Hari itu akhirnya tiba, hari pernikahan Tara dengan Dewa. Segalanya telah disiapkan dengan sempurna, kursi-kursi untuk para tamu dan keluarga tersusun rapi, seperti menunggu dimulainya sebuah pertunjukan besar.
Namun tidak dengan Tara. Ia duduk terdiam di balkon kamarnya, melamun. Lututnya ditekuk ke dada, rambutnya berantakan, dan sorot matanya tampak lelah, jelas kurang tidur semalaman. "Apa gak ada yang bisa menolongku?" gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan pada diri sendiri. Pintu kamar mendadak terbuka. Rina muncul bersama juru rias yang membawa perlengkapan make up. “Tara... hentikan tangismu. Beberapa jam lagi akad dimulai,” bisik Rina dengan nada tajam, menggenggam lengan putrinya erat. “Tara nggak mau nikah, Mah...” rintih Tara lirih, wajahnya penuh luka yang tak kasat mata. “Sudah. Mamah lelah terus-menerus harus berdebat denganmu,” sahut Rina, datar tapi tegas. “Mbak, langsung makeup saja,” lanjutnya tanpa menoleh. Tara tak mampu melawan. Ia hanya bisa diam, menyerah pada hidup yang tak pernah ia pilih. Setelah riasan selesai, Tara mengenakan kebaya yang telah disiapkan. Kebaya itu indah, sangat pas di tubuhnya seolah menegaskan bahwa hari ini memang miliknya. Tapi tak ada binar di matanya, tak ada senyum di wajahnya. Juru rias lalu membantunya berdiri, memandu langkahnya menuju ruang tengah. Di sana, keluarga dan para pendamping sudah bersiap, menunggu dengan harap-harap cemas. Liora, yang berdiri paling dekat, spontan mengulurkan tangan. Ia memegang lengan Tara, berniat menuntunnya dengan lembut. Namun Tara cepat menepis tangan itu. "Aku bisa sendiri," ucapnya pelan tapi tegas. Dingin. Seperti tembok yang tak bisa ditembus. Di halaman depan, para tamu telah berkumpul. Dewa berdiri tenang, bersiap mengucap janji suci. Dalam hitungan detik Tara yang sudah cantik berbalut kebaya, duduk disamping Dewa dengan anggun namun penuh tekanan. Tak butuh waktu lama. Ijab kabul pun terlontar dari bibir Dewa Mahendra. Dan setelahnya, ia menyematkan cincin emas lima gram ke jari manis Tara, sebuah mas kawin yang sangat sederhana. Namun tiba-tiba, Dewa mendekat, bibirnya hampir menyentuh kening Tara. “Kakak mau ngapain?” tanya Tara pelan, wajahnya buru-buru dimundurkan. “Diam, jangan bergerak,” bisik Dewa, suaranya menggigit, giginya gemeretak menahan sesuatu yang sulit dijelaskan. Tara memejamkan mata, jantungnya berdebar keras. Ada gejolak dalam dadanya, dorongan untuk menjauh, namun genggaman Dewa di pinggangnya terlalu kuat, terlalu menekan. “Ini pertama dan terakhir kalinya,” bisik Tara tajam di telinga Dewa. Suaranya tegas, tapi mengandung luka. Tara menahan napas, mencoba menekan rasa kesalnya yang perlahan mendidih. Jepretan kamera mengabadikan moment itu, Tara resmi menjadi istri dewa mahendra. Lalu tiba tiba saja seorang lelaki muncul, mendekati Tara. Sontak Tara terkejut melihat kedatangan lelaki yang tak pernah ia duga akan hadir di acara pernikahannya. “Tara...” Suara itu lirih, namun menghantam keras, seperti bisikan yang membawa badai. Tara terpaku di tempatnya. Jantungnya berdetak pelan namun berat, seakan waktu melambat hanya untuk menekannya lebih dalam. Dunia sekelilingnya mengabur, warna-warna mencair, suara-suara meredam, dan hanya gema kalimat itu yang terus menggema di kepalanya. "Selamat ya, Nitara Jingga, semoga pernikahanmu langgeng." Kata-kata itu menembus relung hati Tara, menusuk lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Kalimat yang terucap dari seorang lelaki yang selama ini begitu dekat dengannya, belum sempat menjalin hubungan, namun cukup untuk membuat hatinya terpaut dan kini runtuh, terhempas tanpa sisa. "Denis... aku minta maaf, semua ini bukan kemauanku," lirih Tara, suaranya nyaris tercekat, matanya langsung berkaca-kaca. Lelaki itu, Denis, berusaha menarik senyum tipis di wajahnya. Senyum yang justru menambah perih di dalam dada. “Tak apa, hapus air matamu. Jalani saja hidupmu yang sekarang,” ucap Denis tenang, meski sorot matanya tak mampu menyembunyikan luka. "Aku pamit pulang," lanjutnya pelan, lalu berbalik pergi. Air mata yang sejak tadi Tara tahan akhirnya luruh juga, jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menatap punggung Denis yang semakin menjauh, dengan dada sesak seolah semua udara mendadak hilang. "Romansa cinta para bocil," celetuk Dewa dengan nada penuh ejekan, seolah apa yang baru saja terjadi tak berarti apa-apa. “Bocil bisa galau juga ternyata,” imbuhnya sambil terkekeh, tawanya