Share

7. Pengantin Baru

Penulis: Rahmi Aziza
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-16 09:01:56

“Ma- masa kita sekasur juga?” tanyaku yang kini berdiri di sisi tempat tidur. 

Yura yang sedari tadi sibuk memainkan ponsel di atas kasur menoleh. 

“Tempat tidurku hanya satu. Tidur saja di lantai kalau mau." 

“Kalau nggak mau?” 

“Ya, tidur sini, bersamaku!” Ia menepuk-nepuk kasur sembari tersenyum. 

“Nggak mau! Kamu yang tidur di lantai, aku kan tamu!” protesku. 

“Ya nggak bisa dong Arka, kamu itu suami, sudah bukan tamu lagi. Kalau aku tidur di bawah, terus masuk angin kamu mau ngerikin?” 

“Nggak, nggak!” Aku menggeleng cepat. 

“Kalau begitu... Pinjem selimut!” Dengan kasar kutarik selimut yang sedang digunakannya, lalu menata di lantai dan berbaring membelakangi ranjang. 

Sungguh sulit untuk benar-benar terlelap di kamar ini. Berulang kali aku menengok jam dinding, rasanya waktu berjalan begitu lambat. 

Pelan-pelan aku membalikkan tubuh. Kulihat mata Yura sudah terpejam, syukurlah. Aku beranjak mendekati ranjang. Kuambil ponsel yang masih setengah tergenggam di tangannya, lalu meletakkan di atas meja. Kubenarkan posisi selimutnya yang sedikit tersingkap.

Melihat anak rambut yang berserak di wajahnya, tanganku bergerak mendekat. Ini kali pertama kulihat kepalanya tak bertutup hijab. Tepat saat jemariku sedikit menyentuh dahinya, ia tiba-tiba bergerak. 

Cepat-cepat aku kembali ke posisiku semula, berbaring di atas lantai beralaskan selimut. Entah berapa lama aku memaksakan diri untuk memejamkan mata hingga akhirnya benar-benar terlelap. 

********** 

Pagi-pagi sekali saat bangun tidur aku bergegas mandi. Saat masuk lagi ke kamar setelah menyelesaikan mandiku, kulihat Yura baru bangun dari tidurnya.  

"Dari mana?" tanyanya.  

“Mandi.” 

“Kok rambutnya nggak basah?” 

“Emang nggak keramas, males!” 

“Duh!” Ia serta merta beranjak dari tempat tidur. 

“Tunggu-tunggu!” Kulihat ia mengambil botol berisi air minum, menuang sedikit air dari botol itu ke tangannya, lalu membasahi rambutku yang kering. 

“Apaan sih ini?” Aku yang terkejut berusaha menghindar. 

“Kamu gimana sih. Pengantin baru, pagi-pagi rambutnya harus terlihat basah!” 

Hah? Aku mengerutkan kening.  

Kulihat ia kembali menuang air dari botol ke tangannya. "Kurang basah, nih."  

“Kenapa harus begitu?" Kuhalau tangannya hingga air tumpah  membasahi lantai.  

“Beneran ngga tau?” Ia nampak mengehela napas kesal. "Belum diajarin bab mandi wajib di sekolah ya?” 

" Mandi wajib? Ma-maksud kamu biar orang-orang kira kita sudah…” 

Yura mengangguk sembari mengacungkan ibu jari. “Pinterrr!” 

“Astaga… Buat apa sih?” 

“Ya biar kita lebih meyakinkan sebagai pasangan suami istri.” 

********** 

“Bu, Yura pamit ya," ucap Yura sambil mencium punggung tangan ibunya. 

Pagi ini kami akan kembali ke Jakarta. Naik taksi sampai bandara lalu lanjut dengan pesawat menuju Jakarta. Di Jakarta nanti kami akan dijemput oleh Mas Deny supir pribadi Papa. 

“Kok cuma sehari di rumah Nduk, nggak bisa lebih lama?” 

 

“Ngga bisa Bu, Arka masih banyak pekerjaan di Jakarta, Yura juga.” 

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum membenarkan ucapan Yura yang nggak benar-benar amat. Pekerjaan apa? Pekerjaan Rumah alias PR dari guru? 

Kulihat Zaydan melirik ke arahku. Saat ini yang tahu tentang statusku sebenarnya sebagai pelajar memang hanya Zaydan. Yura sengaja menyembunyikan ini dari ibunya. Takut ibunya kepikiran. Takut ibunya tahu ia menikah hanya demi uang semata, demi pengobatan ibu dan biaya sekolah adiknya. 

“Jaga Yura baik-baik ya Nak Arka,” kata Ibu saat aku gantian mencium punggung tangannya. 

