"Tuan, ini dompet dan kunci mobilnya."
Pria bersetelan jas hitam itu menyerahkan kunci pada Dewa. Tara mengerutkan kening. Siapa pria ini? Dan kenapa ia memanggil Dewa dengan sebutan Tuan. "Hah, Tuan?" batin Tara tercekat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Lama sekali," ujar Dewa, datar, tanpa ekspresi. "Maaf, Tuan. Ada sedikit masalah," jawab pria itu sopan, menunduk hormat. Tara semakin tak mengerti. Apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, semua terasa asing dan bertolak belakang dengan apa yang selama ini Liora ceritakan. Siapa sebenarnya Dewa? Black card itu diserahkan Dewa kepada pelayan. Tara tertegun. Black card? Bukankah kartu itu hanya dimiliki kalangan elit? "Terima kasih, Tuan," ucap pelayan, menyerahkan kembali kartu itu dengan sopan. Tara kehilangan kata-kata. Kepalanya penuh tanya. Siapa Dewa sebenarnya? Dewa bangkit dari kursinya. Pria suruhannya sudah membawa koper Tara. Namun Tara masih terpaku, tenggelam dalam pusaran pikirannya. "Jadi bener kamu mau cuci piring?" tanya Dewa, setengah mengejek. "Gak, enak aja!" sahut Tara cepat, langsung berdiri. Ia buru-buru mengikuti langkah Dewa. Tapi gerak cepat Dewa membuatnya kewalahan, apalagi kebaya pengantin yang dikenakannya menghambat setiap langkah. Sebuah mobil putih mewah sudah terparkir di depan restoran. Pria suruhan Dewa membukakan pintunya. Dewa menoleh ke belakang, menghela napas melihat Tara masih berdiri di depan pintu restoran, wajahnya bingung dan ragu. Ia kembali menghampiri. Menyadari Tara kesulitan berjalan, Dewa mengulurkan tangan. "Apa?" "Ayo cepat," ujarnya singkat. Tara menatap wajah Dewa. Ragu. Tapi akhirnya ia meraih tangan itu. Genggaman mereka bertaut, dan bersama-sama mereka melangkah masuk ke mobil. "Ini mobil siapa? Mobil sewaan?" tanya Tara tiba-tiba, suaranya meninggi tanpa sadar. Pria yang menyetir mobil refleks menoleh ke belakang, terkejut dengan pertanyaan itu. "Banyak tanya. Duduk manis. Nanti kamu akan tahu," sahut Dewa, menyilangkan tangan di dada. Namun kepala Tara tak berhenti bertanya. Black card dan mobil mewah. Semua ini terlalu jauh dari gambaran sosok montir bengkel. Ia menatap jendela. Bayangan saat ia diusir setelah menikah dengan Dewa kembali menghantui. Luka itu belum kering. Air mata menggenang. Diam-diam, ia usap sebelum sempat jatuh. Mobil berhenti. Lampu merah menyala. Lalu, suara sirine meraung. Sebuah ambulans melintas cepat di depan mereka. "Jalankan mobilnya!" seru Dewa tiba-tiba, nadanya tinggi. "Ada lampu merah, Tuan," jawab pengemudi tenang. "Jalankan cepat!" Dewa mendesak. Tara tersentak. Ia menoleh. Dewa kini menutup telinga, wajahnya pucat. Nafasnya tersengal. Saat suara sirine menjauh, Dewa mulai tenang. Matanya terpejam rapat, napasnya diatur perlahan. Ada apa dengan Dewa? pikir Tara, tapi ia memilih diam, enggan untuk bertanya. Karena Sepertinya Dewa butuh untuk menenangkan diri. Sepanjang perjalanan, Tara hanya diam. Matanya tak lepas memandangi jalanan yang terus melaju. Ke mana sebenarnya? Sejak tadi belum juga sampai. Hingga akhirnya, mobil melambat dan berhenti. Di depan mereka, sebuah gerbang tinggi menjulang, terbuka lebar seolah menyambut kedatangan. Mobil pun masuk ke dalam. Halaman yang luas terbentang, dan di ujung sana berdiri sebuah rumah bak istana megah, mewah, nyaris tak masuk akal. "Sudah sampai, ayo turun," ujar Dewa, datar. "Turun? Rumah siapa ini, Kak? Apa kita gak salah rumah?" tanya Tara, suaranya