Share

BAB 4 - Kamu Bahagia Nggak Sama Ipang?

“Kamu pengangguran atau kerja apa?”

“Pengangguran.”

Ipang baru sadar kalau selama ini ia telah memblok jalur informasi mengenai Julie. Meskipun mereka sering berada di satu tempat atau acara yang sama, tapi nyatanya Ipang tak tahu apa-apa soal Julie.

Hari ini adalah hari kedelapan sejak mereka menikah dan Ipang tak tahu apa yang dilakukan Julie sehari-hari. Bekerja? Pengangguran?

Ipang tak tahu. Karena sejak mereka tinggal serumah, Julie belum bangun saat Ipang akan berangkat kerja dan Ipang pulang ke rumah tanpa menemukan Julie hingga ia tertidur.

“Kenapa nanya-nanya?” tanya Julie sebelum kemudian menguap tanpa menutup mulutnya, membuat Ipang langsung mengernyit ketika melihatnya.

“Karena kamu kayak nggak pernah kelihatan di rumah.”

“Oh.” Julie merespons seadanya. Ia mengisi piringnya dengan lauk yang ada di meja makan dan memakan makanannya dengan kondisi yang masih mengantuk.

Ipang sendiri memilih untuk tidak bertanya kenapa baru kali ini Julie bergabung di meja makan dengannya. Ia pun memilih untuk kembali melanjutkan sarapannya sebelum harus berangkat bekerja.

Usai sarapan, Ipang menyesap minumnya seraya memperhatikan Julie yang kini duduk bersandar di kursi dengan kondisi yang aneh—mata terpejam, pipi sebelah kanan menggembung karena makanan, dan tangan yang masih memegang sendok di piring.

Ipang mencondongkan tubuhnya ke depan agar bisa mengamati Julie dengan lebih dekat. Tangannya ia lambaikan di depan wajah Julie—sekali, dua kali, tidak ada reaksi sama sekali.

“Tidur beneran?” gumam Ipang tak percaya saat melihat kelakuan anak bungsu Rayadinata tersebut. “Jules,” panggilnya.

Tidak ada reaksi, bahkan kepala Julie perlahan bergerak condong ke bawah.

“Jules.”

Sebelum kening Julie menghantam piring, telapak tangan Ipang telah lebih dulu menangkapnya hingga perempuan itu terbangun.

“Duuuh,” gerutunya sambil mengusap keningnya dan Ipang kembali duduk di posisinya dengan benar. “Kenapa kamu mukul keningku?”

“Siapa yang mukul?” Ipang tentu saja tak terima. “Kepalamu hampir masuk ke piring.”

“Oh, ngomong dong.”

Ipang berdecak pelan. Sebelum sempat ia bicara, ponsel Julie yang perempuan itu bawa di kantong piyamanya berdering kencang hingga si pemilik ponsel itu sendiri berjengit kaget.

“Halo.” Suara Julie masih seperti orang mengantuk ketika menjawab panggilan tersebut tanpa melihat layar ponselnya. “O-oh, iya. Aku ke sana sekarang!”

Tanpa menghabiskan makanannya atau pamit pada Ipang, Julie berlari begitu saja untuk naik ke lantai dua. Debuman pintu yang ditutup terburu-buru menjadi suara terakhir yang didengar Ipang.

Lelaki itu mendesah pelan. Dulu ia memang tidak pernah membayangkan seperti apa kehidupan pernikahannya dengan orang lain selain Priska—mantan calon istrinya. Bukan pernikahan seperti ini juga yang ia bayangkan.

“Yah, salah sendiri, kamu yang ngajak dia nikah, Pang,” gumam Ipang pada dirinya sendiri dan mengambil salah satu kartu kredit dari dompetnya untuk ia letakkan di samping piring Julie tadi.

Lelaki itu berjalan ke ruang tengah untuk mengambil post-it dan pulpen. Ia menulis di post-it yang kemudian ia tempelkan di samping kartu kreditnya.

