Home / Rumah Tangga / Terpaksa Menikahi Paman Suamiku / BAB 5: Jangan Paksa Aku Membencimu

Share

BAB 5: Jangan Paksa Aku Membencimu

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-06-05 16:09:06

Naila tidak pernah benar-benar memperhatikan cara ia berjalan ke arah lemari malam itu. Rambutnya masih lembap, helai-helai hitamnya menempel di tengkuk dan bahunya, meninggalkan aroma sabun mandi yang lembut di udara. 

Tangannya terulur, hendak meraih baju tidur dari rak paling atas. Namun sebelum sempat menggenggam kain itu, sepasang lengan hangat melingkari tubuhnya dari belakang.

“Naila…” bisik Rama, suaranya serak, nyaris bergetar, seperti ada bara yang dipaksa keluar dari kerongkongan.

Hawa napasnya menyentuh kulit leher Naila, membuat bulu kuduknya meremang. Ia bisa merasakan dada Rama menempel di punggungnya, jantung pria itu berdegup lebih cepat dari biasanya.

Beberapa menit sebelumnya, Rama sempat berdiri di ruang tamu dengan pikiran berputar. Ia mencari alasan, mencari cara agar Naila tidak meninggalkannya. 

Sebuah gagasan singkat, liar, tapi terasa masuk akal baginya: seorang anak. Anak itu akan menjadi ikatan, simpul yang tak bisa dengan mudah diputus. 

Rama ingin menyampaikannya perlahan, dengan tenang. Namun begitu melihat Naila keluar dari kamar mandi, wajahnya bersih tanpa riasan, tubuhnya dibalut handuk, logika yang tipis itu runtuh.

Dulu, sentuhan seperti ini mungkin akan membuat Naila luluh, tubuhnya meleleh dalam kehangatan pelukan. 

Tapi malam itu, yang menjalar justru rasa dingin yang menusuk tulang. Naila memutar tubuh, mendorong Rama dengan kekuatan yang lahir dari jijik dan kemarahan. Tatapannya tajam, mata hitamnya memantulkan api yang bukan lagi cinta.

“Jangan sentuh aku. Aku merasa kotor.”

Rama terdiam sepersekian detik. Kata-kata itu menamparnya, tapi genggamannya tidak goyah. Ia meraih tangan Naila lagi, seolah masih ada ruang untuk tawar-menawar.

“Bukankah dari dulu kamu memang ingin punya anak? Yuk, kita usahakan sekarang…” Nada suaranya dibuat ringan, seakan ia sedang mengajak bicara tentang hal remeh, seolah tak ingat dengan ucapannya pada perempuan selingkuhannya.

Naila menepis kasar. “Itu dulu. Mungkin aku akan punya anak nanti, tapi bukan dari kamu.”

Kata-kata itu menyalakan sesuatu yang gelap dalam diri Rama. Matanya berubah, tajam dan muram. 

Pria itu menarik tubuh Naila dengan kasar, membantingnya ke ranjang hingga istrinya terhuyung. Tubuh Rama menindihnya, menciptakan bayangan besar yang menutup ruang.

“Ulangi kalau berani!”

Namun Naila tidak gentar. “Mau aku ulang seribu kali pun, tetap nggak akan berubah. Aku jijik padamu. Lebih baik mati daripada punya anak darimu.”

Kalimat itu bahkan belum sempat mengendap di udara ketika Rama menunduk, menutup mulut Naila dengan ciuman kasar. Bibirnya menekan, mendesak, tanpa kelembutan.

Tubuh Naila membeku sepersekian detik, lalu menegang. Ia meronta, tangannya menghantam dada Rama berulang-ulang. 

Di kepala Naila, bayangan lain menari, ingatan yang membakar: bibir pria itu pernah singgah di tubuh perempuan lain. Hanya membayangkannya saja sudah cukup untuk membuat lambungnya melilit, membuat dadanya dipenuhi rasa muak.

“Lepaskan aku!” teriaknya, suara pecah di tengah air mata yang mulai berkumpul.

Namun tubuh Rama jauh lebih kuat. Ia justru mempererat pelukan di pinggang Naila, menariknya semakin dekat. 

