Share

6. Akhirnya Menikah

Author: Rahmi Aziza
last update Last Updated: 2023-04-15 16:09:27

“Sah?”

“Sah!”

“Sah!”

Suara para saksi bersahutan setelah aku mengucap kalimat ijab kabul dengan menjabat tangan Zaydan.

"Alhamdulillah …."

Sesaat kemudian Mas Deny datang membawakan cincin.

“Ayo, Mas Arka, cincinnya dipakaikan ke Mbak Yura,” titah penghulu.

Ehem, pasang di jarinya Yura? Harus banget gitu? Kenapa nggak pakai sendiri saja?

“Ayo, Mas, nunggu apa?” Ini yang ngebet kenapa malah Pak Penghulu, sih!

“I-iya, Pak.” Aku menjawab grogi. Dengan tangan sedikit bergetar aku mengambil cincin dari wadah mungil berwarna merah hati. Kulihat tangan Bu Yura sudah terulur ke arahku.

“Arka, lama amat! Pegel, nih!” bisiknya.

Heran, Bu Yura nggak ada gugup-gugupnya menikah, maunya cepat-cepat saja.

Akhirnya kusematkan juga cincin di jari manisnya. Aku terkejut ketika merasakan sentuhan lembut bibir dan hidung perempuan itu di punggung tanganku. Dulu sewaktu kecil aku selalu melihat Mama mencium punggung tangan Papa seperti ini. Lalu setelahnya, Papa akan ....

“Mas Arka cium kening Mbak Yura, ya.” Nah persis seperti ini! Kali ini fotografer yang bertitah padaku. Kurang ajar memang, sudah dibayar mahal, kenapa dia jadi yang main perintah-perintah seenaknya?

Aku menarik napas panjang. Semua mata tampak memandang ke arah kami, seperti tak sabar menunggu momen aku mencium Bu Yura. Dasar mesum kalian!

Sedikit demi sedikit aku menggerakkan kepalaku  mendekati wajah ibu guruku itu. Lalu tiba-tiba. Cup!

Bu Yura dengan cepat menyorongkan kepalanya hingga bibirku menyentuh keningnya. “Arka, kamu membuang waktuku terlalu lama.” Kembali ia berbisik.

Astagaaa ….

“Nah, gitu, dong, yang mesra,” ucap fotografer.

Mesra, gundulmu!

“Tahan dulu ya, saya foto.”

“Oke, sekarang Mas Arka sama Mbak Yura saling menggenggam tangan dan tunjukkin cincin nikahnya.”

Aku terkejut ketika dengan cepat Bu Yura meraih tanganku, mengikuti instruksi fotografer tak ada akhlak itu.

“Sekarang Mas Arka dan Mbak Yura saling pandang, tangan Mas Arka ke pinggang Mbak Yura, dan tangan Mbak Yura melingkar ke leher Mas Arka.”

Yasalaaam, pose apa lagi ini? Sampai di sini aku sudah mau protes keras sama fotografer, tapi kalah cepat dengan Bu Yura yang menarik pinggangku mendekatinya. Membuat jantungku berdegup kencang. Di telingaku ia berbisik, “Sudah kubilang, kan, di depan keluargaku kau harus pura-pura mencintaiku.”

***

“Arka, Papa pulang duluan ke Jakarta ya, kalian menyusul besok,” kata Papa seusai acara akad nikah di rumah Bu Yura. Para tamu yang jumlahnya tak seberapa itu pun sudah pulang ke rumah masing-masing. 

“Bareng saja sekalian sih, Pa,” jawabku sembari melepaskan jas akad. Gerah. Di rumah Yura tidak ada AC.

“Jangan, dong, pengantin baru nggak boleh capek-capek di malam pertamanya.”

Papa terkekeh, sementara aku hanya mampu menelan ludah. Malam pertama? Mana ada malam pertama. Aku dan Yura sudah bersepakat, meskipun menikah kami tetap akan hidup masing-masing. Kami sudah saling rida melepaskan hak dan kewajiban suami istri, yang penting terlihat baik-baik saja di hadapan keluarga.

“Bu Yura, kita … tidur sekamar?” tanyaku ketika kami sama-sama telah berada di dalam kamar.

Tampak ia menghela napas. “Yaelah manggil ibu. Kita kaya suami istri udah beranak dua aja!”

Aku melotot. Tentu saja kupanggil dia ibu, karena dari awal mengenalnya, dia adalah ibu guruku.

“Kita suami istri sekarang, panggil nama saja.”

Aku menelan ludah, masih terasa asing dengan status suami istri itu. Tapi mau bagaimana, terpaksa aku menurutinya. Kalau Papa mendengar aku masih memanggilnya ibu, pasti kena omel panjang. Daripada ujung-ujungnya disuruh manggil sayang atau adek, lebih aneh lagi, mending sedari sekarang aku harus membiasakan diri hanya memanggil nama kepadanya.

