Share

Bab 7

last update Last Updated: 2025-05-28 10:48:50

"Tuan, ini dompet dan kunci mobilnya."

Pria bersetelan jas hitam itu menyerahkan kunci pada Dewa. Tara mengerutkan kening. Siapa pria ini? Dan kenapa ia memanggil Dewa dengan sebutan Tuan.

"Hah, Tuan?" batin Tara tercekat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Lama sekali," ujar Dewa, datar, tanpa ekspresi.

"Maaf, Tuan. Ada sedikit masalah," jawab pria itu sopan, menunduk hormat.

Tara semakin tak mengerti. Apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, semua terasa asing dan bertolak belakang dengan apa yang selama ini Liora ceritakan. Siapa sebenarnya Dewa?

Black card itu diserahkan Dewa kepada pelayan. Tara tertegun. Black card? Bukankah kartu itu hanya dimiliki kalangan elit?

"Terima kasih, Tuan," ucap pelayan, menyerahkan kembali kartu itu dengan sopan.

Tara kehilangan kata-kata. Kepalanya penuh tanya. Siapa Dewa sebenarnya?

Dewa bangkit dari kursinya. Pria suruhannya sudah membawa koper Tara. Namun Tara masih terpaku, tenggelam dalam pusaran pikirannya.

"Jadi bener kamu mau cuci piring?" tanya Dewa, setengah mengejek.

"Gak, enak aja!" sahut Tara cepat, langsung berdiri.

Ia buru-buru mengikuti langkah Dewa. Tapi gerak cepat Dewa membuatnya kewalahan, apalagi kebaya pengantin yang dikenakannya menghambat setiap langkah.

Sebuah mobil putih mewah sudah terparkir di depan restoran. Pria suruhan Dewa membukakan pintunya.

Dewa menoleh ke belakang, menghela napas melihat Tara masih berdiri di depan pintu restoran, wajahnya bingung dan ragu.

Ia kembali menghampiri. Menyadari Tara kesulitan berjalan, Dewa mengulurkan tangan.

"Apa?"

"Ayo cepat," ujarnya singkat.

Tara menatap wajah Dewa. Ragu. Tapi akhirnya ia meraih tangan itu. Genggaman mereka bertaut, dan bersama-sama mereka melangkah masuk ke mobil.

"Ini mobil siapa? Mobil sewaan?" tanya Tara tiba-tiba, suaranya meninggi tanpa sadar.

Pria yang menyetir mobil refleks menoleh ke belakang, terkejut dengan pertanyaan itu.

"Banyak tanya. Duduk manis. Nanti kamu akan tahu," sahut Dewa, menyilangkan tangan di dada.

Namun kepala Tara tak berhenti bertanya. Black card dan mobil mewah. Semua ini terlalu jauh dari gambaran sosok montir bengkel.

Ia menatap jendela. Bayangan saat ia diusir setelah menikah dengan Dewa kembali menghantui. Luka itu belum kering. Air mata menggenang. Diam-diam, ia usap sebelum sempat jatuh.

Mobil berhenti. Lampu merah menyala. Lalu, suara sirine meraung. Sebuah ambulans melintas cepat di depan mereka.

"Jalankan mobilnya!" seru Dewa tiba-tiba, nadanya tinggi.

"Ada lampu merah, Tuan," jawab pengemudi tenang.

"Jalankan cepat!" Dewa mendesak.

Tara tersentak. Ia menoleh. Dewa kini menutup telinga, wajahnya pucat. Nafasnya tersengal.

Saat suara sirine menjauh, Dewa mulai tenang. Matanya terpejam rapat, napasnya diatur perlahan.

Ada apa dengan Dewa? pikir Tara, tapi ia memilih diam, enggan untuk bertanya. Karena Sepertinya Dewa butuh untuk menenangkan diri.

Sepanjang perjalanan, Tara hanya diam. Matanya tak lepas memandangi jalanan yang terus melaju. Ke mana sebenarnya? Sejak tadi belum juga sampai.

Hingga akhirnya, mobil melambat dan berhenti. Di depan mereka, sebuah gerbang tinggi menjulang, terbuka lebar seolah menyambut kedatangan. Mobil pun masuk ke dalam. Halaman yang luas terbentang, dan di ujung sana berdiri sebuah rumah bak istana megah, mewah, nyaris tak masuk akal.