Handuk yang melilit tubuh perempuan itu longgar, melorot sedikit, memperlihatkan kulit pucat di bawah cahaya lampu kamar. Tatapan Rama menggelap, ada kilatan yang berbahaya di sana, seperti bara yang hampir menyambar kayu kering.

Naila merasakan tubuh pria itu bergerak mengancam hingga membuat amarahnya memuncak. Dengan gigitan penuh nekat, Naila menancapkan giginya di bahu Rama, cukup keras hingga rasa besi darah memenuhi lidahnya.

Rama meringis, mengeluarkan desisan pendek, tapi tidak melepaskan. Tangannya malah menyusup lebih jauh ke balik handuk Naila. Sentuhan itu membuat Naila menegang, tubuhnya bergetar di antara rasa takut dan benci.

“Rama, jangan sentuh aku!” suaranya meninggi, tercekik.

Namun pria itu tak berhenti. Jemarinya mencari, menuntut. Bibirnya melontarkan kalimat yang menusuk telinga Naila. “Naila, bilang saja. Kamu juga butuh aku, kan?”

Panik merambat dan meremas ulu hati Naila. Nafasnya memburu. Ia meronta, menendang, mencakar, tapi seolah melawan tembok yang tak bisa digerakkan. 

Saat Rama mulai memposisikan dirinya di antara kaki istrinya, Naila menutup mata rapat-rapat. Dalam kepasrahan yang getir, ia berbisik, lirih tapi menusuk. “Rama, jangan paksa aku membencimu.”

Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada gigitan di bahunya. Gerakan Rama terhenti. Ia menatap wajah Naila, melihat rapuhnya perempuan itu. 

Wajah Naila yang dulu penuh tawa, kini pucat, mata yang dulu penuh kasih, kini dipenuhi ketakutan. Ia tampak seperti boneka porselen yang hampir retak, dan bila ia memaksakan diri, mungkin akan hancur selamanya.

Tangannya masih mencengkeram pinggang Naila, tapi getaran halus mulai merambat. Beberapa detik terasa seperti keabadian. Lalu, tanpa sepatah kata pun, ia bangkit dengan kasar, melangkah keluar. 

Pintu kamar dibanting hingga bergetar, meninggalkan keheningan yang mencekik.

Naila tersentak, lalu buru-buru menarik selimut, membungkus tubuhnya rapat. Bahunya bergetar, tapi air matanya kering, seolah sudah habis.

***

Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Rumah itu terasa sangat sepi. Rama tidak pulang, tidak menghubungi.

Naila mencoba menelepon, mengetik pesan, hanya untuk menatap layar ponsel yang dingin, tak kunjung berbunyi. Ia ingin membicarakan perceraian, tapi seolah Rama sengaja menghilang, menunda pertempuran berikutnya.

***

Akhir pekan tiba dengan langit mendung. Naila duduk di ruang tamu, laptop terbuka di pangkuannya. 

Jari-jari sang perempuan menari di atas keyboard, mengirimkan lamaran pekerjaan ke perusahaan demi perusahaan. Cahaya layar memantul di wajahnya yang lelah, tapi matanya tetap menyala, menyimpan sisa-sisa tekad.

Bunyi pintu depan terbuka mendadak memutus kesunyian. Naila mendongak. Rama berdiri di ambang pintu, wajahnya kusut, matanya merah, rambut acak-acakan. Ia tampak seperti seseorang yang sudah berhari-hari terjaga, berkelana dalam gelap.

Mereka saling tatap, udara di ruang tamu mengeras. Naila menutup laptop perlahan, menaruhnya di meja, lalu berdiri dengan tenang.

“Karena kamu sudah pulang, mari kita bicarakan soal perceraian.”

Wajah Rama langsung menegang, mengeras seperti batu.

“Sudah kubilang, aku tidak akan menceraikanmu. Aku pulang untuk mengingatkan, malam ini kita harus datang ke acara makan malam keluarga.”

Naila menarik napas dalam. Sejak menikah, acara makan malam keluarga Santosa adalah ritual bulanan. Namun di balik senyum dan formalitas, ia selalu merasa seperti tamu asing yang tidak diundang. 