Silakan kamu pakai sesukamu. Nanti chat aku nomor rekeningmu, aku kasih uang bulanan buat kamu.

—Ipang.

***

Napas Julie terengah-engah begitu tiba di depan kamar rawat inap yang dihuni ayahnya. Kemacetan Jakarta benar-benar menguji kesabarannya.

Kalau ia tak ingat bagaimana ia memperoleh mobilnya saat ini, tadi sudah Julie ingin tinggalkan mobil tersebut di jalan raya dan ia akan berlari hingga sampai di rumah sakit ini.

“Napas dulu, Jules,” kata Januarta Hamid Rayadinata, kakak sulung Julie, yang menatapnya dengan prihatin.

Janu menarik pergelangan tangan adiknya dan mereka duduk di kursi besi yang agak jauh dari pintu kamar.

“Papa gimana, Bang?”

“Yah… begitulah.” Janu enggan menyebutkan detail keadaan ayahnya pada sang adik karena ia tahu, Julie si manusia paling overthinking yang ia kenal pasti akan memikirkannya semalam suntuk dan berujung dengan dirinya yang sakit karena lupa makan dan tidur.

“Begitu gimana?” desak Julie. “Apa mesti operasi secepatnya?”

“Dokter lagi mempertimbangkan itu.”

Julie mengembuskan napasnya. “Pasti semua karena aku.”

“Jules, kok kamu mikir gitu sih?” Janu tak terima adiknya bicara seperti itu. “Kamu jangan suka nyalahin diri kamu sendiri dong.”

“Kalau aku nggak bikin malu Papa sama keluarga kita, kondisi Papa nggak bakalan nge-drop gini kan, Bang?” Julie bertanya balik. “Harusnya aku nurutin Papa waktu Papa ngomong kalau dia ragu sama Raveno.”

Janu menarik sang adik ke dalam pelukannya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi lebih memilih menyimpannya sendiri. Wajar Julie sangat sedih dengan kondisi ayah mereka saat ini, sebagai si bungsu dan putri satu-satunya, Julie sangat dekat dengan sang ayah.

Kejadian gagalnya pernikahan Julie dan Raveno memang sedikit banyak mempengaruhi kesehatan ayahnya. Namun Janu tak tega jika harus mengatakannya pada sang adik.

“Bang….” Julie merenggangkan pelukan mereka. “Ketemu Papa yuk. Papa udah bisa dijenguk kan?”

“Udah kok. Yuk.”

Berdua, mereka masuk ke kamar rawat inap yang ditempati ayah mereka. Julie menahan diri untuk tidak menangis saat melihat kondisi ayahnya yang sungguh berbeda dengan tiga hari lalu saat terakhir kali mereka bertemu.

“Kamu nggak kerja?” tanya sang ayah ketika mereka hanya tinggal berdua, setelah lelaki paruh baya itu berhasil mengusir Janu dan Septa untuk tetap bekerja daripada berkumpul di kamarnya saat ini.

“Di sini aja, temenin Papa sama Mama,” jawab Julie. Ibunya sendiri tengah pergi ke kafetaria bersama kakak iparnya, Julie yang memintanya supaya sang ibu mengisi perutnya terlebih dahulu.

“Emang nggak apa-apa kamu bolos kerja?” Rayyan, ayah Julie, tersenyum melihat bagaimana anaknya terlihat ngotot untuk menemaninya di sini seharian.

“Nggak apa-apa. Aku masih ada tabungan buat makan besok,” jawab Julie dengan asal.

Rayyan tersenyum, tangannya terangkat untuk mengusap puncak kepala Julie. “Terakhir kita ketemu Papa lupa nanya sama kamu.”

“Nanya apa, Pa?”

“Gimana kamu sama Ipang?”

Julie berusaha mempertahankan ekspresi wajahnya saat mendengar pertanyaan tersebut. “Ya baik-baik aja, Pa.”

“Kamu tahu kan, di hari itu Papa nggak apa-apa kalau kamu nggak jadi menikah sama sekali?”

