LOGIN"Jelaskan pada Mama."
Tatapan Hana menusuk, penuh tuntutan. Ia menanti jawaban. Selama ini ia mengira Tisha hanya butuh waktu untuk memulihkan diri setelah pernikahannya batal. Namun malam ini, putrinya datang bersama seorang pria asing—dan memperkenalkannya sebagai calon suami. "Seperti yang Icha bilang, Ma. Dia laki-laki pilihan Icha," kata Tisha, suaranya terdengar tegas meski hatinya masih diliputi keraguan. "Kamu yakin? Menikah dengan pria yang bahkan Mama belum tahu siapa dia?" tanya Hana. Nadanya menurun, tapi masih mengandung ketegasan khas seorang ibu. "Icha yakin, Ma." "Danu?" Satu nama yang membuat dada Tisha menegang. Nama yang dulu membuatnya tersenyum—kini tak lebih dari luka yang nyaris membusuk. Pengkhianatan Danu seminggu lalu masih membekas. Dan bukan hanya karena perselingkuhan itu... tapi karena siapa yang terlibat di dalamnya. Tisha mengalihkan pandangannya. Menatap lantai sejenak sebelum kembali menatap ibunya dengan sorot yang lembut namun tak lagi rapuh. "Ma, tolong izinkan Icha memilih jalan Icha sendiri," katanya lirih, tapi tegas. Ia tahu pilihannya belum tentu benar. Apakah menikah dengan Sagara akan membawa kebahagiaan? Atau hanya menunda kehancuran? Bayang-bayang pernikahan orang tuanya dulu membayang. Dulu mereka saling mencintai saja bisa berpisah. Lalu... apa yang bisa ia harapkan dari pernikahan yang bahkan tidak dibangun dengan cinta? Namun satu hal yang ia tahu pasti: melanjutkan pernikahan dengan Danu bukanlah pilihan. "Dulu Mama yang mengenalkan Icha pada Mas Danu," lanjutnya pelan. "Mama bilang dia pria baik, mapan, bisa menjaga Icha. Dan Icha percaya. Kami dekat. Tapi semuanya berubah, Ma. Dan kejadian kemarin... itu bukan yang pertama." Hana mengernyit. "Maksud kamu?" "Selama ini Icha diam. Berpura-pura tidak tahu. Berkali-kali memaafkan Mas Danu. Tapi kemarin, saat Icha tahu siapa perempuan itu...sahabat Icha sendiri—semuanya runtuh. Rasanya seperti ditampar berkali-kali oleh kenyataan yang selama ini Icha abaikan. Dan Icha sadar... cukup. Kali ini, Icha harus memilih untuk melindungi diri Icha sendiri." Hening. Hana menatap putrinya lama. Matanya sedikit berkaca-kaca, tapi ia masih berusaha menahan segalanya tetap di tempat. "Kamu yakin... Sagara, pria yang baik?" "Kami sudah kenal hampir satu tahun, Ma. Dia atasan Icha di kantor. Memang awalnya hanya sebatas rekan kerja. Tapi seiring waktu... kami mulai saling percaya. Mulai merasa nyaman. Mungkin bukan cinta seperti yang Mama harapkan, tapi... ada rasa tenang saat Icha bersamanya." Tisha sendiri tak yakin apakah ia sedang mencari persetujuan, atau sekadar alasan untuk menenangkan hatinya sendiri. ____ Sejak malam itu, Tisha tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Obrolan antara Sagara, Danu, dan ayahnya terasa seperti potongan film yang tak bisa ia tonton. Tak ada kabar. Tak ada penjelasan. Ayahnya pun bungkam sejak malam itu. Hari-hari pun terus berjalan. Dua hari lagi adalah hari pernikahan yang seharusnya jadi momen paling sibuk dalam hidupnya. Tapi justru sekarang, Tisha hanya duduk di meja kerjanya... menunggu sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu jawabannya. Dan hari ini, menjadi hari terakhir ia bekerja sebelum resmi mengambil cuti pernikahan. "Ca, jadi gimana kelanjutan nikahan lo?" Nadya mencondongkan