Aku berada di meja dekat tembok sebelah kanan, sementara Nathan berada di meja tembok sebelah kiri. Namun, hal itu tetap tidak membuat anak laki-laki itu menyudahi caci makinya padaku.

Nathan—teman laki-laki sekelasku yang sebelumnya kukenal baik dan tidak sombong, ternyata memiliki sisi yang mencengangkan. Dia tak pernah luput membuliku setiap kehadiranku disadari olehnya. Apalagi sebutan yang selalu dia lontarkan, selain si buruk rupa, jelek, cewek berjerawat, gendut dan masih banyak yang lainnya, membuatku rasanya ingin pindah ke Sekolah Menengah Pertama di kota yang dulu.

Jika bukan karena bujukan mamah dan papah, mungkin aku sudah berhenti sekolah saja. Hati ini rasanya tidak kuat mendengar bulian yang setiap hari kuterima. Hampir setiap hari pula aku pulang dari sekolah dalam keadaan berderai air mata.

Pasalnya, bukan hanya bulian dari teman laki-laki saja, bahkan teman perempuan pun dengan tega menghina fisikku dengan sebutan si Gendut. Mereka seakan tak pernah memanggil nama asliku selain panggilan julukan buruk itu. Dan lagi, dengan terpaksa kuterima semua itu selama satu tahun hingga aku lulus dari SMP.

Semua ini terjadi berawal dari kecerobohanku saat itu. Andai aku tak pernah menulis nama Nathan di buku tugasku, mungkin bulian demi bulian tak pernah kudapatkan. Semua akan berjalan normal seperti sebelumnya. Teman sekelas atau di luar kelas pun tidak akan menertawaiku saat berpapasan. Termasuk Nathan, dia juga pasti masih mau saling melempar senyum saat bertemu pandang denganku.

Sayangnya, sesal tinggal lah sesal. Semua sudah terjadi. Aku terlanjur menjadi objek hinaan dan cacian tanpa henti, setelah salah seorang teman kelasku mendapati nama Nathan tertulis berada tepat di lembar pertama buku tugasku.

Sangat jelas tentunya, karena satu kertas sesudah sampul sengaja kubiarkan kosong. Dan, nama Nathan kutulis tepat di tengah-tengah lembar kertas itu. Yang menjadi masalah, bukan hanya tertulis nama saja, melainkan ada narasi seperti puisi. Sebuah pernyataan cinta yang kurasakan selama ini.

Saat itu, kami sekelas sedang bertugas mengoreksi tugas ulangan dadakan di hari Senin. Bu Ambar meminta kami mengumpulkan buku tugas itu, lalu memberikannya kembali pada kami dalam kondisi acak.

Aku pun tidak khawatir buku tugasku tak terdeteksi, karena namaku telah kutulis di pojok kanan atas sampulnya. Jadi, andai yang mengoreksi penasaran, setidaknya dia tahu jika itu milikku.

Sialnya, lembar awal buku yang tertulis nama Nathan di sana terbuka, saat si pemegang ingin tahu pemiliknya. Jadi, bukan namaku lah yang terpanggil saat itu, melainkan nama yang tertulis di sana.

Sontak, saat itu juga aku langsung menjadi pusat perhatian seisi kelas. Apalagi, ketika Abdul—si pemegang bukuku itu menyebut nama Nathan dengan keras, lalu membaca narasinya.

“Nathan .... Bagiku, kau seperti malaikat. Senyumanmu bak rembulan menyinar di malam hari. Sapaanmu laksana oase di atas gurun pasir. Saat tak satu pun ada yang memandangku, hanya kau seorang yang peduli padaku. Dan akhirnya, kumenyadari akan perasaan yang tak bisa terbendung lagi. Aku jatuh hati padamu, hanya padamu seorang, Nathan ....”

Setelah selesai anak laki-laki yang duduk di bangku kedua di belakang Nathan itu mengekspresikan tulisanku dalam langgam puisi, seluruh teman sekelas tanpa terkecuali pun tertawa lepas, hingga terdengar ada yang merespons dengan suara muntahan.

Saat itu juga, aku langsung meninggalkan kelas menuju kamar mandi sekolah. Aku tidak tahan lagi mendengar ledekan mereka yang semakin menjadi. Kutumpahkan tangisan dalam diam di kamar mandi. Aku memutuskan keluar dari sana setelah jam pelajaran berakhir.

Padahal, sudah berkali-kali kumeminta Abdul untuk tidak membacanya, namun anak itu tak peduli. Dia bahkan nampak menyukai karena ada sesuatu yang menghibur di akhir jam pelajaran yang hampir usai.

