Share

Penolakan Langit

"Ta-tapi, aku gak bisa menikah dengan dia, Pah. Karena Aku tidak mencintainya, Pah," elak Langit.

"Lagi pula aku juga tidak sengaja melakukan itu semua. I-itu hanya kecelakaan. Sungguh aku gak sengaja. Aku khilaf, Pah." Tentu saja pria muda berusia 25 tahunan itu langsung menolaknya.

"Terus kamu maunya bagaimana, Langit? Setelah semua ini terjadi, lalu kamu mau lepas dari tanggungjawab, huh?" pungkas Bagus kesal.

"Langit-langit! Papah dan Mamahmu ini tidak pernah mengajarimu tuk jadi orang yang tidak bertanggungjawab seperti ini, Langit!" lanjutnya.

Tiba-tiba saja keluarga dari Cahaya yang sengaja dipanggil oleh Bagus telah datang. Yaitu Paman dan Bibiknya Cahaya kini telah masuk ke rumah tersebut.

"Tuan, ini Pak Hadi dan istrinya sudah datang," ucap salah satu pelayan yang mempersilahkan pasangan suami istri itu untuk masuk ke ruang tamu.

Sontak semua orang yang berada di sana langsung menoleh ke arah pasangan suami istri tersebut.

"Oh, Pak Hadi dan Bu Irma. Mari-mari silahkan duduk!" ujar Bagus mempersilahkan tamunya untuk duduk.

"Iya, terimakasih, Tuan." Pria paruh baya yang telah mengabdikan diri sebagai sopir pribadi keluarga ini selama hampir 8 tahunan itu mengangguk dan memilih untuk duduk di samping keponakannya.

Lalu dengan kebingungan ia pun berkata, "Maaf, Tuan. Kalau boleh saya tau, ada apa Tuan memanggil kami datang ke sini?"

"Em ... jadi begini, Pak Hadi. Saya ingin meminta ijin kepada Bapak. Saya ingin menikahkan Cahaya dengan Langit."

"Apaa?! Ca-cahaya menikah dengan De-den Langit?" Dengan membelalakan mata, sontak sepasang suami istri itu langsung terpekik kaget.

"Gak bisa, Pah. Langit gak bisa," sanggah Langit.

"Langit! Kamu jangan bikin malu Papah di hadapan keluarganya Pak Hadi! Pokoknya kamu harus bertanggungjawab atas semua ini!" ujar Bagus penuh dengan penekanan.

"Maaf, Pah! Tapi Langit tidak bisa. Langit tidak mencintai dia, Pah. Lagi pula bisa saja, gadis itu memang sengaja telah menjebakku agar aku mau menikahinya, bukan?" Dengan tatapan sinis, lelaki tampan yang terduduk di sofa yang ada di hadapan ayahnya tersebut, malah menuduh Cahaya.

Sehingga membuat Bagus menjadi naik pitam karenanya.

"Apa kamu bilang? Kamu pikir Cahaya itu gadis yang bagaimana, huh! Dia itu gadis baik-baik. Tidak seperti kekasihmu itu yang dengan terang-terangan lebih memilih pergi dari pada harus melanjutkan hubungan kalian."

"Cukup, Pah! Sudah tidak usah membanding-bandingkan dia dengan Cellin! Yang jelas mereka sangat berbeda jauh. Cellina itu gadis yang sangat cantik sedangkan dia hanyalah gadis miskin, kampungan dan hanya seorang pelayan yang kebetulan saja bekerja di sini." Dengan senyum yang merendahkan, pria tampan itu menghina Cahaya.

Pria berkacamata dengan rambut yang sudah mulai beruban itu semakin marah saja. Dengan mengepalkan kedua tangan, ia menggertakan giginya merasa geram. Lalu ia berkata, "Tapi Cahaya jauh lebih baik darinya. Karena dia adalah gadis lugu, polos dan tidak seburuk yang kamu pikirkan, Langit!"

"Tapi tetap saja, Pah. Bisa saja di balik kepolosannya itu tersembunyi niat yang jahat 'kan, kita tidak tau!" Langit masih kekeh dengan penilainya.

"Sudah cukup, Langit! Terus sekarang kamu maunya bagaimana, huh?" bentak Bagus merasa sangat kesal dengan sikap keras kepala anaknya.

"Yang sabar, Papah! Jangan pakai emosi!" Syntia mengusap lembut bahu suaminya. Berusaha untuk menenangkannya.

"Tunggu-tunggu, sebenarnya ini ada apa ya, Tuan? Kalau boleh saya tau, apa alasan Tuan ingin menikahkan Cahaya dengan Den Langit?" Dengan penuh kebingungan Pak Hadi menyela perdebatan antara ayah dan anak tersebut. "Dan, bukankah Den Langit sudah mempunyai kekasih? Lalu, kenapa tiba-tiba Tuan meminta Cahaya untuk menikah dengan Den Langit?"

