"Bisa kamu jelaskan ucapan kamu tadi?"
Nada suara itu menghantam seperti petir di siang bolong. Dalam sekejap, tubuh Latisha menegang. Jantungnya melonjak ke tenggorokan, berdetak tak karuan. "Ucapan yang mana ya, Pak?" tanyanya gugup, suara yang keluar terdengar kecil dan ragu. Sagara tidak bergeming. "Saya rasa kamu tahu apa yang saya maksud." Latisha meringis. Sial. Harusnya dia tidak membicarakan atasannya sembarangan, apalagi di lingkungan kantor. Siapa pun bisa saja mendengar, termasuk Sagara sendiri. "Maaf, Pak… tapi saya tidak tahu bagian yang mana yang Bapak maksud," katanya, mencoba bertahan walau pertahanannya mulai runtuh. Tatapan tajam Sagara membuatnya kembali menunduk. Diam-diam ia menarik napas panjang dan akhirnya membuka mulut. "Sebelumnya saya minta maaf, Pak. Dan soal ucapan saya tadi… saya minta maaf." Wajah Latisha dipenuhi rasa bersalah. "Saya tidak bermaksud untuk—" "Meledek saya?" Latisha menggigit bibir bawahnya. Kalau dipikir-pikir, lelucon tentang ‘perjaka tua’ dan ‘jomblo abadi’ memang keterlaluan. Tapi di tim mereka, candaan semacam itu seperti sudah jadi biasa. "Jadi kalian sering menjadikan saya bahan ledekan?" tanya Sagara, suaranya datar namun mengandung tekanan. "Perjaka tua. Jomblo abadi. Ada lagi?" Latisha tak sanggup menjawab. Kepalanya tertunduk dalam, bahkan untuk menatap pria di depannya saja ia tak berani. Memang, dia salah. Sangat salah. Bahkan ia mulai merasa mungkin kegagalan pernikahannya adalah balasan dari semua ucapan buruknya. "Saya mengakui kalau saya salah, Pak," ucap Latisha pelan, tulus. "Dan mungkin… saya sudah menerima karma saya. Saya batal menikah karena Calon suami saya… selingkuh dengan sahabat saya sendiri." Ucapannya meluncur begitu saja. Ia baru sadar sudah berbagi terlalu banyak, tapi rasanya semuanya sudah terlalu berat untuk terus dipendam sendiri. "Jadi kamu batal menikah?" tanya Sagara. Latisha mengangguk lemah. "Seminggu sebelum hari H… saya baru tahu. Mereka sudah menjalin hubungan di belakang saya cukup lama." Suaranya bergetar. "Calon suami saya… eh, mantan calon." "Miris sekali," ucap Sagara pelan. Sial. Latisha memejamkan mata sejenak. Komentar itu lebih menusuk dari yang ia duga. "Jadi saya mohon maaf, Pak, atas semua sikap saya. Saya sungguh-sungguh menyesal," lanjut Latisha, berharap permintaan maafnya bisa menghapus setidaknya sebagian dari kesalahan yang telah ia buat. Sagara terdiam cukup lama. Matanya menatap Latisha dengan sorot yang sulit ditebak. "Lalu… apa rencana kamu selanjutnya?" tanyanya akhirnya. Latisha mengangkat bahu, putus asa. "Saya belum tahu. Mungkin pakai waktu cuti untuk liburan. Kabur sebentar dari semua ini." Bahkan menyebut ‘liburan’ terasa sarkastik sekarang. Yang ia pikirkan hanyalah menjauh. Dari semua orang. Dari luka. "Kamu kira dengan kabur, masalah akan selesai?" Sagara bertanya tenang, tapi pertanyaannya tajam. Latisha kembali menggeleng. Bahkan untuk pulang ke rumah saja, ia tak sanggup. Ia tak siap menghadapi wajah kecewa ibunya. Tak siap menjawab pertanyaan tetangga. Tak siap menerima bahwa impian pernikahannya hanya tinggal kenangan. "Saya punya solusi," ucap Sagara tiba-tiba. Latisha mengangkat kepala, terkejut. "Solusi?" Sagara menarik napas panjang, lalu menatap Latisha lurus-lurus. "Kamu nggak perlu kabur. Nama baik kamu, juga keluarga kamu, bisa tetap aman." Latisha menunggu, penasaran—dan