Suasana terasa begitu mencekam saat Mas Rangga hanya diam dan menatapku tajam, seolah tatapan tersebut bisa menembus jantungku. Bahkan saat di mobil pun dia hanya diam saja membuatku kikuk dan semakin merasa bersalah. Namun, aku tak melakukan hal aneh, kan? Aku hanya berbicara sebentar dengan Devan untuk meluruskan segala kesalahpahaman yang ada. Itu tidak bisa didefinisikan sebagai perselingkuhan, bukan? “Mas!” panggilku karena tak tahan dengan kecanggungan ini. “Mas marah? Aku minta maaf kalau begitu.” Ia lalu melengos, kemudian bersandar di sandaran sofa. “Kenapa minta maaf? Memangnya kamu salah, ya?” Ekspresinya membuatku memutar bola mata. Tatapan itu seolah mengejekku. “Mas kenapa sih? Sejak di mobil Mas juga hanya diam, seolah aku ini membuat kesalahan yang paling fatal,” suaraku mulai meninggi, aku benar-benar tak suka berada di situasi seperti ini, terjepit. “Kamu bertanya kenapa? Apa kamu merasa tidak bersalah? Padahal, kamu kepergok jalan sama pria lain, Kinan.” Suara
Perasaanku seketika hancur, jantungku serasa ingin meledak, darahku seakan mendidih, dan otakkku berderu. Pertanyaan-pertanyaan aneh itu seakan memenuhi kepalaku, hatiku sesak, dan terluka. Padahal, baru beberapa hari hubunganku dengan Mas Rangga membaik dan berjalan seperti pasangan pada umumnya, tetapi kenyataan pahit yang kulihat seakan menampar pipiku, menyadarkanku bahwa sebagian hati Mas Rangga masih milik gadis lain. Mengapa ini terjadi di saat aku sudah sangat mencintainya dan telah memberikan segalanya pada Mas Rangga, hatiku, jiwaku, dan tubuhku? Aku tak sengaja menemukan sebuah kotak berwarna cokelat kopi di dalam lemari pakaian Mas Rangga, niat hati ingin merapikan dan menyimpan pakaian yang sudah kulipat, aku malah menemukan kenangan indah suamiku dengan gadis lain, tersimpan apik dalam sebuah kotak yang terawat dengan baik. Kutatap beberapa foto yang ada di dalam kotak, foto kebersamaan mereka. Senyuman Mas Rangga menyiratkan sebuah kebahagiaan yang teramat dalam.Seka
Dengan hati-hati, aku mengambil ponsel Mas Rangga yang tersimpan di nakas samping tempat tidur. Meski ini tindakan yang melenceng dari adab dan kesopanan, tetapi aku harus melakukannya. Aku harus mencari kebenaran yang tersembunyi, ya lebih baik seperti ini, daripada harus berdiam diri dan terus bertanya-tanya, yang akan membuat otakku semakin pusing.Jantungku berdegup dengan kencang dan tanganku sedikit gemetar, pembukti bahwa ada ketakutan yang kurasakan. Aku kembali merutuki kebodohanku yang mengikuti saran Mela, untuk mengotak atik ponsel Mas Rangga, mencari kebenaran di benda pipih itu. Aku tahu bahwa setiap pasangan masih memiliki privasi masing-masing. Namun, tidak ada salahnya, kan, jika aku melanggar privasi tersebut? Tak apa sekali-kali.“Aish, terkunci,” kataku dalam hati sambil menahan diri agar tidak mencak-mencak di kamar ini dan membuat Mas Rangga terbangun. Ada niatan untuk membuka ponselnya dengan menggunakan sidik jari, tetapi aku jelas tak berani melakukan metode
Dengan perasaan yang amburadul, aku segera pulang ke rumah, berniat agar bisa bertemu dengan Kinan, dan bertanya apa yang salah dengan dirinya. Pagi tadi hatiku jelas tak tenang, dan merasa bahwa Kinan menyembunyikan sesuatu dariku. Tatapan gadis itu menyiratkan segalanya, rasa kecewa, kesal, marah, dan tak suka. Apakah dia marah padaku? Akan tetapi, aku tak tahu di mana letak kesalahanku. Aku tahu bahwa seorang wanita memiliki sifat yang unik—sensitif dan gampang berubah mood. Namun, Kinan benar-benar membuatku pusing.Hatiku tak tenang, dan berusaha mencari tentang kesalahanku yang mungkin telah menyinggung perasaannya, tetapi semakin kucari, semakin sulit pula kutemukan. Apa gadis itu sedang datang bulan? Ah, tidak. Kinan sudah mendapatkan jadwal menstruasinya bulan ini. Lalu ada apa? Untuk pertama kalinya aku sangat terganggu akan sikap Kinan, sikap dingin yang seolah tak peduli padaku. Aku jelas tak bisa tenang.Setelah memarkirkan mobil, aku segera mengetuk pintu. Tidak ada perg
