Share

BAB 3 - We were Both Young When I First Saw You

“Mulai hari ini kamu akan tinggal di rumahku.”

“Aku punya apartemen kok.”

“Suami-istri mana yang tinggal terpisah padahal masih satu kota?”

Julie mendengus. “Suami-istri kayak kita.”

Ipang mendecakkan lidahnya. Lama-lama lidahnya bisa tipis karena terlalu sering berdecak akibat tingkah Julie. Telapak tangannya yang besar mampir ke puncak kepala Julie dan mengacak rambutnya hingga perempuan itu melotot padanya.

“Bola matamu hampir keluar,” ledek Ipang sambil menarik tangannya sebelum digigit Julie.

Dulu ia memang tidak suka kalau Julie ada di sekitarnya, tatapan perempuan itu meskipun hanya sedetik terarah padanya, membuat Ipang tidak nyaman. Namun, sejak kemarin Ipang jadi menemukan hobi baru—membuat Julie kesal.

Pagi itu mereka masih sarapan bersama keluarga besar mereka di hotel. Ipang dan Julie duduk berempat dengan Suri dan Candy—tentu saja pengaturan itu dilakukan oleh Julie.

Tadinya Julie ingin sarapan sendirian, tapi Ipang bersikeras meminta perempuan itu menunggunya hingga selesai mandi.

Kamu mau ngomong apa kalau ditanya kenapa kamu turun sendiri? kata Ipang saat tadi Julie ngotot ingin turun duluan. Orang-orang tahu kok kalau kita nggak ada malam pertama, tapi lebih baik kalau kita menunjukkan sikap baik-baik aja karena kita yang kemarin ngotot mau nikah.

Meskipun terdengar menyebalkan, jauh di dalam hatinya Julie tahu kalau kata-kata Ipang memang masuk akal. Mereka bukan korban nikah paksa atau perjodohan—malah kemarin ayahnya lah yang berulang kali mempertanyakan keputusannya menikah dengan Ipang.

“Mesra banget,” puji Suri yang baru kembali ke meja mereka sambil membawa makanan yang ia ambil dari meja buffet.

“Mesra dari Hong Kong,” sahut Julie dengan malas. Ia melirik ke piring Suri dan melihat sahabatnya itu mengambil dua potong sosis yang ia sukai.

Suri tentu saja tahu kalau Julie tengah menatap sosisnya, jadi ia meletakkan salah satu sosisnya ke piring Julie. “Biasa aja ngeliatinnya,” kata Suri dengan geli. “Nggak usah mupeng, aku ambil dua emang buat kamu.”

“Thank you, aku lupa tadi mau ngambil ini.” Gara-gara Ipang yang mengambil makanannya seperti tengah mengekori Julie, ia jadi lupa mengambil makanan kesukaannya tersebut.

Ipang memperhatikan interaksi Julie, Suri, dan Candy selagi makan dalam diam. Lelaki yang hari itu rambutnya masih setengah basah tersebut kembali mengingat bagaimana dulu ia bertemu dengan Julie untuk pertama kalinya.

Sebenarnya Julie seumuran dengan Suri, tapi karena ia masuk di kelas akselerasi, jadilah ia satu angkatan dengan Ipang di SMA dan terbiasa memanggil Ipang hanya dengan nama, tanpa embel-embel ‘Kak’ karena dulu Ipang-lah yang melarang.

Tentu itu terjadi sebelum mereka jadi musuh.

“Udah selesai?” tanya Ipang ketika dilihatnya Julie sudah duduk seraya menepuk perutnya yang kekenyangan.

“Makan beratnya sih udah,” sahut Julie. “Tapi aku masih mau jus.”

“Emang belum kenyang?”

Suri dan Candy terkikik geli. Mereka tahu selama ini Ipang dikelilingi perempuan yang akan berkata kalau mereka kekenyangan setelah menyantap setengah piring salad.

Pastilah Ipang mengalami sejenis culture shock begitu melihat Julie yang makannya benar-benar jauh dari yang biasa Ipang lihat.

“Jus masih bisa mengalir di sela-sela makanan yang tadi udah aku makan,” jawab Julie dengan tenang. “Nggak usah buru-buru sih, rumahmu nggak bakal pergi ke mana-mana.”

Ipang mengernyit tak suka, tapi Julie tidak peduli. Julie bangkit dari duduknya dan mengambil segelas jus melon yang ia minum di bawah tatapan tak sabaran dari sang suami.

Yang tidak diketahui Ipang adalah Julie tengah mengulur waktu. Di kepalanya sedang berputar berbagai skenario yang harus ia jalankan begitu nanti tiba di rumah Ipang.