waspada. Sampai kemudian... "Menikahlah dengan saya." Deg. "Hah? Menikah?" Latisha membelalak. "Maksud Bapak… saya?" Lamaran? Ini… termasuk lamaran, bukan? "Anggap saja ini solusi untuk kita berdua," lanjut Sagara dengan nada serius. "Kamu nyaris batal menikah, dan saya... sedang didesak keluarga untuk segera menikah." Latisha menatapnya dalam diam. Oke. Ini aneh. Ini... gila. "Jadi Bapak mengajak saya menikah kontrak?" tanyanya hati-hati. "Anggap saja begitu." Latisha mengerjap. Apakah bosnya ini sudah berpikir matang sebelum menjatuhkan ‘solusi’ semacam itu? "Maaf, Pak… mungkin saya memang sedang terdesak. Tapi pernikahan bukan sesuatu yang bisa dianggap main-main," ucapnya, tegas tapi tetap sopan. Sagara mengangguk ringan. "Saya tidak memaksamu. Kamu masih punya waktu seminggu. Gunakan untuk berpikir." Latisha menatap pria di depannya lama. Untuk sesaat, ruangan itu terasa terlalu sempit untuk menampung semua kekacauan hidupnya. ___ Latisha melangkah keluar dari ruangan Sagara dengan wajah murung dan langkah lesu, seolah seluruh energinya telah terkuras habis. "Lo diapain sama Pak Saga?" tanya Nadya cemas, yang sejak tadi menunggu di dekat meja kerjanya. Wajahnya tegang, terutama setelah insiden tadi—saat mereka tanpa sengaja tertangkap basah sedang membicarakan atasan mereka. Latisha tidak langsung menjawab. Ia hanya berjalan lemas ke arah mejanya, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kursi seperti karung beras yang kehabisan isi. "Gue boleh nangis nggak sih?" tanyanya lirih, nyaris seperti bisikan putus asa. Wajah Nadya langsung berubah panik. "Lo… lo dipecat?!" Latisha menggeleng pelan, lalu merebahkan kepalanya di atas meja. Pandangannya kosong, pikirannya kacau. Rasanya otaknya masih belum bisa memproses apa yang baru saja terjadi. Batal menikah. Dilamar atasannya. Apa-apaan hidup ini? "Ca! Icha!" Nadya menepuk-nepuk bahunya dengan panik. "Lo kenapa? Jangan-jangan lo habis di aniaya Pak Saga!" "Nadya!" Latisha mengangkat wajahnya sedikit, menatap sahabatnya itu dengan mata melebar. "Otak lo bisa stop drama nggak sih?" Nadya mendengus lega, tapi tetap waspada. "Ya maaf. Tapi ekspresi lo kayak orang habis di aniaya." Latisha menghembuskan napas panjang, lalu duduk tegak. "Gue dilamar." Nadya mengerutkan kening. "Sama siapa? Kevin?" Latisha menggeleng. "...Sama siapa dong?" Latisha menatap Nadya dalam-dalam. "Sama Pak Sagara." Beberapa detik hening. Nadya hanya menatapnya, tak berkedip. "...HAH?!" Suara Nadya membuat hampir seluruh kantor menoleh. Nadya menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak seperti baru saja mendengar berita besar. Ia mendekat, berbisik panik seolah takut tembok pun bisa ikut menyimak. "Lo serius? Pak Sagara? Bos kita?" Latisha hanya mengangguk lemah, menatap meja dengan pandangan kosong. "Dia… ngelamar lo? Pakai cincin? Berlutut?" Nadya bertubi-tubi menyerang dengan pertanyaan, campuran panik dan rasa tidak percaya. "Enggak, Nad. Nggak se-melankolis itu. Dia lebih kayak... nawarin kontrak kerja sama, kaya pernikahan kontrak gitu." jawab Latisha, suaranya lelah. Nadya menggeleng cepat, masih susah memproses. "Tunggu, tunggu. Gue rewind dulu. Jadi lo habis dikhianatin calon suami lo, terus… sekarang lo malah ditawarin nikah kontrak sama bos lo sendiri?" Latisha mengangguk lagi. Nadya menatapnya lama, sebelum akhirnya menghembuskan