Naila menggigit bibir bawahnya, pelan tapi dalam, hingga rasa asin darahnya menyelusup ke lidah.
Tangannya gemetar saat mengecek ponsel, chat terakhir dari Galih hilang. Sudah dihapus.
Bahkan nomornya pun tak lagi tersimpan.
Mungkin itu akhir dari semua ini. Mungkin Galih memilih menghilang agar tak ada yang perlu dijelaskan.
Aneh, pikir Naila, karena di balik kekacauan yang baru saja ia lewati, ada rasa lega yang samar, seperti debu tipis di ujung jendela setelah badai reda.
Bukan karena ia bahagia, tapi karena semuanya, setidaknya, telah berakhir.
Langit di luar mulai mengusir kegelapan malam, meluruhkannya perlahan dengan semburat jingga pucat.
Ketika langkah kakinya memasuki rumah, jam dinding di ruang tamu berdentang sekali. Pukul enam lewat lima.
Suara pintu yang terbuka memecah keheningan pagi. Bau kopi basi dan debu bercampur di udara.
Di sofa, Rama duduk membungkuk, mengenakan kaos lusuh yang sama seperti semalam. Ia menoleh cepat, nyaris seperti tersentak.
Mata pria itu merah, tidak hanya lelah, tapi seolah terbakar dari dalam. Kerut di dahinya dalam, dan rambutnya acak-acakan seperti tak disentuh sisir sepanjang malam.
“Kamu ke mana semalam? Aku telepon berkali-kali, kenapa nggak kamu angkat?” suaranya parau, seperti baru sembuh dari demam.
Ia bangkit, melangkah cepat, tangan kanannya terulur, hendak menyentuh Naila, atau mungkin sekadar ingin memastikan bahwa istrinya benar-benar berdiri di hadapannya.
Namun Naila mundur setengah langkah, tubuhnya kaku. Gerakannya kecil, tapi cukup untuk membuat tangan Rama menggantung di udara.
Hening. Rama membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu, tapi Naila lebih dulu bicara.
Suaranya datar, tapi dinginnya seperti kabut tipis di pagi hari yang menusuk tulang.
“Kamu boleh pulang pagi, tapi aku nggak boleh?”
Nada itu tajam, kaku, dan nyaris asing. Bukan nada Naila yang biasanya, bukan suara lembut yang selama delapan tahun terakhir menghiasi rumah mereka.
Rama terdiam, seolah baru sadar bahwa jarak di antara mereka bukan hanya karena langkah kecil tadi, tapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam, kepercayaan yang telah retak, hati yang telah runtuh.
Tatapannya menyapu wajah Naila, dan ia melihatnya. Sembab di bawah mata. Kulit yang pucat.
Dan luka yang tak sempat dibalut kata-kata.
“Aku mau cerai,” kata Naila lagi.
Nada suara Naila nyaris terlalu tenang, seperti seseorang yang sudah pasrah. Tidak ada panik, tidak ada penyesalan.
“Maksudmu apa?” tanya Rama keheranan dengan nada nyaris frustasi. Hanya sepotong kalimat dari seseorang yang tahu waktunya sudah habis.
Karena di balik semua kesalahpahaman dan tragedi, mereka berdua tahu satu hal yang sama:
Tak ada yang bisa kembali seperti semula.
“Bukannya kamu yang ingin itu?” Naila menatap Rama sejenak, dan seketika semua yang ia tahan runtuh. Tasnya terayun, menghantam dada Rama, bukan karena ingin menyakitinya, tapi karena tubuhnya tak sanggup lagi menahan semua yang menggumpal di dalam.
"Apa kamu pikir aku nggak akan tahu, Rama?!" Mata Naila memerah. Nafasnya tak beraturan. Suaranya pecah.
“Rama Santosa, gimana kamu bisa sekejam itu?! Kalau kamu udah nggak cinta, kenapa nggak bilang? Kenapa harus nyakitin aku kayak begini?!”
Di matanya, potongan-potongan masa lalu berjatuhan, tawa makan malam, pelukan sebelum tidur, semua janji yang dulu terasa tulus.
Semua kenangan mereka seperti potret usang yang dibakar perlahan, jadi abu.
Tawa, pelukan, mimpi kecil mereka, semua hangus seketika saat Naila membuka pintu kamar dan mendapati tubuh suaminya yang telanjang, bergumul dengan seorang perempuan asing di ranjang yang dulu mereka bagi. Seprai masih kusut, aromanya asing dan menusuk hidung.
Kini, hanya serpihan.
“Aku pikir rumah tangga kita kuat. Aku pikir, nggak akan ada orang ketiga. Tapi ternyata, aku cuma naif. Bodoh.”
Rama diam, matanya mulai berkaca. Ia menunduk sejenak, lalu mendekat, mencoba menggapai tangan Naila.
Tapi kali ini, bukan hanya tubuh Naila yang menolak, hatinya pun sudah tertutup rapat.
“Naila, aku minta maaf…”
Maaf itu terdengar begitu hampa. Naila memutar matanya, ingin tertawa, tapi hanya air mata yang mengalir.
“Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!” desisnya, tajam. “Setia itu sesulit itu, ya?”
Wajah Naila menengadah, bola matanya bersinar karena genangan air mata, tapi sorotnya tajam. “Aku juga sering ketemu laki-laki yang baik, Rama. Banyak yang terang-terangan naksir aku. Tapi aku nggak pernah nyebrang batas. Karena aku tahu batas itu suci. Tapi kamu? Kamu hancurkan itu semua.”
Rama mengepalkan tangan, wajahnya tegang, tapi masih berusaha berdiri tegak. Tatapan matanya kosong, menatap sesuatu yang tak terlihat.
“Naila, kamu satu-satunya yang aku cinta… Yang tadi itu cuma… kecelakaan…”
Sebuah desisan lolos dari bibir Naila. Ia menatap suaminya seakan sedang melihat sesuatu yang menjijikkan.
“Kecelakaan?” Naila nyaris tergelak, tapi mulutnya kaku. “Jadi kalau aku tidur sama pria lain, terus aku bilang, ‘Maaf, itu kecelakaan’, kamu bisa terima? Karena hatiku masih buat kamu?”
Wajah Rama berubah. Ada gelap yang muncul di matanya, seperti bayangan yang menyelinap di tengah cahaya.
“Kalau kamu berani, aku bunuh kamu dan laki-laki itu di atas ranjang.”
Ucapan itu dingin. Penuh ancaman. Dada Naila bergetar. Bukan karena takut, tapi karena jijik.
Lelaki ini tahu apa yang ia lakukan salah, tapi tetap melakukannya.
Dengan napas berat, ia berkata pelan, “Kamu masih ingat nggak, waktu kamu lamar aku, aku bilang apa?”
Rama menelan ludah. Tatapannya gelisah.
“Aku bilang, kalau suatu hari kamu khianatin aku, aku nggak akan maafin. Aku akan pergi.”
Wajah Rama menegang. Matanya membelalak. “Aku nggak akan biarin kamu pergi!”
“Bukan keputusan kamu,” jawab Naila, suaranya sinis. Ia mengusap air matanya yang belum sempat kering. "Mau kamu izinkan atau nggak, aku udah putuskan. Aku mau cerai."
Tanpa menunggu reaksi, Naila melangkah naik ke lantai atas. Langkahnya berat, tapi pasti.
Rama hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, seperti seseorang yang menatap reruntuhan rumah yang dulu ia bangun dengan cinta.
Di kamar, Naila membuka pintu kamar mandi. Ia berdiri di depan cermin, melihat pantulan dirinya yang kacau.
Tubuhnya masih menempel bau alkohol dan keringat. Dan ketika sabun menyentuh kulitnya, ia melihatnya, bekas merah samar di dadanya.
Tangan Galih.
Bayangan itu muncul cepat, menyentak ingatannya. Dengan panik, ia menyikat kulit itu, keras, kasar, seolah bisa menghapus bukan hanya bekas, tapi juga rasa bersalah yang datang bersamaan.
Air hangat membasahi tubuhnya, tapi dingin di dalam hatinya tak bergeming.
Keluar dari kamar mandi, hanya dengan handuk melilit tubuh, rambutnya masih basah, meneteskan sisa air di lantai kayu.
Aroma sabun lembut menguar di udara, menyelimuti tubuhnya yang tampak lelah tapi bersih.
Handuk itu terlalu pendek, menyisakan paha yang terbuka sebagian.
Dan di tepi ranjang, Rama duduk diam, wajahnya tertunduk, tapi matanya mengangkat saat mendengar pintu terbuka.
Tatapannya terpaku. Napasnya tercekat. Ia menatap Naila seperti baru melihatnya untuk pertama kali.
Tapi bagi Naila, laki-laki itu sudah tidak lagi asing, ia adalah orang asing yang kini tinggal di rumah yang salah.
Dunia seakan berhenti. Ponsel dalam genggaman Naila bergetar pelan, seolah makhluk kecil yang tak lelah mengusik ketenangan, tapi justru membuat jari-jarinya semakin kaku mencengkeram.Ujung kukunya menekan kulit hingga memutih. Sunyi merambat di dadanya, hanya suara napas berat yang terputus-putus, naik turun, seperti Naila sedang berusaha meraih udara di ruangan yang tiba-tiba terasa terlalu sempit untuk menampung dirinya.Dengan gerakan cepat namun gemetar, Naila mengetuk layar, mengambil tangkapan pesan itu, lalu langsung mengirimkannya pada Rama. Ia tidak menambahkan sepatah kata pun. Tak ada kebutuhan untuk menjelaskan, tak ada ruang untuk alasan.Setelah itu, tanpa ragu, Naila menekan satu tombol terakhir: blokir. Jessie lenyap dari daftar kontaknya, tapi tidak dari ingatannya.