dipenuhi kebingungan dan rasa tak percaya. "Jangan banyak tanya. Mau turun atau tetap di sini?" Dewa sudah turun lebih dulu, berdiri santai di depan pintu mobil. Tara memutar bola matanya, malas. Dari tadi, semua pertanyaannya tak ada jawaban yang ia dapat. Ia pun mengangkat perlahan kebaya pengantinnya, dan melangkah turun. Matanya masih menatap rumah megah itu, dan jantungnya berdetak kencang tak karuan. Suara heels bertautan dengan detak jantungnya yang kacau. Sementara Dewa? Ia melangkah mantap, seolah rumah itu bukan hal baru baginya. Pintu terbuka. Dua pelayan wanita menghampiri Tara, membantu tanpa banyak bicara. Dewa langsung duduk santai di sofa ruang tamu yang luas dan dingin, seolah tempat itu miliknya. "Kak, kita gak salah rumah, kan? Rumah Kak Dewa kan di gang terpencil," tanya Tara, masih berdiri, tubuhnya kaku. "Duduk saja. Jangan takut. Aku tahu kamu lelah. Lihat, kakimu merah," ujar Dewa sambil menunjuk kaki Tara. Tara baru sadar jika kakinya lecet, memerah, nyeri yang tadi tertutupi gugup kini mulai terasa. Ia duduk perlahan, tapi hatinya tetap gelisah, tak tenang. Tak lama, suara langkah kaki bergema menuruni tangga. Seorang wanita paruh baya dengan rambut putih muncul. Ia merapatkan kacamatanya, berusaha memperjelas pandangan. "Oma," sapa Dewa lembut, suara yang baru pertama kali terdengar serapuh itu. Wanita itu tertegun. Matanya langsung berkaca-kaca, lalu menubruk Dewa dan memeluknya erat, seolah tak mau melepaskan. "Dewa, akhirnya kamu pulang... Kamu baik-baik saja, kan? Oma merindukanmu... mengkhawatirkanmu setiap hari..." Suaranya parau, tangannya mengusap lengan cucunya penuh kasih. "Aku baik, Oma. Aku pulang... bawa seseorang," ujar Dewa, lalu menarik pelan pergelangan tangan Tara. Pandangan wanita paruh baya itu beralih pada Tara. Matanya menelusuri sosok muda itu dari kepala hingga kaki, terpaku pada kebaya pengantin yang dikenakannya. Wajahnya menyiratkan keheranan. Sementara itu, Tara semakin gugup. Meski begitu, ia berusaha menenangkan diri dan mengulas senyum di hadapan wanita paruh baya yang disebut Oma itu, senyum yang terasa kaku dan dipaksakan. "Oma, dia Tara. Istriku," ujar Dewa singkat. "Istri? Kalian sudah menikah? Dewa… kenapa kamu tidak beri kabar pada Oma? Atau setidaknya pada ayahmu?" seru sang Oma, jelas terkejut dan bingung. "Apa dia pernah memberi waktu? Bukankah selama ini dia selalu sibuk… dan dia juga membenciku," ucap Dewa, wajahnya mendadak berubah dingin, tajam. Sang Oma terdiam. Ia tahu benar hubungan Dewa dengan ayahnya memang tidak pernah harmonis. Selalu saja ada tembok tinggi yang memisahkan keduanya, tembok yang dibangun oleh luka dan kesalahpahaman bertahun-tahun. "Nak, sepertinya kamu sangat lelah... Dewa, ajak istrimu istirahat dulu," ujar sang Oma, memilih mengalihkan pembicaraan dengan nada pelan namun penuh pengertian. Tanpa banyak kata, Dewa menaiki anak tangga. Tara mengikuti di belakangnya, langkahnya pelan, wajahnya menegang. Ada rasa kesal yang tak bisa ia sembunyikan dari sikap Dewa yang dingin dan terus membuatnya merasa asing. Akhirnya, heels itu pun terpaksa ia lepas. Kakinya tak kuat lagi menahan nyeri yang terus menusuk. Dewa membuka pintu kamar, dan Tara langsung terpaku. Ruangan itu luas, mewah, lengkap dengan segala fasilitas yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sementara Dewa, tanpa berkata apa-apa, merogoh saku celananya. Ia mencari sesuatu, dua benda yang menjadi alasan utama kenapa