Share

Bab 6

last update Last Updated: 2025-05-27 13:27:04

"Tara, semua pakaian dan barang-barang kamu, sudah Ayah masukkan dalam koper."

Ucapan Ayahnya menghantam hati Tara tanpa ampun. Dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Ia terdiam, terkejut, tak percaya. Bagaimana mungkin orang tuanya tega melakukan ini?

Apakah aku diusir? Apakah aku dibuang? pikirnya kalut.

Semua barangnya sudah dikemas, lengkap, tak ada yang tertinggal. Ia memandang kedua orang tuanya, matanya penuh tanya, hatinya sesak. Kenapa? Apa sebenarnya yang mereka inginkan darinya?

"Ayah, apa ini maksudnya?" tanyanya, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar, seperti hendak pecah bersama tangis yang ditahannya mati-matian.

"Mulai detik ini kamu tinggal di rumah Dewa. Ayah sama Mamahmu gak bisa menampung kalian di rumah ini," kata Danu, datar.

"Tara, kamu udah buat kesalahan besar. Kamu juga udah gagal menjadi seorang anak," tambah Rina, tajam.

Air mata Tara jatuh, tak bisa ditahan lagi. Ucapan kedua orang tuanya terasa seperti pisau yang menyayat hati, berkali-kali, tanpa jeda. Sakit, terlalu sakit, meski tak ada darah yang mengalir.

Ia sudah menuruti semua keinginan mereka. Ia rela dinikahkan demi menutup aib yang tak pernah ia perbuat. Ia mencoba menjelaskan, tapi tak pernah didengar. Ucapannya hanya dianggap angin lalu.

Dan hari ini, tepat di hari pernikahan paksanya, ia dibuang. Dihapus dari keluarga, seolah-olah kehadirannya hanya membawa malu.

Dewa berdiri di sana, menyaksikan semuanya. Sorot matanya gelap, rahangnya mengeras. Ia melangkah mendekat, merangkul pundak Tara, lalu meraih koper besar itu.

"Kenapa kalian tega begini? Aku bisa buktikan kalau aku gak hamil. Tapi kalian malah memaksaku menikah. Aku nurut... aku patuh... tapi sekarang kalian buang aku? Apa aku bukan anak kandung kalian, Mah? Ayah?"

Tangisnya pecah, menggema dalam ruangan itu. Tapi Danu dan Rina tetap membisu. Wajah mereka datar, dingin. Tak ada sedikit pun belas kasihan.

Yang mereka pikirkan hanya nama baik. Hanya reputasi. Hanya perusahaan. Mereka menyerahkan hidup Tara pada Dewa begitu saja, tanpa peduli pada luka yang mereka tinggalkan.

Dewa menggenggam pergelangan tangan Tara dengan lembut. Satu tangannya menarik koper yang terasa semakin berat, bukan karena isi, tapi karena luka yang dibawanya. Tara memandang wajah Dewa. Entah kenapa, di tengah kekacauan itu, Dewa tampak seperti satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya.

"Om, Tante, baiklah jika ini keputusan kalian. Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Tara," ucap Dewa, tegas.

Kata-kata itu mengguncang hati Tara. Hangat, menyentuh, membuatnya ingin menangis lebih keras. Tatapan Dewa serius, tulus, tidak ada keraguan di sana.

Tiba-tiba, dari sudut ruangan, terdengar suara tawa mengejek.

"Paling setiap hari Tara dikasih makan mie instan, Dewa. Semua orang juga tahu apa profesimu," kata Liora penuh cemoohan. "Cuma seorang montir bengkel yang hobinya balapan motor."

Dewa melirik tajam ke arah Liora. Ia dihina, dicaci di depan orang tua Tara juga Liora sendiri. Namun, sorot matanya tidak gentar, justru semakin menajam seolah menantang balik.

Tatapan Tara pun tak kalah sinis menatap Liora. Ingin sekali ia mengatakan yang sebenarnya pada kedua orang tuanya. Ingin meluapkan semuanya. Namun, ia sadar, semua hanya akan berujung sia-sia. Mereka tak pernah benar-benar mendengar.