“Aku tahu, Papa ngomong itu terus kan ke aku.” Julie melipat kedua tangannya di tepi ranjang dan menumpukan dagunya di sana. “Aku yakin kok dengan apa yang aku pilih saat itu, Pa. Tamu undangan yang kebingungan karena suamiku bukan Raveno masih lebih mending daripada ballroom yang tertutup dan pengumuman kalau pernikahannya batal.”

“Kamu bahagia nggak sama Ipang?” Kemudian Rayyan berdeham. “Papa tahu ini mungkin terlalu cepat untuk menanyakan hal itu, tapi… Papa tetep aja khawatir sama kamu.”

“Papa nggak usah khawatirin aku,” sahut Julie tanpa menjawab pertanyaan ayahnya. “Papa nggak boleh banyak pikiran. Katanya operasi Papa harus dipercepat, kalau Papa sakit terus, aku pasti akan sedih terus.”

“Namanya juga anak sendiri, gimana nggak khawatir?”

Julie tersenyum dan memilih untuk membicarakan hal lain dengan ayahnya—apa pun selain rumah tangganya dengan Ipang yang tak jelas masa depannya.

Di saat yang bersamaan tapi di tempat yang berbeda, Ipang merasa kesal karena panggilannya kepada Julie tak kunjung dijawab.

***

“Kamu tahu nggak si Julie ke mana?”

Suri cukup terkejut mendengar pertanyaan kakaknya begitu mereka bertemu secara tak sengaja di En Dining Plaza Indonesia. Adik kandung Ipang tersebut menatap Candy yang juga tengah menatapnya dengan bingung.

“Kenapa emangnya?” tanya Suri. Bukannya langsung menjawab pertanyaan Ipang, Suri malah celingukan ke sekitarnya. “Mas ke sini sama siapa?”

Ipang mengedikkan bahu. “Sendiri.”

“Orang aneh, makan siang di sini sendirian,” komentar Suri. Rasanya baru kali ini Suri melihat ada orang yang makan sendirian di sini. “Sini, duduk aja sama aku dan Candy. Nggak enak aku ngomong sambil mendongak terus.”

Ipang akhirnya mengiakan dan duduk berhadapan dengan Suri. Ia memesan makanan terlebih dahulu sebelum kemudian berkata, “Kayaknya udah dua hari dia nggak pulang.”

“Kok kayaknya?” Kali ini Candy yang keceplosan bertanya. “Emang Mas Ipang beneran nggak tahu Julie nggak pulang atau gimana?”

Ipang berdeham begitu mendapati tatapan menghakimi dari adik dan sahabat adiknya. Tidak mungkin kan kalau ia memberi tahu mereka tentang bagaimana ia dan Julie yang tidur di kamar terpisah?

“Aku nggak tahu,” akunya dengan jujur. “Terakhir ketemu waktu sarapan dua hari yang lalu terus dia buru-buru setelah ditelepon entah siapa. Setelah itu ya… nggak ketemu.”

Sejak pertemuan mereka di meja makan saat itu, rasanya Ipang tidak mendapati jejak Julie di mana pun. Kartu kreditnya bahkan masih terletak di meja makan sampai malam di hari, masih di posisi yang sama ketika ia menaruhnya pagi tadi.

Pagi saat Ipang akan berangkat kerja hingga malam saat ia baru pulang, Ipang tidak menemukan mobil Julie yang berwarna merah menyala tersebut di garasi.

Di hari pertama, Ipang masih merasa kalau hari itu tidak ada bedanya dari hari-hari sebelumnya. Di hari kedua, ia baru sadar kalau mobil Julie tak pernah ia lihat lagi di garasi dan kamarnya selalu gelap.

“Emang Mas nggak telepon Julie?”

“Telepon, tapi nggak diangkat,” jawab Ipang. “Papa juga ribet banget dari kemarin nelepon ingetin soal makan malam minggu ini.”