“Baiklah. Yura!” ucapku terpaksa. Kulihat ia tersenyum. Manis sebenarnya, tapi tetap saja aku tak mau menikah di usia semuda ini! Apa enaknya, huh!

“Terus bagaimana dengan tidur?” Aku mengulangi pertanyaanku yang belum dijawabnya. “Kita tidur sekamar?”

“Yaiyalah. Suami istri, apalagi pengantin baru tentu saja harus tidur sekamar," jawabnya begitu santai. Heran.

“Tapi kita kan .…” Kalimatku mengambang di udara. Kurasa Yura sudah tahu apa yang ingin kukatakan.

“Tenang, kau tidak akan kuapa-apakan.” Senyumnya menyeringai. “Kalau tidak khilaf.” Ia lalu terkekeh.

Spontan tanganku memeluk diri sendiri. Awas kalau Yura berani menyentuhku meski seujung kuku! Aku bakal teriak minta tolong sekencang mungkin!

“Eh, eh, kau mau apa?” tanyaku ketika kulihat ia memegang kancing baju kebayanya.

“Ganti bajulah!”

“Di- di depanku?” tanyaku terbata.

“Boleh saja, kalau kau mau.” 

Seketika bulu kudukku merinding, aku bergegas lari dari  kamar. Penasaran sih, tapi tak mau menodai mataku yang masih suci ini. Ya Tuhaan, nonton BF saja aku tak berani apalagi melihat langsung dengan mata kepalaku sendiri. Kalau kata temanku, Ali dan Rizal, nakalku nanggung. Bodo amat!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Siti Asih
"nakal (yg) nanggung.." bahahah kayaknya emang iya sih.. Arka tuh cemen.. emang pas ketemunya sama Yura..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   45. Wisuda (TAMAT)

    POV AZYURA “Ayo Mbak, nanti terlambat!” Zaydan menengok jam tangannya. Kurasa dia bukannya kuatir aku terlambat, hanya tidak sabar saja menungguku selesai berdandan. Hari ini hari wisudaku. Daripada ke salon aku lebih mempercayakan urusan make up kepada Febi. Tak perlu repot mengantri dan mengeluarkan biaya. Lumayan, penghematan. Zaydan sendiri sudah sampai Jakarta dari kemarin sore dan menginap di salah satu guest house dekat kosku. “Dek, masmu sudah tahu kalau Mbak wisuda hari ini?” tanyaku pada Zaydan. “Mas Arka? Bukannya Mbak bilang jangan kasih tahu?” Aku menghela napas. Aku memang melarang Zaydan memberi tahu Arka kalau aku wisuda hari ini. Tapi, kan, tak harus nurut begitu aja dengan apa yang kukatakan. Diam-diam tetap memberi tahu apa gimana, kek. Laki-laki memang ya, tak ada peka-pekanya. Zaydan dan Arka, sama saja! “Kalau Mbak pengen Mas Arka datang, kenapa nggak dikasih tahu aja, sih?” Zaydan merebahkan badan pada kursi kosong di sampingku. “Jangan! Mbak pengen tahu

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   44. Setelah Ibu Pergi

    Pulang dari pemakaman, raga ini sebenarnya telah lelah. Pasti lebih-lebih Yura, kulihat ia sangat pucat dan matanya sembab. “Yura istirahatlah.” Aku berbisik di telinganya. Ia hanya menggeleng lemah. Masih banyak tamu yang melayat, mungkin ia tak enak hati meninggalkan mereka. “Makan ya, Sayang. Aku suapi.” Kembali ia menggeleng. Entah karena tak lapar, tak berselera makan, atau masih marah denganku sehingga semua tawaranku ditolaknya. “Kalau begitu minum, wajahmu pucat sekali.” Aku memberinya sebotol air mineral. Untungah ia mau menerima, meski hanya seteguk yang ia minum. “Arka!” Tiba-tiba saja Papa sudah di sampingku. Memanggil dengan suara pelan. “Ya, Pa.” “Papa sama Mas Deny pulang duluan. Kamu hibur istrimu di sini.” Papa menepuk pundakku. “Ya, Pa,” jawabku bersamaan dengan datangnya taksi pesanan Papa. Yura berdiri ketika kubisikkan bahwa taksi yang akan mengantar Papa ke bandara telah tiba. Kami mengiringi Papa sampai ke depan. “Nak maaf Papa tidak bisa lama-lama di si