Terlihat Bagus menghela nafas berat, berusaha untuk mengontrol emosinya. "Sebelumnya saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada Pak Hadi dan keluarga. Tadi pagi ... hampir saja anak kami Langit hendak menodai Cahaya."

"Apaa?!" Karena merasa sangat syok, lelaki itu langsung berdiri tegap.

Dengan membeliakan mata, sontak sepasang paruh baya itu terlihat sangat kaget mendengarnya. Kemudian dengan rasa iba, keduanya menoleh ke arah Cahaya yang kini sedang menudukkan kepala dan sesegukan dalam tangisnya.

Bu Irma segera memeluk dan mengusap-usap pelan punggung Cahaya. Sungguh ia merasa prihatin padanya.

"Jadi, sebagai rasa tanggungjawab, saya akan menikahkan keduanya," lanjut Bagus terdengar tegas dan tak terbantahkan.

"Tapi, pah--" Lelaki berkaos putih itu ingin kembali membantah.

"Sudah cukup, Langit! Kamu mau membuat Papa semakin malu di hadapan keluarga pak Hadi?" sergah Bagus langsung menyelanya.

"Akh ... tapi ini benar-benar tidak adil, Pah." Sembari menedang kaki meja, Langit yang masih merasa tak terima itu segera bangkit dari duduknya. Jelas ia tak setuju dengan keputusan ayahnya yang memaksanya untuk mau menikahi gadis kampungan itu.

"Masa cuma gara-gara aku mau memperkosanya, aku harus menikahinya sih, Pah? Lagi pula aku kan tidak jadi melakukannya. Jadi aku rasa dia baik-baik saja. Tidak ada yang dirugikan di sini. Kecuali kalau aku benar-benar telah menyentuhnya, baru aku harus bertanggungjawab padanya."

"Lagian jika aku tadi tidak mabok, aku juga tidak akan sudi menyentuh wanita kampungan seperti dia." Sembari tersenyum miring, lagi-lagi lelaki muda itu terus saja merendahkan dan menghina Cahaya.

Sehingga membuat hati Pak Hadi mulai merasa panas mendengarnya.

"Sudah cukup Anda terus menghina keponakan saya, Den Langit. Ya, kami sadar, kami memang orang kecil, orang yang tak berpunya. Tapi kami masih mempunya harga diri dan tidak serendah yang Anda pikirkan!" sambar Pak Hadi. Lelaki paruh baya berumur 45 tahunan itu tampak mulai terpancing emosi.

"Terimakasih, atas segala penghinaan Anda terhadap keluarga kami. Tapi, perlu Anda ingat, Den Langit! Kami sama sekali tidak pernah bermimpi ingin menjadi bagian dari keluarga yang sangat terhormat ini. Karena kami sadar diri dengan posisi kami yang hanya sebagai pelayan di rumah ini."

"Dan mungkin atas kejadian ini, saya berserta keponakan saya akan langsung mengundurkan diri dari sini. Dan terimakasih atas semua kebaikan dan penghinaan keluarga ini terhadap kami. Permisi!"

"Ayo, Cahaya. Kita pulang sekarang!" Kemudian dengan wajah yang tampak mengeras, lelaki berkemaja coklat itu menarik tangan Cahaya untuk segera bangkit dari duduknya. Lalu ia ingin segera mengajaknya pergi meninggalkan rumah mewah milik majikannya tersebut.

"Tunggu, Pak Hadi! Saya mohon jangan pergi dulu sebelum masalah ini selesai!" cegat Bagus menghentikan pergerakan Pak Hadi.

"Langit, ayo sekarang kamu harus meminta maaf kepada Pak Hadi dan juga Cahaya!" titahnya menyorot tajam pada putra sulungnya.

Membuat Langit langsung mendengus kesal dan membuang wajah seolah sangat enggan untuk melakukannya.

"Langit!" Sembari menggertakan giginya, rahang Bagus terlihat sudah sangat mengeras. Sungguh ia benar-benar dibuat emosi dan malu karena sikap kurang ajar dan pembangkang anaknya tersebut.

Namun, lelaki itu malah tampak acuh tak mengindahkan perintahnya.

"Sudahlah, Pah. Jangan memaksa mereka! Orang mereka sudah ingin pergi dan ingin resain dari sini kok, malah dicegah," ucapnya enteng. Seolah lelaki itu merasa senang mendengar keputusan Pak Hadi yang ingin segera pergi dari rumahnya ini.

"Langit! Kau benar-benar --"

Seraya menunjuk ke arah Langit, tiba-tiba saja dada Bagus terasa sakit.

Seketika itu ia pun memegangi dadanya dan merintih kesakitan. "Aww ... ! Dadaku sakit sekali, Mah!"

Dan kemudian ....

Brugh!

"Papah ... !"

"Tuan!"

Sontak semua orang menjadi panik ketika melihat tubuh Bagus jatuh terkukai lemas di atas sofa.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Finza Saputra
nah loh knp itu bpknya???
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status