Share

Rencana awal

Kilasan masa itu seketika berakhir saat lenganku menyadari kehadiran mamah di sampingku. Mamah terdiam sesaat setelah sambutan senyum darinya kuterima baik. Pandangan beliau lalu sama sepertiku, menatapi jalanan yang sepi dari bangku tempat kami duduk saat ini.

“Bagaimana menurutmu, Nak? Anak tante Sintia itu ganteng, kan?” tanya mamah yang masih berada di posisi sama.

Sontak, bibirku seakan terkunci untuk menjawab. Tidak mungkin kujawab “tidak”, karena fakta ucapan mamah menang benar adanya. Namun, jika kujawab “iya” pun, justru akan bertolak belakang dengan gejolak di hatiku. Biar bagaimanapun, laki-laki itu telah menghancurkan mentalku. Perbuatan buruknya sama sekali tak pantas tertutup hanya karena paras rupawannya.

Sebab alasan itu, aku memutuskan untuk tidak menjawab, namun melempar senyum tipis yang terdengar samar sebagai tanda merespons ucapan mamah. Aku tahu, mamah memuji Nathan di depanku, supaya aku merasa yakin untuk menerima laki-laki itu.

Andai mamah mengetahui jika kami telah saling kenal sejak masa SMP dulu. Andai pula mamah tahu, jika Nathan lah satu-satunya teman kelasku yang paling gencar mencaci makiku. Entah apa yang akan beliau lakukan setelah itu. Menolaknya mentah-mentah; atau bahkan membalas caci makian dia padaku dulu; atau justru memaafkan sesuai dengan sifat mamah yang pemaaf.

Sayangnya, satu persatu pelaku pembuliku waktu itu tak pernah kusebutkan namanya. Karena percuma, mamah pun tidak akan tahu atau sekadar mendatangi sekolah dan meminta keadilan untuk putrinya ini. Yang beliau lakukan hanya satu, memberiku kekuatan luar dalam sebagai bentuk membela diri.

Jika mereka hanya berucap, lebih baik diamkan atau menjauh saja. Tapi, jika sampai tangan mereka bertindak kasar, balas dengan perlakuan sama. Begitu pesan mamah yang kemudian kulaksanakan. Walau begitu, sakit hati yang kurasakan tetap tak pernah sirna dari ingatan. Buruknya tingkah mereka terlalu sayang untuk kulupakan begitu saja.

“Kamu itu harus sadar, Bibah. Kamu sudah dewasa. Sudah waktunya berumah tangga. Untuk kali ini, jangan tolak lamaran tante Sintia.” Mamah melanjutkan ucapannya dengan nada yang lembut, namun penuh harap. “Gak baik sebagai wanita jika terus menolak lamaran laki-laki.” Pandangan mamah kemudian beralih menatapku, seraya melekatkan tangan kirinya ke atas pahaku.

Aku tahu, mamah menyimpan harapan besar, agar kali ini aku mau menerima laki-laki untuk menjalani masa depan yang serius. Sayangnya, kenapa rencanaku yang awalnya memang berniat akan menerima perjodohan ini, justru terancam gagal. Lagi-lagi, sosok laki-laki itulah penyebabnya. Kenapa harus dia? Kenapa harus Nathan yang menjadi pilihan terakhirku?

Rasa dilema begitu hebat menghampiri benakku saat ini. Dua pilihan sama-sama memiliki risiko yang besar pula. Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk selanjutnya. Hanya satu minggu, waktu yang kuminta pada tante Sintia sekeluarga untuk memberi jawaban atas pilihanku nanti.

“Kalo aku menolak, gimana, Mah?” tanyaku, yang seketika menghentikan aktivitas mamah saat baru akan beranjak dari duduknya. Pertanyaan serius ini kususul dengan senyuman unjuk gigi agar mamah mengira ini hanya candaan.

Kulihat, mamah menghela napas panjang, lalu menyahut dengan candaannya pula, “Kalo kamu masih menolak, biar nanti mamah buat sayembara. Siapa yang mau nikah sama anakku, aku kasih uang.” Ucapan yang kusebut woro-woro itu mamah ekspresikan dengan menunjuk-nunjuk ke segala arah.

Sontak, kami berdua justru tertawa lepas, hingga mengundang papah yang tengah menonton televisi kemudian menghampiri teras tempat kami duduk.

“Sssttt ....”

Kami menjadi semakin tertawa dengan tingkah lucu papah yang memberi peringatan untuk diam.

***

‘Ting’

Bunyi notifikasi pesan itu seketika membuka mataku yang baru terpejam. Segera kuraih benda pipih yang berada di atas kasur tak jauh dari tubuhku berbaring, lalu kubuka kunci layarnya.

[Kamu sudah tidur?]

Pesan itu kubaca setelah hanya menampilkan notifikasi dengan cara menggeser layar dari atas ke bawah. Dua tahun sejak kumemutuskan mengakhiri hubunganku dengan Rayan, pesan seperti ini tak pernah lagi kudapatkan. Hanya pesan penting perihal pekerjaan, atau dari teman sesama perempuan saja.