"Sudah sampai, ayo turun," ujar Dewa, datar.

"Turun? Rumah siapa ini, Kak? Apa kita gak salah rumah?" tanya Tara, suaranya dipenuhi kebingungan dan rasa tak percaya.

"Jangan banyak tanya. Mau turun atau tetap di sini?" Dewa sudah turun lebih dulu, berdiri santai di depan pintu mobil.

Tara memutar bola matanya, malas. Dari tadi, semua pertanyaannya tak ada jawaban yang ia dapat. Ia pun mengangkat perlahan kebaya pengantinnya, dan melangkah turun. Matanya masih menatap rumah megah itu, dan jantungnya berdetak kencang tak karuan.

Suara heels bertautan dengan detak jantungnya yang kacau. Sementara Dewa? Ia melangkah mantap, seolah rumah itu bukan hal baru baginya.

Pintu terbuka. Dua pelayan wanita menghampiri Tara, membantu tanpa banyak bicara. Dewa langsung duduk santai di sofa ruang tamu yang luas dan dingin, seolah tempat itu miliknya.

"Kak, kita gak salah rumah, kan? Rumah Kak Dewa kan di gang terpencil," tanya Tara, masih berdiri, tubuhnya kaku.

"Duduk saja. Jangan takut. Aku tahu kamu lelah. Lihat, kakimu merah," ujar Dewa sambil menunjuk kaki Tara.

Tara baru sadar jika kakinya lecet, memerah, nyeri yang tadi tertutupi gugup kini mulai terasa. Ia duduk perlahan, tapi hatinya tetap gelisah, tak tenang.

Tak lama, suara langkah kaki bergema menuruni tangga. Seorang wanita paruh baya dengan rambut putih muncul. Ia merapatkan kacamatanya, berusaha memperjelas pandangan.

"Oma," sapa Dewa lembut, suara yang baru pertama kali terdengar serapuh itu.

Wanita itu tertegun. Matanya langsung berkaca-kaca, lalu menubruk Dewa dan memeluknya erat, seolah tak mau melepaskan.

"Dewa, akhirnya kamu pulang... Kamu baik-baik saja, kan? Oma merindukanmu... mengkhawatirkanmu setiap hari..." Suaranya parau, tangannya mengusap lengan cucunya penuh kasih.

"Aku baik, Oma. Aku pulang... bawa seseorang," ujar Dewa, lalu menarik pelan pergelangan tangan Tara.

Pandangan wanita paruh baya itu beralih pada Tara. Matanya menelusuri sosok muda itu dari kepala hingga kaki, terpaku pada kebaya pengantin yang dikenakannya. Wajahnya menyiratkan keheranan.

Sementara itu, Tara semakin gugup. Meski begitu, ia berusaha menenangkan diri dan mengulas senyum di hadapan wanita paruh baya yang disebut Oma itu, senyum yang terasa kaku dan dipaksakan.

"Oma, dia Tara. Istriku," ujar Dewa singkat.

"Istri? Kalian sudah menikah? Dewa… kenapa kamu tidak beri kabar pada Oma? Atau setidaknya pada ayahmu?" seru sang Oma, jelas terkejut dan bingung.

"Apa dia pernah memberi waktu? Bukankah selama ini dia selalu sibuk… dan dia juga membenciku," ucap Dewa, wajahnya mendadak berubah dingin, tajam.

Sang Oma terdiam. Ia tahu benar hubungan Dewa dengan ayahnya memang tidak pernah harmonis. Selalu saja ada tembok tinggi yang memisahkan keduanya, tembok yang dibangun oleh luka dan kesalahpahaman bertahun-tahun.

"Nak, sepertinya kamu sangat lelah... Dewa, ajak istrimu istirahat dulu," ujar sang Oma, memilih mengalihkan pembicaraan dengan nada pelan namun penuh pengertian.

Tanpa banyak kata, Dewa menaiki anak tangga. Tara mengikuti di belakangnya, langkahnya pelan, wajahnya menegang. Ada rasa kesal yang tak bisa ia sembunyikan dari sikap Dewa yang dingin dan terus membuatnya merasa asing.