“Iya Bu, InsyaAllah,” jawabku santun udah kayak menantu idaman para mertua saja. Seorang Arka bisa bicara sesantun ini, wih kesambet apa. Kalau bukan karena ancaman Papa dan desakan Yura aku juga nggak akan begini. 

“Zaydan…” Yura memeluk adik lelaki semata wayangnya. “Mbak titip Ibu ya.” 

“Iya Mbak, jaga diri Mbak baik-baik," jawabnya. "Kalau dia macam-macam sama Mbak, bilang padaku, biar kuhajar!” sambungnya dengan berbisik. 

Adik iparku itu melirik tajam ke arahku. Nampak jelas ketidak sukaan di matanya. Aneh, harusnya kan aku yang kesal padanya. Tak ada angin tak ada hujan, ia tiba-tiba muncul di depan rumah dan mengamuk. 

"Kau sudah berbuat apa pada kakakku, ha?" teriaknya lalu melayangkan tinju ke arahku. Saat aku baru mau membalasnya. Eh, Yura muncul dan melerai kami berdua. Lalu waktu kuadukan pada Papa kelakuan barbarnya, malah Papa membelanya. Sungguh sial. 

Melepaskan pelukan Yura, Zaydan lalu menjabat tanganku dengan erat. “Jaga kakakku, dia wanitaku yang sangat berharga setelah Ibu!” 

Aku diam saja tak menjawab. Sesaat kemudian Yura meraih lenganku. 

"Ayo, Sayang, taksinya sudah menunggu." 

"Sa-yang?" ulangku sembari menatap heran ke arah Yura. Saat kurasakan cubitan kecil di perutku aku pun membalasnya. "Oh I-iya Sayang, ayo."

  

  

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   45. Wisuda (TAMAT)

    POV AZYURA “Ayo Mbak, nanti terlambat!” Zaydan menengok jam tangannya. Kurasa dia bukannya kuatir aku terlambat, hanya tidak sabar saja menungguku selesai berdandan. Hari ini hari wisudaku. Daripada ke salon aku lebih mempercayakan urusan make up kepada Febi. Tak perlu repot mengantri dan mengeluarkan biaya. Lumayan, penghematan. Zaydan sendiri sudah sampai Jakarta dari kemarin sore dan menginap di salah satu guest house dekat kosku. “Dek, masmu sudah tahu kalau Mbak wisuda hari ini?” tanyaku pada Zaydan. “Mas Arka? Bukannya Mbak bilang jangan kasih tahu?” Aku menghela napas. Aku memang melarang Zaydan memberi tahu Arka kalau aku wisuda hari ini. Tapi, kan, tak harus nurut begitu aja dengan apa yang kukatakan. Diam-diam tetap memberi tahu apa gimana, kek. Laki-laki memang ya, tak ada peka-pekanya. Zaydan dan Arka, sama saja! “Kalau Mbak pengen Mas Arka datang, kenapa nggak dikasih tahu aja, sih?” Zaydan merebahkan badan pada kursi kosong di sampingku. “Jangan! Mbak pengen tahu

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   44. Setelah Ibu Pergi

    Pulang dari pemakaman, raga ini sebenarnya telah lelah. Pasti lebih-lebih Yura, kulihat ia sangat pucat dan matanya sembab. “Yura istirahatlah.” Aku berbisik di telinganya. Ia hanya menggeleng lemah. Masih banyak tamu yang melayat, mungkin ia tak enak hati meninggalkan mereka. “Makan ya, Sayang. Aku suapi.” Kembali ia menggeleng. Entah karena tak lapar, tak berselera makan, atau masih marah denganku sehingga semua tawaranku ditolaknya. “Kalau begitu minum, wajahmu pucat sekali.” Aku memberinya sebotol air mineral. Untungah ia mau menerima, meski hanya seteguk yang ia minum. “Arka!” Tiba-tiba saja Papa sudah di sampingku. Memanggil dengan suara pelan. “Ya, Pa.” “Papa sama Mas Deny pulang duluan. Kamu hibur istrimu di sini.” Papa menepuk pundakku. “Ya, Pa,” jawabku bersamaan dengan datangnya taksi pesanan Papa. Yura berdiri ketika kubisikkan bahwa taksi yang akan mengantar Papa ke bandara telah tiba. Kami mengiringi Papa sampai ke depan. “Nak maaf Papa tidak bisa lama-lama di si