Suri meringis mendengar gerutuan kakaknya. Ayahnya itu memang rutin mengadakan makan malam bersama tiga istri dan anak-anaknya sekali dalam sebulan. Suri tahu persis, Ipang sangat tidak menyukai acara itu tapi kali ini mau tak mau ia harus pergi dengan Julie.

“Coba telepon lagi,” usul Suri. “Lagian Mas aneh banget, masa nggak tahu istrinya pulang atau nggak. Kayak orang tetanggaan di kos aja sih, bukan kayak pasangan serumah.”

Seandainya Ipang tengah minum sesuatu, wajah Suri pasti sudah basah terkena semburannya. Ipang buru-buru menelepon Julie dan entah karena omongan Suri atau apa, kali ini teleponnya dijawab setelah tiga dering.

“Jules,” sapa Ipang dengan nada bicara yang tanpa sadar naik satu oktaf. “Kamu di mana sekarang?”

“Kerja.”

“Katanya kamu pengangguran.” Ipang mengernyit dan tanpa ia sadari, Suri dan Candy mendengus menahan tawanya. “Kerja apa? Di mana?”

“Apaan sih?” Julie terdengar tak suka dengan rentetan pertanyaan Ipang. Samar-samar Ipang mendengar sesuatu yang bising yang menjadi latar suara di mana Julie berada saat ini. “Ribet banget nanya-nanya terus, aku sibuk nih.”

“Sibuk ngapain sih? Cari mantan calon suamimu?” ceplos Ipang tanpa sengaja. “Kamu udah nggak pulang dua hari ini kan? Ke mana aja kamu?”

Julie langsung kesal karena Ipang bahkan mengira ia mencari Raveno. “Suka-suka akulah mau ke mana.”

“Inget, Jules, kamu tuh masih tinggal sama aku.” Ipang berkata dengan serius. “Aku emang nggak bikin peraturan apa-apa, tapi bisa nggak kamu tuh bersikap kayak orang normal gitu?”

“Emang yang normal kayak apa sih? Yang tiap pagi senyum sambil ngomong, ‘Selamat jalan’, dan tiap kamu pulang nyambut kamu di meja makan?” tanya Jules yang emosinya terpancing juga.

“Inget, Pang, kita tuh nikahnya aja caranya udah nggak normal. Jangan berharap banyak deh. Kayak sikap kamu ke aku udah normal aja.”

“Aku berusaha menjalankan peran sebagai suami dengan baik, Jules. Sebisaku dan pelan-pelan,” desis Ipang seraya menahan amarahnya—yang tidak terlalu berhasil, tentu saja. “Aku kasih kamu kartu kreditku, tapi kamu pasti nggak tahu karena kamu nggak pulang. Aku chat nanya nomor rekeningmu, kamu nggak bales. Mau kamu apa sih?”

“Jadi peran yang baik itu dimulai dengan uang dulu ya?” tanya Julie balik dengan sinis. “Nggak sekalian kamu nawarin untuk tidur bareng tiga kali seminggu? Kan peranmu jadi lebih baik tuh, menafkahi lahir dan batin.”

“Jules!”

Suri dan Candy menatap Ipang dengan horor begitu Ipang memanggil nama Julie keras-keras. Julie sendiri langsung memutuskan panggilan tersebut dan hal itu sukses membuat Ipang menyugar rambutnya dengan marah.

“Kan aku bilang, Julie sama Mas Ipang tuh sebenernya sama-sama kompor mau meledak,” bisik Candy pada Suri yang tentu saja masih bisa didengar oleh Ipang. “Begini kan jadinya….”

“Ya siapa juga yang mikir mereka bakal nikah sih, Ndy?” balas Suri dengan frustasi. “Anggap aja ini yang namanya law of attraction.”

“Hei, Mas bisa denger apa yang kalian omongin,” tegur Ipang sebelum pembicaraan dua orang itu melebar ke mana-mana.

Suri tersenyum kecut, lalu langsung mengubah ekspresinya agar terlihat lebih galak. “Mas harus minta maaf sama Julie.”

