“Habibah, itu ada Nathan di luar,” ucap mamah berbisik setelah membuka pintu kamarku.
“Heeh.” Hanya itu jawaban yang kuserukan, tanpa menatap wajah mamah karena terlalu sibuk dengan aktivitasku memperbaiki jilbab di depan cermin almari. Walau tak terlihat jelas, namun rona bahagia mamah bisa kulihat dari ujung mataku. Beliau kemudian berlalu dengan membiarkan pintu kamarku tetap terbuka.
Setelah dua jam lamanya berkelana dalam peraduan antara otak dan hati, akhirnya permasalahan dilemaku mulai teratasi. Perjuanganku mengurangi jam tidur semalam tadi, setidaknya telah membuahkan hasil. Kuputuskan untuk menerima kehadiran Nathan dalam kepura-puraan. Iya, hanya sandiwara saja.
Saat jarum jam hampir mendekati angka dua dini hari, dengan sigap aku membalas pesan Nathan yang telah mendarat ke ponselku sebanyak tiga pesan. Isi pesan terakhir adalah ajakannya untuk berjalan-jalan yang kemudian dilanjut makan siang. Lalu, sorenya dia meminta aku langsung ikut ke rumahnya atas undangan makan malam tante Sintia.
Hanya butuh beberapa detik saja setelah pesanku terkirim ke kontak bernama ‘Nathan Berengsek’, dua centang abu-abu langsung berubah biru. Seketika, aku terperangah. Tentu saja tidak menyangka jika laki-laki itu ternyata sedang menunggu balasan pesanku. Padahal, dia mengirim pesan terkahir dua jam sebelumnya.
[Syukurlah kalo gitu. Terima kasih, sudah menerima ajakanku.]
Begitulah balasan pesan Nathan semalam, yang baru kubaca pagi tadi. Entah sampai pukul berapa dia terus terjaga karena saat kulihat terakhir pria itu aktif, nampak pada pukul 03.15 dini hari. Mencengangkan sekali. Mungkinkah Nathan tak tidur hanya demi menunggu balasan pesanku selanjutnya? Jika iya, tandanya rencana balas dendamku akan berjalan mulus nanti.
Selesai bersiap, aku keluar dari kamar. Saat langkahku hampir sampai di ruang tamu, samar terdengar obrolan papah dengan Nathan. Perbincangan ringan itu berlanjut pada pembahasan mengenai pertanyaan papah yang kusebut konyol. Tentu saja, karena bisa-bisanya papah menanyakan tempat pernikahan nantinya akan dimana. Padahal, jawaban keputusanku saja belum tante Sintia dan om Darmawan terima, tapi papah begitu percaya diri menanyakan hal itu.
Tak ingin obrolan berlanjut semakin konyol, aku dengan langkah cepat segera menghampiri mereka di ruang tamu. “Ayo, jalan!” ajakku pada Nathan secepatnya sebelum dia menjawab pertanyaan papah.
Tanpa peduli dengan kedua mata papah yang melotot tajam karena tak terima aku menyerobot obrolannya, aku segera berpamitan setelah meninggalkan salam takzim padanya. Tak lupa, senyum kuda kulemparkan juga bersamaan dengan bibir papah yang mengembang.
Akhir pekan yang tadinya akan kuhabiskan untuk bersantai dan tiduran di rumah, kini terpaksa kulewati bersama laki-laki yang menyebalkan. Entah kenapa, setiap kali melihat wajahnya walau sepintas, rasa benciku semakin menggebu. Bayangan masa itu selalu saja menyertai di setiap senyuman Nathan yang terbit perlahan.
Aku memang tak pernah sengaja memandang dia, kami hanya akan bertemu pandang di waktu yang tak direncanakan. Sama seperti beberapa menit lalu, terpaksa pandanganku bertemu dengan wajah menyebalkan itu saat mataku tak sengaja menangkap Rayan tengah jalan bersama seorang wanita di seberang jalan sana. Tentu pandanganku harus melewati keberadaan Nathan di sebelahku untuk memastikan apa yang kulihat memang tidak salah.