napas panjang. "Ini bukan mimpi, kan? Gue nggak lagi masuk ke dunia lain, kan?" "Kalau iya, tolong bangunin gue juga," gumam Latisha. Ia memejamkan mata sebentar, berusaha meredam segala kekacauan dalam dadanya. "Terus lo bakal terima?" tanya Nadya lebih pelan, lebih hati-hati sekarang. "Gue nggak tahu, Nad. Gue cuma tahu satu hal: hidup gue udah kacau." Suara Latisha nyaris pecah. Nadya menatap sahabatnya dengan tatapan iba, lalu tanpa berkata apa-apa, ia duduk di samping Latisha dan langsung merentangkan kedua tangannya, memeluk Latisha erat. "Oke," bisik Nadya lembut, "Sekarang kita tarik napas dulu... lalu kita pikirin baik-baik. Kenapa coba, seorang Pak Sagara yang kita tau tidak percaya dengan relationship dingin, dan tidak tersentuh itu, tiba-tiba ngajak lo nikah?" Latisha menarik napas pelan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang masih kacau. Ia mengangguk pelan, lalu menatap Nadya, matanya berkaca-kaca. "Itu yang bikin gue takut, Nad. Gue nggak ngerti jalan pikirannya. Gue harus gimana?" suara Latisha nyaris pecah, penuh kebimbangan dan lelah.Latisha menatap ragu ke arah rumah dua lantai bergaya klasik yang berdiri megah di hadapannya. Ada desakan tak nyaman yang perlahan merayap di dadanya, menyesakkan. Pernikahannya dengan Sagara bukan sekadar janji suci—ini adalah simpul rumit dari keputusan tergesa dan alasan yang tak pernah sepenuhnya jujur.Pria yang kini berdiri di sampingnya resmi menjadi suaminya, namun segalanya terasa asing. Sejak awal, Latisha tahu mereka berasal dari dunia yang berbeda. Ia hanya perempuan biasa, sementara Sagara... terlalu sempurna, terlalu jauh, seperti bintang yang indah tapi tak terjangkau."Kenapa?" Suara Sagara memecah lamunannya. Lembut, namun cukup kuat untuk menariknya keluar dari belenggu kegelisahan yang membungkus hati.Latisha buru-buru menggeleng. “Enggak, cuma capek aja, Pak,” bisiknya pelan. Dengan langkah berat, ia turun dari mobil, mencoba menyembunyikan kegugupan yang berdesak di dadanya. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di rumah mertuanya — apalagi s
Setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih satu jam, pesawat yang mereka tumpangi akhirnya mendarat mulus di Bandar Udara Ahmad Yani, Semarang. Sejak beberapa waktu lalu, Latisha mulai merasakan perutnya kosong—keroncongan yang semakin memekik seiring waktu. Ia melewatkan makan siang, dan kini rasa lapar itu berubah menjadi nyeri yang menyesak.Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, sementara pandangannya sempat mengabur sejenak. Perutnya melilit seperti diperas, namun ia masih berusaha tegar, menahan rasa tak nyaman itu di perutnya.Latisha nyaris kehilangan keseimbangan saat langkahnya melemah—tubuhnya sudah terlalu lemas karena menahan lapar. Untung saja Sagara sigap menggandeng lengannya, menuntunnya dengan tenang hingga mereka keluar dari pesawat.“Tunggu di sini. Saya ambil bagasi dulu.” Suara bariton Sagara memecah kesadarannya. Tatapan pria itu sempat singgah di wajah Latisha, memperhatikan rona pucat yang mulai muncul di pipinya, lalu tanpa banyak kata, ia b