Pandangan sinis, bisik-bisik halus, dan keramahan palsu menjadi santapan rutin. Naila bertahan hanya karena percaya Rama mencintainya. Tapi kini, cinta itu tak lebih dari sekadar bangkai yang membusuk.

“Aku tidak mau datang. Pergi saja sendiri.”

Nada dinginnya membuat Rama mengerutkan kening.

“Naila, sampai kapan kamu begini terus?” Suaranya meninggi, kesabaran menipis. Ia sengaja menghilang beberapa hari, berharap emosi istrinya mereda. Tapi nyatanya, api itu semakin menyala.

“Aku tidak ‘begini’. Aku hanya ingin bercerai. Lagipula, bukannya kamu sendiri yang mau menceraikanku?”

Kata ‘cerai’ jatuh seperti batu besar ke wajah Rama. Ia menatap Naila seakan perempuan itu bicara bahasa asing, seakan sudah hilang akal sehat.

“Cerai? Kamu nggak kerja sejak kita menikah. Kamu mau hidup dari mana? Perusahaan mana yang mau terima kamu? Belum lagi tagihan rumah sakit ayahmu yang selangit, kamu bisa bayarin sendiri? Naila, kamu bukan anak SMA lagi. Umurmu sudah 28. Saatnya bersikap dewasa!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 220: Jangan Panik

    Satu jam berlalu sejak rapat dimulai. Di ruang meeting lantai sepuluh, udara dingin dari pendingin ruangan berpadu dengan aroma kopi hitam yang mulai dingin di sisi meja panjang berlapis kaca. Galih duduk di ujung meja, jasnya masih rapi, mata fokus pada layar proyektor yang menampilkan grafik penjualan.Suaranya bariton tapi lembut ketika menjelaskan strategi kuartal berikutnya. Namun di tengah paparan yang nyaris tanpa cela itu, ponselnya bergetar di atas meja, menciptakan getaran kecil di ruangan yang terlalu hening.Nama “Naila” muncul di layar.Instingnya langsung berubah, refleks seperti ayah baru yang belum terbiasa tenang menghadapi krisis kecil. Ia memberi isyarat pada Sandi, asisten mudanya, untuk melanjutkan pembahasan, lalu menjawab telepon sambil menundukkan kepala sedikit, berusaha menjaga agar suaranya tak terdengar keras.“Ada apa?” tanyanya pelan, meski di dadanya sudah tumbuh rasa khawatir.Suara Naila di s

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 219: Jangan Bawa Mia ke Kantor

    Satu jam kemudian, suara musik lembut memenuhi udara, menggiring langkah-langkah kecil menuju momen yang paling ditunggu. Lampu kristal di langit-langit ruang perjamuan berkilau memantulkan cahaya hangat, menari di gaun-gaun para tamu.Udara wangi bunga lili dan melati bercampur dengan aroma kayu manis dari lilin aromaterapi yang berjajar di sepanjang lorong utama. Semua mata tertuju pada pintu besar yang perlahan terbuka.Dari balik celah itu, Larasati muncul, bergandengan dengan ayahnya. Gaun putihnya memantulkan cahaya seperti salju yang baru turun, lembut dan murni. Tiap langkahnya diiringi gesekan lembut renda di lantai karpet merah.Di sisi lain ruangan, Aksara berdiri tegak dengan jas hitamnya, wajahnya tak beranjak dari sosok yang kini berjalan ke arahnya. Ada sesuatu di sorot matanya, semacam campuran antara tak percaya dan haru yang berusaha ia sembunyikan di balik senyum tenang.Ayah Larasati, Budi, menggenggam tangan putrinya dengan lembut, na