ringan namun terasa menohok. Tara melirik sekilas ke arah Dewa. Tatapannya tajam, memancarkan amarah yang terpendam. Hatinya masih panas, matanya masih basah, dan laki-laki di hadapannya justru mengolok seakan semuanya hanya lelucon. Semua ini... karena keputusan Dewa yang mendadak. Karena keegoisannya, Tara kini resmi menjadi seorang istri bukan dari pilihan hatinya. "Aku bukan bocah," desis Tara, suaranya menahan gemuruh emosi, "aku gadis berusia dua puluh tahun." Dewa hanya mengedikkan bahu, seolah semua reaksi Tara bukan hal yang perlu dipikirkan. Sementara Tara masih terjebak dalam pusaran rasa kesal, marah, dan sedih berbaur menjadi satu. Ia bangkit, melangkah menjauh dengan langkah berat, lalu memilih duduk menyendiri di sofa pojok ruangan. Mencoba menenangkan hati yang remuk. Namun Dewa kembali muncul, duduk di sampingnya tanpa diundang. “Please… ngapain sih terus ngikutin,” ujar Tara ketus, matanya enggan menatap lelaki itu. Dewa tetap diam. Tidak membalas, tidak bergeming. Ia hanya duduk di sana, seperti tidak terusik oleh apapun. Suasana mendadak hening. Danu dan Rina, mungkin merasakan ketegangan yang tak lagi bisa disembunyikan, memilih untuk mengakhiri acara lebih awal. Suara musik berhenti, para tamu mulai beranjak pulang satu per satu. Lalu tiba-tiba, langkah Danu dan Rina kembali terdengar. Mereka muncul sambil membawa koper berwarna pink milik Tara. Tara memandangnya dengan dahi berkerut, tercengang, penuh tanya. Untuk apa koper itu dibawa?Suasana di pemakaman mulai sepi. Dewa dan Tara bergegas turun dari mobil, langkah mereka cepat, hampir tak terdengar di antara deru angin sore yang menggoyang dedaunan. Mereka mendekati makam Abimana, yang dikubur di samping makam ibunda Dewa dan makam adik Abimana."Di sebelah kanan makam, Mamah. Di sebelah kiri, adik Ayah… Arman, yang sebenarnya Ayah kandungku," ujar Dewa pelan, nyaris seperti bisikan yang pecah di udara sunyi.Tara menatap ketiga makam tersebut, makam yang memiliki cerita juga hubungan erat, cinta segitiga yang berakhir dengan kematian.Sulit dibayangkan bagaimana perasaan Dewa saat tahu bahwa dirinya adalah anak hasil perselingkuhan ibunya sendiri dengan adik iparnya. Tara bisa merasakan luka itu, terbungkus dalam diam Dewa yang terlihat tenang, tapi penuh gejolak."Kenapa aku merasa Pak Abimana sangat menyayangi Kak Dewa..." ucap Tara, setengah bertanya."Itu hanya perasaanmu saja," jawab Dewa, cepat dan datar, seperti ingin segera mengakhiri topik itu.Terlalu s
Mereka adalah orang tua Tara, juga Liora sang kakak. Tatapan mereka terlihat bingung melihat Tara berada di kediaman rumah Abimana, rekan bisnis Danu, ayah Tara."Sedang apa kamu di rumah Pak Abimana?" tanya Danu dengan nada datar namun penuh tanya."Aku tinggal di sini, Ayah," jawab Tara dengan tenang.Kening kedua orang tua Tara mengerut dalam. Mereka saling menatap, seolah tak percaya dengan ucapan putri mereka. Bagi mereka, Tara seperti sedang berhalusinasi."Jangan mengada-ada, Tara. Ini rumah Pak Abimana. Ada hubungan apa kamu dengan Pak Abimana sampai bisa tinggal di sini?" Danu kembali bertanya, suaranya mulai meninggi."Pak Abimana itu ayahnya Kak Dewa," jawab Tara, tenang namun pasti.Kedua orang tua Tara mendengus tak percaya. Liora tertawa pelan, penuh ejekan, seolah Tara baru saja mengarang cerita."Halusinasi kamu tinggi, Tara. Bagaimana mungkin Pak Abimana, pemilik perusahaan elektronik terbesar, adalah ayahnya Dewa?" sahut Liora mencibir.Tatapan mata Tara berubah taja
"Suster... tolong Ayah saya."Dewa berteriak meminta bantuan para perawat, wajahnya panik, nafasnya terengah engah, ayahnya masih sempat berbicara mustahil bagi Dewa ayahnya pergi begitu saja.Tara masih di dalam ruangan, ia terus mencoba membangunkan ayah Dewa, namun tubuh itu sudah lemas dingin dan kaku. Tara tak kuasa menangis, meski ia baru pertama kali bertemu, namun kata-kata terakhir itu terngiang-ngiang dikepala.Dokter bersama perawat pun masuk, Tara menyingkir memberi ruang untuk para tenaga medis. Dokter memompa jantung ayah Dewa secara manual namun tidak ada reaksi, lalu lanjut menggunakan alat kejut jantung tetap juga tidak bereaksi."Tuan, ayah anda sudah meninggal beberapa menit yang lalu," ujar dokter dengan nada pasrah.Dewa memegangi kepalanya kuat-kuat, matanya terpejam, deru nafasnya semakin kencang, ia tampak seperti ketakutan, tak lama kemudian tubuh Dewa ambruk jatuh ke lantai."Kak Dewa!" teriak Tara, langsung berlari menghampirinya.Ia mengguncang tubuh Dewa.