Lorong menuju laboratorium berbau dingin, seolah dindingnya menyerap setiap langkah yang lewat. Aroma logam tua berpadu dengan lembap cat yang memudar, membuat napas sedikit berat.Di ujung lorong, pintu besi bercat putih gading berdiri tegak. Bahkan sebelum pintu itu terbuka, bau khas kimia sudah menyelinap masuk: alkohol menusuk, resin berbau getir, dan jejak logam samar yang membuat lidah seperti berkarat.Begitu pintu didorong, ruangan penuh cahaya lampu neon menyambut. Kilau kaca tabung reaksi memantulkan sinar, membuat meja-meja kerja tampak seperti permukaan danau yang pecah oleh riak kecil.Suara berdenting alat gelas bercampur dengan bisikan diskusi para peneliti, menciptakan musik latar yang hanya dimengerti mereka yang terbiasa hidup di dunia eksperimen.
Di luar, hujan mencakar bumi tanpa ampun. Butir-butirnya jatuh deras, berderai seperti rentetan benang perak yang dijatuhkan langit dengan murka. Trotoar basah berkilau di bawah lampu jalan, memantulkan cahaya temaram yang pecah di genangan air.Naila berdiri di sana, tubuhnya sedikit terbungkuk, jemari mungilnya mencengkeram erat kantong belanjaan hingga plastiknya berderit pelan.Udara dingin menusuk kulit, membuat napasnya berembus tipis-tipis. Perempuan itu melirik layar ponsel, jempolnya sempat melayang di atas ikon aplikasi taksi online.Satu tarikan napas lagi mungkin akan membuatnya menekan, kalau saja mobil hitam dengan bodi mengilap itu tidak berhenti tepat di depannya.Maybach. Jendela belakang perlahan turun, menyingkap wajah Galih Santosa y
Keesokan paginya, di sebuah kantor agen properti kecil di Tebet, tangan Naila sempat bergetar ketika pena menyentuh kertas. Garis tanda tangannya tak hanya sekadar formalitas—itu adalah kunci keputusan besar: sebuah apartemen mungil untuk satu tahun penuh. Satu tahun tanpa Rama.Uang sewa tiga bulan Naila serahkan. Beberapa lembar bukti pembayaran berpindah tangan, dan tatapannya jatuh pada angka-angka itu. Hatinya berdenyut campur aduk. Dompet perempuan itu kini menipis, hanya tersisa beberapa lembar lusuh, bahkan tak cukup untuk membeli tas kerja mahal baru. Namun di balik cemas itu, ada sensasi aneh yang menyelinap. Seperti beban besi yang akhirnya terguling dari bahunya.Unit apartemen mungil itu menyambut dengan kesunyian. Aroma cat dinding masih samar, bercampur dengan bau debu lembap yang lama terkurung. Lantai keramik memantulkan cahaya siang, licin tapi berlapis debu tipis. Naila membuka jendela; angin membawa masuk bau hujan yang masih segar. Dengan tangan kecilnya ia me
“Perceraian enggak bisa buru-buru,” ucap Naila pelan, seakan menenangkan dirinya sendiri lebih daripada Larasati yang duduk di seberang. Suaranya serak tapi tegas, seperti seseorang yang memaksa diri berdiri di atas tanah yang rapuh. “Sekarang aku fokus cari kerja dan tempat tinggal dulu. Sisanya nyusul.”Larasati, yang sejak awal menjadi saksi retakan rumah tangga Naila, menatap sahabatnya itu dengan mata cemas. Tatapan itu penuh tanya, penuh keraguan, tapi ada pula tekad untuk tidak menambah berat beban. Kedua tangannya yang menggenggam gelas tampak sedikit gemetar, tapi senyumnya berusaha menenangkan.“Kalau gitu, aku izin setengah hari ya,” katanya, nada suaranya setengah memohon, setengah bersikeras. “Aku temenin kamu cari apartemen.”Naila menggeleng lembut. Gerakan kecil itu tegas, meski ia berusaha menyampaikannya tanpa menyakiti. “Enggak usah repot. Aku bisa sendiri.”Larasati sempat terdiam, lalu akhirnya mengangguk dengan berat hati. Wajahnya tertunduk sebentar, sebelum ia
Sementara itu, di kantor yang hampir gelap, hanya cahaya monitor menerangi wajah Rama. Guratan lelah mengintai di balik rahang kerasnya. Jemarinya mengetik gugup:Bagaimana caranya mendapatkan kembali hati istri setelah berselingkuh?Balasan berdatangan cepat. Kebanyakan menyarankan cerai. Rambut di tengkuknya berdiri. Ia marah, panas, tak rela. Dengan kasar ia hapus postingan itu, seolah setiap kalimat adalah tamparan.Belum sempat mematikan laptop, ponselnya berdering. Nama yang muncul membuat perutnya mual: Jessie.***Rama duduk terpaku, mendengarkan suara isakan Jessie dari ujung telepon yang semakin menekan telinga.Kesal, Rama merogoh saku, menyalakan rokok. Asap tipis mengepul, melayang ke udara seperti doa yang ditolak. Tarikan panjang ia hembuskan kasar, seolah berharap semua kerumitan ikut lenyap bersama kepulan putih itu.“Kalau kamu nggak mau gugurkan, aku punya cara buat memastikan kamu nggak akan bisa lahiran,” ucapnya dingin. Suaranya tenang, tapi justru karena ketenan