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   43. Mencari Yura

    Yura di mana? Sudah selarut ini dan dia tidak ada di apartemen? Kucoba menghubungi ponselnya sampai tak terhitung lagi berapa kali, tapi hanya nada sambung yang kudengar. Bergegas aku turun, mencoba mencarinya di minimarket 24 jam dekat apartemen. Namun sampai dua kali aku menyusuri minimarket itu rak demi rak, tak jua Yura kutemukan. Aku kembali ke apartemen dengan langkah gontai, ketika melewati pos keamanan, salah seorang sekuriti menyapaku. “Ada yang bisa saya bantu Mas?” Mungkin ia melihat raut wajahku yang kalut sehingga menawarkan bantuan. “Bapak lihat istri saya pergi dari apartemen?” tanyaku yang sudah mulai putus asa. “Oh Mbak Yura? Tadi sih saya lihat Mbak Yura kaya buru-buru pergi, terus ada yang jemput ke sini pakai mobil.” “Pakai mobil? Bukan Mas Deny?” “Oh bukan Mas, kalau Mas Deny saya hapal.” Tentu saja ia hapal, Mas Deny seringkali menyupiri aku dan Papa. Bahkan saat Papa mengirimkan bahan pangan ke kamar apartemenku, sekuriti ini juga yang membantu Mas Deny

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   42. Hanya Teman

    Aku berjalan beriringan bersama Bimo dari parkiran. Kami memang berangkat sekolah bersama dari rumah Bimo. Pagi-pagi sekali aku ke rumahnya, setelah akhirnya berhasil menemukan kos buat Mauren. Tak sempat pulang ke apartemen karena jaraknya cukup jauh. Bisa terlambat nanti aku sampai sekolah. Untung saja, ada pakaian seragamku di rumah Bimo. Bebeberapa hari lalu tertinggal. Sudah dicuci bersih bahkan disetrika oleh ibunya Bimo, tapi aku selalu lupa ambil saat ke rumahnya. Baru beberapa langkah meninggalkan parkiran, ponselku dan Bimo berbunyi, bersamaan. Ah aku lupa mematikan notif. Sama sekali tak kubuka isi pesan, hanya settingan kuatur agar silent. “Bro, tunggu!” Tangan kanan Bimo terjulur ke depanku, menghalangi tubuhku yang hendak melangkah maju. “Udah cek grup SMA?” “Belum, ada pengumuman apa?” Daripada sekrol panjang aku memilih menanyakan langsung saja pada Bimo. “Tadi malam elo ….” Alih-alih melanjutkan kalimat, Bimo malah menunjukkan ponselnya. Aku terkejut ketika meli

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   41. Dilema

    Hari ini aku tidak berangkat ke sekolah. Papa sudah memintakan ijin dengan menelepon langsung wali kelasku. Biasanya susah mendapat persetujuan dari Papa soal perijinan. Bahkan aku mengeluh sakit pun, Papa seringkali tidak percaya. “Alasan kamu! Bilang saja malas berangkat sekolah!” Begitu pasti tuduhnya. Tapi kali ini, begitu aku bilang mau mengantarkan ibu mertua, Papa langsung mengiyakan. “Dalam hal menjadi anak dan mantu berbakti, Papa pasti dukung,” katanya. “Tapi setelah itu langsung pulang dan belajar. Ingat, ujianmu tinggal beberapa hari lagi. Kalau mau pacaran, di rumah aja. Pacaran ala anak sekolah, belajar bersama.” Papa terbahak meledekku. Sementara Ibu, tahunya aku sengaja menyediakan waktu, sehingga tidak berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan menuju rumah Bulik Yura, Ibu banyak memberikan wejangan pernikahan. “Suami istri, susah senang harus dihadapi bersama. Laki-laki dan perempuan punya sifat dasar yang berbeda, apalagi berasal dari keluarga yang beda. Pola asuhn

  • Terpaksa Menikahi Ibu Guruku   40. Pura-pura Mesra

    Masih pagi, saat bersiap ke sekolah usai sarapan, kudengar bel pintu apartemen berbunyi. Ketika membuka pintu, kulihat Mas Deny -sopir Papa-berdiri dengan beberapa kantongan besar berisi penuh barang. Melihat sekilas, sepertinya isinya bahan pangan. “Mas Deny?” “Saya pamit dulu Pak,” kata Pak satpam yang membersamainya. “Iya, makasih bantuannya ya Pak,” jawab Mas Deny. “Mau apa?” tanyaku masih memandang kantongan itu dengan heran. “Dari Bapak.” Bersamaan Mas Deny menjawab, ponselku berdering. “Papa kirim apa, banyak sekali?” tanyaku begitu menekan tombol terima panggilan. “Assalamualaikum, Arka. Kebiasaan kamu terima telepon nggak ngucap salam!” hardik Papa. “Iya … Waalaikum salam Pa …” jawabku. “Papa dengar Ibunya Yura mau datang, jadi Papa kirim bahan makanan untuk kalian.” Ya, adik kandung dari Ibunya Yura di Jakarta akan menikahkan anak sulungnya. Ibu ingin sekali datang. Sebenarnya Yura tak setuju, mengingat penyakit gagal ginjal yang dideritanya, ibu jadi mudah lelah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status