Sebelumnya, ia dan Raveno sepakat tinggal di apartemen lelaki itu—bahkan Julie sudah memindahkan barang-barangnya dari apartemen yang ia huni ke sana.

Ketika Ipang mengingatkannya kalau mereka adalah sepasang suami-istri yang akan tinggal serumah, Julie mulai panik.

Bagaimana ia harus menjalani harinya nanti bersama Ipang yang termasuk orang-yang-akan-Julie-hindari-seumur-hidup?

“Ayo, naik ke kamar,” ajak Ipang membuyarkan lamunan Julie. “Beresin barang-barang, terus kita pulang.”

Tahu kalau ia tak bisa mengulur waktu sampai makan siang, akhirnya Julie mengangguk pasrah. Ia pamit pada sahabatnya dan keluarga mereka yang masih bersantai setelah menikmati sarapan.

Dalam diam, keduanya berjalan menuju lift dengan pikiran yang bercabang ke mana-mana. Selagi menunggu lift tiba, Julie diam-diam melirik ke sofa yang kemarin ia duduki dengan frustasi, disertai harapan kalau hidupnya akan semudah tokoh novel yang ditulis Candy ketika baru saja ditinggalkan calon suaminya.

“Melamun terus.”

Teguran itu membuat Julie menyudahi lamunannya. Lift yang terbuka membuat keduanya masuk dan Julie melirik lelaki di sebelahnya itu sekilas.

“Aku perhatiin kamu jadi sering ngajak aku ngobrol,” kata Julie. “Padahal sebelum kemarin, aku napas aja udah bikin kamu gatel-gatel.”

Ipang menaikkan satu sudut bibirnya ketika mendengar fakta tersebut langsung dari mulut Julie. “Kamu tahu nggak kalau kamu tuh mengganggu pemandanganku sejak dulu? Sayang aja yang kemarin aku temukan waktu lagi frustasi itu kamu.”

Julie mengepalkan kedua tangannya dengan erat, menahan diri untuk tidak meninju wajah tampan Ipang.

“Selamat, kamu resmi jadi suami dari perempuan yang sejak dulu bikin mata kamu gatel,” sahut Julie sinis.

Tidak banyak orang yang tahu kalau mereka sebenarnya punya sejarah. Saat di tahun kedua SMA-nya, Julie pernah menyukai Ipang dan menyatakan perasaannya pada kakak dari sahabatnya itu.

Sayang, dulu Julie ditolak mentah-mentah oleh Ipang dengan alasan, ‘Kamu nggak sadar ya waktu nembak aku begini, Jules? Selama ini, nggak ada perempuan kayak kamu yang pernah jadi pacarku.’

Sejak itulah Julie membenci Ipang, yang menyebarkan berita pada teman-temannya kalau ‘Julie si jelek’ sangat tidak tahu diri karena berani-beraninya bermimpi jadi pacar seorang Ipang.

Seperti bisa membaca pikiran Julie, Ipang pun menanyakan hal yang sejak dulu ingin ia tanyakan langsung pada Julie.

“Apa kamu masih benci sama aku sejak kejadian waktu SMA itu?”

“Kamu yang selalu kayak orang jijik setiap aku ada di dekat kamu dalam radius minimal dua meter.” Julie menatap refleksi mereka berdua di pintu lift. Ipang tengah menoleh padanya dan Julie hanya menatap lurus ke depan.

Julie yang saat ini sudah jauh dari ‘Julie si jelek’ saat SMA. Namun, rasa tidak percaya diri itu tetap timbul tenggelam setiap kali ia berdiri berdampingan dengan Ipang.

“Aku begitu karena kamu yang selalu menatapku dengan sinis,” jawab Ipang seraya memasukkan satu tangannya ke saku celana.

“Jadi semuanya karena aku?” balas Julie dengan kesal. “Emangnya kalau aku bersikap biasa aja dan bahkan mau nempel terus sama kamu, kamu mau ngeladenin?”

“Nggak tahu.” Selama ini Ipang tak pernah memikirkan perandaian yang baru saja diurai oleh Julie, jadi ia pun tak tahu apakah

“Dulu kamu jijik banget ngeliat aku cuma karena aku nggak putih, rambut keriting kayak mie, pakai kacamata tebal, dan baju selalu longgar.” Entah keberanian dari mana, Julie mengungkapkan hal yang bertahun-tahun ini ia pendam sendiri. “Apa kamu nggak mikirin hal itu waktu kamu ngajak aku nikah?”

“Nggak.” Sejak dulu Ipang tak pernah berbohong ketika Julie bertanya padanya. “Aku nggak kepikiran hal itu. Apa di hari kedua kita resmi jadi suami-istri kita harus bertengkar soal ini?”