"Benda itu milik Kak Liora. Aku ke rumah Kak Dewa demi dia, agar Kak Dewa mau bertanggung jawab."Tara duduk di pinggir ranjang, benaknya kembali mengulas pertengkaran terakhir dengan Liora sebelum malam kejadian. Senyum kecut muncul di wajah Dewa. Ia sempat menahan tawa saat Tara dengan penuh kesungguhan meminta pertanggungjawaban atas kehamilan Liora."Kalau benda itu memang ada di tangan Kak Dewa, kenapa Kak Dewa gak bilang ke Ayah sama Mamah? Jelaskan kalau tespek dan foto USG itu bukan milikku, tapi milik Kak Liora," ucap Tara, sorot matanya penuh tanya dan kekecewaan."Kenapa malah menerima? Yang seharusnya Kak Dewa nikahi itu Kak Liora, bukan aku. Aku bahkan sama sekali gak hamil," lanjutnya, suaranya bergetar menahan gejolak."Aku lebih memilih menikahimu daripada menikahi Liora," jawab Dewa santai, senyum kecut masih bertahan di wajahnya.Tara berdiri, napasnya memburu, hatinya makin tak mengerti arah pemikiran Dewa. Dengan geram, ia meraih kerah kemeja Dewa, meremasnya deng
"Tuan, ini dompet dan kunci mobilnya."Pria bersetelan jas hitam itu menyerahkan kunci pada Dewa. Tara mengerutkan kening. Siapa pria ini? Dan kenapa ia memanggil Dewa dengan sebutan Tuan."Hah, Tuan?" batin Tara tercekat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Lama sekali," ujar Dewa, datar, tanpa ekspresi."Maaf, Tuan. Ada sedikit masalah," jawab pria itu sopan, menunduk hormat.Tara semakin tak mengerti. Apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, semua terasa asing dan bertolak belakang dengan apa yang selama ini Liora ceritakan. Siapa sebenarnya Dewa?Black card itu diserahkan Dewa kepada pelayan. Tara tertegun. Black card? Bukankah kartu itu hanya dimiliki kalangan elit?"Terima kasih, Tuan," ucap pelayan, menyerahkan kembali kartu itu dengan sopan.Tara kehilangan kata-kata. Kepalanya penuh tanya. Siapa Dewa sebenarnya?Dewa bangkit dari kursinya. Pria suruhannya sudah membawa koper Tara. Namun Tara masih terpaku, tenggelam dalam pusaran pikirannya."Jadi bener kamu mau c
"Tara, semua pakaian dan barang-barang kamu, sudah Ayah masukkan dalam koper."Ucapan Ayahnya menghantam hati Tara tanpa ampun. Dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Ia terdiam, terkejut, tak percaya. Bagaimana mungkin orang tuanya tega melakukan ini?Apakah aku diusir? Apakah aku dibuang? pikirnya kalut.Semua barangnya sudah dikemas, lengkap, tak ada yang tertinggal. Ia memandang kedua orang tuanya, matanya penuh tanya, hatinya sesak. Kenapa? Apa sebenarnya yang mereka inginkan darinya?"Ayah, apa ini maksudnya?" tanyanya, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar, seperti hendak pecah bersama tangis yang ditahannya mati-matian."Mulai detik ini kamu tinggal di rumah Dewa. Ayah sama Mamahmu gak bisa menampung kalian di rumah ini," kata Danu, datar."Tara, kamu udah buat kesalahan besar. Kamu juga udah gagal menjadi seorang anak," tambah Rina, tajam.Air mata Tara jatuh, tak bisa ditahan lagi. Ucapan kedua orang tuanya terasa seperti pisau yang menyayat hati, berkali-kali, tanpa jeda. S