Sofia terlihat gelisah, merasa tak nyaman dengan situasi saat ini. Ia mundur selangkah saat Liam kembali maju mendekat.
"Sebaiknya saya merapikan rak minuman, Pak Liam. Permisi." Sofia dengan sopan menjauh dari pria itu. Ia sedikit lega menyadari beberapa pengunjung masih berada di dalam toko meski malam semakin larut. Sofia sengaja mengajak berbincang seorang wanita muda yang terlihat kebingungan mencari jenis minuman tertentu. Sesekali ia mengawasi bosnya, mencari tahu apakah pria itu sudah bersiap untuk pergi. Sofia baru bisa bernafas lega saat Liam keluar dari toko dan pergi dengan mobilnya. Keesokan malam, Jack datang untuk mengisi bahan bakar mobilnya. Setelah meletakkan nozzle, Jack masuk hendak membayar saat ia menyadari hanya ada satu kasir yang bertugas malam itu. Jack tertegun sesaat melihat sosok wanita yang berada di balik meja kasir. Ia mungkin salah mengenali wanita itu sebagai Sofia karena kasir yang sedang bertugas malam ini jauh berbeda dengan Sofia yang ia kenal beberapa minggu lalu. Wanita itu tengah serius menghitung jumlah stok rokok di etalase dekat meja kasir hingga tak menyadari kedatangan pelanggan. Jack melangkah mendekat. Saat mendengar langkah kaki, barulah Sofia menoleh dan mengucapkan salam. "Selamat malam, ada... " Suaranya menggantung di udara ketika menyadari pengunjung toko ternyata adalah Jack. Sofia tersenyum canggung. "Hai, Jack. Kau sedang mengisi bahan bakar?" Jack baru percaya saat mendekat jika wanita di depannya adalah Sofia. Perubahan yang cukup membuat Jack terpesona sesaat. "Ya." Jack mengulurkan uang ke atas meja sembari pandangannya menatap lekat ke arah Sofia. Sofia menerima uang itu dan mengambil kembalian dari dalam laci kasir. "Kau selalu bertugas sendirian di malam hari?" tanya Jack penasaran. "Ya, aku hanya mendapat jatah sif pagi seminggu sekali." Sofia tersenyum dan mengulurkan uang kembalian. Jack tiba-tiba saja membayangkan sesuatu yang berbahaya bisa saja menimpa Sofia. Bertugas sendirian di malam hari bukan pekerjaan yang mudah. "Kenapa tidak mencari pekerjaan lainnya?" "Aku hanya lulusan sekolah menengah atas, ini pekerjaan pertama yang kudapatkan dengan mudah." Jack termangu beberapa saat. Setelahnya ia teringat akan sesuatu hal penting. "Aku sudah mendapat surat ijin menikah. Kabari aku saat kau sudah siap melakukan upacara pernikahan." "Aku siap kapan saja," sela Sofia cepat. Ia ingin segera mendapatkan status menikah dan mengajukan permohonan hak asuh kepada pengadilan. Jack mengangguk. "Asal kau tahu, aku tak menyiapkan pesta untuk upacara pernikahan kita." "Tak apa. Yang terpenting status pernikahan kita sudah sah secara hukum." "Baiklah, kita bisa melakukannya minggu depan." "Bagus, Jack, aku senang sekali. Terima kasih." Sofia tersenyum kemudian meraih tasnya, mengambil dompet dan menyerahkan kartu hitam milik Jack, "ini kartumu, Jack. Aku sudah menyewa baju pengantin dan melakukan perawatan tubuh seperti perintahmu." Jack menatap kartu yang diletakkan Sofia di atas meja kasir. "Pakai saja, kebutuhanmu masih banyak, 'kan?" Sofia menggeleng. "Aku sudah memiliki tabungan dari gajiku." Ia tak ingin Jack mengira jika dirinya memanfaatkan harta pria itu untuk bersenang-senang. "Belilah baju baru, baju yang kau pakai ke kantor ku seperti gelandangan," ucap Jack tajam seperti biasa. "Tidak perlu, aku ada sedikit uang untuk membelinya." Sofia bersikeras. Keduanya berpandangan lama. Jack akhirnya mengambil kartunya. "Kau ada waktu senggang besok?" "Aku bebas di pagi sampai siang. Aku hanya bekerja malam hari." "Beri aku alamat rumahmu." Sofia mengambil ponselnya dan mengirim alamat rumahnya melalui pesan singkat ke nomer Jack. Jack Alistair mengangguk dengan kaku. Setelahnya ia berbalik dan melangkah pergi. Keesokan pagi menjelang siang, Jack sudah berdiri di depan pintu rumah Sofia. "Ayo," ajak Jack tanpa mengatakan tujuannya. "Kemana?" tanya Sofia sembari mengunci pintu rumah dari luar. Jack tidak menjawab. Ia mengamati penampilan Sofia. Mungkin lebih baik jika perempuan itu memakai seragam kerjanya berupa celana jeans dan kaos oblong daripada gaun terusan sederhana seperti saat ini. Mereka tiba di sebuah butik di pusat kota NYC. Sofia tidak segera masuk mengikuti langkah Jack. Ia berdiri mematung dengan