Share

Bab 5 Semoga Ini Hanya Mimpi

"Hei, kenapa melihatku seperti itu?" Arya melihat tatapan Liyana sedikit berbeda saat ia kembali ke tempat duduk usai membayar makanan.

Liyana menyodorkan kartu nama milik Arya yang telah ditemukannya. "Ini milik kamu kan, Mas?" tanyanya dengan melayangkan tatapan nanar penuh selidik.

"M—" Arya nampak gugup. Dimasukkannya dengan segera kartu nama itu ke dalam dompetnya.

"Pemilik toko perhiasan berlian. Nama kamu jelas tertera di situ, Mas." Liyana semakin merasa penasaran.

"Lupakan soal kartu nama ini. Mana mungkin ada pemilik toko perhiasan model begini." Arya mengelak. Ia segera beranjak dari tempat duduk bersiap akan segera pergi.

"Ayo. Kita harus kembali ke hotel," ajaknya seraya meraih tangan Liyana.

"Tidak, Mas. Kamu masih punya hutang penjelasan," tahan Liyana yang masih penasaran.

"Kita bahas di hotel saja," elak Arya. Akhirnya Liyana mengalah dan ikut bersama sang suami untuk kembali ke hotel.

Sesampainya di hotel, seorang pria dengan setelan jas hitam nampak menghormati Arya dan Liyana. Pria yang merupakan manager hotel nampak membungkukkan punggung saat Arya melewatinya. Pemandangan yang membuat Liyana kian merasa penasaran.

"Mas, siapa kamu sebenarnya?" Di dalam lift, Liyana kembali bertanya.

"Aku hanyalah pelayan rumah makan yang jabatannya di bawah kamu. Masa kamu lupa sih," jawab Arya dengan santai tanpa membalas tatapan istrinya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

"Tapi, Mas. Mana ada manager hotel begitu menghormati pelayan seperti kita. Aku jadi merasa aneh," kata Liyana. Ia mulai menaruh curiga pada suaminya.

"Apaan sih. Tak usah berpikir yang aneh-aneh." Arya mengacak rambut Liyana dengan lembut.

"Mas!"

"Sudah, ayo kita ke kamar," ajaknya. Arya tetap saja membungkam. Dia tak tahu kalau perasaan Liyana saat ini teramat resah.

Di dalam kamar hotel yang masih berhiaskan bunga warna-warni keduanya kini duduk di tepi ranjang. Arya nampak mulai mendekati Liyana yang wajahnya kian terlihat resah.

"Mas, maafkan aku. Sungguh aku belum siap." Tanpa berani membalas tatapan Arya, gadis itu nampak memainkan kedua tangannya di atas pangkuan.

"Aku paham. Kamu memang belum seutuhnya mencintaiku—"

"Tapi aku akan berusaha mencintaimu, Mas. Kamu adalah pria yang menyelamatkan kehormatan keluargaku. Percayalah, aku akan berusaha mencintaimu," potong Liyana seraya mengangkat wajahnya.

"Oke aku paham kok." Pria itu kemudian berjalan menuju kamar mandi.

Ting!

Liyana mendengar notifikasi pesan masuk. Dilihatnya layar ponsel Arya yang terletak di atas nakas. Sebuah pesan masuk yang tak sengaja dibacanya pada layar depan.

"Malam, Pak. Besok akan ada pertemuan dengan beberapa pimpinan dari berbagai cabang berlian—" Liyana tak tahu dengan kelanjutan isi pesan itu. Tapi dahinya tiba-tiba mengkerut.

'Cabang berlian?' batinnya bertanya-tanya. Selama ini ia mengenal Arya hanya seorang pelayan rumah makan.

Karena penasaran Liyana segera mengusap layar ponsel Arya yang kebetulan tidak dikunci. Ia segera melancarkan tujuan membuka aplikasi pesan berwarna hijau pada layar ponsel sang suami.

Mengejutkan. Isi pesan aplikasi pesan itu semuanya berasal dari rekan bisnis. Entah ceroboh atau lupa, Arya sama sekali tak mengunci ponselnya.

'Siapa Mas Arya sebenarnya? Mengapa isi pesannya berasal dari berbagai pemilik toko perhiasan berlian.' Liyana membatin. Bahkan pesan yang masuk barusan, mengabarkan kalau Arya harus menghadiri rapat direksi sebagai pimpinan dari berbagai cabang toko perhiasan berlian di indonesia. Dada Liyana bergetar sementara bola matanya nampak membulat sempurna.

