"Tara, semua pakaian dan barang-barang kamu, sudah Ayah masukkan dalam koper."
Ucapan Ayahnya menghantam hati Tara tanpa ampun. Dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Ia terdiam, terkejut, tak percaya. Bagaimana mungkin orang tuanya tega melakukan ini? Apakah aku diusir? Apakah aku dibuang? pikirnya kalut. Semua barangnya sudah dikemas, lengkap, tak ada yang tertinggal. Ia memandang kedua orang tuanya, matanya penuh tanya, hatinya sesak. Kenapa? Apa sebenarnya yang mereka inginkan darinya? "Ayah, apa ini maksudnya?" tanyanya, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar, seperti hendak pecah bersama tangis yang ditahannya mati-matian. "Mulai detik ini kamu tinggal di rumah Dewa. Ayah sama Mamahmu gak bisa menampung kalian di rumah ini," kata Danu, datar. "Tara, kamu udah buat kesalahan besar. Kamu juga udah gagal menjadi seorang anak," tambah Rina, tajam. Air mata Tara jatuh, tak bisa ditahan lagi. Ucapan kedua orang tuanya terasa seperti pisau yang menyayat hati, berkali-kali, tanpa jeda. Sakit, terlalu sakit, meski tak ada darah yang mengalir. Ia sudah menuruti semua keinginan mereka. Ia rela dinikahkan demi menutup aib yang tak pernah ia perbuat. Ia mencoba menjelaskan, tapi tak pernah didengar. Ucapannya hanya dianggap angin lalu. Dan hari ini, tepat di hari pernikahan paksanya, ia dibuang. Dihapus dari keluarga, seolah-olah kehadirannya hanya membawa malu. Dewa berdiri di sana, menyaksikan semuanya. Sorot matanya gelap, rahangnya mengeras. Ia melangkah mendekat, merangkul pundak Tara, lalu meraih koper besar itu. "Kenapa kalian tega begini? Aku bisa buktikan kalau aku gak hamil. Tapi kalian malah memaksaku menikah. Aku nurut... aku patuh... tapi sekarang kalian buang aku? Apa aku bukan anak kandung kalian, Mah? Ayah?" Tangisnya pecah, menggema dalam ruangan itu. Tapi Danu dan Rina tetap membisu. Wajah mereka datar, dingin. Tak ada sedikit pun belas kasihan. Yang mereka pikirkan hanya nama baik. Hanya reputasi. Hanya perusahaan. Mereka menyerahkan hidup Tara pada Dewa begitu saja, tanpa peduli pada luka yang mereka tinggalkan. Dewa menggenggam pergelangan tangan Tara dengan lembut. Satu tangannya menarik koper yang terasa semakin berat, bukan karena isi, tapi karena luka yang dibawanya. Tara memandang wajah Dewa. Entah kenapa, di tengah kekacauan itu, Dewa tampak seperti satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya. "Om, Tante, baiklah jika ini keputusan kalian. Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Tara," ucap Dewa, tegas. Kata-kata itu mengguncang hati Tara. Hangat, menyentuh, membuatnya ingin menangis lebih keras. Tatapan Dewa serius, tulus, tidak ada keraguan di sana. Tiba-tiba, dari sudut ruangan, terdengar suara tawa mengejek. "Paling setiap hari Tara dikasih makan mie instan, Dewa. Semua orang juga tahu apa profesimu," kata Liora penuh cemoohan. "Cuma seorang montir bengkel yang hobinya balapan motor." Dewa melirik tajam ke arah Liora. Ia dihina, dicaci di depan orang tua Tara juga Liora sendiri. Namun, sorot matanya tidak gentar, justru semakin menajam seolah menantang balik. Tatapan Tara pun tak kalah sinis menatap Liora. Ingin sekali ia mengatakan yang sebenarnya pada kedua orang tuanya. Ingin meluapkan semuanya. Namun, ia sadar, semua hanya akan berujung sia-sia. Mereka