Sebagai CEO yang memiliki waktu senggang banyak, Diaz memberanikan diri menemui pengacara Monica. Tepat hari sebelumnya mereka bicara serius melalui telepon untuk menentukan pukul berapa akan diskusi sebab pengacara pun punya acara lain.Diaz sangat terkejut rupanya ada kakak serta adik dari orang tua Monica turut datang ke rumah anak malang itu dengan raut tidak sabaran."Semuanya kenapa di sini?" Perasaan Diaz menghubungi pengacaranya saja, tidak mereka juga. Total ada 5 orang, termasuk dirinya.Akhirnya ia bergabung dengan mereka dan itu diperdebatkan."Kenapa ada dia di sini?" sahut Winda, adik terakhir dari Ibu Monica sembari menunjuk Diaz duduk.Diaz lantas menoleh tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya ia yang memberi pertanyaan pada mereka?"Monica secara khusus meminta tolong saya untuk panggil Pak Diaz," jawab Louis tak kalah datar dari padang pasir."Hah! Kayaknya sih dia ngerayu Monica biar dikasih beberapa persen asetnya," timpal suami Winda, Agam.Kelihatan dari tampang mer
"Ha? Hahaha ... Gue bayangin muka mereka bingungnya gimana."Vio tertawa puas di meja makan saat Diaz menceritakan apa yang terjadi di rumah Monica semalam.Meida menyuruh anaknya berhenti tergelak dan dengarkan saja kakaknya bicara. "Kamu tuh ya, orang lagi ngomong malah ketawa terus.""Yailah, Ma. Bayangin dong muka mereka. Apalagi Mas Agam sama istrinya yang naudzubillah, Haha." "Kapan Monica ketemu Pak Louis?" Diaz bertanya-tanya sebab sebelumnya Monica sibuk bolak-balik ke rumahnya dengan rencana balas dendam.Walaupun balas dendamnya berubah menjadi kasih sayang tak terduga. Kekeluargaan mereka sangat erat."Monica mungkin udah menduga ini bakal terjadi. Dia kan ngomong sendiri sering berdoa ketemu orang tuanya.""Vio!" Meida geram sekali dengan anaknya sampai ingin melempar sendok garpu."Mama kenapa sih sensi banget?" balas Vio."Omongan kamu itu!" "Orang Monica-nya yang bilang ke aku.""Diaz mau minta tolong, Mah."Meida menatap Vio sebab Diaz meliriknya. "Mama?" "Monica m
Thank youuuu buat teman-teman yang sempat mampir ataupun tetap bertahan masukin novel ini ke rak bacaan kaliaann. Congrats buat aku sendiri yang udah tamatin kisah mereka dengan jangka waktu sangat panjang, bab absurd, dan ending membagongkan dan ngambang.Kalian bisa anggap akan ada sekuel dari Diaz dan Mila entah itu kehidupan anak mereka atau lainnya. Tapi so far, belum ada rancangan gimana gambaran cerita selanjutnya karena masih terjebak genre Teen.Semoga kalian tetap dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa dan selalu sehat baik mental maupun fisik karena hidup tidak seringan pilus gais.Sekali lagi thank you so much!And bye bye~
Hidup sebagai penulis novel membuat Mila Atania menghabiskan waktu lebih banyak untuk menghalu demi kelanjutan alur novel daripada alur hidupnya. Pekerjaannya hanya rebahan sambil merangkai kata, itu saja bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah yang tidak sedikit.Kebanyakan genre novelnya adalah romansa CEO. Terakhir ia menamatkan novel berjudul “Love My Poor Woman” dengan meraih hingga 80 juta rupiah.Tahu apa yang dibeli dengan uang segitu? Ya, benar. Tidak dibelikan apapun selain kuota, beras, listrik dan air, juga kebutuhan bulanan lainnya. Kalau sisa? Ia tabung.Sekarang ini Mila tidak tahu Tuhan sedang merencanaka kejutan apa untuknya. Fila, bundanya menerima tamu yang tidak lain adalah rekan papa yang bernama Meida. Ia disuruh membuatkan dua cangkir teh panas, jadi otomatis pergi ke Dapur. Bakat mengupingnya dari kecil mendadak muncul, sambil menunggu teh menjadi hangat, ia bersembunyi di balik dinding pembatas antara dapur dan ruang tamu. Walau