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 218: Aku yang Jagain

    Langit sore di atas vila itu perlahan merona jingga, menumpahkan cahaya hangat yang menyelinap lewat celah dedaunan. Udara lembut membawa aroma teh melati dari dapur yang belum sempat dibereskan. Di teras belakang, suara serangga mulai muncul pelan, menandai pergantian waktu.Naila berdiri dengan kedua tangan bersedekap di dada, menatap Galih yang masih bermain dengan Adek di pangkuannya. Senyum kecil menghiasi wajah laki-laki itu, namun di balik senyum itu ada sesuatu yang menegang, sesuatu yang tak diucapkan.“Mulai besok, kamu nggak boleh bawa Adek ke kantor lagi,” ucap Naila akhirnya, suaranya terdengar lembut tapi pasti. “Aku yang jagain dia di rumah, supaya ikatan ibu-anak kita semakin kuat.”Galih mengangkat alis, wajahnya berubah sedikit heran. “Naila, apa kamu cemburu karena dia lebih suka sama aku?” tanyanya dengan nada menggoda, tapi matanya mencari sesuatu di wajah istrinya, seolah ingin memastikan apakah kalimat i

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 217: Menikah Itu Capek Banget

    Selama beberapa bulan berikutnya, hidup Larasati seperti berputar di satu poros: persiapan pernikahan. Setiap hari dipenuhi daftar hal yang harus diselesaikan, panggilan telepon yang tak berujung, dan rapat-rapat kecil yang terus menuntut keputusan baru.Di sela kesibukan kantor, ia mengatur janji temu dengan desainer, memeriksa undangan, bahkan mengecek detail sekecil warna pita di souvenir.Pernikahan mereka dijadwalkan pada 8 Agustus, tanggal yang menurut ibunya membawa keberuntungan. Waktu tersisa kurang dari enam bulan, tapi rasanya seperti detik yang terus berlari.Kadang Larasati terbangun di tengah malam hanya untuk memastikan konsep dekorasi masih sama dengan keinginannya, atau menuliskan ide yang tiba-tiba muncul di kepala.Ia bahkan sempat terbang ke Milan untuk bertemu desainer gaun pengantin pilihannya. Di ruang kerja yang dipenuhi kain sutra dan renda, ia berdiri di depan cermin besar, melihat pantulan dirinya dalam potongan gaun yang belum

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 216: Arti Gaun Pengantin

    Sepuluh menit setelah mobil mereka menepi di depan restoran kecil bernuansa kayu itu, aroma mentega dan bawang tumis menyambut dari balik pintu kaca. Udara sore yang lembap berganti dengan kehangatan ruang berlampu temaram.Beberapa pasangan duduk berhadapan, suara sendok beradu dengan piring berpadu dengan musik jazz pelan yang mengisi udara. Larasati dan Aksara memilih meja di dekat jendela besar yang menatap jalan raya, di mana lalu lintas sore tampak seperti aliran cahaya yang tak pernah berhenti.Pelayan datang membawa menu, menunduk sopan. Setelah beberapa menit berdiskusi kecil tentang makanan yang menggoda di halaman depan menu, mereka memesan tanpa banyak bicara. Sementara pelayan melangkah pergi, kesunyian di antara mereka terasa seperti kabut tipis yang tak segera memudar.Aksara memperhatikan Larasati. Biasanya, perempuan itu selalu punya komentar tentang musik, dekorasi, atau sekadar membahas orang-orang yang lewat di luar sana. Tapi kali ini, dia h

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 215: Kalau Dia Ingin Menikah

    Larasati menggeleng pelan, rambutnya yang panjang ikut bergeser menutupi sebagian pipi. “Aku nggak tahu. Dia belum melamar. Aku nggak mungkin mengajukan itu, kan?” suaranya pelan tapi tajam, seperti seseorang yang sudah sering memikirkan hal yang sama.Naila, yang duduk di sisi tempat tidur dengan bayi mungil di gendongannya, menatapnya prihatin. Kamar itu masih beraroma lembut bedak bayi, bercampur dengan wangi sabun dan udara hangat dari sore yang baru turun.“Aku bisa bantu Galih untuk cari tahu. Kalian kan sudah bersama cukup lama,” katanya hati-hati.Larasati langsung mengibas tangan, seperti menolak ide itu seolah menyingkirkan serangga yang mengganggu. “Jangan. Kalau dia ingin menikah, dia yang akan melamar. Kalau tidak, meski aku pegang pisau di lehernya, juga nggak akan mengubah apa-apa. Biarkan saja.”Nada bicaranya tegas, tapi ada retakan halus di ujung kalimatnya. Naila memperhatikan wajah sahabatnya yang ta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status