Akhirnya, heels itu pun terpaksa ia lepas. Kakinya tak kuat lagi menahan nyeri yang terus menusuk. Dewa membuka pintu kamar, dan Tara langsung terpaku. Ruangan itu luas, mewah, lengkap dengan segala fasilitas yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Sementara Dewa, tanpa berkata apa-apa, merogoh saku celananya. Ia mencari sesuatu, dua benda yang menjadi alasan utama kenapa pernikahan itu terjadi. Setelah menemukannya, ia menyodorkannya pada Tara.

"Ini punyamu, kan? Benda ini aku temukan tergeletak di kamarku… tepat malam kejadian itu," kata Dewa pelan tapi tegas.

Tara tercengang. Matanya membulat, menatap dua benda itu dengan campuran emosi yang rumit. Jadi selama ini Dewa menyimpan benda-benda penting itu? Tapi kenapa dia memilih diam? Kenapa tak memberitahu orang tuanya? Dan… kenapa ia menerima pernikahan ini begitu saja?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 65

    Tara dan Dewa baru saja tiba di rumah. Belum sempat Tara turun, dari balik kaca mobil, ia melihat Mang Diman berlari tergesa-gesa menuju dalam rumah. Raut wajahnya tampak panik. Seketika Tara membuka pintu dan melompat turun, diikuti Dewa dari sisi lain."Mang Diman... Tunggu! Ada apa?" teriak Tara sambil berlari mengejar Mang Diman.Mang Diman menghentikan langkahnya, menoleh dengan napas memburu. Ia berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya bersuara."Itu... Non Liora sejak tadi dipanggil nggak nyaut-nyaut. Pintu kamarnya dikunci dari dalam, kunci cadangannya juga nggak ada. Tuan Danu minta pintunya didobrak," ujarnya terbata.Tara terpaku, matanya menoleh cepat ke arah Dewa, penuh tanya dan cemas. Mang Diman kembali berlari ke dalam rumah, menuju kamar Liora."Apa yang terjadi sama Kak Liora? Aku takut..." gumam Tara pelan.Dewa menggenggam lengan Tara, menenangkan. "Semoga nggak ada hal buruk... Ayo, kita masuk sekarang."Tanpa buang waktu, keduanya bergegas masuk dan menaiki tan

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 64

    Liora kini sudah berada di dalam mobil bersama Adit, pengawal setia Dewa. Di dalam kabin yang sunyi itu, Liora terus menangis terisak. Air matanya tak henti mengalir, membasahi pipi yang pucat. Ia merasa tubuhnya kotor, ternoda, setelah disentuh oleh Samuel.Namun, ada yang terus mengganjal di benak Adit. Pandangannya sesekali melirik ke arah perut Liora yang tampak menonjol. Ia menyadari sesuatu yang tak biasa, Liora lupa mengenakan korset dan jaket bombernya seperti biasanya.“Nona, maaf jika saya lancang… apakah Nona sedang hamil?” tanya Adit dengan suara hati-hati, nyaris seperti bisikan.Liora tersentak. Manik matanya langsung menunduk, menatap perutnya sendiri. Ia terdiam. Nafasnya tercekat, menyadari kelalaiannya.Ia menarik napas panjang, kasar, mencoba menguasai kegelisahan yang mendadak menyeruak. Percuma mengelak. Perutnya kini sudah terlalu jelas untuk disembunyikan.“Sebenarnya… aku hamil delapan bulan,” ucap Liora lirih, matanya masih sembab. “Tapi aku mohon, jangan kata

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 63

    "Pak Dewa?”Suara Yasmin menyentak kesadaran Dewa. Ia tak menduga akan bertemu dengan Yasmin di sini. Sekilas, Dewa melirik Adit, bingung harus berkata apa. Bibirnya sempat terbuka, namun tak ada kata yang keluar.“Pak Dewa tinggal di apartemen ini juga?” tanya Yasmin, matanya memandang heran.“Oh, nggak… aku cuma sedang mencari seseorang di sini,” jawab Dewa cepat, suaranya terdengar ragu dan sedikit terbata.“Seseorang? Siapa kira-kira? Barangkali orang yang Pak Dewa cari itu malah tetangga sebelah apartemenku,” sahut Yasmin, nada suaranya ramah, namun menyiratkan rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan.Dewa terdiam. Ia seperti terjebak di antara dua jurang. Kalau ia mengatakan yang sebenarnya, Yasmin pasti akan terkejut. Tapi kalau ia menyembunyikannya pun, Yasmin tetap akan tahu. Padahal ia datang ke sini hanya untuk satu tujuan, membawa Liora pulang demi Tara. Tapi sekarang, semuanya menjadi lebih rumit.“Sebenarnya… aku mencari Samuel,” ucap Dewa akhirnya, memilih untuk juju