"Pak Saga emang seotoriter itu, Mas?" tanya Latisha, memecah keheningan dalam perjalanan pulang.Seperti yang terjadi pagi tadi, rencana liburannya kembali gagal. Alih-alih menikmati waktu luang, kini ia harus menerima kenyataan: Sagara memintanya ikut ke Semarang. Memaksa, lebih tepatnya.Memangnya harus secepat ini? Bagaimana kalau keluarga Sagara salah paham?Apa pria itu sudah memikirkannya matang-matang sebelum mengambil keputusan?"Otoriter gimana maksudnya?" Kevin menoleh sebentar, melirik Latisha yang duduk bersedekap di kursi penumpang."Masa tiba-tiba ngajakin ke Semarang?" sahut Latisha dengan nada jengkel, matanya memandang jalanan kosong seolah mencari jawaban.Kevin tersenyum kecil, lalu kembali fokus ke jalanan. "Kayaknya sih dia cuma mau maksimalkan masa cuti kamu, Ca."Latisha mengerucutkan bibir, merenung. "Hmm...bisa jadi. Kenapa aku nggak kepikiran ya?" gumamnya pelan.Mungkin memang begitu. Ini cara Sagara menjaga agar tidak muncul masalah baru, seperti kekhawatir
Latisha menoleh saat pintu kamar terbuka. Sagara masuk dengan langkah tenang. Handuk kecil menggantung di bahunya, sementara leher dan pelipisnya masih basah oleh sisa keringat. Latisha tak tahu sejak kapan pria itu pergi. Saat terbangun pagi tadi, tempat di sebelahnya sudah dingin dan kosong.“Dari mana, Pak?” tanyanya.“Gym,” jawab Sagara singkat, nyaris tanpa menoleh.Latisha menyodorkan secangkir kopi yang telah ia siapkan sejak beberapa menit lalu. “Saya sudah pesan sarapan. Kalau Bapak berkenan, kita bisa makan sekarang.”Sagara menerima cangkir itu tanpa banyak kata. Sekilas, tatapannya menelusuri wajah Latisha sebelum akhirnya berkata pelan, “Terima kasih.” Lalu duduk di sofa seberang, menyeruput kopi perlahan.Keheningan merambat, hanya diisi detik jam dinding yang kini terdengar begitu nyaring.Latisha menggeser duduknya, berusaha mencairkan suasana yang terasa canggung. Terlalu asing bagi dua orang yang baru saja menikah.“Bapak kerja hari ini?”“Ya. Sampai sore. Kamu bisa
Latisha baru saja selesai membersihkan diri. Uap hangat masih memenuhi kamar mandi saat ia berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Wajah yang tadi tersembunyi di balik lapisan make-up kini tampak polos, tanpa topeng. Tak ada lagi riasan untuk menutupi kecemasannya. Tak ada senyum palsu untuk menyamarkan gelisah yang sejak tadi bersarang di hatinya.Tadi, ia bisa menyembunyikannya. Duduk anggun, tersenyum sopan, menjalani peran dengan nyaris sempurna. Tapi sekarang, di ruang sunyi ini, segalanya runtuh. Riasan telah hilang. Begitu pula pertahanan dirinya.Ia menarik napas dalam, seolah mencoba mengembalikan kendali atas pikirannya yang berlarian ke mana-mana. Lalu, dengan gerakan pelan, ia membuka pintu dan melangkah keluar.Kamar hotel terasa terlalu luas, terlalu sepi. Ia melangkah menuju ranjang dan duduk perlahan, menyandarkan punggung pada headboard. Seolah berharap sandaran itu bisa menampung lelah yang tak hanya fisik, tapi juga batinnya.“Hari ini benar-benar
“Saya terima nikah dan kawinnya Latisha Salsabila binti Atmaja dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”Suara tegas dan lantang itu menggetarkan dada Latisha. Tangannya otomatis menggenggam erat tangan Nadya, seolah mencari sandaran di tengah derasnya kenyataan.Penghulu menoleh ke para saksi. “Bagaimana, para saksi? Sah?”“Sah!” serempak suara itu terdengar.Latisha masih seperti melayang. Ia nyaris tak percaya bahwa dirinya baru saja resmi menjadi istri Sagara Alverio Dirgantara — atasannya, sekaligus pria yang muncul membawa jalan keluar di saat dunia seolah runtuh.“SAHHH!” seruan Nadya memecah keheningan, terdengar lebih nyaring dan bersemangat dibanding saksi-saksi lain, membuat beberapa kepala menoleh ke arahnya.Wajah Nadya langsung berubah. Ia meringis, menyadari kekeliruannya sendiri. “Oops…”Latisha hanya bisa menggeleng, menahan tawa di antara gugup dan haru.“Gila, lo beneran jadi istrinya Pak Saga, Ca!” bisik Nadya, matanya membulat dengan campuran kagum dan tidak perc