“Kenapa Mas yang minta maaf?” sungut Ipang tak terima. “Dia yang nggak pulang dan nggak ngabarin—”

“Mas, Om Rayyan tuh masuk rumah sakit.”

“Kenapa kamu nggak bilang dari tadi, Suri?!”

“Aku mana tahu kalau Mas bakal meledak kayak gitu ke Julie!” Suri melipat kedua tangannya di dada.

“Kupikir Mas bakal nanya baik-baik, tapi Mas malah ngomongnya kayak gitu. Aku tahu kalian nikahnya dengan cara yang di luar ekspektasi kalian. Tapi Mas sama Julie kayaknya bener-bener butuh duduk berdua untuk ngomongin kalian mau jadi apa deh.”

Sebelum kakaknya itu memprotes apa yang ia katakan, Suri kembali melanjutkan, “Julie salah karena nggak ngasih tahu Mas. Meskipun kalian nggak akur, tapi Mas udah jadi suaminya dan Mas juga anaknya Om Rayyan. Jadi udah seharusnya Julie kasih tahu Mas soal kondisi Om Rayyan.

“Tapi Mas juga salah karena sekalinya ngomong sama Julie malah ngegas dan kayak mobil yang remnya blong. Kalau Mas masih mau agak lebih sabar sedikit dan nggak kepancing sama respons Julie, Mas mungkin akan denger jawaban yang sebenarnya dari dia.”

Ipang tidak langsung menanggapi ucapan Suri karena jauh di dalam hatinya, ia tahu adiknya itu benar.

Betapa memalukannya kini ia yang sudah menikah, malah harus mencari solusi atau penjabaran tentang masalah apa yang ia alami dari adiknya sendiri yang belum menikah.

Di tempatnya, Suri tahu kalau kakaknya tengah memikirkan apa yang baru saja ia katakan. Julie tak bercerita sama sekali tentang bagaimana kehidupannya setelah menikah.

Ketika kemarin ia bertemu dengan Julie di rumah sakit, perempuan itu hanya berkata kalau ia baru akan kembali bekerja hari ini.

“Mas makan dulu aja.” Suri melirik pada makanan mereka yang baru diantarkan. “Aku juga nggak tahu kalau Julie nggak pulang, tahu gitu kemarin pas ketemu aku suruh dia balik.”

Hmm.” Ipang hanya bergumam pelan. “Nanti biar Mas aja yang susulin dia ke tempatnya dia kerja.”

Kemudian Ipang teringat dengan pertanyaan yang berputar di kepalanya sejak tadi selain tentang alasan Julie tidak pulang. Ia pun menanyakannya pada Suri dan Candy, yang langsung menganga saat mendengar pertanyaan Ipang.

“Sebenernya Julie kerja apa sih?”

***

“Salon hari ini ramai?”

“Ramai, as usual,” jawab Julie sambil menggoyangkan gelasnya. “Hari ini jadwalnya influencer dari TikTok bikin konten di salonku. Daripada kejadian kayak Queen’s Bar yang influencer-nya bertingkah macam-macam, jadi kali ini aku yang ngawasin langsung.”

“Wow, totalitas tanpa batas.” Suri bertepuk tangan dengan bangga. Kebisingan di The Clouds—klub malam paling hits di Kemang tersebut, tentu saja mengalahkan suara tepuk tangan Suri.

Julie hanya mengangguk seadanya dan menyesap minumannya. Tiga hari belakangan menjadi hari paling sibuk untuknya. Dua hari yang lalu ia menginap di rumah sakit karena tidak ingin membiarkan ibunya sendirian.

Bisa saja kedua kakaknya yang menginap di sana, tapi istri mereka masing-masing tengah hamil dan sakit. Tentu saja baik Julie maupun orangtuanya melarang dua lelaki itu untuk menginap.

“Kamu dicariin Mas Ipang tahu.”

Kata-kata Suri yang volumenya beradu dengan hiruk pikuk The Clouds tetap terdengar oleh Julie. Perempuan itu menoleh pada sahabatnya dan menemukan kalau Suri tengah balik menatapnya dengan serius.

“Tadi dia nelepon aku.”

“Iya, aku tahu,” sahut Suri. “Aku ada di sana waktu Mas Ipang telepon.”

“Oh….”

“Kupikir kamu nggak nginep di rumah sakit,” kata Suri lagi. “Makanya aku bingung waktu Mas Ipang nggak tahu sebenernya kamu pulang ke rumah atau nggak.”

Julie memang tidak mengatakan pada Suri maupun Candy kalau ia menginap menemani ayahnya. Terlalu banyak hal yang ia pikirkan saat itu hingga Julie tak terpikir untuk mengabari Suri dan Candy.

Juga Ipang.

Gosh, bisa-bisanya aku lupa kalau aku punya suami, pikir Julie sambil memegangi kepalanya yang rasanya mulai berputar.

“Aku tahu Mas Ipang bukan suami pilihanmu, Jules,” kata Suri dengan selembut mungkin yang ia bisa—setidaknya di tempat seramai ini. “Tapi kamu harus belajar kalau kamu udah nggak hidup sendirian lagi. Mas Ipang kan butuh tahu kamu lagi di mana dan gimana keadaanmu—juga sebaliknya.”

Julie memutar kedua bola matanya. “Emangnya dia peduli?”

“Pasti peduli,” jawab Suri. “Buktinya dia bisa marahin kamu. Tahu nggak, dia sama adik tirinya yang lain nggak pernah marah-marah mau sesalah apa pun mereka—itu tanda dia nggak peduli sama orang lain.”

Julie mengerucutkan bibirnya. “Kayak dulu sebelum aku nikah sama dia ya? Dulu kayaknya aku ada di ruangan yang sama tapi jaraknya tiga meter aja, dia langsung melengos.”

Sebutlah ia kekanakan, tapi ia belum bisa percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Suri padanya.

“Masmu tuh selama ini nganggep aku kayak kuman, kamu tahu sendiri,” jelas Julie setelah beberapa saat terdiam.

“Tapi kan semua orang bisa berubah, Jules.” Suri menyentuh bahunya dengan lembut. “Bisa aja kan setelah ini Mas Ipang bisa berubah jadi lebih baik ke kamu.”

“Kamu emangnya pernah liat masmu berubah dalam sekejap?”

“Pernah.” Suri mengangguk. “Pas dia ketemu Priska.”

Julie mendengus mendengar mantan calon istri Ipang disebut oleh Suri yang kini meringis. “Nah, seumur hidup dia tidur sana-sini, akhirnya kali itu doang kan dia tobat sampai akhirnya mau nikah. Ibaratnya tuh kejadian semacam itu kayak gerhana matahari cincin—nggak tahu kapan lagi bakal kejadian.”

Suri menggeleng, tapi Julie bergerak lebih cepat. Ia berdiri dan mengambil clutch-nya. “Aku mau ke toilet sebentar.”

“Sama aku yuk.”

“Nggak usah, sendiri ajalah,” tolak Julie. Sebelum benar-benar pergi, ia menghabiskan isi gelasnya yang tersisa setengah lalu mengerjapkan matanya beberapa saat untuk menormalkan pandangannya yang sempat buram.

Ini bukan pertama kalinya ia datang ke The Clouds karena Suri dan Candy suka sekali dengan tempat ini. Alasan lainnya yang Julie tahu adalah karena Ipang merupakan pelanggan VIP di klub ini, jadi ia memperbolehkan Suri hangout tapi harus tetap dalam pengawasannya.

Suri sendiri menatapnya ragu, tapi Julie sudah lebih dulu melambaikan tangannya dan pergi begitu saja hingga tak mendengar Suri berkata, “Aku udah telepon Mas Ipang buat jemput kita!”

Julie berjalan dengan hati-hati agar tak menabrak siapa pun meskipun hal itu terhitung sulit. Klub itu sangat ramai dan beberapa kali Julie merasa hampir menginjak kaki seseorang.

