Share

Terpaksa Menikahi Atasanku
Terpaksa Menikahi Atasanku
Author: Rose

BAB 1

Author: Rose
last update Last Updated: 2025-04-15 10:58:08

“Apa? Kamu mau membatalkan pernikahanmu? Cha, kamu serius?!” Suara mamanya meninggi, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Mama nggak setuju! Gimana nanti omongan orang? Undangan sudah disebar, pernikahan tinggal seminggu lagi, Ca!” Nada bicara Hana semakin tegas, antara kecewa dan marah yang mulai tak bisa disembunyikan.

Latisha menarik napas panjang, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Jangankan menjelaskan, mengingat kejadian itu saja sudah cukup membuat dadanya sesak.

Dikhianati. Diselingkuhi. Dan yang paling menyakitkan—di selingkuhi dengan sahabatnya sendiri lagi.

“Justru bagus, Ma,” katanya pelan namun mantap. “Lebih baik ketahuan sekarang daripada nanti setelah menikah.”

“Bagus?” Mama memandang Latisha dengan sorot tak percaya. “Bagus dari mana, Ca? Kamu tahu apa dampaknya ini untuk keluarga kita?”

Latisha tahu benar, kekecewaan dan kemarahan Mamanya bukan semata karena pernikahan itu batal. Lebih dari itu, Mamanya telah menaruh harapan besar pada Danu Adiyaksa—seorang abdi negara, calon menantu kebanggaan yang sering dijadikan bahan cerita di arisan dan obrolan tetangga.

"Padahal usia kamu udah pas buat menikah," gumam Hana dengan nada cemas dan getir. Di kampung mereka, perempuan seusia Latisha sudah dianggap ‘terlambat’ kalau belum menikah.

"Astaga, Ma… Icha aja belum dua lima," jawab Latisha, frustrasi. Nada suaranya berusaha tetap tenang, tapi matanya memancarkan rasa lelah yang tertahan.

Tatapan Mama seketika berubah tajam, sarat tekanan.

"Anak-anak seumuran kamu udah pada punya anak. Mama capek ditanya tetangga: ‘Kapan Latisha nikah? Kapan?’”

Kata-kata itu menampar perasaan Latisha. Diam-diam ia menarik napas dalam, menelan getir. Di usianya yang baru 24 tahun, masih banyak mimpi yang ingin ia wujudkan. Tapi bagi lingkungan sekitarnya, semua itu tak berarti apa-apa jika ia belum mengenakan kebaya putih dan duduk di pelaminan.

Masih terlalu muda, pikirnya lirih. Terlalu muda untuk menjalani hidup yang salah hanya demi memenuhi ekspektasi orang lain.

"Mama nggak mau tahu!" suara Hana meninggi, memutus renungannya. "Kamu harus pikirkan baik-baik. Jangan egois!"

Latisha menunduk. Kali ini bukan karena takut, tapi karena mencoba meredam gelombang perasaan yang mulai meledak di dadanya.

"Kamu tetap harus menikah minggu depan! mama nggak mau jadi bahan olok-olokan para tetangga."

Dengan langkah cepat dan hati yang membara, Hana bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruang tengah. Kini tinggal Latisha sendiri, duduk terpaku dengan wajah penuh frustasi.

Matanya menatap setumpuk undangan pernikahan di atas meja. Jemarinya terulur, meraih satu, lalu merobeknya. Suara kertas yang tercabik-cabik memenuhi ruangan. Satu… dua… entah sudah berapa undangan yang hancur di tangannya. Tapi ia tak peduli. Perasaan sakit dan kecewa membuatnya ingin menghancurkan semuanya—terutama harapan palsu yang pernah ia titipkan pada nama Danu Adiyaksa.

Untungnya, baru sebagian kecil undangan yang sempat tersebar—itu pun karena Mama yang begitu semangat mengabarkan pernikahan putri bungsunya kepada dunia.

"Dek…"

Sebuah suara membuat Latisha mendongak. Di ambang pintu, Arya berdiri dengan sorot mata lembut, penuh empati.

"Yakin mau dibatalin?" tanyanya pelan.

Latisha mengangguk mantap, meski matanya sedikit berair.

"Tapi bukannya Danu masih mau memperbaiki semuanya?"

"Percuma, Kak." jawab Latisha pelan tapi pasti.

"Laki-laki yang pernah selingkuh… besar kemungkinan akan mengulanginya lagi. Sekali kepercayaan dihancurkan, sulit untuk dibangun kembali."