Tangan Tara masih dalam genggaman Dewa, erat, seolah tak ingin melepaskannya. Mereka melangkah keluar dari rumah itu. Jalanan mereka sunyi, hanya suara langkah dan gaun Tara yang terseret pelan. Gaun pengantin yang kini terasa begitu berat. Heels-nya menyiksa langkah, setiap jejak seperti menambah beban yang sedari tadi menggunung di dada.

Baru beberapa meter berjalan, Tara mulai kelelahan. Langkahnya melemah. Perutnya pun berbunyi, mengaduh, sejak tadi belum diisi apa-apa.

"Kamu lapar?" tanya Dewa sambil menghentikan langkah.

"Sejak pagi aku belum makan," jawab Tara lemah, tangannya mengusap perutnya.

Tanpa banyak bicara, Dewa langsung menggiring Tara masuk ke sebuah restoran mahal yang kebetulan dekat dari tempat mereka berdiri.

"Kak, ini resto mahal loh. Mending kita makan pecel lele pinggir jalan, aku udah biasa kok," ujar Tara dengan ragu.

Dewa hanya menaikkan sebelah alis. Tak menghiraukan. Langkahnya mantap.

"Dibilangin batu, aku gak mau cuci piring kalo nanti gak sanggup bayar," celetuk Tara pelan, nyaris bergumam.

Dewa menyuruh Tara duduk. Ia juga menyodorkan buku menu yang terlihat seperti buku tamu pernikahan: tebal dan mewah.

Tara membaca deretan harga sambil menahan napas. Air mineral saja dihargai dua ratus ribu. Ia menelan ludah keras-keras. Tak sanggup dengan angka-angka itu.

"Kata aku juga mending makan pecel lele," bisik Tara dengan mata membelalak.

"Lama banget, pelayan..." Dewa memanggil pelayan dengan tenang namun tegas.

"Iya, Tuan. Mau pesan apa?" tanya pelayan dengan senyum sopan.

"Kobe beef steak. Dua," jawab Dewa mantap.

Bola mata Tara membulat sempurna. Ia terkejut, hampir ingin berdiri dari kursi. Saat pelayan pergi, Tara mendekatkan kursinya ke Dewa, lalu membisikkan sesuatu.

"Kobe beef steak? Yakin mau pesan itu? Dua porsi aja dua belas juta loh," bisiknya, nyaris tak percaya.

Dewa menepuk jidat Tara pelan. "Anak kecil. Tinggal makan aja, repot."

Tara mengusap keningnya, masih tak habis pikir. Ia menatap Dewa penuh heran. Bagaimana bisa ia begitu tenang, padahal baru saja dihina di depan keluarganya sendiri?

Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Kobe beef steak disajikan hangat dan menggoda. Dewa mulai menyantapnya dengan tenang. Sementara Tara hanya memandangi makanannya, belum menyentuh sedikit pun.

"Kenapa gak dimakan?" tanya Dewa sambil memotong steaknya dengan lihai.

"Aku gak mau cuci piring," jawab Tara jujur, masih ragu.

Dewa tak peduli. Ia memotong daging lembut itu lalu menyodorkannya ke Tara.

"Aaaa..."

Tara sempat terdiam. Tapi perutnya tak bisa diajak kompromi. Akhirnya, ia membuka mulut, menyambut suapan dari tangan Dewa.

"Gitu doang susah. Kalau gak mau, nanti aku makan punyamu," kata Dewa santai.

Tara melirik wajah Dewa. Ada sesuatu yang hangat dalam dirinya saat itu. Kenapa Liora bisa-bisanya mempermainkan pria setulus ini? pikirnya.

Pandangan mereka nyaris bertemu, tapi Tara cepat-cepat mengalihkan mata. Tepat saat itu, setelah makan malam selesai pelayan pun kembali.

"Ini bill-nya, Tuan."

Tara melirik kertas tagihan itu—dan matanya langsung membelalak. Angkanya membuat jantungnya nyaris copot. Fantastis. Tak masuk akal.

Di saat yang sama, Arjuna mulai merogoh dompet. Ia mengaduk-aduk kantong celananya, mengucek-ngucek saku jas-nya namun hasilnya nihil. Dompet itu lenyap entah ke mana.