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Ban 62

    "Kak... apa Kak Liora akan baik-baik aja, kenapa aku merasa khawatir Kak Liora bersama Samuel," ujar Tara.Dewa melepas jasnya, lalu duduk disamping Tara, mengusap lengan Tara, memberinya ketenangan agar Tara tidak berlebihan mencemaskan Liora."Aku yakin, Liora pasti akan baik-baik saja, Samuel nggak akan berani menyakiti Liora apalagi Liora sedang mengandung anaknya," ujar Dewa."Kalau kamu masih belum tenang, aku akan suruh Adit untuk memantau Liora," sambung Dewa.Tara mengangguk pelan, Dewa lantas mengetikan pesan pada nomor Adit untuk mengawasi Liora, di apartemen Samuel. Saat mendapat balasan pesan dari Adit, Dewa memperlihatkan layar ponselnya. Seketika itu juga Tara bisa bernafas lega."Makasih Kak Dewa," ujar Tara seraya menyandarkan kepala di pundak Dewa."Jangan memancingku, ini masih sore," ujar Dewa dengan mata genitnya.Tara beranjak dan bergeser sedikit menjauh dari Dewa, "Kak Dewa apaan sih..." ujar Tara wajahnya seketika memerah."Ayo kita bikin baby?" ujar Dewa ser

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 61

    "Kak Liora, udah sampai di depan mini market, silakan turun," ujar Tara sambil menoleh ke belakang.Liora hanya terdiam. Pandangannya kosong, pikirannya sibuk meramu alasan lain, apapun, asalkan bisa terus berada di dekat Dewa. Waktunya tak banyak, tapi hatinya menolak berpisah sekarang.Tara dan Dewa mulai gelisah. Kekesalan mereka perlahan berubah menjadi amarah, melihat Liora masih enggan keluar dari mobil."Kenapa bengong? Cepat keluar, jangan buang-buang waktu kami," bentak Dewa, nadanya meninggi, tak bisa lagi menyembunyikan emosi."Ah ini... kayanya aku lupa bawa dompet," gumam Liora pelan, nyaris tak terdengar.Dewa menggeram. Tangan kirinya menghantam stir keras-keras, membuat suara dentuman menggema dalam kabin mobil. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras. Tara pun ikut naik pitam, merasa waktunya sengaja dihabiskan untuk hal yang tak perlu."Kak Liora gimana sih? Masa kita harus balik lagi ke rumah," sungut Tara, nada suaranya tak kalah kesal."Dewa... aku pinjam dulu uangmu

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 60

    Dewa?” ujar Danu, terdengar sedikit terkejut.Dewa menunduk, lalu mencium punggung tangan ayah mertuanya. Sebuah senyum canggung tergurat di sudut bibirnya. Ada rasa segan, juga malu, yang jelas tergambar dari sorot matanya saat berhadapan dengan ayah Tara.“Ayah… aku kemari ingin menjemput Tara,” ucap Dewa dengan nada lirih.Danu menghela napas panjang. Ia menepuk lembut pundak Dewa, lalu memberi isyarat untuk masuk ke dalam rumah. Danu tahu, sesuatu tengah terjadi di antara Dewa dan Tara. Namun, sejak kesalahpahaman terakhir dengan Tara, Danu tak ingin lagi terlalu jauh mencampuri urusan rumah tangga putrinya. Ia belajar untuk bersikap lebih bijak, lebih menjaga jarak, tanpa mengabaikan.“Duduklah dulu. Kita minum teh atau kopi sebentar,” ujar Danu, menawarkan dengan nada tenang.Dewa tak bisa menolak. Ia hanya mengangguk kecil, menyambut tawaran itu dengan senyum yang tampak kaku. Mereka lalu duduk berdua di ruang tamu, dalam suasana yang sedikit kikuk.Dari lantai atas, Tara mempe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status