Aku menyadari, semua itu memang salahku. Tanpa menatap cermin yang setiap hari kupandang, dengan percaya diri aku berani menyukai anak laki-laki paling tampan di kelasku. Hanya karena alasan anak itu yang cerdas dan rajin serta rapi, juga lebih sering menyapaku waktu itu, membuat hatiku tak bisa menahan hasrat untuk menyimpan rasa cinta yang mendalam.

Iya, sesempurna itulah Nathan di masa sekolah dulu. Hingga sebutan bintang sekolah disertai pujian lainnya selalu dia sandang dari teman dan para guru. Pikirku, wajar jika aku menyukai anak itu. Selama tidak kuungkapkan, maka aku masih bisa menyadari tingkatan pantasnya diriku untuk dia.

Sayangnya, musibah melandaku tiba-tiba. Ungkapan cinta dalam bentuk tulisan itu menjadi awal mentalku goyah, setelah terpergok. Nathan berubah menjadi benci padaku sehabis kejadian itu. Jangankan menyapa seperti biasa, menyadari pandangannya menangkap sosok kehadiranku saja dia langsung merespons dengan ekspresi muntah.

Belum lagi dengan kondisi teman sekelas saat itu. Setelah dua hari kuputuskan absen dari sekolah, tetap saja tawa dan ledekan masih saja mereka lontarkan tanpa memikirkan perasaanku.

Berkali-kali aku meminta pada mamah untuk pindah dari sekolah itu. Tapi, berkali-kali pula beliau membujukku dengan cara memberi benteng perlindungan. Tujuannya, agar aku menjadi pribadi yang kuat dan tahan banting. Kata mamah, “Nak, mencobalah bersikap cuek dengan ledekan dan hinaan temanmu. Karena hakikatnya, hinaan yang mereka lemparkan akan terpantul kembali ke mereka sendiri. Di manapun kita berada, kita pasti akan bertemu dengan para pembenci kita. Menghindar bukan solusi yang tepat. Tapi, jadilah seperti pohon yang tetap berdiri tegak walau hujan dan angin begitu kuat menerpa.”

Walau awalnya terpaksa, aku berhasil mengamalkan apa yang mamah nasihatkan. Satu tahun lamanya akhirnya kulewati, meski dampaknya tetap kurasakan hingga sekarang. Nama-nama siswa-siswi yang rajin membuliku saat itu, masih tertancap lekat di memori ingatanku sampai saat ini.

Dan benar saja apa kata mamah, beberapa dari mereka yang masuk dalam daftar pembenciku telah mendapatkan balasannya sendiri. Mereka satu persatu mendapat hadiah yang pernah mereka berikan padaku. Iya, hinaan dan cacian akhirnya mendarat pula di telinga mereka.

Alasannya beragam. Ada yang karena masalah pekerjaan; ada yang mendapat cemoohan dari tetangga sekitar; ada pula yang dihina pasangannya sendiri. Pada intinya, ucapan yang pernah tertanam menyakitkan di hati orang lain, akan dia dapatkan pula. Tabur tuai adalah ungkapan yang sering mamah ucapkan setiap kali aku mengeluh dengan sikap buruk orang lain padaku.

Bagaimana aku tahu nasib mereka? Tentu saja, karena salah satu dari mereka ada yang berada dalam satu tempat kerja. Yang lainnya, masih berstatus tetangga. Lalu yang lainnya lagi, kami pernah bertemu dan saling berbagi cerita.

Dan kali ini, satu musuh bebuyutan yang hampir terlupakan namanya dari ingatanku, ternyata hadir dalam situasi yang mencengangkan. Kami terjebak dalam perjodohan yang masih tertawan oleh rasa benci membara dariku. Wajah yang pernah kusukai, yang kemudian kubenci itu, akhirnya kulihat lagi, yang seketika itu pula membawa bayanganku berkelana kembali ke masa silam, membuat rasa benciku semakin menjadi padanya.

Aku pernah bersumpah, jika aku tidak akan pernah memaafkan laki-laki itu sebelum dia meminta maaf dan berlutut di depanku. Dan faktanya, setelah 13 tahun terlewatkan, kami tidak pernah lagi bertemu. Kami terpisah setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama, hingga kudengar jika anak laki-laki itu melanjutkan sekolahnya di luar kota.

Tentu saja, sudah dipastikan jika Nathan sampai saat ini belum sekali pun mengakui perbuatannya yang dulu. Jangankan meminta maaf, mengakui perbuatannya saja pun entah. (*)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status