"Apa? Kenapa?" suara Tara tercekat. Panik mulai merayapi wajahnya saat menatap Dewa.

"Mas, tunggu sebentar ya," kata Dewa pada pelayan dengan senyum kikuk.

"Beneran gak bisa bayar?" bisik Tara pelan, tapi matanya nyaris melotot keluar dari kepala.

"Hsst... berisik," Dewa menempelkan jari telunjuknya di bibir Tara, berusaha tetap tenang.

Tara menepuk keningnya dengan gemas. Ia benar-benar merasa terjebak. Di antara rasa malu dan kekhawatiran, hanya satu pikiran yang melintas: Jangan bilang aku harus nyuci piring di sini...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 11

    Suasana di pemakaman mulai sepi. Dewa dan Tara bergegas turun dari mobil, langkah mereka cepat, hampir tak terdengar di antara deru angin sore yang menggoyang dedaunan. Mereka mendekati makam Abimana, yang dikubur di samping makam ibunda Dewa dan makam adik Abimana."Di sebelah kanan makam, Mamah. Di sebelah kiri, adik Ayah… Arman, yang sebenarnya Ayah kandungku," ujar Dewa pelan, nyaris seperti bisikan yang pecah di udara sunyi.Tara menatap ketiga makam tersebut, makam yang memiliki cerita juga hubungan erat, cinta segitiga yang berakhir dengan kematian.Sulit dibayangkan bagaimana perasaan Dewa saat tahu bahwa dirinya adalah anak hasil perselingkuhan ibunya sendiri dengan adik iparnya. Tara bisa merasakan luka itu, terbungkus dalam diam Dewa yang terlihat tenang, tapi penuh gejolak."Kenapa aku merasa Pak Abimana sangat menyayangi Kak Dewa..." ucap Tara, setengah bertanya."Itu hanya perasaanmu saja," jawab Dewa, cepat dan datar, seperti ingin segera mengakhiri topik itu.Terlalu s

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 10

    Mereka adalah orang tua Tara, juga Liora sang kakak. Tatapan mereka terlihat bingung melihat Tara berada di kediaman rumah Abimana, rekan bisnis Danu, ayah Tara."Sedang apa kamu di rumah Pak Abimana?" tanya Danu dengan nada datar namun penuh tanya."Aku tinggal di sini, Ayah," jawab Tara dengan tenang.Kening kedua orang tua Tara mengerut dalam. Mereka saling menatap, seolah tak percaya dengan ucapan putri mereka. Bagi mereka, Tara seperti sedang berhalusinasi."Jangan mengada-ada, Tara. Ini rumah Pak Abimana. Ada hubungan apa kamu dengan Pak Abimana sampai bisa tinggal di sini?" Danu kembali bertanya, suaranya mulai meninggi."Pak Abimana itu ayahnya Kak Dewa," jawab Tara, tenang namun pasti.Kedua orang tua Tara mendengus tak percaya. Liora tertawa pelan, penuh ejekan, seolah Tara baru saja mengarang cerita."Halusinasi kamu tinggi, Tara. Bagaimana mungkin Pak Abimana, pemilik perusahaan elektronik terbesar, adalah ayahnya Dewa?" sahut Liora mencibir.Tatapan mata Tara berubah taja

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 9

    "Suster... tolong Ayah saya."Dewa berteriak meminta bantuan para perawat, wajahnya panik, nafasnya terengah engah, ayahnya masih sempat berbicara mustahil bagi Dewa ayahnya pergi begitu saja.Tara masih di dalam ruangan, ia terus mencoba membangunkan ayah Dewa, namun tubuh itu sudah lemas dingin dan kaku. Tara tak kuasa menangis, meski ia baru pertama kali bertemu, namun kata-kata terakhir itu terngiang-ngiang dikepala.Dokter bersama perawat pun masuk, Tara menyingkir memberi ruang untuk para tenaga medis. Dokter memompa jantung ayah Dewa secara manual namun tidak ada reaksi, lalu lanjut menggunakan alat kejut jantung tetap juga tidak bereaksi."Tuan, ayah anda sudah meninggal beberapa menit yang lalu," ujar dokter dengan nada pasrah.Dewa memegangi kepalanya kuat-kuat, matanya terpejam, deru nafasnya semakin kencang, ia tampak seperti ketakutan, tak lama kemudian tubuh Dewa ambruk jatuh ke lantai."Kak Dewa!" teriak Tara, langsung berlari menghampirinya.Ia mengguncang tubuh Dewa.