Arya hanya mengangguk kecil. Ia paham. Kadang, memaafkan itu mungkin. Tapi melupakan? Itu luka yang akan terus membekas.

"Mama?"

Latisha menghela napas panjang.

"Kakak tau sendiri, Mama nggak akan setuju. Dia sudah menganggap Danu calon menantu sempurna. Apalagi mereka berteman dekat."

Arya terdiam. Ia tahu betul kerasnya sikap Hana—sekali punya harapan, akan sulit melepaskannya. Terlebih, Danu adalah anak sahabat lama dan juga kakak kelas Latisha saat SMA. Semuanya terasa terlalu ‘ideal’ di mata Mamanya.

"Mau kenalan sama temen Kakak?" tawar Arya tiba-tiba, mencoba mencairkan suasana.

Latisha menoleh dengan ekspresi datar.

"Kak… move on aja belum."

Arya tertawa kecil, meski wajah adiknya masih diliputi awan kelabu.

"Tapi… pernikahan kamu tinggal seminggu lagi, Dek. Nggak mungkin dibatalin gitu aja. Gedung udah, MUA, dekorasi, catering—semua udah siap."

Latisha memejamkan mata dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Kepalanya penuh, dadanya sesak. Bukan karena takut tak jadi menikah—tapi karena selama ini ia menjalin hubungan bukan dari rasa suka, tapi dari ‘seharusnya’. Karena Danu datang membawa restu Mama. Karena semua tampak begitu ideal… di permukaan.

Tapi kenyataannya, Danu menjadi luka kedua untuknya.

____

Keesokan harinya, Latisha kembali ke rutinitasnya di kantor, sebuah perusahaan konsultan tempatnya bekerja selama setahun terakhir. Wajahnya terlihat lesu, matanya sayu, tapi tetap mencoba terlihat biasa saja di hadapan rekan-rekannya.

"Ca, serius lo batal nikah?" bisik Nadya pelan, matanya melirik kanan-kiri seolah takut kalimatnya terdengar oleh karyawan lain.

Latisha hanya mengangguk malas tanpa menoleh.

"Tapi… pernikahan lo tinggal beberapa hari lagi, kan? Bukannya ini sama besok hari terakhir lo kerja?" Nadya masih tak percaya, wajahnya penuh rasa penasaran.

"Mau gimana lagi," gumam Latisha. "Daripada makan ati tiap hari, mending batal dari sekarang."

Nadya menatapnya prihatin, tapi seketika berubah usil.

"Apa jangan-jangan ini gara-gara lo sering ledekin Pak Saga sebagai perjaka tua?"

"Eh, bukan gue doang kali!" protes Latisha cepat. "Lo juga, Nad!"

Memang bukan rahasia umum kalau bos mereka— Sagara—sering jadi bahan candaan. Usianya yang sudah matang, penampilannya yang rapi dan dingin, tapi belum pernah terlihat dekat dengan perempuan manapun. Sosok pria mapan yang misterius… dan jomblo abadi.

"Tapi bisa aja kan? Bisa jadi itu karma buat lo." goda Nadya sambil menahan tawa.

Belum sempat Latisha membalas, sebuah suara berat memotong obrolan mereka.

"Latisha, ke ruangan saya."

Latisha langsung membeku. Matanya membelalak. Nadya pun ikut kaget dan pura-pura sibuk di depan layar komputer.

"Gawat. Apa dia denger, ya?" bisik Latisha panik.

"Udah sana, buruan sebelum makin marah," dorong Nadya pelan.

"Temenin gue dong…" rengek Latisha setengah serius, setengah takut.

"Yang dipanggil siapa? Gue? Bukan, kan?" Nadya balas ketus tapi geli, lalu kembali mengetik.

Dengan langkah ragu dan napas tak teratur, Latisha berjalan menuju ruangan Pak Sagara. Setiap langkah terasa seperti mendekat ke ruang interogasi. Tangannya dingin, keringat mulai muncul di pelipis. Wajahnya tegang. Dalam hati, dia hanya bisa berharap... semoga ini bukan akhir dari kariernya juga.

Sesampainya di depan pintu, Latisha menarik napas panjang. Ia mengulurkan tangan, namun ragu. Sempat ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, lalu akhirnya mengetuk pintu kayu itu pelan.

Tok... tok...

"Masuk."

Suara berat itu terdengar dari dalam—datar, tenang, tapi menggetarkan. Jantung Latisha langsung berdebar lebih kencang dari sebelumnya.