tubuh, matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang tak bisa disembunyikan. Tisha menghela napas pelan. "Gue juga belum tahu. Sejak malam itu... semuanya diam. Nggak ada kabar apa pun." Ia menggigit bibir bawahnya pelan. Hatinya sama gelisahnya dengan pertanyaan yang terus berputar di kepalanya. Sebelum sempat tenggelam dalam pikirannya sendiri, sebuah suara memanggil namanya. "Latisha, bisa ke ruangan saya sebentar?" Suara berat itu memotong lamunannya. Tisha mendongak dan menemukan sosok yang dua hari ini menghilang dari peredaran: Sagara. "S-saya, Pak?" tanyanya gugup. Sagara hanya mengangguk singkat, lalu berbalik dan berjalan menuju ruang kerjanya tanpa menoleh. Latisha tetap terpaku di tempat. Matanya masih mengikuti punggung pria itu yang menghilang di balik pintu kaca. "Udah sana, dipanggil calon suami sendiri tuh," goda Nadya dengan nada iseng. "Gue takut," lirih Tisha, nyaris seperti gumaman untuk diri sendiri. "Takut? Lah, ngajak dia ke rumah aja berani, masa dipanggil ke ruangan aja ciut? Ingat, sekarang statusnya calon suami lo." Latisha hanya mendengus kecil, setengah kesal, setengah malu. Tapi ia tahu Nadya benar. Maka dengan langkah pelan, ia berdiri dan mulai berjalan menuju ruangan Sagara, membawa serta sejuta pertanyaan dalam dadanya. Setelah mengetuk dan mendapat izin masuk, Tisha membuka pintu. Di sana, Sagara sudah duduk seperti biasa—tenang, tak terbaca. Hanya matanya yang menatap Tisha dengan sorot berbeda. Dalam dan langsung menembus lapisan keraguan di hatinya. "Ada perlu apa, Bapak memanggil saya?" tanyanya hati-hati, tetap berdiri di depan meja. "Duduk dulu. Ada hal yang harus kita bicarakan." Tisha menurut, menarik kursi dan duduk di hadapan pria itu. Tangannya bertaut di atas pangkuan. Ia merasa seperti duduk di ujian hidup. "Kamu tahu kamu akan menikah dengan siapa dua hari lagi?" Pertanyaan itu membuat Tisha membeku sejenak. Ia menggeleng perlahan. Wajahnya menampakkan kebingungan, cemas, dan segalanya yang tak bisa ia ucapkan. "Papa kamu merestui kita." Ucapan Sagara tenang. Pasti. Tidak ada jeda keraguan di sana. "Jadi dua hari lagi, kita menikah." Tisha mengangkat kepalanya, menatap pria itu tak percaya. Bagaimana bisa? Bagaimana ayahnya yang dulu begitu ketat, begitu selektif, bisa merestui Sagara dengan mudah? Dulu, Danu bahkan harus melewati serangkaian 'tes'—pertanyaan tajam, tugas mendadak dari Papa, hingga akhirnya mendapat restu. Dan karena itu Tisha pun luluh. Ia menerima Danu karena orang tuanya setuju, karena Danu tampak ideal... hingga kenyataan membongkar topeng itu. "Maksudnya... saya dan Bapak... menikah?" Suara Tisha terdengar pelan, nyaris tercekat. Ia menatap pria di hadapannya dengan ekspresi tak percaya. "Bagaimana bisa?" tanyanya lagi, mencoba mencari celah dari logika yang tak bisa ia pahami. Sagara tetap tenang. Pandangannya tidak bergeser sedikit pun dari wajah Tisha. "Kamu tidak perlu tahu semua detailnya," ucapnya, datar tapi tegas. "Yang jelas, kamu bisa lepas dari Danu... dan keluar dari kekacauan yang kamu alami." Tisha terdiam. Ia tahu Sagara benar. Pernikahan ini seperti jalan keluar dari pusaran masalah yang tak kunjung selesai. Tapi tetap saja, hatinya penuh tanya. "Tapi... pernikahan seperti apa yang akan kita jalani, Pak?" Ada jeda sesaat. Suasana di dalam ruangan seperti menegang. Denting jarum jam terdengar