Namun malam ini, sepertinya akan menjadi awal pembuka pesan basa basi seperti ini, yang sebenarnya tak penting buatku. Terlebih lagi pesan itu dari Nathan, yang membuat moodku seakan turun dengan drastis. Aku memang pernah menyukainya, tapi itu dulu. Tidak berlaku lagi untuk saat ini.

Selang beberapa menit, bunyi notifikasi pesan kedua kembali terdengar saat ponsel hampir kudaratkan di atas kasur. Rencana untuk tak membalas, sepertinya harus gagal. Benda pipiku kembali menerima pesan dari Nathan.

[Hanya ingin memberitahu, mamah mengundang kamu untuk datang ke rumah besok malam. Aku jemput jika kamu bersedia. Selamat malam.]

Senyuman getir sontak terbit seketika dari bibirku. Iya, karena mendadak ada yang membuatku lucu. Pesan undangan untuk besok malam itu, Nathan sampaikan di waktu yang sudah tengah malam ini. Apa tidak bisa menunggu esok?

Tidak gagal, ternyata. Aku tetap tidak berniat membalas pesan darinya. Cukup membaca isi pesan itu dari balik layar yang masih terkunci lewat tampilan pop-up. Kuletakan kembali ponsel ke tempat semula, lalu mencari posisi nyaman untuk tidur.

Beberapa menit berlalu, pejaman mata ini masih belum bisa membawaku dalam buaian mimpi. Pikiranku terus terjaga, berkelana pada bayangan sosok Nathan. Bukan karena ketampanannya yang memikat hati tentunya, akan tetapi mengingat perbuatannya yang tak bisa kumaafkan dengan mudah.

Berkali-kali tubuh ini hanya berguling ke kanan dan ke kiri, disusul oleh guling yang tak luput dari dekapan tanganku mengikuti gerakan kaki. Namun, kegelisahan semakin menjadi. Perlahan, aku bangunkan tubuh yang sebenarnya sudah lemas ini, bersandar di bahu ranjang, menatap kosong ke arah depan.

Rasa tidak percaya terus muncul dalam otak. Seakan ingin mencari tahu rahasia di balik takdir pertemuan kami yang di luar dugaan dengan dalih perjodohan. Apakah ini hukum karma yang Nathan terima setelah hinaan dan caciannya padaku waktu dulu? Dia dipertemukan kembali dengan sosok wanita yang aku tahu dia membencinya saat itu.

Ah, tidak mungkin. Dia bisa mendapatkan aku, harusnya kusebut beruntung, bukan karma. Bukankah dia menginginkan wanita yang cantik untuk dijadikan istri? Sementara aku, sudah memenuhi syarat itu. Walau dulu aku dia sebut bidadari kecemplung got, yakin seyakin-yakinnya jika sekarang dia akan berani menyebutku bidadari dari kerajaan Majapahit.

Iya, secantik itu wajahku, kata mantan teman sekolah saat pertama kali melihat banyak perubahan di tubuhku, hingga tuduhan operasi plastik bergulir di kalangan mereka yang dulu ikut membuliku.

Atas saran papah, setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas, mamah mengajakku ke sebuah klinik kecantikan. Beliau memasrahkan putrinya ini ke dokter Anggi untuk menangani permasalahan jerawat di wajahku, serta mencerahkanya. Mamah juga meminta tips aman untuk menurunkan berat badanku yang mencapai hampir 70 kilogram waktu itu.

Perlahan tapi pasti. Setahun lamanya baru kurasakan perubahan yang signifikan seiring berjalannya waktu. Julukan gendut sebelumnya, sudah tak lagi pantas kudapatkan. Wajah hitam penuh jerawat juga perlahan sirna. Tak sedikit yang tidak percaya dengan tampilanku setelah itu.

Itulah kenapa aku memiliki tanggung jawab besar untuk selalu menurut apa kata kedua orangtuaku. Selama hal itu baik, aku manut saja demi kebaikan bersama. Mereka lah yang selalu memberi yang terbaik untuk putrinya. Entah berapa besar biaya yang mamah dan papah keluarkan waktu itu, demi merubahku agar tak lagi mendapat cemoohan dimana-mana.

Sayangnya, permintaan mamah dan papah kali ini sungguh membuatku merasa berat untuk memenuhi. Bayangkan, aku dituntut hidup bersama dengan laki-laki yang jelas-jelas menyakiti kita di masa lalu. Ah, membayangkannya saja rasanya sudah bergidik sebal.

Bagiku, bertemu kembali dengannya saja sudah kusebut musibah. Tentu saja, karena wajahnya yang menciptakan rasa trauma mendalam. Bahkan, keinginan balas dendam seketika terlintas. Aku benar-benar ingin membalas rasa trauma ini dengan balasan yang setimpal. Setidaknya, dia harus merasakan hal yang pernah aku rasakan waktu dulu, sakit hati. (*)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status