tak pernah benar-benar mendengar. Tangan Tara masih dalam genggaman Dewa, erat, seolah tak ingin melepaskannya. Mereka melangkah keluar dari rumah itu. Jalanan mereka sunyi, hanya suara langkah dan gaun Tara yang terseret pelan. Gaun pengantin yang kini terasa begitu berat. Heels-nya menyiksa langkah, setiap jejak seperti menambah beban yang sedari tadi menggunung di dada. Baru beberapa meter berjalan, Tara mulai kelelahan. Langkahnya melemah. Perutnya pun berbunyi, mengaduh, sejak tadi belum diisi apa-apa. "Kamu lapar?" tanya Dewa sambil menghentikan langkah. "Sejak pagi aku belum makan," jawab Tara lemah, tangannya mengusap perutnya. Tanpa banyak bicara, Dewa langsung menggiring Tara masuk ke sebuah restoran mahal yang kebetulan dekat dari tempat mereka berdiri. "Kak, ini resto mahal loh. Mending kita makan pecel lele pinggir jalan, aku udah biasa kok," ujar Tara dengan ragu. Dewa hanya menaikkan sebelah alis. Tak menghiraukan. Langkahnya mantap. "Dibilangin batu, aku gak mau cuci piring kalo nanti gak sanggup bayar," celetuk Tara pelan, nyaris bergumam. Dewa menyuruh Tara duduk. Ia juga menyodorkan buku menu yang terlihat seperti buku tamu pernikahan: tebal dan mewah. Tara membaca deretan harga sambil menahan napas. Air mineral saja dihargai dua ratus ribu. Ia menelan ludah keras-keras. Tak sanggup dengan angka-angka itu. "Kata aku juga mending makan pecel lele," bisik Tara dengan mata membelalak. "Lama banget, pelayan..." Dewa memanggil pelayan dengan tenang namun tegas. "Iya, Tuan. Mau pesan apa?" tanya pelayan dengan senyum sopan. "Kobe beef steak. Dua," jawab Dewa mantap. Bola mata Tara membulat sempurna. Ia terkejut, hampir ingin berdiri dari kursi. Saat pelayan pergi, Tara mendekatkan kursinya ke Dewa, lalu membisikkan sesuatu. "Kobe beef steak? Yakin mau pesan itu? Dua porsi aja dua belas juta loh," bisiknya, nyaris tak percaya. Dewa menepuk jidat Tara pelan. "Anak kecil. Tinggal makan aja, repot." Tara mengusap keningnya, masih tak habis pikir. Ia menatap Dewa penuh heran. Bagaimana bisa ia begitu tenang, padahal baru saja dihina di depan keluarganya sendiri? Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Kobe beef steak disajikan hangat dan menggoda. Dewa mulai menyantapnya dengan tenang. Sementara Tara hanya memandangi makanannya, belum menyentuh sedikit pun. "Kenapa gak dimakan?" tanya Dewa sambil memotong steaknya dengan lihai. "Aku gak mau cuci piring," jawab Tara jujur, masih ragu. Dewa tak peduli. Ia memotong daging lembut itu lalu menyodorkannya ke Tara. "Aaaa..." Tara sempat terdiam. Tapi perutnya tak bisa diajak kompromi. Akhirnya, ia membuka mulut, menyambut suapan dari tangan Dewa. "Gitu doang susah. Kalau gak mau, nanti aku makan punyamu," kata Dewa santai. Tara melirik wajah Dewa. Ada sesuatu yang hangat dalam dirinya saat itu. Kenapa Liora bisa-bisanya mempermainkan pria setulus ini? pikirnya. Pandangan mereka nyaris bertemu, tapi Tara cepat-cepat mengalihkan mata. Tepat saat itu, setelah makan malam selesai pelayan pun kembali. "Ini bill-nya, Tuan." Tara melirik kertas tagihan itu—dan matanya langsung membelalak. Angkanya membuat jantungnya nyaris copot. Fantastis. Tak masuk akal. Di saat yang sama, Arjuna mulai merogoh dompet. Ia mengaduk-aduk kantong celananya, mengucek-ngucek saku jas-nya namun