sangat jelas di antara sunyi mereka. "Pernikahan yang tidak akan membuatmu menunduk karena rasa malu," jawab Sagara, lirih namun penuh makna. "Dan tidak akan membuat orangtuamu merasa gagal membesarkanmu." "Kenapa Bapak melakukan semua ini? Kita bukan dekat... kita bahkan hampir tidak pernah bicara kecuali soal pekerjaan. Apa Bapak punya tujuan lain?" Sagara menatap Tisha dengan wajah tenang yang sangat sulit untuk Tisha baca, pria di depannya benar-benar misterius. "Setiap orang punya alasan saat memilih sesuatu yang tidak masuk akal di mata orang lain, Latisha." "Dan alasan Bapak... tidak bisa saya ketahui?" "Bukan tidak bisa. Hanya belum waktunya."“Ca, itu siapa?” tanya Nadya sambil mencondongkan tubuh sedikit ke arah Latisha. Pandangannya tertuju pada seorang pria yang berdiri di samping Sagara, rambutnya dikuncir rapi ke belakang, wajahnya tegas namun santai.“Namanya Daniel,” jawab Latisha dengan nada ringan. Ia tahu, sosok itu memang mudah mencuri perhatian. Daniel memiliki rambut gondrong yang selalu ia ikat saat acara formal seperti ini, memberinya kesan rebel tapi tetap rapi.“Wujudnya bad boy banget,” gumam Nadya sambil meneliti penampilan pria itu dari atas sampai bawah. Kemeja putihnya sedikit oversize, dua kancing teratas dibiarkan terbuka, dan cara ia berdiri pun lebih mirip seniman ketimbang karyawan kantoran.“Lo kenal?” tanya Nadya sambil melirik ke arah Latisha, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.Latisha menggeleng santai. “Enggak, cuma tau aja. Suami gue sempat nyebut kemarin,” jawabnya, lalu kembali fokus menatap layar komputer.Sementara itu, pandangan Nadya belum beranjak dari sosok pria yang sedang ber
“Maaf ya, Pak.” Suara pelan itu membuat Sagara menoleh. Keningnya sedikit berkerut, menatap wajah istrinya yang tampak ragu.“Untuk?” tanyanya singkat.“Semuanya,” jawab Latisha lirih. Entah kenapa, sampai sekarang pun rasa bersalah itu masih saja menempel di hatinya. Ia tahu, pernikahan mereka dimulai dari keadaan yang tidak biasa, walaupun Sagara yang menawarkan pernikahan itu, tetap saja Latisha merasa telah menyeret pria itu ke dalam pusaran masalahnya.Sagara menghela napas perlahan, lalu berbalik sepenuhnya menghadap istrinya. Tatapannya hangat, dalam, dan tenang.“Saya tidak pernah merasa kamu punya salah. Tapi kalau pun ada, saya sudah memaafkannya,” ucapnya lembut.Latisha mengerucutkan bibirnya, cemberut kecil.“Kenapa? Mau dicium?” goda Sagara dengan nada santai.Latisha langsung menggeleng kuat, wajahnya memerah.“Kesalahan saya banyak, tahu, Pak,” ujarnya, mencoba menutupi rasa gugupnya dengan nada manja.Sagara tersenyum tipis, sudut bibirnya terangkat.“Oh ya? Coba seb
"Ma..."Suara lembut itu membuat Hana menoleh pelan. Ia yang sejak tadi duduk di ruang tengah dengan televisi menyala namun tak benar-benar ditonton, mendapati sosok yang sudah lama tidak ia lihat."Icha..." gumamnya lirih, seolah tak percaya kalau putrinya benar-benar datang ke rumah."Mama apa kabar?" tanya Latisha dengan senyum kecil, langkahnya ragu tapi penuh harap."Seperti yang kamu lihat, Mama baik," jawab Hana datar. Ia mencoba bersikap biasa, seolah kedatangan Latisha tidak menggetarkan dadanya. Padahal hatinya berdebar hebat, karena rindu yang ditahan selama berbulan-bulan itu kini terasa menyesakkan.Latisha menarik napas, lalu duduk di samping ibunya. “Icha bawain cookies kesukaan Mama, loh.” Ia membuka kotak kertas berwarna cokelat muda, aroma mentega dan cokelat segera menguar di udara.Dulu, setiap kali Hana lelah sepulang kerja, Latisha kecil selalu datang membawa toples cookies hangat. “Supaya Mama senyum lagi,” katanya waktu itu. Namun, hubungan mereka berubah dingi