Dan pria itu, walau tengah sibuk memegang setir mobil pun, seperti tak ingin melewatkan kesempatan bertemu pandang denganku. Wajahnya seketika melempar senyum yang membuatku canggung untuk tidak membalas senyuman itu.
Memang, yang kulihat dari raut wajah Nathan sejak awal pertemuan kami malam tadi, tak pernah nampak wajahnya datar hingga siang ini. Bahkan, rona bahagia seakan memancar di setiap aktivitasnya. Sepanjang jalan menuju tempat kami makan siang pun, samar terdengar dia berdendang mengikuti irama lagu mellow dari musik yang dia putar di mobil. Sambil sesekali mengajakku berbincang ringan mengenai pekerjaan masing-masing.
Aku yakin, dia sangat menerima perjodohan ini. Tidak mungkin jika tak menerima maka sikapnya akan sehangat itu. Jika aku mau menikmati perjalanan siang ini, mungkin aku bisa katakan sikap Nathan begitu mengasyikkan. Hampir tak ada suasana hening yang kami lewati.
Sedikit berbeda dengan Nathan yang dulu. Masa sekolah waktu itu, dia lebih terlihat pemalu dan pendiam. Kami seakan memiliki nasib yang sama saat itu karena tidak terlalu pandai bergaul. Menyendiri atau sekadar mengerjakan tugas adalah hobi kami di setiap jam istirahat kedua.
Dia bahkan dulu merasa lebih leluasa bertanya padaku jika ingin tahu info apapun. Walau jawaban tidak tahu sering dia dapatkan dariku, Nathan seperti tak pernah kapok untuk memilih bertanya padaku daripada ke yang lain.
Posisi duduk kami waktu itu cukup dekat. Kami sama-sama berada di lajur tengah di antara empat lajur kursi kelas. Dia di lajur tengah sebelah kiri, sementara aku di lajur tengah sebelah kanan. Teman sebangku Nathan yang juga pendiam, semakin mendukung dia untuk lebih dekat denganku.
Kebiasaan itu berlanjut hingga kenaikan kelas tiga. Dia kembali memilih posisi duduk sama seperti saat kelas dua sebelumnya, begitupun aku. Seperti niat kesengajaan kami sama. Jadi, bayangan kelas dua masih terpancar hingga di kelas berikutnya walau beberapa teman ada yang berbeda.
Aktivitas sebelumnya masih turut menyertai kami selama beberapa hari di awal tahun pelajaran. Bahkan, waktu itu batasan malu di antara kami perlahan mulai roboh. Aku dan Nathan menjadi semakin dekat dengan candaan garing walau dilempar dari kejauhan. Kami akan sama-sama tersenyum saat dia mulai membuat lelucon aneh.
Kedekatan kami hanya sebatas itu, tidak lebih. Bertukar pandang lalu tersenyum; atau saling canda dari jarak jauh; atau memperlihatkan sesuatu yang lucu. Untuk obrolan dekat, hampir tidak pernah. Alasannya, karena kami sama-sama pemalu dan akan canggung jika berdekatan.
Sayangnya, semua itu mendadak hancur berkeping-keping setelah kejadian memalukan dariku. Bukan dariku tepatnya, teman jahil kami—abdul yang menjadi penyebab robohnya jembatan penghubung di antara aku dan Nathan. Aku yang sebelumnya tahu jika buku tugasku dikoreksi Abdul waktu itu, lalu dengan cepat segera membungkam mulutnya lewat kode jari telunjuk yang kulekatkan di bibirku saat kulihat dia membuka lembar pertama di buku itu.
Namun, dia tak mengindahkan permintaanku sedikit pun. Karena merasa hal itu adalah hiburan menyenangkan bagi dia, tanpa pikir panjang narasi puisi di bukuku Abdul baca lantang setelah selesai dengan aktivitas senyum menyeringainya membaca tulisanku.
Setelah kejadian itulah, Nathan memilih pindah tempat duduk, pun juga denganku. Kami mulai terpisah jarak yang cukup jauh. Dia di lajur paling kiri dekat jendela, sementara aku di lajur dekat tembok sebelah kanan. Senyuman dan sapaan seperti biasa sudah tak lagi menghiasi aktivitas kami di sekolah. Semua itu berubah menjadi kebencian yang diawali dari Nathan.
