Latisha menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya putih sederhana membalut tubuhnya dengan anggun, memberikan kesan lembut sekaligus elegan. Tapi keindahan itu tak mampu menyamarkan kegundahan di matanya.
Detik-detik menjelang akad, keraguan justru semakin menguat. Ia masih belum benar-benar yakin dengan keputusannya menikah dengan Sagara, pria itu adalah atasannya sendiri, pria yang belum lama ia kenal secara pribadi. Semuanya terjadi terlalu cepat, terlalu tiba-tiba. Hanya karena ia tak ingin membuat mamanya kecewa, tak ingin terlihat gagal lagi setelah pernikahannya dengan Danu batal. Ia memilih Sagara... pria yang tidak pernah Latisha duga sebelumnya. "Sudah siap, Sayang?" Suara lembut yang begitu familiar membuyarkan lamunan Latisha. Ia menoleh dan menemukan sosok ayahnya berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan jas rapi, dengan senyum hangat yang langsung meluruhkan hatinya. "Sudah, Pa," jawabnya pelan, tersenyum kecil. Atmaja melangkah masuk, menatap putri semata wayangnya dengan mata yang sedikit berkaca. "Papa nggak nyangka, putri kecil papa hari ini akan menikah," ucapnya serak, namun penuh kebanggaan. Latisha menunduk, menyembunyikan perasaan yang berkecamuk. "Doain Tisha ya, Pa..." "Selalu. Bahkan tanpa kamu minta pun, doa papa nggak pernah putus untuk kamu." Latisha mendekat, memeluk ayahnya erat. Pelukan yang lama, seolah ingin menggantikan tahun-tahun yang terlewat tanpa kebersamaan sejak perceraian kedua orang tuanya. Hubungan mereka tak pernah putus, tapi waktu yang sempit membuat momen seperti ini jadi langka dan berharga. Beberapa saat kemudian, Latisha melepaskan pelukan itu perlahan. Ia menatap wajah ayahnya dengan rasa ingin tahu yang sulit disembunyikan. "Pa," panggilnya pelan. "Kenapa papa menyetujui Mas Sagara? Maksud Tisha... kenapa papa yakin dia pilihan yang tepat?" Atmaja terdiam sejenak, menatap mata putrinya seolah sedang mencari jawaban yang paling jujur. "Bukankah dia pria yang kamu pilih?" tanyanya pelan. Latisha menggigit bibirnya, ragu, lalu mengangguk pelan. "Iya, Pa... Mas Sagara pilihan Tisha." Atmaja tersenyum, mengusap pipi Latisha lembut. "Selama ini papa mungkin nggak selalu hadir, papa yakin kamu nggak sembarangan memilih calon suami." Latisha hanya bisa terdiam. Ia menghela napas. "Papa nggak bisa kasih banyak untuk kamu, Cha. Tapi kalau dengan menyetujui pilihanmu ini papa bisa bikin kamu bahagia, itu sudah cukup buat papa." Latisha tersenyum lagi, kali ini dengan mata yang basah. Keyakinannya mungkin belum utuh, tapi langkahnya sudah terlanjur maju. Tidak ada tombol "undo", tidak ada jalan mundur. Apa pun yang menantinya di depan sana, ia akan menghadapinya karana ini pilihannya. "Papa keluar dulu, ya. Sepertinya acaranya sebentar lagi dimulai," ucap Atmaja sambil merapikan ujung jasnya. Wajahnya tampak gugup dan tegang. Latisha mengangguk sambil tersenyum. "Jangan lupa tarik napas, Pa. Yang nikah Icha, bukan Papa." Atmaja tertawa kecil, tapi matanya masih menyiratkan kegugupan. "Iya juga, ya… Tapi rasanya tetap deg-degan. Apalagi ini pertama kalinya Papa mengantarkan putri kecil Papa untuk pria pilihannya." Latisha terkekeh pelan. Melihat wajah cemas ayahnya membuat jantungnya sedikit lebih tenang. "Papa ke bawah dulu, ya," ujar Atmaja pelan, lalu berbalik menuju pintu kamar. Namun sebelum sempat membukanya, ketukan