gelisah. "Hei, ikut aku." Jack menoleh dan berkata dengan tak sabar melihat keengganan di wajah Sofia. Sofia bergeming. Jack meraih tangan Sofia dan setengah menyeretnya masuk. "Saat kita menikah, aku tak ingin orang berpikir aku menikahi gelandangan," bisiknya kejam. Sofia mengeraskan rahang menahan emosi. Pria di sampingnya benar-benar bermulut tajam. "Beri dia semua koleksi terbaru kalian," kata Jack pada manager butik yang sepertinya mengenal Jack dengan baik. Sang manager mengangguk hormat pada pelanggannya itu dan memerintahkan dua orang stafnya untuk membantu Sofia mengepas baju. Ucapan Jack tentang semua koleksi terbaru berarti lebih dari satu. Dan kenyataannya lebih dari sepuluh. Sofia pucat saat melihat sekilas label harga pada satu baju yang sedang dipakainya. Salah satu staf yang membantu Sofia tampaknya memahami situasi. "Jangan khawatir, Nona. Tuan Jack yang akan membayar semua. Coba semua baju dan nikmati harimu," ucapnya dengan senyum ramah. "Apa dia sering membawa wanita dan melakukan hal seperti ini?" tanya Sofia penasaran. "Dulu iya saat bersama istrinya, akhir-akhir ini tidak lagi," bisik wanita muda itu tapi kemudian ia tersadar telah berbicara terlalu banyak. Ia kemudian kembali serius meneliti pakaian yang dikenakan Sofia dan memberi penjelasan sekilas tentang baju yang dikenakan Sofia. Sofia pernah mendengar sekilas rumor tentang rumah tangga Jack dan istrinya yang hanya bertahan tiga tahun. Setelah perpisahan mereka yang mendadak, Jack berubah menjadi pribadi yang tertutup. Tak ada yang tahu penyebab perceraian keduanya hingga saat ini tetap menjadi misteri. "Kurasa sudah cukup," ucap Sofia setelah mencoba beberapa pakaian. "Baik, sebenarnya ada dua lagi, Nona. Anda tidak ingin sekalian mencobanya?" Sofia menggeleng. "Maaf, saya rasa sudah cukup," tolak Sofia halus. Ia segera menghampiri Jack yang tengah sibuk menelepon. "Siapkan saja segera, tak perlu mewah, aku tak mengundang banyak orang," kata Jack dengan raut wajah serius. Setelah melihat Sofia mendekat, ia mengakhiri panggilan teleponnya, "sudah selesai?" "Sudah." Sofia berdiri canggung di dekat Jack saat pria itu menuju kasir dan membayar tumpukan kotak di sebelah meja kasir. Jack mengeluarkan sebuah kartu hitam dalam dompetnya, tampilan berbeda dari yang pernah diberikan pada Sofia. Sofia merasa tubuhnya panas dingin saat kasir menyebut total nominal yang harus dibayar Jack. Itu setara dengan gajinya selama dua tahun. "Ini terlalu banyak, Jack. Aku hanya butuh beberapa saja." "Diamlah, Sofia."Jack meminta staf toko untuk memasukkan semua pakaian Sofia ke dalam bagasi mobilnya. Sepanjang perjalanan keduanya lebih banyak diam. Sofia hanya bengong menatap Jack saat pria itu menurunkan semua tumpukan kotak berisi pakaian Sofia tepat di depan pintu masuk rumahnya. "Ingat, mulai sekarang jangan pakai baju lama mu saat kita bersama." Selesai bicara Jack berlalu pergi. Meninggalkan Sofia yang tertegun menyaksikan kepergian pria itu. Sofia akhirnya memasukkan tumpukan kotak ke dalam rumah. Ia menatap ngeri saat melihat nominal setiap harga pakaian. Sofia bangkit perlahan dari tempat duduknya dan mengemasi pakaian ke dalam lemari. Hari ini toko tidak seramai hari-hari biasanya. Sofia merapikan etalase makanan ringan saat terdengar suara pintu masuk terbuka. "Selamat malam," sapa Sofia menoleh pada wanita tua yang berdiri di depan rak obat-obatan. Sofia menghampiri saat wanita itu memijat kepalanya. "Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?" Wanita itu tersenyum. "Aku sakit kep
Sofia terlihat gelisah, merasa tak nyaman dengan situasi saat ini. Ia mundur selangkah saat Liam kembali maju mendekat. "Sebaiknya saya merapikan rak minuman, Pak Liam. Permisi." Sofia dengan sopan menjauh dari pria itu. Ia sedikit lega menyadari beberapa pengunjung masih berada di dalam toko meski malam semakin larut. Sofia sengaja mengajak berbincang seorang wanita muda yang terlihat kebingungan mencari jenis minuman tertentu. Sesekali ia mengawasi bosnya, mencari tahu apakah pria itu sudah bersiap untuk pergi. Sofia baru bisa bernafas lega saat Liam keluar dari toko dan pergi dengan mobilnya. Keesokan malam, Jack datang untuk mengisi bahan bakar mobilnya. Setelah meletakkan nozzle, Jack masuk hendak membayar saat ia menyadari hanya ada satu kasir yang bertugas malam itu. Jack tertegun sesaat melihat sosok wanita yang berada di balik meja kasir. Ia mungkin salah mengenali wanita itu sebagai Sofia karena kasir yang sedang bertugas malam ini jauh berbeda dengan Sofia yang