Dengan hati-hati, Latisha membuka pintu. Pandangannya langsung tertuju pada Sagara—bosnya—yang duduk tegak di balik meja kerja besar dengan ekspresi khasnya: dingin, tajam, nyaris tak berperasaan. Jas rapi, dasi senada, dan pandangan mata yang seperti bisa menembus niat seseorang hanya lewat satu lirikan.

"Duduk."

Suara itu lagi, tegas dan singkat. Latisha menelan ludah sebelum melangkah mendekat. Ia duduk di kursi di hadapan Sagara, punggungnya kaku, tangan di pangkuan tak henti bergulat satu sama lain.

"E-em... ada... apa ya, Pak?" tanyanya gugup. Suaranya terdengar pelan, hampir bergetar.

Sagara tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Latisha beberapa detik—lama, seperti sedang menilai setiap gerak-geriknya. Latisha makin salah tingkah.

Aura pria itu benar-benar menekan. Wibawanya tidak main-main. Seperti ketika ia sedang menghadapi klien besar—tajam, tenang, dan tidak memberi ruang untuk basa-basi. Sagara memang dikenal sebagai sosok yang jarang tersenyum, apalagi bersikap ramah. Baginya, efisiensi adalah segalanya, dan terlalu banyak bicara adalah pemborosan.

Latisha bisa merasakan keringat dingin mengalir pelan di punggungnya. Setiap detik terasa lambat, mencekam. Yang membuat semuanya semakin menegangkan—ia sama sekali tidak tahu alasan dipanggil.

Lalu suara itu datang, berat dan mengandung tekanan yang tak kasat mata.

"Bisa kamu jelaskan ucapan kamu tadi?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 31

    "Setelah menikah, kamu jadi lupa sama mama, ya?" tuduh Hana dengan wajah kesal, nadanya tajam, seolah Latisha adalah anak durhaka yang meninggalkan ibunya begitu saja.Siang itu, Latisha mampir ke toko kue mamanya. Sudah hampir sebulan ia tak sempat berkunjung, tenggelam dalam kesibukan kantor dan segala kerumitan hidup barunya."Bukan gitu, Ma. Icha lagi banyak kerjaan akhir-akhir ini," Latisha membela diri, berusaha terdengar lembut meski tubuhnya lelah. Tangannya sibuk menata kue di etalase, mencoba mengalihkan ketegangan."Suami kamu kan bos. Kenapa kamu masih kerja? Harusnya kamu santai, tinggal di rumah. Biarin aja suami kamu yang urus semua."Latisha menghela napas panjang, sudah hafal dengan pola pikir mamanya. Ini bukan kali pertama mereka memperdebatkan hal yang sama.Hana melipat tangan di dada, tatapannya menyelidik. "Kalau kamu dulu nurut sama mama, hidup kamu nggak akan sesulit ini, Icha. Kamu udah bisa hidup enak sama calon suami yang mama pilihkan. Kamu tuh kebangetan.

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 30

    Latisha membuka pintu apartemennya dengan sisa tenaga. Bahunya terasa pegal, langkahnya berat, dan pikirannya penuh. Hari ini benar-benar menguras energi—pekerjaan menumpuk, tenggat mepet, dan Nadya yang sejak siang tak berhenti menggodanya soal Sagara.Ia menjatuhkan tas sembarangan ke sofa lalu merebahkan diri, menatap langit-langit apartemen sambil menghela napas panjang."Aduh… capek banget. Tapi kalau nggak kerja, nggak bisa jajan," gumamnya sambil memijat pelipis sendiri.Matanya setengah terpejam, mulutnya menggerutu pelan. "Kenapa harus berubah sih… Kalau gue lupa batasan, gimana coba? Ujung-ujungnya gue juga yang sakit. Udah gitu, Nadya juga nyebelin banget hari ini."Latisha menutup wajahnya dengan bantal, mencoba mengusir semua pikiran yang berlarian di kepalanya. Ia ingin tidur, atau setidaknya istirahat barang sebentar.Baru beberapa detik matanya terpejam, tiba-tiba terdengar bunyi pintu yang terbuka dari arah depan.Deg.Latisha sontak bangkit, jantungnya berdetak cepat