Awal pertemuan kami setelah aku absen dua hari, Nathan mulai memperlihatkan rasa bencinya padaku. Yang tadinya hanya sebatas benci dari raut wajah, lalu berlanjut dengan ledekan dan bulian. Seolah kenangan manis kami sebelumnya sirna tiba-tiba tanpa bekas, hingga dengan tega dia melontarkan kalimat sindiran dan hinaan fisik setiap melihat aku melintas.
“Kita sudah sampai.”
Ucapan lembut Nathan mengalihkan pandangan kosongku seketika, saat tanganku juga menyadari ada sesuatu yang menempel di sana. Ternyata tangan nathan yang mendarat lembut. (*)
“Habibah .... Nak.” “Astaghfirulloh, Mamah.” Jujur, aku kaget setengah hidup saat tepukan keras mamah mendarat di pangkuanku beberapa kali bersamaan dengan teguran yang hanya kudengar samar, hingga getaran tubuh ini begitu jelas kurasakan. “Mamah. Aku ....” “Kamu kenapa, Nak, hah? Tante Sintia sudah nunggu jawaban kamu dari tadi, malah melamun, sih. Kenapa?” tanya mamah sedikit berbisik. “Kamu gak papa ‘kan?” Aku menggeleng melempar senyum berseri menatap wajah mamah. Syukurlah, apa yang melintas di pikiranku tadi hanya bayangan semata, bukan nyata. Wajah mamah masih nampak bahagia, pun juga dengan papah. Aku menunduk sejenak sambil menghembuskan napas pelan sebanyak tiga kali, menghilangkan sangkaan dan bayangan buruk yang sempat menghampiri. “Maaf, Tante, Om dan semuanya.” Kalimat dari bibirku mulai mengudara memenuhi ruang makan. Aku mengedar pandangan dengan senyum yang kubuat seramah mungkin. “Sebelumnya saya minta maaf, sudah buat semuanya menunggu. Mungkin karena efek sedi
“Habibah, kedatangan tante sekeluarga ke sini punya niat lain selain silaturahmi.” Tante Sintia mulai membuka obrolan serius usai makan malam. Kalimatnya terhenti sejenak untuk sekedar mengedar pandangan ke arah kami yang masih memenuhi ruang makan. Dia tersenyum penuh ceria, nampak dari raut wajahnya yang berseri. “Untuk itu, tante dan om juga kedua orangtuamu ingin memastikan jawaban kamu atas perjodohan yang kami sepakati bersama. Tante harap, jawaban kamu sesuai dengan yang kami semua harapkan.” Aku mengangkat wajah yang sejak tadi setengah menunduk, lalu mengedar pandangan ke seluruh anggota. Tatapan mereka tak jauh beda dengan tante Sintia, begitu berseri, terutama mamah dan papah. Namun, hanya satu pandangan yang kutemukan nampak memendam penekanan mendalam. Sorot matanya datar. Hanya pandangan itu pula yang tidak mengarah kepadaku. Siapa lagi jika bukan Nathan. Sedikit pun tak pernah kudapati kami bertemu pandang meski di posisi tidak sengaja. Tapi anehnya, kenapa hanya aku
Sejak Awal datang ke rumah, aku memang tidak menyadari kondisi sekeliling. Maksudku, hanya kamar saja yang baru kujelajahi untuk meletakan tas juga melepas jilbab yang menutup rambutku sepanjang perjalanan dari indekos menuju rumah. Jadi, kondisi ruang makan yang ternyata telah dipenuhi beberapa menu makanan juga camilan belum tertangkap oleh pandangan kedua mataku. Baru kusadari setelah mamah memintaku menyajikan beberapa minuman dan camilan dari dapur untuk tamu satu keluarga yang baru datang. “Ayo, Bibah. Bawa itu ke ruang tamu,” perintah mamah yang seketika menggetarkan tubuhku karena rasa terkejut. Aku tidak menyadari kedatangannya, namun sosoknya sudah berada di sebelahku dan nampak tengah terburu-buru mengambil sesuatu. “Mamah, apa ini?” tanyaku meminta kepastian jawaban akan yang kulihat di ruang makan. “Emang mau ada acara apa, Mah. Kok, makanan banyak gitu?” “Sudah, Nak. Tanyanya nanti saja. Nanti juga kamu akan tahu.” Mamah berlalu begitu saja sambil membawa nampan beri