Sofia dengan tangan gemetar mengeluarkan kejantanan Jack dari balik celana boxernya. Sofia terkesiap sesaat. Ia bingung bagaimana cara melakukannya. Ia pernah melihat film dewasa tentang hal itu tapi ia ragu apakah ia mampu melakukannya. "Cepat lakukan, bodoh," geram Jack tak sabar. Sofia ingin menangis saat menunduk dan melakukan permintaan pria itu. Jack menyadari jika wanita di bawahnya masih asing dengan seks oral. Tapi saat kejantanannya tenggelam di dalam mulut Sofia, ia tak mempedulikan semua itu. Jack menggeram dengan suara rendah saat mendapat pelepasan. Sofia ingin muntah tapi Jack tidak membiarkan wanita itu turun dari mobilnya. "Telan," desisnya tajam sembari menekan kepala Sofia. Sofia memejamkan mata menahan air mata. Ia menelan seluruh cairan yang keluar dari kejantanan laki-laki itu. Kemudian ia menyeka ujung bibir nya. "Sudah selesai," ucap Sofia dan seketika Jack melepaskan tangannya dari kepala wanita itu. "Sekarang keluar!" usir Jack din
Sofia bangun dengan hati kacau. Setelah mandi dan memasak untuk sarapan, ia mencari lowongan pekerjaan di situs pencari kerja. Ia mendapatkan satu pekerjaan sebagai penjaga toko serba ada 24 jam yang terhubung dengan sebuah SPBU. Sofia tidak memiliki persediaan botol susu. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli tiga botol dan memompa ASI kemudian menaruhnya dalam botol-botol. Ia akan mampir ke rumah Storm untuk memberikan ASI nya untuk Jacob sebelum melamar pekerjaan. "Tolong berikan ini untuk putraku," pinta Sofia pada salah satu satpam rumah mewah milik Storm. Sofia berdiri di luar pagar dengan membawa plastik berisi botol susu. Sofia jelas tidak diperbolehkan masuk sesuai instruksi Victoria dan satpam tampaknya enggan untuk menerima kantong plastik tersebut. "Maafkan kami, Nyonya, kami harus meminta ijin pada Nyonya Walker terlebih dulu." "Baiklah, lakukan." Sofia menyerah. Ia menunggu saat satpam menelepon dari arah pos penjagaan rumah. Tak lama kemudian satpam itu mendekat.
“Pelacur! Lihat dirimu!" Hannah mendekat dan menampar pipi Sofia hingga tubuh Sofia terjerembab ke samping karena tamparan yang sangat keras, "dasar anak sopir! Memalukan!”“Kalian menjebakku,” geram Sofia mencoba membela diri. Kali ini ia tidak akan diam. Tindakan ibu mertua dan adik iparnya sangat keterlaluan, ia bangkit duduk sembari menyambar selimut berusaha menutupi tubuhnya, "apa salahku pada kalian? Aku tak pernah mengganggu kalian!""Salahmu adalah menjadi benalu dalam keluarga Walker! Saat kamu hadir, semua orang mencemooh keluargaku!" Victoria bicara sekehendak hati. Padahal bukan itu alasannya menjebak Sofia dan ingin menyingkirkan menantunya. "Papa Albert yang menginginkanku menikah dengan Storm," sahut Sofia cepat. "Kau bisa menolak, bodoh! apa kau tak punya otak? atau kau sengaja menerima permintaan Papa karena menginginkan harta kami?" Hannah menyeret turun tubuh Sofia berikut menarik selimutnya hingga Sofia kembali telanjang. "Kalian jahat!" umpat Sofia berang. Ia
Pesta ulang tahun Jade Walker yang ke duapuluh diadakan di sebuah ballroom hotel berbintang di NYC. Keluarga besar Walker serta teman-teman Jade, hadir memenuhi ruangan. Suasana pesta tampak meriah didukung oleh tamu undangan yang datang dengan pakaian mewah dan anggun. Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi sosok wanita di ujung ruangan yang terlihat sibuk menggendong bayinya, dia adalah Sofia Walker, dengan nama gadis Sofia Antolin, menantu pertama keluarga Walker yang berpakaian sederhana dan sedikit lusuh. Sofia mencoba menenangkan putranya, Jacob yang tampaknya terganggu dengan kebisingan di sekitarnya. Jika saja Sofia tidak dipaksa untuk ikut, ia lebih memilih tinggal di rumah. Dengan kondisi riuh saat ini, Jacob nyaris tidak bisa berhenti menangis karena merasa tidak nyaman. “Hei, lihat itu menantu keluarga Walker, wajahnya kusam, pakaiannya jelek, bagaimana mungkin Storm mau menikah dengan gembel seperti itu?” bisik salah satu tamu undangan. “Apa saat mere