“Tumben banget lo beli ciki dimari, Nan? Biasanya kan tinggal nyomot di ruangan Pak Rangga.” Pertanyaan Mela menyiratkan sebuah sindiran.Aku mendengus, “Jangan sebut-sebut nama dia. Malas dengernya,” balasku dengan nada ketus. Sudah dua hari ini kami menjalani perang dingin—mungkin hanya aku yang menganggap seperti itu, sebab Mas Rangga sepertinya tak peduli lagi denganku. Bukannya menjelaskan lebih detail, dia hanya mengatakan bahwa aku hanya salah paham. Bagian mana yang salah paham? Aku bukanlah gadis bodoh yang menuduh tanpa bukti yang kuat. Harusnya pria itu menenangkanku, bukan malah diam dan membuatku semakin overthinking.“Nah, kan, udah ketebak banget. Dia pasti lagi berantem sama Pak Rangga.” Rara mengangguk angguk menyetujui ucapan Mela.“Pasangan suami istri itu wajar kalo berantem, nanti juga baikan lagi.” Suara Dewi yang tenang terdengar sangat nyaman masuk ke telingaku, tetapi itu tak berlangsung lama, sebab Mela kembali mengatakan sesuatu yang berbau mesum.“Obatnya p
“Lo mau bilang apa, sampe manggil gue ke sini, Dev?” tanyaku saat menatap ke sekeliling. Suasana taman kampus yang tak terlalu ramai, membuatku merasa sedikit lega. Tunggu! Mengapa aku seperti seorang istri yang sedang berselingkuh? Jika Mas Rangga tahu, aku bisa menjadi santapan makan siangnya nanti.Pria itu tersenyum masam, lalu menatapku dengan tatapan sendu. “Apa lo bahagia sama dia?”Pertanyaan aneh macam apa ini? “Ya, gue jelas bahagia, sangat bahagia,” kataku dengan senyum yang mengembang.“Syukurlah, jika lo akhirnya bisa bahagia, Nan. Gue ikut bahagia kalo lo juga bahagia.” Jeda sesaat. “Walaupun lo udah resmi menjadi istri orang lain, tetapi gue berharap sikap lo nggak berubah. Kita masih bisa berteman seperti dulu, kita bisa dekat seperti dulu. Jadi gue mohon jangan menjaga jarak sama gue, Nan,” pintanya selembut mungkin.Aku tercenung. Sebenarnya aku ingin dekat dengannya seperti dulu. Aku ingin akrab dengannya tanpa ada kesenjangan yang mungkin membuat kami berjarak, te
“Mas,” panggilku saat ia masih sibuk membaca buku yang tebalnya menyamai novel series Harry Potter.“Hmm.”Tanggapannya mengapa singkat, jelas, dan padat? Aku tahu bahwa Mas Rangga adalah sosok yang tak mau diganggu saat sedang membaca, tetapi kali ini aku tak mau membiarkan masalah tadi siang berlarut-larut. Mengapa Mas Rangga selalu saja seperti itu? Ia selalu mengabaikan setiap masalah, seolah tak terjadi apa-apa. Padahal, aku ingin mendengar pendapatnya tentang Bu Mega, tentang perdebatan tadi siang di ruangan perawan tua itu.Aku ingin tahu bagaimana perasaannya? Apa dia kesal saat melihatku dibentak oleh Bu Mega? Aku ingin tahu tentang tanggapan dan solusinya untuk menghadapi Bu Mega kedepannya. Bukankah wanita itu jelas berpotensi menjadi perusak dalam rumah tangga kami? Seharusnya Mas Rangga memberiku kekuatan untuk tetap tegar dalam menghadapi kegilaan Bu Mega. Apalagi dia tahu bahwa aku ini masih labil dan otakku gampang oleng oleh cerita-cerita negatif di luar sana.“Mas!”
Apa yang bisa kulakukan sekarang? Rangga terlihat sangat menyukai Kinan. Berbeda saat menikah dengan Kinara, pria itu terlihat acuh dan tak peduli dengan istri pertamanya. Apakah ini bukti bahwa Kinan sangat berkesan bagi Rangga? Apa ini bisa menjadi tanda bahwa Rangga pun sangat mencintai Kinan? Hal itu tak boleh terjadi, sebab aku akan semakin sulit untuk merusak hubungan mereka. Aku tak bisa membiarkan Kinan mendapatkan apa yang tak bisa kudapatkan—cinta dari Rangga.Melihat Rangga berteriak membela Kinan membuat darahku mendidih, irama jantungku berdetak dengan cepat, dan adrenalinku terpacu untuk terus membuat Kinan dalam masalah. Aku mengakui bahwa sikapku kali ini tak mencerminkan sikap profesionalisme, membawa masalah pribadi ke dalam rana pekerjaan. Memberi Kinan nilai rendah hanya karena rasa kesal yang menggerogoti hatiku. Ya, inilah pembalasanku padanya. Meski tugas yang ia berikan selalu saja memuaskan, tetapi aku tak bisa memberinya nilai yang sempurna. Dia akan besar ke