hasilnya nihil. Dompet itu lenyap entah ke mana. "Apa? Kenapa?" suara Tara tercekat. Panik mulai merayapi wajahnya saat menatap Dewa. "Mas, tunggu sebentar ya," kata Dewa pada pelayan dengan senyum kikuk. "Beneran gak bisa bayar?" bisik Tara pelan, tapi matanya nyaris melotot keluar dari kepala. "Hsst... berisik," Dewa menempelkan jari telunjuknya di bibir Tara, berusaha tetap tenang. Tara menepuk keningnya dengan gemas. Ia benar-benar merasa terjebak. Di antara rasa malu dan kekhawatiran, hanya satu pikiran yang melintas: Jangan bilang aku harus nyuci piring di sini...Tara dan Dewa baru saja tiba di rumah. Belum sempat Tara turun, dari balik kaca mobil, ia melihat Mang Diman berlari tergesa-gesa menuju dalam rumah. Raut wajahnya tampak panik. Seketika Tara membuka pintu dan melompat turun, diikuti Dewa dari sisi lain."Mang Diman... Tunggu! Ada apa?" teriak Tara sambil berlari mengejar Mang Diman.Mang Diman menghentikan langkahnya, menoleh dengan napas memburu. Ia berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya bersuara."Itu... Non Liora sejak tadi dipanggil nggak nyaut-nyaut. Pintu kamarnya dikunci dari dalam, kunci cadangannya juga nggak ada. Tuan Danu minta pintunya didobrak," ujarnya terbata.Tara terpaku, matanya menoleh cepat ke arah Dewa, penuh tanya dan cemas. Mang Diman kembali berlari ke dalam rumah, menuju kamar Liora."Apa yang terjadi sama Kak Liora? Aku takut..." gumam Tara pelan.Dewa menggenggam lengan Tara, menenangkan. "Semoga nggak ada hal buruk... Ayo, kita masuk sekarang."Tanpa buang waktu, keduanya bergegas masuk dan menaiki tan
Liora kini sudah berada di dalam mobil bersama Adit, pengawal setia Dewa. Di dalam kabin yang sunyi itu, Liora terus menangis terisak. Air matanya tak henti mengalir, membasahi pipi yang pucat. Ia merasa tubuhnya kotor, ternoda, setelah disentuh oleh Samuel.Namun, ada yang terus mengganjal di benak Adit. Pandangannya sesekali melirik ke arah perut Liora yang tampak menonjol. Ia menyadari sesuatu yang tak biasa, Liora lupa mengenakan korset dan jaket bombernya seperti biasanya.“Nona, maaf jika saya lancang… apakah Nona sedang hamil?” tanya Adit dengan suara hati-hati, nyaris seperti bisikan.Liora tersentak. Manik matanya langsung menunduk, menatap perutnya sendiri. Ia terdiam. Nafasnya tercekat, menyadari kelalaiannya.Ia menarik napas panjang, kasar, mencoba menguasai kegelisahan yang mendadak menyeruak. Percuma mengelak. Perutnya kini sudah terlalu jelas untuk disembunyikan.“Sebenarnya… aku hamil delapan bulan,” ucap Liora lirih, matanya masih sembab. “Tapi aku mohon, jangan kata
"Pak Dewa?”Suara Yasmin menyentak kesadaran Dewa. Ia tak menduga akan bertemu dengan Yasmin di sini. Sekilas, Dewa melirik Adit, bingung harus berkata apa. Bibirnya sempat terbuka, namun tak ada kata yang keluar.“Pak Dewa tinggal di apartemen ini juga?” tanya Yasmin, matanya memandang heran.“Oh, nggak… aku cuma sedang mencari seseorang di sini,” jawab Dewa cepat, suaranya terdengar ragu dan sedikit terbata.“Seseorang? Siapa kira-kira? Barangkali orang yang Pak Dewa cari itu malah tetangga sebelah apartemenku,” sahut Yasmin, nada suaranya ramah, namun menyiratkan rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan.Dewa terdiam. Ia seperti terjebak di antara dua jurang. Kalau ia mengatakan yang sebenarnya, Yasmin pasti akan terkejut. Tapi kalau ia menyembunyikannya pun, Yasmin tetap akan tahu. Padahal ia datang ke sini hanya untuk satu tujuan, membawa Liora pulang demi Tara. Tapi sekarang, semuanya menjadi lebih rumit.“Sebenarnya… aku mencari Samuel,” ucap Dewa akhirnya, memilih untuk juju