Tiga puluh menit sebelum waktu adzan Dzuhur berkumandang, tante Sintia akhirnya memutuskan pulang. Selain karena jam kerjaku akan datang sebentar lagi, dia pun tidak ingin waktu berangkatnya bertabrakan dengan waktu sholat, katanya. Mobil Honda CRV berwarna putih itu pun melaju perlahan meninggalkan area indekosku setelah lambaian tangan tante Sintia kuterima hangat. Setelah ini, aku tinggal berangkat kerja. Untungnya, kondisi kos tengah sepi, termasuk Nanda. Walau aku tidak tahu kemana dia pergi, atau mungkin memutuskan berangkat bekerja, namun kabarnya tak kudengar hingga kini. Padahal biasanya, dia sering mengirim pesan atau mengobrol ringan melalui chat. Dan pagi ini, semenjak itu, berpamitan saja tidak dia. Tapi, biarlah. Terkadang, seorang teman perlu diberi pelajaran untuk sedikit mengerti orang lain. Aku pun kembali masuk ke dalam kamar kos untuk bersiap berangkat ke rumah sakit. Dari sinilah, aku mulai sibuk seolah tak mengenal waktu. Ponsel yang biasa di tangan, lebih ser
“Habibah, tolong antarkan Raka ke toilet sebentar, ya?” Aku menghentikan langkah saat kembali menuju ruang tamu untuk bergabung dengan tante Sintia dan Raka. “Oh, tentu, Tante.” Aku dan Raka pun segera menuju toilet di belakang tangga lantai bawah. Saat langkah kami hampir mendekati pintu toilet, aku berhenti. Kupersilakan Raka melanjutkan sendiri karena tempat yang dia tuju sudah terlihat. “Terima kasih,” ucap Raka yang langsung kusahut ramah. “Oh, iya. Kalau tidak salah, kamu Ranum ‘kan?” Pertanyaan Raka sontak mengejutkanku tiba-tiba. Aku kembali berbalik badan menghadap kembali pria itu. “Kamu kenal aku?” tanyaku kemudian. Rasa terkejutku semakin bertambah saat dia mengangguk tersenyum ke arahku. “Sangat kenal, walau kamu pasti lupa sama aku.” Hah? Pria itu mengenalku di saat yang lain masih nampak asing ketika melihatku. Padahal, seingatku kami baru bertemu pertama kali ini. Sebelumnya, bahkan waktu di rumah Nathan, Raka tak kulihat di sana. Selain itu, Habibah adalah nama
“Tante, maaf, ya, aku udah buat Tante khawatir,” ucapku bernada menyesal saat menghampiri tante Sintia dengan membawa nampan berisi dua minuman dan camilan yang kuambil dari dapur. “Tadi data internet gak kuaktifkan, jadi pesan dan panggilan gak masuk,” lanjutku setelah sampai di sofa ruang tamu tempat jamuan pengunjung indekos. Ruangan yang tidak terlalu luas ini dikhususkan untuk orang tua atau saudara yang mengunjungi penghuni indekos Bu Erna. Letaknya berada di sebelah kanan kamar kos yang terdiri dari delapan kamar itu, tepatnya di samping rumah Bu Erna. “Gak papa, Sayang. Kan, tante memang berniat datang ke sini,” sahut tante Sintia lembut. Senyum ramahnya tak lupa juga mengiringi ucapannya setiap kali berbincang denganku, itu yang kusadari sejak awal. “Oh, iya, Habibah. Tante juga minta maaf, ya, gak datang sama Nathan. Dia sibuk banget. Jadi, tante minta Si Raka ini untuk nganter. Ini keponakan tante,” jelas tante Sintia melanjutkan. Oh, namanya Raka. Dia juga tampan, tak k