pelan terdengar. "Om…" suara Nadya menyusul, disertai kepala yang mengintip dari balik daun pintu. Seperti biasa, aura Nadya langsung membawa hawa segar. Sedikit berisik, tapi selalu menyenangkan. Atmaja tersenyum melihat kehadiran sahabat putrinya. "Masuk, Nadya. Icha di dalam." "Terima kasih, Om," Nadya berjalan masuk, dan matanya langsung menyapu seluruh penampilan sahabatnya. "Whoa… Latisha. Lo cantik banget. Tapi... tunggu. Ini kebaya yang mana, ya? Kok beda dari yang kita pilih di butik waktu itu?" Latisha terkekeh. "Ini dikirim semalam. Katanya dari keluarganya Pak Sagara." Nadya langsung mendekat, memperhatikan detail kebaya itu. "Bentar. Ini bagus dan lebih cocok di badan lo sih... Seriusan, ini dia yang siapin?" "Iya. Kirimannya banyak banget. Kebaya, perhiasan, sampai seserahan baru." "Gila. Gokil. Gue pikir dia dateng cuma modal niat doang. Ternyata totalitas." Latisha tertawa pelan. "Katanya ibunya desainer di Semarang. Jadi dia pengen gue pakai kebaya buatan ibunya." Nadya melongo. “Lo seriusan nikah sama Pak Saga? Yang mukanya kayak es batu permanen, misterius, jarang ngomong, tapi… ya, gue akuin, ganteng sih.” Latisha terkekeh, lalu mengangkat bahu. “Yakin nggak yakin, Nad. Tapi akad bentar lagi. Emang masih bisa kabur sekarang?” “Kalau lo mau viral di Medsos karena pengantin kabur sebelum ijab kabul sih, silakan,” kata Nadya sambil menyeringai. “Tapi kalau denger saran gue, mendingan nikah aja sama Pak Saga. Minimal lo dapet calon suami yang sempurna kaya Pak Saga bukan kaya si Panu yang suka selingkuh itu.” Latisha tertawa pelan. “Ini gue beneran nikah, ya?” “Ya iyalah,” Nadya mengangguk mantap. “Pak Saga itu paket komplit, Cha. Oke, emang dia keliatan cuek dan dingin, kayak kenebo kering belum direndam. Tapi… dia tipe yang kalau udah sayang, pasti total. Worth it banget, percaya deh.” Latisha menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih sedikit kacau. “Doain aja, ya. Semoga ini bukan cuma pernikahan mendadak yang penuh drama, tapi juga bisa jadi awal dari sesuatu yang... entah, mungkin bahagia?” Nadya langsung menggenggam tangan sahabatnya erat. “Gue doain banget. Dan kalau suatu saat dia mulai ngeselin, lo tinggal ingetin...dia yang lamar lo untuk jadi istrinya, dan dia juga pernah ngirimin kebaya spesial dari Semarang. Itu effort, Cha. Cowok effort tuh langka, kayak diskon di akhir bulan.” Latisha tertawa lagi lebih lepas, lebih lega. Mungkin hatinya belum sepenuhnya yakin. Tapi hari ini, setidaknya ia tidak sendiri. Dan tawa yang hadir bersamaan dengan doa, adalah awal yang cukup baik untuk sebuah perjalanan panjang. “Eh, eh..bentar-bentar,” ujar Nadya tiba-tiba, sambil menegakkan badan dan mengangkat satu tangan, seolah sedang menangkap sinyal penting dari alam semesta. Latisha mengerutkan dahi. “Kenapa? Lo mau berak?” Nadya berdecak kemudian memasang wajah serius. “Dengerin deh. Kayaknya akad bakal dimulai. Barusan ada suara MC dari bawah ngomong, ‘mohon para tamu undangan berkumpul... bla bla bla... mempelai pria sudah siap’.” Latisha langsung menegang. Tawa yang tadi sempat lepas kini menguap entah ke mana. Nafasnya terasa lebih pendek, jantungnya mulai berdetak tak karuan. Tangannya dingin seperti baru keluar dari kulkas. Nadya memperhatikan perubahan ekspresi Latisha, lalu mendekat dan bertanya pelan, “Lo gugup, Cha?” “Dikit…” Latisha meringis sambil