"Kak... apa Kak Liora akan baik-baik aja, kenapa aku merasa khawatir Kak Liora bersama Samuel," ujar Tara.Dewa melepas jasnya, lalu duduk disamping Tara, mengusap lengan Tara, memberinya ketenangan agar Tara tidak berlebihan mencemaskan Liora."Aku yakin, Liora pasti akan baik-baik saja, Samuel nggak akan berani menyakiti Liora apalagi Liora sedang mengandung anaknya," ujar Dewa."Kalau kamu masih belum tenang, aku akan suruh Adit untuk memantau Liora," sambung Dewa.Tara mengangguk pelan, Dewa lantas mengetikan pesan pada nomor Adit untuk mengawasi Liora, di apartemen Samuel. Saat mendapat balasan pesan dari Adit, Dewa memperlihatkan layar ponselnya. Seketika itu juga Tara bisa bernafas lega."Makasih Kak Dewa," ujar Tara seraya menyandarkan kepala di pundak Dewa."Jangan memancingku, ini masih sore," ujar Dewa dengan mata genitnya.Tara beranjak dan bergeser sedikit menjauh dari Dewa, "Kak Dewa apaan sih..." ujar Tara wajahnya seketika memerah."Ayo kita bikin baby?" ujar Dewa ser
"Kak Liora, udah sampai di depan mini market, silakan turun," ujar Tara sambil menoleh ke belakang.Liora hanya terdiam. Pandangannya kosong, pikirannya sibuk meramu alasan lain, apapun, asalkan bisa terus berada di dekat Dewa. Waktunya tak banyak, tapi hatinya menolak berpisah sekarang.Tara dan Dewa mulai gelisah. Kekesalan mereka perlahan berubah menjadi amarah, melihat Liora masih enggan keluar dari mobil."Kenapa bengong? Cepat keluar, jangan buang-buang waktu kami," bentak Dewa, nadanya meninggi, tak bisa lagi menyembunyikan emosi."Ah ini... kayanya aku lupa bawa dompet," gumam Liora pelan, nyaris tak terdengar.Dewa menggeram. Tangan kirinya menghantam stir keras-keras, membuat suara dentuman menggema dalam kabin mobil. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras. Tara pun ikut naik pitam, merasa waktunya sengaja dihabiskan untuk hal yang tak perlu."Kak Liora gimana sih? Masa kita harus balik lagi ke rumah," sungut Tara, nada suaranya tak kalah kesal."Dewa... aku pinjam dulu uangmu
Dewa?” ujar Danu, terdengar sedikit terkejut.Dewa menunduk, lalu mencium punggung tangan ayah mertuanya. Sebuah senyum canggung tergurat di sudut bibirnya. Ada rasa segan, juga malu, yang jelas tergambar dari sorot matanya saat berhadapan dengan ayah Tara.“Ayah… aku kemari ingin menjemput Tara,” ucap Dewa dengan nada lirih.Danu menghela napas panjang. Ia menepuk lembut pundak Dewa, lalu memberi isyarat untuk masuk ke dalam rumah. Danu tahu, sesuatu tengah terjadi di antara Dewa dan Tara. Namun, sejak kesalahpahaman terakhir dengan Tara, Danu tak ingin lagi terlalu jauh mencampuri urusan rumah tangga putrinya. Ia belajar untuk bersikap lebih bijak, lebih menjaga jarak, tanpa mengabaikan.“Duduklah dulu. Kita minum teh atau kopi sebentar,” ujar Danu, menawarkan dengan nada tenang.Dewa tak bisa menolak. Ia hanya mengangguk kecil, menyambut tawaran itu dengan senyum yang tampak kaku. Mereka lalu duduk berdua di ruang tamu, dalam suasana yang sedikit kikuk.Dari lantai atas, Tara mempe