pernikahan itu terjadi. Setelah menemukannya, ia menyodorkannya pada Tara. "Ini punyamu, kan? Benda ini aku temukan tergeletak di kamarku… tepat malam kejadian itu," kata Dewa pelan tapi tegas. Tara tercengang. Matanya membulat, menatap dua benda itu dengan campuran emosi yang rumit. Jadi selama ini Dewa menyimpan benda-benda penting itu? Tapi kenapa dia memilih diam? Kenapa tak memberitahu orang tuanya? Dan… kenapa ia menerima pernikahan ini begitu saja?Suasana di pemakaman mulai sepi. Dewa dan Tara bergegas turun dari mobil, langkah mereka cepat, hampir tak terdengar di antara deru angin sore yang menggoyang dedaunan. Mereka mendekati makam Abimana, yang dikubur di samping makam ibunda Dewa dan makam adik Abimana."Di sebelah kanan makam, Mamah. Di sebelah kiri, adik Ayah… Arman, yang sebenarnya Ayah kandungku," ujar Dewa pelan, nyaris seperti bisikan yang pecah di udara sunyi.Tara menatap ketiga makam tersebut, makam yang memiliki cerita juga hubungan erat, cinta segitiga yang berakhir dengan kematian.Sulit dibayangkan bagaimana perasaan Dewa saat tahu bahwa dirinya adalah anak hasil perselingkuhan ibunya sendiri dengan adik iparnya. Tara bisa merasakan luka itu, terbungkus dalam diam Dewa yang terlihat tenang, tapi penuh gejolak."Kenapa aku merasa Pak Abimana sangat menyayangi Kak Dewa..." ucap Tara, setengah bertanya."Itu hanya perasaanmu saja," jawab Dewa, cepat dan datar, seperti ingin segera mengakhiri topik itu.Terlalu s
Mereka adalah orang tua Tara, juga Liora sang kakak. Tatapan mereka terlihat bingung melihat Tara berada di kediaman rumah Abimana, rekan bisnis Danu, ayah Tara."Sedang apa kamu di rumah Pak Abimana?" tanya Danu dengan nada datar namun penuh tanya."Aku tinggal di sini, Ayah," jawab Tara dengan tenang.Kening kedua orang tua Tara mengerut dalam. Mereka saling menatap, seolah tak percaya dengan ucapan putri mereka. Bagi mereka, Tara seperti sedang berhalusinasi."Jangan mengada-ada, Tara. Ini rumah Pak Abimana. Ada hubungan apa kamu dengan Pak Abimana sampai bisa tinggal di sini?" Danu kembali bertanya, suaranya mulai meninggi."Pak Abimana itu ayahnya Kak Dewa," jawab Tara, tenang namun pasti.Kedua orang tua Tara mendengus tak percaya. Liora tertawa pelan, penuh ejekan, seolah Tara baru saja mengarang cerita."Halusinasi kamu tinggi, Tara. Bagaimana mungkin Pak Abimana, pemilik perusahaan elektronik terbesar, adalah ayahnya Dewa?" sahut Liora mencibir.Tatapan mata Tara berubah taja
"Suster... tolong Ayah saya."Dewa berteriak meminta bantuan para perawat, wajahnya panik, nafasnya terengah engah, ayahnya masih sempat berbicara mustahil bagi Dewa ayahnya pergi begitu saja.Tara masih di dalam ruangan, ia terus mencoba membangunkan ayah Dewa, namun tubuh itu sudah lemas dingin dan kaku. Tara tak kuasa menangis, meski ia baru pertama kali bertemu, namun kata-kata terakhir itu terngiang-ngiang dikepala.Dokter bersama perawat pun masuk, Tara menyingkir memberi ruang untuk para tenaga medis. Dokter memompa jantung ayah Dewa secara manual namun tidak ada reaksi, lalu lanjut menggunakan alat kejut jantung tetap juga tidak bereaksi."Tuan, ayah anda sudah meninggal beberapa menit yang lalu," ujar dokter dengan nada pasrah.Dewa memegangi kepalanya kuat-kuat, matanya terpejam, deru nafasnya semakin kencang, ia tampak seperti ketakutan, tak lama kemudian tubuh Dewa ambruk jatuh ke lantai."Kak Dewa!" teriak Tara, langsung berlari menghampirinya.Ia mengguncang tubuh Dewa.
