LOGINSeminggu sebelum hari bahagianya, Latisha justru dihadapkan pada pengkhianatan paling menyakitkan, calon suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Segala persiapan pernikahan yang telah disusun dengan rapi mendadak berubah menjadi kekacauan. Undangan sudah tersebar, gedung telah dipesan, dan ibunya sama sekali menolak mendengar kata "batal"—karena semua sudah siap, seratus persen tanpa celah. Saat Latisha berada di ambang putus asa, tawaran tak terduga datang dari pria yang tak pernah ia bayangkan "Menikahlah dengan saya." Sagara—atasan yang dikenal dingin, logis, dan nyaris tak tersentuh. Bukan cinta yang ia tawarkan, melainkan sebuah kesepakatan. Pernikahan tanpa rasa, sekadar untuk menyelamatkan reputasi dan menghindari tekanan keluarga. Namun, akankah sebuah pernikahan yang dimulai tanpa cinta bisa bertahan? Atau justru, perasaan itu akan tumbuh... di antara kebisuan dan kebersamaan yang tak direncanakan?
View More“Apa? Kamu mau membatalkan pernikahanmu? Cha, kamu serius?!” Suara mamanya meninggi, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Mama nggak setuju! Gimana nanti omongan orang? Undangan sudah disebar, pernikahan tinggal seminggu lagi, Ca!” Nada bicara Hana semakin tegas, antara kecewa dan marah yang mulai tak bisa disembunyikan. Latisha menarik napas panjang, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Jangankan menjelaskan, mengingat kejadian itu saja sudah cukup membuat dadanya sesak. Dikhianati. Diselingkuhi. Dan yang paling menyakitkan—di selingkuhi dengan sahabatnya sendiri lagi. “Justru bagus, Ma,” katanya pelan namun mantap. “Lebih baik ketahuan sekarang daripada nanti setelah menikah.” “Bagus?” Mama memandang Latisha dengan sorot tak percaya. “Bagus dari mana, Ca? Kamu tahu apa dampaknya ini untuk keluarga kita?” Latisha tahu benar, kekecewaan dan kemarahan Mamanya bukan semata karena pernikahan itu batal. Lebih dari itu, Mamanya telah menaruh harapan besar pada Danu Adiyaksa—seorang abdi negara, calon menantu kebanggaan yang sering dijadikan bahan cerita di arisan dan obrolan tetangga. "Padahal usia kamu udah pas buat menikah," gumam Hana dengan nada cemas dan getir. Di kampung mereka, perempuan seusia Latisha sudah dianggap ‘terlambat’ kalau belum menikah. "Astaga, Ma… Icha aja belum dua lima," jawab Latisha, frustrasi. Nada suaranya berusaha tetap tenang, tapi matanya memancarkan rasa lelah yang tertahan. Tatapan Mama seketika berubah tajam, sarat tekanan. "Anak-anak seumuran kamu udah pada punya anak. Mama capek ditanya tetangga: ‘Kapan Latisha nikah? Kapan?’” Kata-kata itu menampar perasaan Latisha. Diam-diam ia menarik napas dalam, menelan getir. Di usianya yang baru 24 tahun, masih banyak mimpi yang ingin ia wujudkan. Tapi bagi lingkungan sekitarnya, semua itu tak berarti apa-apa jika ia belum mengenakan kebaya putih dan duduk di pelaminan. Masih terlalu muda, pikirnya lirih. Terlalu muda untuk menjalani hidup yang salah hanya demi memenuhi ekspektasi orang lain. "Mama nggak mau tahu!" suara Hana meninggi, memutus renungannya. "Kamu harus pikirkan baik-baik. Jangan egois!" Latisha menunduk. Kali ini bukan karena takut, tapi karena mencoba meredam gelombang perasaan yang mulai meledak di dadanya. "Kamu tetap harus menikah minggu depan! mama nggak mau jadi bahan olok-olokan para tetangga." Dengan langkah cepat dan hati yang membara, Hana bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruang tengah. Kini tinggal Latisha sendiri, duduk terpaku dengan wajah penuh frustasi. Matanya menatap setumpuk undangan pernikahan di atas meja. Jemarinya terulur, meraih satu, lalu merobeknya. Suara kertas yang tercabik-cabik memenuhi ruangan. Satu… dua… entah sudah berapa undangan yang hancur di tangannya. Tapi ia tak peduli. Perasaan sakit dan kecewa membuatnya ingin menghancurkan semuanya—terutama harapan palsu yang pernah ia titipkan pada nama Danu Adiyaksa. Untungnya, baru sebagian kecil undangan yang sempat tersebar—itu pun karena Mama yang begitu semangat mengabarkan pernikahan putri bungsunya kepada dunia. "Dek…" Sebuah suara membuat Latisha mendongak. Di ambang pintu, Arya berdiri dengan sorot mata lembut, penuh empati. "Yakin mau dibatalin?" tanyanya pelan. Latisha mengangguk mantap, meski matanya sedikit berair. "Tapi bukannya Danu masih mau memperbaiki semuanya?" "Percuma, Kak." jawab Latisha pelan tapi pasti. "Laki-laki yang pernah selingkuh… besar kemungkinan akan mengulanginya lagi. Sekali kepercayaan dihancurkan, sulit untuk dibangun kembali." Arya hanya mengangguk kecil. Ia paham. Kadang, memaafkan itu mungkin. Tapi melupakan? Itu luka yang akan terus membekas. "Mama?" Latisha menghela napas panjang. "Kakak tau sendiri, Mama nggak akan setuju. Dia sudah menganggap Danu calon menantu sempurna. Apalagi mereka berteman dekat." Arya terdiam. Ia tahu betul kerasnya sikap Hana—sekali punya harapan, akan sulit melepaskannya. Terlebih, Danu adalah anak sahabat lama dan juga kakak kelas Latisha saat SMA. Semuanya terasa terlalu ‘ideal’ di mata Mamanya. "Mau kenalan sama temen Kakak?" tawar Arya tiba-tiba, mencoba mencairkan suasana. Latisha menoleh dengan ekspresi datar. "Kak… move on aja belum." Arya tertawa kecil, meski wajah adiknya masih diliputi awan kelabu. "Tapi… pernikahan kamu tinggal seminggu lagi, Dek. Nggak mungkin dibatalin gitu aja. Gedung udah, MUA, dekorasi, catering—semua udah siap." Latisha memejamkan mata dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Kepalanya penuh, dadanya sesak. Bukan karena takut tak jadi menikah—tapi karena selama ini ia menjalin hubungan bukan dari rasa suka, tapi dari ‘seharusnya’. Karena Danu datang membawa restu Mama. Karena semua tampak begitu ideal… di permukaan. Tapi kenyataannya, Danu menjadi luka kedua untuknya. ____ Keesokan harinya, Latisha kembali ke rutinitasnya di kantor, sebuah perusahaan konsultan tempatnya bekerja selama setahun terakhir. Wajahnya terlihat lesu, matanya sayu, tapi tetap mencoba terlihat biasa saja di hadapan rekan-rekannya. "Ca, serius lo batal nikah?" bisik Nadya pelan, matanya melirik kanan-kiri seolah takut kalimatnya terdengar oleh karyawan lain. Latisha hanya mengangguk malas tanpa menoleh. "Tapi… pernikahan lo tinggal beberapa hari lagi, kan? Bukannya ini sama besok hari terakhir lo kerja?" Nadya masih tak percaya, wajahnya penuh rasa penasaran. "Mau gimana lagi," gumam Latisha. "Daripada makan ati tiap hari, mending batal dari sekarang." Nadya menatapnya prihatin, tapi seketika berubah usil. "Apa jangan-jangan ini gara-gara lo sering ledekin Pak Saga sebagai perjaka tua?" "Eh, bukan gue doang kali!" protes Latisha cepat. "Lo juga, Nad!" Memang bukan rahasia umum kalau bos mereka— Sagara—sering jadi bahan candaan. Usianya yang sudah matang, penampilannya yang rapi dan dingin, tapi belum pernah terlihat dekat