Julie tak menjawab karena pintu lift terbuka dan ia melangkah keluar lebih dulu dibanding Ipang. Perempuan itu sengaja meninggalkan Ipang sambil merutuki kebodohannya yang malah mengatakan hal-hal yang selama ini ia pendam.

Juga menahan diri untuk tidak bergidik ketika Ipang menyebut mereka sebagai suami-istri.

***

Ipang tidak pernah mengerti jalan pikiran perempuan, tapi biasanya ia selalu tahu apa yang para perempuan mau.

Julie adalah pengecualian.

Setelah percakapan mereka di lift, Julie diam seribu bahasa. Perempuan itu hanya angkat bicara ketika pamit pada keluarganya. Sesampainya di mobil, Ipang yakin leher Julie pasti pegal karena selama perjalanan, Julie terus menatap ke luar jendela.

Begitu sopir yang mengemudikan mobilnya memberi tahu kalau mereka sudah sampai di rumahnya, Ipang mengangguk dan keluar dari mobil tanpa melirik Julie sama sekali.

Mulai hari ini mereka akan tinggal bersama di rumah yang dulunya Ipang beli untuk ia tinggali dengan Priska. Mengingat mantan calon istrinya yang belum ditemukan tersebut membuat Ipang jadi kembali kesal.

“Aku udah ngomong sama kakakmu,” ujar Ipang ketika ia merasakan kehadiran Julie di belakangnya. Perempuan itu setengah berlari untuk menyusul Ipang karena ia terlalu banyak melamun hingga tak sadar, mereka sudah sampai di kediaman Ipang.

“Barang-barangmu dari apartemen akan dibawa ke sini mulai besok.”

Kening Julie langsung berkerut. “Kamu ngomong sama Bang Janu atau sama Bang Septa soal itu?”

Kedua kakak Julie memang orang yang membantu Raveno dan Julie mencari apartemen untuk ditinggali. Jadi masih wajar kalau Ipang mengetahui apartemen yang tadinya Julie akan tempati dari mereka.

“Bang Janu,” jawab Ipang, menyebut nama kakak pertama Julie.

Julie mengembuskan napasnya. “Kenapa nggak bilang aku dulu?”

“Kamu pasti akan nolak,” tegas Ipang ketika mereka akhirnya masuk ke dalam rumah bergaya mediterania tersebut. “Kamu akan cari alasan untuk stay di apartemen kalau aku biarin kamu yang ngurusin barang-barangmu.”

Julie melengos saat niatnya bisa ditebak dengan baik oleh Ipang. Perempuan itu tak sadar kalau ia terus mengikuti Ipang hingga mereka naik ke lantai dua. Langkahnya baru berhenti ketika Ipang juga berhenti di depan salah satu pintu kamar.

“Ini….” Ipang berbalik supaya bisa bertatapan dengan Julie. Ketika pandangan mereka bertemu, Ipang mendapati tatapan penasaran sekaligus sebal dari manik mata cokelat Julie.

“Ini kamarmu.” Tangannya menunjuk pintu di depan mereka, kemudian ia beralih pada pintu yang berjarak tiga meter dari pintu kamar Julie. “Itu kamarku. Kalau nggak ada urusan sepenting bencana alam, perang, atau sesuatu yang sangat mendesak, kuharap kita nggak masuk ke kamar satu sama lain.”

Jangan harap Julie akan diam karena baginya, membalas setiap ucapan Ipang dan membantahnya adalah sebuah hobi tersendiri.

“Tenang aja, aku juga males masuk kamarmu,” sahutnya.

Ipang menghela napas. “Aku nggak punya aturan khusus, tapi kuharap kamu nggak melakukan sesuatu yang melanggar hukum atau norma.”

“Apa hal itu juga berlaku buat kamu?” Julie bertanya balik.

“Iya.”

Mau jadi apa Ipang jika mengatakan peringatan yang ia berikan hanya berlaku untuk Julie? Ipang yakin Julie akan menendangnya hingga terguling di tangga kalau ia bersikap otoriter.

“Oke.” Julie mengangguk paham dan berjalan melewati Ipang untuk masuk ke kamar barunya.

Julie tidak protes dengan pengaturan mereka yang tidur terpisah—hell, satu malam saja sudah lebih dari cukup.

Sebelum Julie menutup pintu, ia mengatakan hal yang membuat Ipang ingin mendobrak pintu kamar Julie sedetik setelah pintu itu tertutup.

“Bagus sih. Emang harus adil. Berarti aku nggak akan liat kamu bercinta sama perempuan lain secara live di rumah ini ya. Kasihan mataku.”   

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status