"Benda itu milik Kak Liora. Aku ke rumah Kak Dewa demi dia, agar Kak Dewa mau bertanggung jawab."Tara duduk di pinggir ranjang, benaknya kembali mengulas pertengkaran terakhir dengan Liora sebelum malam kejadian. Senyum kecut muncul di wajah Dewa. Ia sempat menahan tawa saat Tara dengan penuh kesungguhan meminta pertanggungjawaban atas kehamilan Liora."Kalau benda itu memang ada di tangan Kak Dewa, kenapa Kak Dewa gak bilang ke Ayah sama Mamah? Jelaskan kalau tespek dan foto USG itu bukan milikku, tapi milik Kak Liora," ucap Tara, sorot matanya penuh tanya dan kekecewaan."Kenapa malah menerima? Yang seharusnya Kak Dewa nikahi itu Kak Liora, bukan aku. Aku bahkan sama sekali gak hamil," lanjutnya, suaranya bergetar menahan gejolak."Aku lebih memilih menikahimu daripada menikahi Liora," jawab Dewa santai, senyum kecut masih bertahan di wajahnya.Tara berdiri, napasnya memburu, hatinya makin tak mengerti arah pemikiran Dewa. Dengan geram, ia meraih kerah kemeja Dewa, meremasnya deng
"Tuan, ini dompet dan kunci mobilnya."Pria bersetelan jas hitam itu menyerahkan kunci pada Dewa. Tara mengerutkan kening. Siapa pria ini? Dan kenapa ia memanggil Dewa dengan sebutan Tuan."Hah, Tuan?" batin Tara tercekat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Lama sekali," ujar Dewa, datar, tanpa ekspresi."Maaf, Tuan. Ada sedikit masalah," jawab pria itu sopan, menunduk hormat.Tara semakin tak mengerti. Apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, semua terasa asing dan bertolak belakang dengan apa yang selama ini Liora ceritakan. Siapa sebenarnya Dewa?Black card itu diserahkan Dewa kepada pelayan. Tara tertegun. Black card? Bukankah kartu itu hanya dimiliki kalangan elit?"Terima kasih, Tuan," ucap pelayan, menyerahkan kembali kartu itu dengan sopan.Tara kehilangan kata-kata. Kepalanya penuh tanya. Siapa Dewa sebenarnya?Dewa bangkit dari kursinya. Pria suruhannya sudah membawa koper Tara. Namun Tara masih terpaku, tenggelam dalam pusaran pikirannya."Jadi bener kamu mau c
"Tara, semua pakaian dan barang-barang kamu, sudah Ayah masukkan dalam koper."Ucapan Ayahnya menghantam hati Tara tanpa ampun. Dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Ia terdiam, terkejut, tak percaya. Bagaimana mungkin orang tuanya tega melakukan ini?Apakah aku diusir? Apakah aku dibuang? pikirnya kalut.Semua barangnya sudah dikemas, lengkap, tak ada yang tertinggal. Ia memandang kedua orang tuanya, matanya penuh tanya, hatinya sesak. Kenapa? Apa sebenarnya yang mereka inginkan darinya?"Ayah, apa ini maksudnya?" tanyanya, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar, seperti hendak pecah bersama tangis yang ditahannya mati-matian."Mulai detik ini kamu tinggal di rumah Dewa. Ayah sama Mamahmu gak bisa menampung kalian di rumah ini," kata Danu, datar."Tara, kamu udah buat kesalahan besar. Kamu juga udah gagal menjadi seorang anak," tambah Rina, tajam.Air mata Tara jatuh, tak bisa ditahan lagi. Ucapan kedua orang tuanya terasa seperti pisau yang menyayat hati, berkali-kali, tanpa jeda. S