dengan perempuan manapun. Sosok pria mapan yang misterius… dan jomblo abadi. "Tapi bisa aja kan? Bisa jadi itu karma buat lo." goda Nadya sambil menahan tawa. Belum sempat Latisha membalas, sebuah suara berat memotong obrolan mereka. "Latisha, ke ruangan saya." Latisha langsung membeku. Matanya membelalak. Nadya pun ikut kaget dan pura-pura sibuk di depan layar komputer. "Gawat. Apa dia denger, ya?" bisik Latisha panik. "Udah sana, buruan sebelum makin marah," dorong Nadya pelan. "Temenin gue dong…" rengek Latisha setengah serius, setengah takut. "Yang dipanggil siapa? Gue? Bukan, kan?" Nadya balas ketus tapi geli, lalu kembali mengetik. Dengan langkah ragu dan napas tak teratur, Latisha berjalan menuju ruangan Pak Sagara. Setiap langkah terasa seperti mendekat ke ruang interogasi. Tangannya dingin, keringat mulai muncul di pelipis. Wajahnya tegang. Dalam hati, dia hanya bisa berharap... semoga ini bukan akhir dari kariernya juga. Sesampainya di depan pintu, Latisha menarik napas panjang. Ia mengulurkan tangan, namun ragu. Sempat ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, lalu akhirnya mengetuk pintu kayu itu pelan. Tok... tok... "Masuk." Suara berat itu terdengar dari dalam—datar, tenang, tapi menggetarkan. Jantung Latisha langsung berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Dengan hati-hati, Latisha membuka pintu. Pandangannya langsung tertuju pada Sagara—bosnya—yang duduk tegak di balik meja kerja besar dengan ekspresi khasnya: dingin, tajam, nyaris tak berperasaan. Jas rapi, dasi senada, dan pandangan mata yang seperti bisa menembus niat seseorang hanya lewat satu lirikan. "Duduk." Suara itu lagi, tegas dan singkat. Latisha menelan ludah sebelum melangkah mendekat. Ia duduk di kursi di hadapan Sagara, punggungnya kaku, tangan di pangkuan tak henti bergulat satu sama lain. "E-em... ada... apa ya, Pak?" tanyanya gugup. Suaranya terdengar pelan, hampir bergetar. Sagara tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Latisha beberapa detik—lama, seperti sedang menilai setiap gerak-geriknya. Latisha makin salah tingkah. Aura pria itu benar-benar menekan. Wibawanya tidak main-main. Seperti ketika ia sedang menghadapi klien besar—tajam, tenang, dan tidak memberi ruang untuk basa-basi. Sagara memang dikenal sebagai sosok yang jarang tersenyum, apalagi bersikap ramah. Baginya, efisiensi adalah segalanya, dan terlalu banyak bicara adalah pemborosan. Latisha bisa merasakan keringat dingin mengalir pelan di punggungnya. Setiap detik terasa lambat, mencekam. Yang membuat semuanya semakin menegangkan—ia sama sekali tidak tahu alasan dipanggil. Lalu suara itu datang, berat dan mengandung tekanan yang tak kasat mata. "Bisa kamu jelaskan ucapan kamu tadi?"Sagara baru saja kembali dari dapur dengan segelas air di tangan ketika suara lembut namun tegas itu menghentikan langkahnya. Malam sudah larut, rumah hampir sepenuhnya sunyi, namun satu panggilan itu menghentikan langkahnya.“Sagara.”Ia menoleh.“Ya, Ma?” tanyanya pelan, menatap Hana yang berjalan ke arahnya.“Latisha sudah tidur?” tanya Hana pelan.Sagara mengangguk. “Sudah.”“Mama boleh bicara sebentar?”“Tentu, Ma.”Hana mengambil gelas, mengisinya dengan air putih, lalu berjalan ke meja makan. Ia memberi isyarat halus.“Duduk, Sagara.”Sagara menurut. Ini pertama kalinya mereka duduk berhadapan tanpa Latisha atau siapa pun di sekitar. Ada perasaan asing yang Sagara rasakan, karena bisa di bilang menantu dan mertua itu sangat jarang bicara bahkan bertegur sapa.Hana menatap menantunya penuh, “Kamu pasti sudah mendengar tentang Mama dan Latisha, kan?”“Sedikit,” jawab Sagara jujur.Hana menghembuskan napas panjang. “Apa kamu tidak keberatan dengan semua itu? Dan sekarang kamu tah
