Begitu lift terbuka, dengan terburu-buru, Aditya berlari menuju ke apartemen. Setelah sampai di depan pintu, dua manik kecoklatan milik lelaki itu langsung membelalak syok, saat melihat sosok wanita yang kini tengah tergeletak tak sadarkan diri di lantai. "Cahaya!" pekiknya merasa sangat panik. Lelaki itu berlari menghampirinya. "Ya Allah, Aya! Kamu kenapa?" Dengan wajah cemas juga kebingungan ia melihat ada darah segar yang tampak mengalir di kakinya. "Astaghfirullah, kenapa ada darah?" Wajah lelaki itu kian menjadi pucat. Hatinya pun menjadi ketar-ketir, takut terjadi sesuatu dengan janin yang sedang dikandung oleh Cahaya. Tanpa pikir panjang lagi, Aditya bergegas membopong tubuh lemas Cahaya, dan ingin segera membawanya ke rumah sakit. Dengan kecepatan tinggi, Aditya fokus mengendara. Tangannya yang tampak sibuk memegang kemudi mobil, sesekali menekan klakson, agar kendaraan yang berada di depannya mau memberikan jalan. Hingga karena saking terburu-buru nya, beberapa kali ia
Setelah dari apartemen, dengan hati bahagia Cellina melenggang pergi, ingin menuju ke kantornya Langit. "Hahaha ... mari kita lihat! Setelah aku menemui Cahaya tadi, apakah dia akan tetap bisa memaafkan mu, Langit?" Dalam hati, wanita licik itu tertawa girang, karena semua rencananya kini akan berjalan dengan lancar. Ting! Setelah pintu lift terbuka, dengan gaya sok anggunly, wanita bergaun pendek hitam, tanpa lengan itu langsung ingin menuju ke ruang sang CEO. Setelah berbasa-basi dan melalui perdebatan yang cukup sengit dengan sang sekertaris. Pada akhirnya wanita tersebut bisa menerobos masuk ke dalam ruang kerja si CEO. Kleek! "Hay, Langit!" Sapanya begitu memasuki ruang. Langit, yang baru saja selesai meeting, semula ingin memeriksa ponsel. Namun, ia langsung terjingkat dan melotot tajam ke arah Cellina. "Cellina, ngapain kamu ke sini?" ucapnya geram. Pria yang belum sempat melihat betapa banyaknya panggilan telepon yang tak terjawab di ponselnya tersebut, kembali m
Jleb! Bagai tertusuk sembilu. Hati Cahaya kembali merasa sakit, kecewa dan sangat terpukul mendengar perkataan Cellina. Sungguh ia tak pernah mengira kalau Langit akan sampai setega itu padanya. Ternyata dia tak hanya berbohong, tapi, lebih dari itu. Lelaki yang selama ini selalu ia cintai dan ia percaya dengan sepenuh hati, ternyata malah begitu dalam telah mengkhianatinya. Bahkan sampai membuat Cellina hamil. Apakah lelaki seperti dia masih pantas untuk dimaafkan? Ia rasa tidak. Ini sudah sangat keterlaluan dan sudah sangat terlewat batas. Dan untuk kali ini kesabarannya pun telah habis. Sudah cukup selama ini ia selalu bersabar dan mau memberinya maaf juga kesempatan. Namun, apa yang didapat? Hanyalah sebuah pengkhianatan. Dalam hati ia pun tersenyum miris, sedang menertawakan kebodohannya selama ini. Baru saja ia berniat untuk menemui lelaki itu. Dan ia akan mencoba memaafkan dan memberinya kesempatan untuk bisa memperbaiki pernikahan mereka, demi sang buah hatinya yang
"Em ... bakalan langsung pingsan gak sih, tuh cewek? Atau, bisa aja langsung mati kali. Itu malah justru lebih baik. Hahahaha!" Dalam hati wanita itu tertawa girang, sedang membayangkan bagaimana syoknya Cahaya nanti. Tak lama kemudian, terlihat Cahaya datang dengan membawa nampan yang berisi dua gelas minuman. Cellina yang semula sedang tersenyum miring, sibuk membatin memikirkan Cahaya, langsung terdiam dan segera memasang wajah dengan gaya sok anggunly. "Em, silahkan, Mbak, ini diminum!" Sambil tersenyum kaku, Cahaya meletakan dua gelas jus jeruk di atas meja. Sungguh ia merasa bingung dan tak tahu harus bersikap bagaimana sekarang. Haruskah ia marah kepada wanita ini? Atau, harus tetap bersikap ramah, dingin, tenang, acuh tak acuh, dan terlihat biasa saja? "Huff!" Seraya menghela nafas pelan, ia menjadi bingungan sendiri memikirkannya. "Oh, terima kasih, Cahaya. Jadi merepotkan. Tapi maaf, kalau boleh jangan panggil aku Mbak dong! Aku jadi berasa tua banget deh. Panggil
"Ragu dengan Cahaya? Maksudnya?" Kerutan di dahi Reza kian menjadi, pria itu semakin bertambah kebingungan saja mendengarnya. Masih dengan wajah lesu, Langit menghela napas berat, seraya berkata, "Kemarin aku udah coba datang ke apartemennya Aditya. Tapi, apa kau tahu, apa yang aku dapatkan di sana?" Dengan mimik wajah serius, reflek Reza langsung menggelengkan kepala. "Aku malah mendapati Aditya yang sedang mesra-mesraan meluk Cahaya, Za!" "Apa?! Kok bisa?" Sontak saja lelaki berkemeja krem itu dibuat sangat syok. Ia tak mengira kalau Aditya akan berbuat seperti itu dengan Cahaya. "Ah, gak mungkin, kamu cuma salah lihat aja kali." Tapi, sebisa mungkin ia berusaha untuk tetap bersikap tenang dan mencoba berpikiran positif. "Salah lihat gimana? Aku melihat langsung dengan mataku sendiri, pas aku datang ke sana, di ruang tamu mereka sedang berpelukan gitu, Za!" ucap Langit kekeh. "Terus?" "Ya, tentu saja aku langsung emosi dong sama mereka." "Lalu, kamu langsung marah
Sudah beberapa hari ini, Langit selalu saja marah-marah dan uring-uringan tak jelas. Sehingga membuat para anak buahnya pun manjadi keheranan dan bertanya-tanya, "Ada apa dengan CEO muda yang kini terlihat sangat menakutkan, karena sering kali mudah emosian dan selalu marah kepada semua orang. Semua yang dilakukan oleh pegawainya di kantor, selalu saja salah di matanya. Sampai-sampai mereka kebingungan dan tak tahu lagi bagaimana cara menghadapinya. Reza yang kebetulan sedang berada di kantor, langsung saja masuk ke ruangan sang CEO muda tersebut. "Lang, kau ini kenapa sih, marah-marah mulu? Tuh, kasihan semua orang jadi pada ketakutan, gara-gara kamu yang marah-marah nggak jelas tahu! Udah kayak macan yang lagi ngamuk aja sih, kamu," keluh Reza. "Taulah, Za. Pusing aku," sahut Langit sewot. Seraya memijit dahi, raut wajah lelaki itu tampak lesu, menyiratkan rasa frustasi yang tengah membelenggu di dalam hati. Seraya menghela napas, tanpa disuruh duduk, lelaki berkemeja krem