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 8

    "Benda itu milik Kak Liora. Aku ke rumah Kak Dewa demi dia, agar Kak Dewa mau bertanggung jawab."Tara duduk di pinggir ranjang, benaknya kembali mengulas pertengkaran terakhir dengan Liora sebelum malam kejadian. Senyum kecut muncul di wajah Dewa. Ia sempat menahan tawa saat Tara dengan penuh kesungguhan meminta pertanggungjawaban atas kehamilan Liora."Kalau benda itu memang ada di tangan Kak Dewa, kenapa Kak Dewa gak bilang ke Ayah sama Mamah? Jelaskan kalau tespek dan foto USG itu bukan milikku, tapi milik Kak Liora," ucap Tara, sorot matanya penuh tanya dan kekecewaan."Kenapa malah menerima? Yang seharusnya Kak Dewa nikahi itu Kak Liora, bukan aku. Aku bahkan sama sekali gak hamil," lanjutnya, suaranya bergetar menahan gejolak."Aku lebih memilih menikahimu daripada menikahi Liora," jawab Dewa santai, senyum kecut masih bertahan di wajahnya.Tara berdiri, napasnya memburu, hatinya makin tak mengerti arah pemikiran Dewa. Dengan geram, ia meraih kerah kemeja Dewa, meremasnya deng

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 7

    "Tuan, ini dompet dan kunci mobilnya."Pria bersetelan jas hitam itu menyerahkan kunci pada Dewa. Tara mengerutkan kening. Siapa pria ini? Dan kenapa ia memanggil Dewa dengan sebutan Tuan."Hah, Tuan?" batin Tara tercekat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Lama sekali," ujar Dewa, datar, tanpa ekspresi."Maaf, Tuan. Ada sedikit masalah," jawab pria itu sopan, menunduk hormat.Tara semakin tak mengerti. Apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, semua terasa asing dan bertolak belakang dengan apa yang selama ini Liora ceritakan. Siapa sebenarnya Dewa?Black card itu diserahkan Dewa kepada pelayan. Tara tertegun. Black card? Bukankah kartu itu hanya dimiliki kalangan elit?"Terima kasih, Tuan," ucap pelayan, menyerahkan kembali kartu itu dengan sopan.Tara kehilangan kata-kata. Kepalanya penuh tanya. Siapa Dewa sebenarnya?Dewa bangkit dari kursinya. Pria suruhannya sudah membawa koper Tara. Namun Tara masih terpaku, tenggelam dalam pusaran pikirannya."Jadi bener kamu mau c

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 6

    "Tara, semua pakaian dan barang-barang kamu, sudah Ayah masukkan dalam koper."Ucapan Ayahnya menghantam hati Tara tanpa ampun. Dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Ia terdiam, terkejut, tak percaya. Bagaimana mungkin orang tuanya tega melakukan ini?Apakah aku diusir? Apakah aku dibuang? pikirnya kalut.Semua barangnya sudah dikemas, lengkap, tak ada yang tertinggal. Ia memandang kedua orang tuanya, matanya penuh tanya, hatinya sesak. Kenapa? Apa sebenarnya yang mereka inginkan darinya?"Ayah, apa ini maksudnya?" tanyanya, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar, seperti hendak pecah bersama tangis yang ditahannya mati-matian."Mulai detik ini kamu tinggal di rumah Dewa. Ayah sama Mamahmu gak bisa menampung kalian di rumah ini," kata Danu, datar."Tara, kamu udah buat kesalahan besar. Kamu juga udah gagal menjadi seorang anak," tambah Rina, tajam.Air mata Tara jatuh, tak bisa ditahan lagi. Ucapan kedua orang tuanya terasa seperti pisau yang menyayat hati, berkali-kali, tanpa jeda. S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status