Pagi ini seharusnya menjadi pagi yang paling membahagiakan bagi Latisha. Pagi yang ringan setelah semua beban yang ia lepaskan lewat deeptalk bersama Sagara semalam. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, ia merasa bisa bernapas tanpa beban.Namun semua itu runtuh begitu ia melangkah masuk ke kantor.Bisik-bisik. Tatapan iba. Desas-desus yang semakin jelas. Dan kini, Latisha terduduk di ruangannya sendiri, tubuhnya gemetar hebat, sementara Nadya sibuk menenangkannya."Gue percaya sama lo, Ca. Sumpah, gue percaya sama lo." sudah puluhan kali Nadya mengucapkan kalimat itu, tapi air mata Latisha justru mengalir semakin deras. Tangannya kini gemetar seolah kehilangan tenaga.Bagaimana tidak?Berita tentang ibunya yang kembali disebut sebagai wanita ketiga dalam kehidupan Atmaja Wiryadinata, pengusaha sukses yang merupakan ayah kandungnya, tersebar luas di berbagai media. Rahasia dan luka lama yang selama ini ia kubur dalam-dalam, kini dikoyak paksa di hadapan publik.“Mbak… aku antar
Sagara menatap Latisha dalam-dalam, memastikan bahwa ia tidak salah melangkah. Tatapannya lembut, tapi penuh kehati-hatian. “Saya tahu, hal ini nggak mudah buat kamu,” ucapnya pelan. “Tapi… kamu nggak masalah kalau kita bahas malam ini?”Latisha menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. “Nggak apa-apa, Mas.”Mungkin, pikirnya, memang sudah waktunya. Sudah saatnya ia berhenti menyimpan semua ini sendiri.Sagara mengangguk pelan. “Kalau gitu, saya mulai, ya.”Ia menatap Latisha dengan nada yang hati-hati. “Hubungan kamu sama Papa… sekarang udah baik-baik aja?”Pertanyaan itu membuat Latisha terdiam. Ia mencoba mengingat kembali, saat di mana ia mulai belajar menerima kembali kehadiran sang ayah.Bagaimana lelaki itu datang tanpa paksaan, tanpa tuntutan. Hanya berusaha hadir, perlahan. Bagaimana di saat ibunya berada di titik terendah, ayahnya diam-diam membantu membiayai semuanya: sekolah, rumah, kebutuhan hidup. Semua tanpa meminta balasan, bahkan tanpa memberitahu.Tapi d
“Ada masalah?” tanya Sagara tiba-tiba. Suaranya tenang, tapi cukup untuk membuat Latisha yang sejak tadi melamun mengangkat kepala. Tatapannya bingung, sedikit kaget.“Enggak kok,” jawabnya cepat sambil tersenyum tipis. “Emangnya kenapa, Mas? Ada yang aneh dari aku?”Sagara tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap istrinya lekat, dalam diam yang terasa panjang. Sejak Latisha pulang sore tadi, ada sesuatu yang berbeda. Senyumnya sama, tapi matanya… tidak seterang biasanya.Beberapa hari terakhir, Sagara sudah mulai terbiasa dengan versi Latisha yang lebih terbuka, lebih hangat. Tapi malam ini, entah kenapa, aura itu terasa berbeda, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat di balik tawa kecilnya.“Latisha,” ucap Sagara akhirnya, pelan tapi tegas. “Ada yang mau saya bicarakan.”Latisha menatapnya, mencoba tersenyum walau jelas senyum itu terasa dipaksakan. “Tentang apa, Mas?”Sagara menarik napas panjang. “Beberapa minggu belakangan ini, saya sudah berusaha buat nunjukin sesua






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews