Share

Bab 4 Malam Pertama Dengan Om Tampan

"Apa kamu sudah siap?" Pertanyaan Arya membuat Liyana terkesiap.

"Hah!" Liayana membeliak terkejut. Ia kesulitan menelan salivanya sendiri.

"Kok malah bengong sih?" Arya bertanya lagi. Pria dewasa bertubuh tinggi dengan bertelanjang dada tampak memperlihatkan perut sispack karena dia baru saja keluar dari kamar mandi.

"M-mas, a-aku, aku—" Liyana nampak gugup ia sampai kesulitan merangkai kata untuk sebuah alasan. Gaun pengantin masih menutupi tubuhnya karena ia belum sempat mengganti pakaian.

"Aku tahu kamu belum siap." Tiba-tiba Arya mendekat ke arah Liyana, membuat gadis berlesung pipit itu melangkah mundur nampak takut.

"Kok kamu bisa bicara seperti itu, Mas?" tanya Liyana seraya menggigit bibir bibir.

"Ya karena kamu belum mandi dan berganti pakaian. Mandi dulu sana, setelah itu kita siap-siap untuk makan malam."

Mendengar itu, Liyana langsung menghela napas lega. "Iya, Mas. Aku akan segera mandi."

Arya mengukir senyum. Wajahnya sangat terlihat tampan, hanya saja di mata Liyana masih kalah tampan dengan Arsenio—sang mantan kekasih.

Tangan lembut Arya mengusap pucuk rambut Liyana. Senyuman masih saja menggaris di bibirnya. "Aku tunggu di luar ya," ucapnya. Liyana pun mengangguk.

Setelah Arya keluar dari kamar, gadis berambut lurus itu langsung menuju kamar mandi. Ia membiarkan air hangat yang keluar dari shower membasai rambutnya, menenangkan keresahan di kepala.

Dalam deraian air yang mengguyur tubuhnya Liyana hanya bisa menangis meratapi takdir yang dianggap sedang tak berpihak kepadanya. Mimpi buruknya benar-benar nyata. Pernikahan dengan Arsenio hanyalah tinggal masa lalu, saat ini yang ada di depannya adalah seorang pria dewasa yang tak pernah ia cintai.

***

"Semua telah berjalan lancar. Apa yang telah kamu lakukan sesuai dengan rencana karena saya telah mendapatkan impian saya." Arya berdiri di balkon kamar hotel. Malam ini mereka memang telah menyewa hotel untuk menghabiskan malam pengantin. Ia tengah berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.

"Akan segera saya transfer jatah untuk kamu," imbuhnya. Arya terlihat puas dengan pencapaiannya saat ini. Namun percakapan mereka akhirnya tertahan.

"Mas!"

Suara sopan memanggil di belakang Arya membuat ia langsung mengakhiri perbincangannya dengan seseorang. Ponsel pintar yang sebelumnya menempel di telinga, segera Arya turunkan.

"Hey, Li. Sejak kapan kamu berdiri di situ?"

Rupanya Arya terkejut dengan kedatangan Liyana di balkon.

"Aku baru saja selesai mandi dan berganti pakaian. Aku mencari kamu, dan ternyata ada di sini," jawab Liyana. Wajahnya tampak santai. Rupanya dia memang baru saja tiba dan belum mendengar percakapan apa-apa.

"Oh oke. Kalau begitu, kita akan turun dan makan malam." Arya meraih tangan Liyana.

"Tunggu, Mas!"

Seketika langkah Arya tertahan. "Kenapa?"

"Sejak kapan kamu punya handphone semewah itu?" Tatapan Liyana begitu nanar pada ponsel yang berada pada genggaman Arya. Jelas sekali itu ponsel mahal yang bernilai jutaan. Mana mungkin pelayan seperti Arya memilikinya.

"Kamu juga belum menjelaskan padaku, dari mana kamu memiliki uang untuk menyewa kamar di hotel ini," imbuhnya.

Arya nampak bergeming. Sepertinya ia kesulitan mencerna kata-kata. "M-i-ini ini." Dia gugup.

"Mas, apa yang kamu sembunyikan dariku?" Liyana merasa aneh pada pria yang baru beberapa jam ia nikahi.

"Ini hanyalah hadiah pernikahan dari saudaraku," jawab Arya. Dimasukannya benda pipih itu pada saku celananya.

"Masa sih, Mas?" Liyana mengerutkan dahi.