Gadis itu akan membaca satu persatu percakapan yang ada pada aplikasi itu, namun sepertinya niatnya harus tertahan saat suara pintu kamar mandi telah dibuka. Ia bergegas menutup layar ponsel Arya kemudian memperbaiki posisi duduknya kembali.

Arya sudah berganti pakaian. Ia kini mengenakan piyama tidur dan langsung mengambil satu bantal di atas ranjang.

"Ngapain, Mas?" tanya Liyana terkejut.

"Aku akan tidur di sofa ya." Pria dewasa yang kini telah menjadi suami Liyana, nampak beranjak menuju sofa dengan satu bantal di tangannya. Dia sangat menghargai perasaan sang istri. Cinta memang tak bisa dipaksakan tapi bisa diperjuangkan.

Malam itu di kamar hotel pasangan pengantin baru yang harusnya memadu kasih, terlihat tidur terpisah. Arya yang sudah terbaring di atas sofa, sementara Liyana masih duduk menatap suaminya dari atas ranjang.

"Maafkan aku, Mas. Aku tidak berniat mempermainkan perasaan kamu. Hanya saja, aku butuh waktu untuk bisa benar-benar mencintaimu," desis Liyana berbicara sendiri. Ia bangkit menghampiri Arya yang sudah tertidur pulas karena kelelahan. Di selimutinya tubuh sang suami dengan selimut yang dia ambil dari lemari.

Wajah Arya memang terlihat tampan bak artis-artis hollywood. Hanya saja, perbedaan usia yang cukup jauh membuat Liyana merasa ngeri jika membayangkan malam pertama dengannya. Ia bergegas kembali ke atas ranjang berharap bisa tertidur dengan lelap disaat kekhawatiran melanda jiwa. Ia takut kalau Arya sampai bangun dan berubah pikiran lalu menerobos lubang berharga miliknya.

Liyana segera menutup tubuhnya dengan selimut tebal berwarna putih. Namun, begitu mata terasa berat dan hendak terlelap, sesuatu terasa menurunkan selimutnya.

"Kamu mau ngapain, Mas?" Liyana terperanjat. Ia melihat Arya sudah berdiri di tepi ranjang menarik cepat selimut yang sempat menutupi tubuhnya.

"Ini malam pertama kita, Li. Kita harus melewatkannya dengan momen yang indah," kata Arya. Tatapannya fokus pada sang istri menafsirkan ambisi.

Liyana beringsut mundur dan berakhir di bahu ranjang. "Apa maksud kamu, Mas? Kembali ke sofa dan tidurlah dengan tenang," sentaknya. Keringat dingin tiba-tiba mengkilat di dahi. Ia ketakutan.

"Mana bisa tidur sebelum mendapatkan hakku sebagai suami." Arya bersi kukuh. Ia mulai naik ke atas ranjang. Tatapannya penuh ambisi membuat Liyana kian merasa takut.

Pria dewasa itu tak seperti yang Liyana kenal. Arya sangat baik dan sopan. Kebaikannya bahkan membuat Liyana merasa yakin kalau hidupnya akan tertolong. Namun, berbeda dengan malam ini. Sorot pasang manik itu tak lagi sama. Tajam bagaikan belati yang hendak menusuk jantung dan menghancurkan perasaan Liyana.

"Mohon jangan lakukan apa-apa padaku, Mas. Bukankah sudah kukatakan, aku hanya butuh waktu saja." Liyana memelas. Akan tetapi Arya tetap dalam ambisinya.

Liyana tak bergeming, dilemparkannya benda apa saja yang bisa digapai ke hadapan Arya. Sampai vas kecil yang terletak di atas nakas Liyana lempar dan pecah pada dada bidang Arya. Malam ini laki-laki itu nampak kuat. Entah pengaruh apa yang membuatnya kalap.

"Tolong!!!" Akhirnya Liyana berteriak. Namun tangan kekar itu segera membekap mulutnya.

"Jangan berteriak karena kamu adalah istriku. Kita nikmati malam ini bersama-sama," ujar Arya diiringi tawa menyeramkan. Tubuh kekar itu sudah berada di atas Liyana.

Liyana menggelengkan kepala. Bulir bening merembes keluar dari sudut mata. Dia tak mau kesuciannya direnggut tanpa perasaan cinta, meski pun oleh suami dadakannya.

'Ya Tuhan, semoga ini hanya mimpi.'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status