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 29

    Di tengah riuh suasana kantor, pagi itu rapat dadakan digelar. Telepon berbunyi di setiap sudut ruangan, mesin fotokopi tak berhenti bekerja, dan langkah-langkah tergesa terdengar bersahutan. Semua orang tampak sibuk, berlarian menyelesaikan tugas masing-masing. Deadline mepet, dan seperti biasa, tekanan di kantor semakin menggila setiap akhir bulan.Latisha memeluk tumpukan dokumen di dadanya sambil berjalan cepat ke ruang meeting. Nadya menyusul di belakangnya dengan wajah cemas."Ca, lo yakin semua data udah kelar? Gue masih belum dapet laporan bagian finance," ujar Nadya sambil terengah-engah.“Udah gue kejar semalem. Cuma bagian summary-nya belum gue cek ulang. Gue butuh lo bantu review pas di dalam,” jawab Latisha sambil terus berjalan cepat.Begitu mereka sampai, pintu ruang rapat sudah hampir tertutup. Sagara sudah duduk di ujung meja, wajahnya seperti biasa—datar, nyaris tanpa emosi.Latisha menarik napas dalam-dalam sebelum masuk, mencoba menenangkan diri.“Maaf, Pak, sediki

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 28

    "Mau berangkat bareng?" tanya Sagara, suaranya datar tapi cukup jelas terdengar di antara suara angin pagi yang masih malas berhembus.Latisha menoleh sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan."Nggak usah, Pak. Saya bisa berangkat sendiri."Padahal dalam hati, ia ingin. Tapi... perasaan itu selalu ia tahan. Ada batas tak kasat mata yang terus ia jaga. Entah karena canggung, entah karena takut terlalu berharap.Sagara melirik jam tangan di pergelangan kirinya. "Yakin?"Latisha spontan menunduk melihat jam tangannya juga. Sudah hampir pukul tujuh. Kalau harus pesan kendaraan umum sekarang, bisa-bisa dia datang terlambat. Sagara masih diam, tapi langkahnya belum bergerak. Menunggu. Tenang tapi terasa menekan."Dia nggak mau maksa dulu gitu, ya..." gerutu Latisha dalam hati, menggigit bibir bawahnya kesal sendiri."Saya berangkat dulu."Nada suara Sagara tetap datar, sopan, tapi terasa berjarak. Ucapannya seperti sebuah pagar yang tak bisa Latisha lewati.Latisha mendesah pelan.Seb

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 27

    “Latisha.”Refleks, tubuhnya menegang. Ia menoleh cepat, nyaris terlonjak kaget. Panik melintas sekejap di wajahnya.“Sial! Gue ketahuan?” batinnya mendesah, canggung.Sagara memutar tubuh perlahan, bersandar pada kursinya. Tatapannya mengarah padanya—tenang, tapi sulit ditebak. “Belum tidur?”Latisha cepat-cepat menyusun ekspresi santai. “Eh… belum. Tadi cuma mau ambil air,” katanya sambil tersenyum canggung.Sagara mengangguk tipis. “Kamu bisa tidur duluan. Saya masih ada yang harus diselesaikan.”Namun langkah Latisha tak kunjung bergerak. Pandangannya terarah pada jam dinding, lalu kembali pada Sagara yang terlihat lelah tapi tetap memaksa duduk tegak.“Tapi ini udah tengah malam, Pak. Waktunya istirahat…” ucapnya pelan. Meski lirih, suaranya cukup jelas untuk didengar.Sagara menatapnya sesaat. Ada jeda. Seolah sedang mempertimbangkan—apakah itu bentuk perhatian atau sekadar basa-basi.“Sebentar lagi,” jawabnya akhirnya, singkat.Latisha diam sejenak, lalu memberanikan diri melan

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 26

    Ruang meeting siang ini dipenuhi suara presentasi dan gemerisik kertas. Namun di antara semua kesibukan itu, ada dua orang yang terlihat sangat berjarak.Mereka duduk bersebelahan, seperti biasa. Tapi kali ini, tak ada saling lempar pandang. Tak ada interaksi kecil yang mencairkan suasana. Hanya sunyi.Sagara membuka laptopnya, mengetik cepat tanpa sedikit pun menoleh ke arah Latisha.Latisha duduk tegak, mencatat dengan rapi, tapi jari-jarinya sesekali berhenti. Bukan karena tak paham, tapi karena pikirannya terpecah-ke arah pria di sampingnya, yang terasa begitu dekat namun nyatanya jauh."Lembar data tambahan sudah saya kirim ke email, Pak," katanya lirih, nyaris formal.Sagara hanya mengangguk, matanya tetap tertuju ke layar. "Oke. Terima kasih."Tak ada nada hangat di suaranya. Hanya suara atasan yang bicara pada rekan kerja. Dan Latisha mencatat itu baik-baik, meski tak menunjukkan apa pun di wajahnya.Nadya, yang duduk di ujung meja, melirik mereka bergantian-mengamati bahasa t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status