mengipasi dirinya dengan tangan kosong. “Oke, banyak. Jantung gue udah kayak drum band, nggak beraturan, dan berisik banget.” Nadya tertawa kecil, lalu meraih tangan sahabatnya dan menggosok punggungnya dengan lembut. “Wajar lah. Lo bukan cuma mau ganti status, Cha, tapi juga ganti partner hidup. Ini langkah gede. Tapi gue harap banget, pernikahan ini jadi awal dari kebahagiaan lo. Yang beneran.” Latisha menatap sahabatnya dengan mata hangat. Degup jantungnya masih cepat, tapi hatinya terasa sedikit lebih ringan. “Thanks, Nad. Lo selalu jadi orang pertama yang bikin gue ketawa, bahkan pas lagi gugup begini.” Nadya menyeringai lebar. “Itu tugas gue sebagai sahabat lo. Dan sekarang, tugas gue juga buat nganter lo ke pelaminan... sama Pak Saga!”Hari itu Latisha tenggelam dalam tumpukan rapat penting. Berkas-berkas berserakan, suara diskusi belum juga reda, sementara pikirannya sudah mulai lelah. Di tengah kesibukan itu, ponselnya bergetar pelan. Sekilas matanya menangkap sebuah nama di layar, Pak Sagara.Jantungnya refleks berdetak lebih cepat. Pria itu jarang sekali menghubunginya lewat pesan, jadi melihat namanya muncul di notifikasi membuat rasa penasarannya melonjak. Ia segera meraih ponsel di atas meja, membuka pesan itu.Pak Sagara| Datang ke ruangan saya.| Saya sudah beli makan, kita makan siang bersama.Me| Tumben?Pak Sagara| Bisa langsung ke ruangan saya. Saya sudah lapar.Sudut bibir Latisha terangkat. Ia bahkan sampai menggigit pipi bagian dalamnya, menahan senyum yang terus mengembang. Ternyata perkataan Sagara semalam bukan sekadar janji kosong.“Saya boleh bantu kamu untuk pulih, dan mendapatkan cinta kamu?”“Saya tidak tahu,” jawab Latisha lirih saat itu.Sagara hanya menarik napas dalam, lalu menatapnya
"Aku tidak membenci cinta, aku hanya takut jatuh terlalu dalam… karena jatuh membuatku sadar betapa kerasnya tanah saat aku terhempas."~Latisha~.."Kenapa nggak bilang dulu?" suara Latisha terdengar pelan, tapi jelas sarat dengan perasaan yang campur aduk. Mereka sudah berada di kamar, hanya berdua. Lampu redup menyorot wajahnya yang masih menyimpan rasa curiga.Sagara yang duduk di ujung ranjang menarik napas panjang sebelum menjawab. "Kamu tahu, kan? Kejutan itu bukan buat diumumin. Saya cuma pengin nunjukin kalau saya punya usaha… punya effort buat bertahan sama kamu."Kalimat itu membuat Latisha bangkit dari posisi tidurnya. Ia duduk bersila, menatap Sagara lurus-lurus dengan sorot mata penuh tanda tanya."Yakin, Pak?" tanyanya, datar namun menusuk.Sagara mengernyit, agak bingung dengan intonasi istrinya. "Kenapa nanya gitu?"Latisha tersenyum miring, pahit. "Bapak ingat nggak, hubungan kita satu bulan terakhir ini jauh dari kata baik-baik aja? Kita bahkan nyaris bercerai. Dan
Latisha mendongak, menatap Sagara penuh selidik. Suaranya bergetar ketika menyebut satu nama, "Mbak Clara?"Tentu saja, setelah semua kejadian akhir-akhir ini, ia tidak bisa begitu saja menaruh percaya pada orang lain. Sagara mungkin terlihat meyakinkan, namun rasa takutnya masih lebih kuat."Clara?" alis Sagara terangkat, sorot matanya bingung."Bukankah bapak mau balikan—""Saya dan Clara sudah selesai tujuh tahun lalu," potong Sagara tegas, matanya tak lepas dari Latisha, seolah ingin memastikan istrinya mengerti. Ada ketegasan sekaligus ketulusan yang terasa dalam ucapannya.Namun Latisha tetap terdiam. Ada sesuatu di kepalanya yang terus bergolak. Ia ingin percaya, tapi luka-luka masa lalu membuat langkahnya tertahan.Sagara menarik napas panjang, lalu menatap Latisha dengan ekspresi yang sulit ditebak antara jengkel dan sayang. "Saya kadang penasaran, sebenarnya apa sih yang muter di kepala kamu ini?" gumamnya sambil mengetuk lembut dahi Latisha dengan jemarinya.Latisha hanya m