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   43. Mencari Yura

    Yura di mana? Sudah selarut ini dan dia tidak ada di apartemen? Kucoba menghubungi ponselnya sampai tak terhitung lagi berapa kali, tapi hanya nada sambung yang kudengar. Bergegas aku turun, mencoba mencarinya di minimarket 24 jam dekat apartemen. Namun sampai dua kali aku menyusuri minimarket itu rak demi rak, tak jua Yura kutemukan. Aku kembali ke apartemen dengan langkah gontai, ketika melewati pos keamanan, salah seorang sekuriti menyapaku. “Ada yang bisa saya bantu Mas?” Mungkin ia melihat raut wajahku yang kalut sehingga menawarkan bantuan. “Bapak lihat istri saya pergi dari apartemen?” tanyaku yang sudah mulai putus asa. “Oh Mbak Yura? Tadi sih saya lihat Mbak Yura kaya buru-buru pergi, terus ada yang jemput ke sini pakai mobil.” “Pakai mobil? Bukan Mas Deny?” “Oh bukan Mas, kalau Mas Deny saya hapal.” Tentu saja ia hapal, Mas Deny seringkali menyupiri aku dan Papa. Bahkan saat Papa mengirimkan bahan pangan ke kamar apartemenku, sekuriti ini juga yang membantu Mas Deny

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   42. Hanya Teman

    Aku berjalan beriringan bersama Bimo dari parkiran. Kami memang berangkat sekolah bersama dari rumah Bimo. Pagi-pagi sekali aku ke rumahnya, setelah akhirnya berhasil menemukan kos buat Mauren. Tak sempat pulang ke apartemen karena jaraknya cukup jauh. Bisa terlambat nanti aku sampai sekolah. Untung saja, ada pakaian seragamku di rumah Bimo. Bebeberapa hari lalu tertinggal. Sudah dicuci bersih bahkan disetrika oleh ibunya Bimo, tapi aku selalu lupa ambil saat ke rumahnya. Baru beberapa langkah meninggalkan parkiran, ponselku dan Bimo berbunyi, bersamaan. Ah aku lupa mematikan notif. Sama sekali tak kubuka isi pesan, hanya settingan kuatur agar silent. “Bro, tunggu!” Tangan kanan Bimo terjulur ke depanku, menghalangi tubuhku yang hendak melangkah maju. “Udah cek grup SMA?” “Belum, ada pengumuman apa?” Daripada sekrol panjang aku memilih menanyakan langsung saja pada Bimo. “Tadi malam elo ….” Alih-alih melanjutkan kalimat, Bimo malah menunjukkan ponselnya. Aku terkejut ketika meli

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   41. Dilema

    Hari ini aku tidak berangkat ke sekolah. Papa sudah memintakan ijin dengan menelepon langsung wali kelasku. Biasanya susah mendapat persetujuan dari Papa soal perijinan. Bahkan aku mengeluh sakit pun, Papa seringkali tidak percaya. “Alasan kamu! Bilang saja malas berangkat sekolah!” Begitu pasti tuduhnya. Tapi kali ini, begitu aku bilang mau mengantarkan ibu mertua, Papa langsung mengiyakan. “Dalam hal menjadi anak dan mantu berbakti, Papa pasti dukung,” katanya. “Tapi setelah itu langsung pulang dan belajar. Ingat, ujianmu tinggal beberapa hari lagi. Kalau mau pacaran, di rumah aja. Pacaran ala anak sekolah, belajar bersama.” Papa terbahak meledekku. Sementara Ibu, tahunya aku sengaja menyediakan waktu, sehingga tidak berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan menuju rumah Bulik Yura, Ibu banyak memberikan wejangan pernikahan. “Suami istri, susah senang harus dihadapi bersama. Laki-laki dan perempuan punya sifat dasar yang berbeda, apalagi berasal dari keluarga yang beda. Pola asuhn

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   40. Pura-pura Mesra

    Masih pagi, saat bersiap ke sekolah usai sarapan, kudengar bel pintu apartemen berbunyi. Ketika membuka pintu, kulihat Mas Deny -sopir Papa-berdiri dengan beberapa kantongan besar berisi penuh barang. Melihat sekilas, sepertinya isinya bahan pangan. “Mas Deny?” “Saya pamit dulu Pak,” kata Pak satpam yang membersamainya. “Iya, makasih bantuannya ya Pak,” jawab Mas Deny. “Mau apa?” tanyaku masih memandang kantongan itu dengan heran. “Dari Bapak.” Bersamaan Mas Deny menjawab, ponselku berdering. “Papa kirim apa, banyak sekali?” tanyaku begitu menekan tombol terima panggilan. “Assalamualaikum, Arka. Kebiasaan kamu terima telepon nggak ngucap salam!” hardik Papa. “Iya … Waalaikum salam Pa …” jawabku. “Papa dengar Ibunya Yura mau datang, jadi Papa kirim bahan makanan untuk kalian.” Ya, adik kandung dari Ibunya Yura di Jakarta akan menikahkan anak sulungnya. Ibu ingin sekali datang. Sebenarnya Yura tak setuju, mengingat penyakit gagal ginjal yang dideritanya, ibu jadi mudah lelah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status