Share

Hampir Saja

Brakk!

Bagus Santosa dan sang istri yang bernama Sintya Widyawati itu merasa sangat terkejut. Sepulang dari perjalanan di luar kota, mereka tak sengaja mendengar ada suara keributan dari kamar sang anak sulungnya.

Sehingga otomatis membuat kedua paruh baya itu merasa keheranan dan juga sangat panik karenanya. Lalu, dengan tanpa berpikir panjang lagi, saat itu juga sang suami langsung mendobrak pintu kamar tersebut.

Dan, betapa terkejutnya mereka ketika melihat apa yang tengah dilakukan oleh dua orang yang berada di dalam kamar itu.

Langit yang sedang menindih Cahaya terjingkat kaget dan menoleh ke arah sumber suara. Begitu juga dengan wanita yang kini berada di bawahnya itu pun sama kagetnya dengannya.

"Langit! Apa yang kamu lakukan?" teriak Bagus dengan penuh emosi melihat nanar pada putra sulungnya yang kini tengah berada di atas tubuh seorang wanita.

Lalu, dengan seketika lelaki paruh baya itu segera menyeret paksa tubuh Langit agar segera bangkit dari atas gadis itu. Dan dengan sangat marah ia langsung melayangkan sebuah tamparan.

Plakk!

Langit yang masih dalam keadaan mabuk hanya sempoyongan sembari meringis kesakitan memegangi pipinya yang terasa perih dan panas akibat dari tamparan keras ayahnya.

Sementara Cahaya yang dalam keadaan setengah telanjang, baju bagian atasnya sudah terkoyak hingga menampakan bra putih yang ia kenakan. Dengan segera nenarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Lalu, sembari duduk menunduk, ia pun mulai menangis.

Sintya yang merasa sangat syok, panik dan juga iba melihatnya, segera mendekat dan memeluknya dengan erat.

"Hsstt ... sudah jangan menangis, ya! Tolong maafkan anak saya, Aya! Sudah kamu jangan takut ya, kamu sudah aman sekarang," ucapnya seraya mengusap-usap lembut kepala gadis itu.

"Hehehe ... eh, Papah," oceh Langit sembari cengengesan tersenyum pada ayahnya.

"Dasar anak bodoh. Bikin malu saja!" Dengan sangat geram lelaki paruh baya itu mulai memukulinya dengan bertubi-tubi.

Sehingga membuat Sintya yang melihatnya segera melerainya.

"Udah, stop, Papah! Dia ini sedang mabok. Sehingga ia tidak sadar dengan apa yang diperbuatnya, Papah!" sergahnya sembari berdiri di antara dua pria itu.

"Ya, justru inilah kebodohannya. Kenapa dia pakai mabok-mabokan segala. Dan lihatlah sekarang! Andai saja kita tidak datang tepat waktu, entah apa yang akan terjadi pada Cahaya sekarang?"

"Iya iya, Pah. Langit memang bersalah. Tetapi bukan begini solusinya," teriak Sintya berusaha menghentikan suaminya.

"Lalu, sekarang kita harus bagaimana, Mah? Lihatlah, kasian Cahaya. Pasti dia sangat terpukul dan juga trauma atas semua ini, Mah." Bagus menujuk gadis yang masih terus sesegukan duduk di atas ranjang sang putra.

"Mah, Pah! Ada apa ini? Kok, pada ribut di sini, sih?" Thalita yang terbangun karena mendengar kegaduhan dari kamar sang kakak segera berlari dan masuki kamar itu dengan kebingungan.

Dirinya cukup kaget saat melihat ada pecahan botol di depan kamarnya. Dan kini ia semakin merasa syok melihat Cahaya yang sedang duduk menangis di sana. Seketika itu ia langsung bergegas mendekatinya.

"A-aya, kamu kenapa?" Gadis berambut coklat itu menatapnya keheranan dan langsung memeluknya dengan sangat erat.

Sementara gadis yang dipeluknya itu hanya terisak dan tak bisa berkata-kata untuk sekedar menjawab pertayaannya.

Lalu, Thalita menoleh ke arah kakak laki-lakinya yang kini dalam bertelanjang dada. Dan penampilannya juga sangat awut-awutan tidak karuan yang mendakan kalau lelaki itu pasti sedang mabuk berat.

"Huh?!" Reflek Thalita membekap mulutnya dengan sebelah tangan, ia merasa sangat syok. Baru menyadari pasti kakaknya itu telah melakukan suatu hal yang buruk pada Cahaya.

"Thalita! Cepat bawa Cahaya ke kamarmu sekarang!" titah sang ayah. "Dan kamu Langit, Papah tunggu di ruang tamu. Kita perlu bicara sekarang juga!"

Setelah itu, lelaki berkacamata itu segera berlalu meninggalkan kamar. Sedangkan Thalita segera menuntun Cahaya untuk segera menuju kamarnya.