“Saya tahu kamu masih muda. Kamu masih punya banyak hal yang ingin kamu kejar, banyak mimpi yang mungkin belum sempat kamu wujudkan.” nada Sagara terdengar tenang, tapi ada getaran samar yang membuat Latisha spontan menunduk menatapnya.Kening Latisha berkerut. “Terus?”Sagara menahan napas sejenak sebelum melanjutkan, “Tapi… saya mau minta satu hal dari kamu. Boleh?”Latisha menatapnya bingung. Jemarinya yang tadinya sibuk di pelipis Sagara kini terhenti, seakan ikut membeku bersama suasana. “Apa?” tanyanya hati-hati.Sagara tidak langsung menjawab. Tatapannya tak lepas dari wajah muda istrinya, seolah mencari keberanian untuk melepaskan kata-kata yang selama ini tertahan.“Apa, Pak?” ulang Latisha pelan, kali ini lebih lembut.Sagara menghela napas panjang, lalu berkata lirih, “Jangan lari lagi dari saya, Sha.”Latisha mengerjap, tak siap dengan jawaban itu.“Saya tahu kamu belum sepenuhnya terbuka sama saya. Kadang kamu menghindar, pura-pura sibuk, pura-pura nggak peduli. Tapi…” su
“Ibu balik sore nanti,” ujar Latisha pelan, melangkah menghampiri Sagara yang sedang duduk di ruang tengah.Pria itu terlihat lelah. Punggungnya bersandar di sofa, mata terpejam, seakan tubuhnya baru saja dipaksa menanggung beban yang berat. Saat mendengar suara Latisha, matanya perlahan terbuka, menoleh pada sosok yang berdiri di sampingnya.“Kok mendadak?” tanyanya heran. Ia ingat betul ibunya sempat bilang akan tinggal sedikit lebih lama di sini.“Ayah kangen, katanya,” jawab Latisha singkat. Senyum samar tersungging di bibir Sagara, meski hanya sesaat. Namun Latisha cukup peka untuk menangkapnya.“Ambilkan ponsel saya di ruang kerja, boleh?” ucap Sagara tiba-tiba, membuat Latisha mengerutkan dahi bingung.“Untuk apa?” tanyanya.“Saya mau minta tolong Kevin, biar dia yang antar Ibu ke bandara.”Latisha mengernyit. “Bapak sibuk?”Sagara menggeleng pelan. “Tidak… cuma kepala saya sedang pusing.”Latisha terdiam sebentar, lalu berkata tegas, “Tapi saya ikut Mas Kevin antar Ibu ke band
"Saya baru tahu… selera Bapak ternyata seperti dia."Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibir Latisha, dingin namun penuh luka. Ia segera membuka pintu mobil dengan terburu-buru, langkahnya tergesa menuju area basement apartemen yang remang.Hatinya kacau. Sejujurnya, ia kesal setengah mati. Selama ini, Latisha pikir menikah dengan Sagara setidaknya akan bebas dari drama perempuan masa lalu. Ia yakin pria itu berbeda tidak tertarik pada hal-hal seperti itu. Bahkan selama satu tahun bekerja di perusahaannya, tak sekalipun Latisha mendengar kabar Sagara dekat dengan perempuan mana pun.Tapi nyatanya, hari ini ia justru dipaksa menelan kenyataan pahit.Meski begitu, Latisha tahu itu bukan sepenuhnya salah Sagara. Mereka menikah bukan karena cinta, melainkan karena kebutuhan. Sebuah kesepakatan dingin yang seharusnya tidak melibatkan hati. Namun, siapa yang bisa menjamin? Empat bulan berbagi atap, berbagi ruang, bahkan berbagi ranjang… apa mungkin benar-benar tidak ada perasaan yang tum