"Bunda ... " Mila melangkah malas-malasan ke bundanya yang sedang masak di dapur. Ia lapar dan butuh asupan seperti manusia normal pada umumnya.Fila sengaja masak lauk seadanya karena tahu Mila tidak akan hidup jika tidak makan. Maksudnya dia akan lemas sepanjang hari, bukan mati. "Dihabisin makanannya." Dia hanya masak dua ekor ikan mujair.Ketika Fila menghidangkan lauk, Mila keberatan. "Bunda ... kok aku makanannya disamain sama kucing sih? Ini mah kucing tetangga juga mau jadi anak Bunda," rengek Mila. Ia sering lihat Stephen memberi makan kucing peliharaannya pakai nasi dan ikan saja. Persis seperti menunya sekarang.Fila duduk di kursi sebelah anaknya. Mila lucu sekali jika merengek seperti itu. "Ehh, bersyukur. Masih banyak di luar sana orang belum bisa makan ikan.""Iya tapi semua kucing makan ikan, Bunda.""Mau makan gak? Kalau gak mau, Bunda yang makan semua." Fila menarik piringnya."Jangan gitu lah, Bun." Mila nyengir lalu menga
Mila hanya tidur 3 jam karena menonton drama dari pukul 8 malam sampai 4 subuh, lalu lanjut lagi sampai jam 10 setelah salat. Nasihat Stephen benar-benar masuk ke otak setelah lewat jalur telinga. Tetapi tenang saja wahai teman-teman, ia masih bisa istirahat setelah sarapan. Atau mungkin tidak karena akan kedatangan tamu.Mereka pasti datang untuk memastikan jawaban. Mila ingin sekali menolak, tapi takut dianggap durhaka. Kalau menerima pun jadi tekanan diri sendiri. Usaha untuk kabur pula sudah malas ia pikirkan. Biarlah mereka menikah, saat sudah bosan karena tidak saling cinta, pasti mereka mudah bercerai.Walaupun Stephen berpengalaman menulis segala genre, Mila heran mengapa dia belum punya kekasih. Cara pria itu bicara sudah seperti psikolog yang sedang memberi solusi pasien kena mental.Ia berkaca lalu membuka matanya walau mengantuk. "Bangun, Mila ... Udah pagi, harus hadapin mereka!" Ia tidak semangat bahkan setelah tidur selama 5 menit. "Apa gue harus
Diaz tahu Mila sedang usil menyuruh bicara pada kekasihnya. Mereka sudah ada di depan Rumah, tepatnya depan pintu. Mila mengetuk pintu rumah Revan. "Revan ... " Dia berteriak, sengaja.Diaz menoleh cepat, matanya memicing. Namun karena dilihat Mila juga, dia mencoba acuh."Kenapa lo? Gak suka?" tandasnya.Sebelum Diaz jawab, rupanya pintu terbuka memunculkan sosok pria dengan rambut cokelat klimis belah kanan sedang suntuk kurang tidur karena kantung matanya menghitam."Revan, kamu kenapa matanya sembab gini?" Mila menangkup wajah Revan.Revan menurunkan tangan Mila perlahan. "Kenapa? Gue lagi pusing, banyak tugas kuliah."Mila menyenggol Diaz. "Ayo ngomong," bisiknya.Revan menatap Diaz. "Lo bawa siapa, Mil?" tanyanya tertuju pada Mila dengan sedikit kekehan di akhir pertanyaannya."Saya Diaz. Saya disuruh Mila buat izin ke kamu.""Izin apaan?" Revan terkekeh lalu memijit pelipisnya yang pening."Menikah dengan M
Fokus. Fokus. Fokus.Mila meregangkan jari-jari tangan, tak lupa ia menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan perlahan. Di atas laptop sudah ada note untuk menulis episode selanjutnya dalam novel "Menikah untuk Takhta". Ia mengetik alur yang ada di otaknya selama 3 jam penuh.Saat menulis, masalahnya hilang. Kalau sudah selesai, masalah kembali datang.Mila merebahkan tubuhnya menunggu jemputan. "Biarin aja lah. Selama gue diperlakukan kayak Princess, dianter jemput, dibukain pintu mobil, jalan duluan di depan, makan diambilin. It's okay," ucapnya untuk menyemangati diri sendiri. "Gue pasti bisa jalanin ini semua sesuai apa yang gue mau." Bukan Mila namanya kalau melakukan sesuatu apa yang tidak dia inginkan.Baginya, seorang Diaz yang sibuknya melebihi Presiden yang bolak-balik mengurus negara akan mudah dimanfaatkan. Kalau bisa, Mila akan hidup tenang setelah menikah.Stephen yang IQ-nya di bawah Mila pun setuju kalau dia men