Latisha menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya putih sederhana membalut tubuhnya dengan anggun, memberikan kesan lembut sekaligus elegan. Tapi keindahan itu tak mampu menyamarkan kegundahan di matanya.Detik-detik menjelang akad, keraguan justru semakin menguat. Ia masih belum benar-benar yakin dengan keputusannya menikah dengan Sagara, pria itu adalah atasannya sendiri, pria yang belum lama ia kenal secara pribadi. Semuanya terjadi terlalu cepat, terlalu tiba-tiba. Hanya karena ia tak ingin membuat mamanya kecewa, tak ingin terlihat gagal lagi setelah pernikahannya dengan Danu batal.Ia memilih Sagara... pria yang tidak pernah Latisha duga sebelumnya."Sudah siap, Sayang?"Suara lembut yang begitu familiar membuyarkan lamunan Latisha. Ia menoleh dan menemukan sosok ayahnya berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan jas rapi, dengan senyum hangat yang langsung meluruhkan hatinya."Sudah, Pa," jawabnya pelan, tersenyum kecil.Atmaja melangkah masuk, menatap putri semata wayangnya
"Jelaskan pada Mama."Tatapan Hana menusuk, penuh tuntutan. Ia menanti jawaban. Selama ini ia mengira Tisha hanya butuh waktu untuk memulihkan diri setelah pernikahannya batal. Namun malam ini, putrinya datang bersama seorang pria asing—dan memperkenalkannya sebagai calon suami."Seperti yang Icha bilang, Ma. Dia laki-laki pilihan Icha," kata Tisha, suaranya terdengar tegas meski hatinya masih diliputi keraguan."Kamu yakin? Menikah dengan pria yang bahkan Mama belum tahu siapa dia?" tanya Hana. Nadanya menurun, tapi masih mengandung ketegasan khas seorang ibu."Icha yakin, Ma.""Danu?"Satu nama yang membuat dada Tisha menegang. Nama yang dulu membuatnya tersenyum—kini tak lebih dari luka yang nyaris membusuk.Pengkhianatan Danu seminggu lalu masih membekas. Dan bukan hanya karena perselingkuhan itu... tapi karena siapa yang terlibat di dalamnya.Tisha mengalihkan pandangannya. Menatap lantai sejenak sebelum kembali menatap ibunya dengan sorot yang lembut namun tak lagi rapuh."Ma, t
Latisha membeku di tempat. Tatapannya terkunci pada mobil putih yang baru saja berhenti di seberang jalan. Saat pintunya terbuka dan sosok yang tak asing melangkah keluar, napasnya tercekat.Danu.Dengan kemeja putih tergulung di lengan dan potongan rambut cepak rapi khas abdi negara, pria itu berjalan cepat ke arahnya.“Latisha,” panggilnya, suara pelan tapi sarat tekanan. “Aku bisa jelasin semuanya.”Latisha hanya menatapnya tanpa ekspresi. Luka yang ditorehkan Danu belum sempat mengering. “Lo masih mau menjelaskan apa lagi? Setelah lo tidur sama sahabat gue sendiri?”Raut wajah Danu mengeras, napasnya tertahan. “Itu nggak seperti yang kamu pikir, Ca. Aku bisa jelasin semuanya... tolong, kasih aku kesempatan.”“Lo pikir gue masih butuh penjelasan?” potong Latisha, suaranya gemetar, tapi nadanya tajam. “Gue udah cukup hancur, Dan. Dan sekarang lo muncul, seolah semuanya bisa lo perbaiki cuma dengan permintaan maaf?”Danu menunduk sejenak, lalu menatap Latisha dalam-dalam. “Aku masih