"Kamu atau saya duluan?" suara Sagara terdengar pelan namun mantap.Latisha mengerutkan dahi, bingung. "Apa?""Mandi," jawab Sagara singkat."Oh… Bapak duluan aja," ucap Latisha buru-buru. Suaranya terdengar kecil, nyaris tenggelam oleh degup jantungnya sendiri."Oh... Bapak duluan aja," sahut Latisha cepat. Ia masih saja belum bisa sepenuhnya percaya dengan apa yang sedang dijalaninya.Mulai hari ini, ia resmi menjadi istri dari Sagara yang sesungguhnya tanpa adanya kesepakatan lagi.Sesuatu yang dulu tak pernah terbayangkan. Bahkan Latisha sempat merasa hidupnya akan benar-benar berakhir ketika pernikahannya dengan Danu gagal. Tapi ternyata, Tuhan menunjukkan jalan lain. Jalan yang membawanya ke titik ini, menjadi seoranh istri dari seorang pria bernama Sagara.Ia bangkit pelan dari duduknya, berjalan ke arah lemari. Tangannya ragu-ragu saat hendak mengambil pakaian ganti untuk Sagara. Meski hanya hal kecil, ia ingin membalas kebaikan pria itu dengan caranya sendiri. Menjadi istri ya
“Udah selesai?” tanya Latisha begitu Sagara masuk ke kamar.Sagara hanya mengangguk lalu berjalan mendekat, wajahnya dibuat semelas mungkin. “Senin nanti Daniel mulai kerja. Kamu harus bantu saya awasin dia,” ujarnya sambil naik ke ranjang bersandar di headboard ranjang seperti dirinya.Latisha menyergit bingung. “Kenapa harus diawasi segala?”“Saya takut dia berulah.” Nada Sagara terdengar seperti orang tua yang khawatir anaknya nakal di sekolah.Latisha terkekeh, menatap wajah suaminya yang terlalu serius. “Berulah gimana? Dari yang saya lihat, Mas Daniel baik kok, Pak. Mas Daniel justru lebih humoris daripada Bapak, jadi saya rasa lebih mudah beradaptasi dan menyesuaikan diri di kantor."Sagara mendengus kecil. “Jangan bandingkan saya sama dia.”“Loh, kan bener,” sahut Latisha sambil menahan senyum. Ia memang belum lama mengenal Daniel, tapi menurutnya, adik iparnya itu jauh dari kesan merepotkan. Justru lebih hangat dan ramah dibandingkan Sagara yang kadang terlalu kaku.“Kamu tah
“Mas,” panggil Daniel dari balik pintu ruang kerja. “Hm,” gumam Sagara tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di mejanya. Daniel mengintip sebentar sebelum melangkah masuk. Ia menarik kursi lalu duduk tepat di hadapan kakaknya. “Kenapa?” tanya Sagara akhirnya, nada suaranya tetap tenang seperti biasa. “Aku tadi ketemu Clara,” ucap Daniel hati-hati. Kali ini Sagara mengangkat kepalanya. Tatapannya lurus, datar, namun sama sekali tidak terguncang. “Saya sudah tahu kalau dia kembali,” jawabnya ringan, seolah nama itu tak lagi punya kuasa sedikit pun atas dirinya. Daniel menatap lekat, berusaha membaca ekspresi kakaknya. Ada sedikit rasa aneh, karena dulu hanya dengan mendengar nama Clara saja, Sagara pasti sudah berubah murung. Tapi sekarang… ia terlihat biasa saja. Daniel cukup lega sekaligus heran. “Tisha?” tanyanya ragu. “Mereka sudah bertemu,” Sagara menyandarkan tubuh ke kursi. “Dan saya rasa, Latisha tidak masalah dengan masa lalu saya itu.” Tentu saja tidak sepenuhnya