Sesampainya di toilet, ia langsung membasuh wajahnya beberapa kali dan memulas kembali lipstiknya. Pusingnya jadi agak mereda setelah cuci muka.

Sebenarnya hari ini ia berencana pulang ke rumah Ipang (ia belum terbiasa menyebut rumah itu sebagai rumahnyajuga) setelah dari salon. Tapi Suri mengajaknya bertemu di The Clouds dan di sinilah mereka sekarang.

Bagaimana ia harus menghadapi Ipang besok pagi?

Siang tadi keadaan salon yang hectic dan sikap Ipang yang menurutnya aneh membuat Julie tak bisa mengontrol emosinya. Lagipula sejak dulu membicarakan Ipang atau bahkan bicara dengannya, selalu berhasil membakar sumbu emosinya yang sangat pendek.

Julie benci Ipang yang dulu mematahkan hatinya dengan cara paling kejam untuk remaja cupu sepertinya. Julie benci Ipang karena lelaki itu bahkan masih bisa tertawa seakan tak ada apa-apa, ketika Julie jadi bahan cemoohan satu sekolah.

Kalau Julie tak belajar jadi muka badak dari kedua kakaknya, Janu dan Septa, mungkin saat itu Julie sudah minta pindah sekolah pada orangtuanya. Sayang, ia tak memberi tahu Janu dan Septa saat itu. Kalau mereka tahu, Ipang mungkin sudah bisa jadi rujak karena dua kakaknya tersebut.

Dulu aku bodoh sih, benci tapi nggak mau liat dia lecet juga, batin Julie yang menyesalin betapa diperbudak perasaannya kala remaja dulu.

“Cantik.”

Sapaan itu didengar Julie dan diiringi sentuhan ringan yang provokatif di lengannya yang terbuka.

Julie langsung menghentikan langkahnya—berjarak dua meter dari pintu toilet. Sesosok lelaki dengan kemeja yang sudah acak-acakan dan tiga kancing yang terbuka, kini menatap Julie dari atas hingga bawah, lalu membasahi bibirnya dengan (sok) erotis.

“Hai, sendirian?” tanya lelaki berambut jabrik itu sembari mendekati Julie.

Julie mundur tiga langkah, tapi lelaki itu juga maju tiga langkah.

“Nggak, sama temen,” jawab Julie sambil menyilangkan tangannya di dada ketika jarak antara dirinya dan lelaki itu sangat dekat.

“Mana temennya?” tanya lelaki itu lagi.

“Kepo!”

Julie mendorong lelaki itu sekuat yang ia bisa dan melangkah dengan cepat. Meskipun klub ini adalah klub paling aman menurut sahabatnya, tapi lelaki hidung belang yang modal selangkangan saja tetap ada di mana-mana.

“Mentang-mentang cantik, sombong banget!”

Lelaki itu masih mengejar Julie dan berhasil menarik tangannya hingga tubuh Julie masuk ke dalam pelukan lelaki itu.

“Brengsek, lepas nggak!” maki Julie kesal. Kenapa sih hari ini ia harus berurusan dengan laki-laki yang menyebalkan?! Tadi siang Ipang, sekarang si modal selangkangan!

Julie baru saja mengangkat lututnya untuk menendang selangkangan lelaki itu, tepat ketika seseorang menariknya ke belakang hingga terpisah dari lelaki tersebut.

Orang itu kemudian menghajar lelaki hidung belang tersebut, yang langsung teriak minta ampun karena tinju yang ia terima benar-benar membuat tulangnya berderak.

Ipang, lelaki yang baru saja menyelamatkan Julie, baru berhenti saat mendengar suara yang tak jauh dari posisinya. Ia melempar tubuh lelaki yang sudah lebam-lebam itu ke lantai dan berbalik untuk mendapati Julie berpegangan pada dinding sambil menunduk.

“Howeeek!”

Di antara banyak hal yang tidak ia sukai adalah menangani orang yang sampai jackpot ketika mabuk, seperti perempuan bertitel istrinya sekarang.

Ipang meringis jijik. “Oh, God….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status