"Saudaraku kan memang seorang pengusaha berlian. Hal yang enteng baginya jika hanya sekedar kado yang kita anggap mewah," jelasnya. Arya kembali meraih tangan Liyana.

"Sudahlah, kita harus makan malam. Bukankah setelah ini akan ada pertempuran yang harus kita lakukan," imbuhnya seraya mencubit ujung hidung Liyana yang mancung.

"Apa maksudnya, Mas?" Gadis itu pura-pura tak paham. Ia menyembunyikan wajah gugupnya.

Arya hanya mengulum senyum. Ia tak menjawab pertanyaan gadis kecilnya. Mereka harus segera makan malam. Acara resepsi pernikahan tadi siang cukup melelahkan. Mereka membutuhkan tenaga setelah itu.

"Selemat malam, Pak Arya. Apa kabar?"

Seorang pria seusia Arya menyapa dengan ramah saat mereka duduk di restaurant yang berada di area hotel.

"Malam."

Pria dewasa itu berjabat tangan cukup ramah dengan Arya. Pakaiannya juga rapih dengan setelan jas branded menutupi tubuhnya.

"Siapa ini, Mas?" Liyana berbisik di dekat telinga Arya.

"Hanya teman," jawab Arya nampak resah.

"Oh iya, Pak. Saya sudah lama tak melihat Pak Arya di toko berlian, kemana saja?" Pria itu bertanya pada Arya. Nampak ramah. Sepertinya memang sudah akrab.

"Saya sudah tidak bekerja di sana lagi, Pak." Arya malah tak terlihat ramah. Sesekali ia melirik ke arah Liyana yang menatap keduanya penasaran.

"Pak Arya, bicara apa sih." Pria itu nampak tak paham dengan maksud Arya.

Namun, Arya segera menarik tangan Liyana dan berpindah ke tempat yang lain padahal pria tadi belum selesai dengan ucapannya.

"Mas, kok malah keluar sih. Katanya mau makan malam," protes Liyana. Arya masih dengan langkahnya.

Mereka berdua kini telah sampai di tempat makan yang sangat sederhana yang berada di luar hotel. Sepertinya Arya tengah menghindari seseorang.

"Saya tidak sanggup membayar makanan di sana. Uang yang tersisa hanyalah sedikit," jawabnya berkilah.

Mendengar jawaban suaminya, seketika Liyana sendu. Ia kembali disadarkan tentang posisi Arya yang hanya seorang pelayan rumah makan yang gajinya pun mungkin dibawahnya.

"Maaf ya, Mas. Aku telah melupakan hal itu. Tapi tenang saja. Jabatanku sudah diangkat jadi manager. Setelah ini, Mas Arya tak usah susah payah memikirkan soal hidup. Aku akan berusaha mencukupi kebutuhan kita. Mas telah menyelamatkan nama baik keluargaku, maka aku akan membalas budi." Liyana menaruh tangannya di bahu suaminya.

"Balas budi?" Arya membeliak tak paham.

"Iya. Karena Mas Arya telah menolongku, menjadi suami pura-pura di pernikahanku." Liyana memperjelas.

"Pernikahan ini tidak pura-pura, Li. Bagaimana mungkin kamu menganggapnya seperti itu?"

Liyana menaikan kedua alisnya. Tak disangka kalau ternyata Arya menganggap semuanya serius.

"Saya akan berusaha mencintai kamu, Mas. Tapi bisakah saya minta waktu." Gadis itu mengajukan permintaan.

Arya segera mengangguk paham. Cinta memang butuh waktu dipupuk agar tumbuh dengan sempurna.

"Aku akan menunggu sampai kamu benar-benar bisa mencintaiku," kata Arya.

Liyana tak sanggup membendung air mata. Ia memeluk sahabatnya. Pria dewasa itu benar-benar telah menolong hidupnya.

Selesai makan, Arya nampak mengeluarkan dompet yang isinya tidak terlalu tebal. Ia mengambil satu lembar uang berwarna merah untuk membayar makanan. Arya tak sadar telah menjatuhkan sesuatu dari dompetnya. Ia menuju kasir dan tak tahu mengenai benda miliknya yang terjatuh.

"Apa ini?" Liyana mengambil kartu nama milik suaminya di atas lantai.

"Arya Bagaskara, pemilik toko perhiasan berlian." Mulut Liyana menganga karena terkejut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status