Sementara Sintya memapah putranya menuju ranjang dan merebahkannya di sana. Lalu ia segera keluar kamar, mencari obat untuk meredakan mabok dan memberikannya pada Langit.

***

Hingga beberapa menit kemudian, dengan masih merasa pusing di kepalanya, Langit berjalan menuju ruang tamu. Di mana di ruang itu sudah ada kedua orang tuanya, adiknya dan tentu saja Cahaya.

"Ada apa ini, Pah?" tanyanya linglung. Ia masih belum menyadari apa yang telah diperbuatnya tadi.

"Ada apa, kamu bilang? Kamu lihat dia!" teriak Bagus menunjuk gadis yang kini terduduk di sebelah putrinya.

Raut wajah gadis itu tampak begitu sedih dan terpukul. Dengan tertunduk, sesekali ia mengusap sisa air matanya yang msih terus mengalir di kedua pipinya.

Seraya mengerutkan dahi, Langit menoleh ke arahnya.

"Apa kamu sudah mengingat apa yang telah kamu lakukan padanya tadi, Langit?" tanya Bagus menatap tajam pada anaknya.

Sehingga membuat Langit merasa sangat kebingungan mendengarnya.

"Mak-maksud, Papah apaan sih? Aku gak ngerti deh." Dengan sangat lesu pemuda itu kini menjatuhkan bokongnya di atas sofa yang berada tepat di hadapan Cahaya.

"Kamu tadi hampir menodainya, Langit!" ujar Bagus sembari menggertakkan giginya geram.

"A-apaa?!" Jelas pemuda bekaos putih itu kaget mendengarnya. Namun, tak lama kemudian ia malah tertawa sumbang seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ayahnya katakan.

"Hahaha ... jangan becanda deh, Pah! Mana mungkin aku mau memperkosa gadis seperti dia. Kayak gak ada gadis lain saja," cibirnya sembari tersenyum sinis menatap Cahaya.

Brakg!

Dengan penuh emosi Bagus menggebrak meja dengan cukup keras, hingga membuat semua orang yang berada di sana tersentak kaget.

"Kamu pikir Papah sedang bercanda, huh?" bentaknya.

"Ya ya, a-aku minta maaf, Pah. A-aku benar-benar tidak bisa mengingat apa-apa tadi." Dengan terbata Langit merasa sedikit ketakutan melihat ekspresi wajah ayahnya yang tampak begitu marah padanya.

"Mu-mungkin aku khilaf, Pah! Sungguh aku gak sengaja, Pah. Tadi aku mabok, sehingga aku tidak sadar dan tidak ingat jika telah melakukan ini semua, Pah!" Pemuda berambut coklat itu berusaha membela diri.

"Kamu ini benar-benar bikin malu Papah aja, Langit! Sekarang bagaimana dengan Cahaya, hah!" Dengan geramnya Pratama mengepalkan kedua tangan. Ingin rasanya ia memukulinya lagi, namun langsung dicegah oleh istrinya.

Sementara Langit kini hanya diam tertunduk pasrah menerima amarahnya.

"Sudah! Sudah, Pah! Sabar, jangan emosi, ya! Ingat dengan penyakit jantung Papah!" Sintya mengusap lengannya berusaha untuk menenangkannya.

"Gimana gak emosi, Mah. Itu si Langit. Argh ... !" Dengan menyugar rambut kasar, Pria paruh baya itu benar-benar merasa kebingungan. "Gimana dengan Cahaya, Mah? Dan bagaimana kita menghadapi keluarganya nanti?"

Dengan tertunduk lesu, Langit pun berkata, "Maafkan Langit, Mah, Pah! Aku sudah membuat kalian kecewa."

"Langit-kangit! Papah benar-benar gak habis pikir sama kamu." Bagus bangkit dari duduknya dan mendekat ke arahnya. Kemudian sembari menghela nafas berat, ia menatap tajam sang anak yang sedang terduduk lesu di hadapannya kini.

"Kenapa kamu pakai mabok-mabokan segala, hah? Dan lihatlah sekarang, apa akibatnya! Kamu hampir menodainya. Dan sekarang kita harus bagaimana, Langit?" lanjutnya lagi.

"Ya ya, gak harus gimana-mana lah, Pah. Lagi pula aku juga tidak sampai menodainya, kan? Jadi, dia masih aman. Kenapa kita harus repot sih?" jawab Langit tanpa beban.

"Apa yang kamu bilang? Memang kau tidak sampai menodainya karena Papah datang tepat waktu. Jika tidak, yang ada kau pasti telah menodainya, Langit!" Lagi-lagi lelaki paruh baya itu merasa geram mendengar perkataan putra sulungnya yang seolah menganggap remeh masalah ini.

"Pokoknya Papah gak mau tau. Kamu harus bertanggung jawab!" tandasnya penuh dengan penekanan.

"Maksud, Papah?" Langit mengangkat wajah dan mengerutkan dahi menatapnya.

"Ya kamu harus menikahi Cahaya!"

"Apaa! Me-menikah?" pekik Langit syok.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status