Naila tidak pernah benar-benar memperhatikan cara ia berjalan ke arah lemari malam itu. Rambutnya masih lembap, helai-helai hitamnya menempel di tengkuk dan bahunya, meninggalkan aroma sabun mandi yang lembut di udara.
Tangannya terulur, hendak meraih baju tidur dari rak paling atas. Namun sebelum sempat menggenggam kain itu, sepasang lengan hangat melingkari tubuhnya dari belakang.
“Naila…” bisik Rama, suaranya serak, nyaris bergetar, seperti ada bara yang dipaksa keluar dari kerongkongan.
Hawa napasnya menyentuh kulit leher Naila, membuat bulu kuduknya meremang. Ia bisa merasakan dada Rama menempel di punggungnya, jantung pria itu berdegup lebih cepat dari biasanya.
Beberapa menit sebelumnya, Rama sempat berdiri di ruang tamu dengan pikiran berputar. Ia mencari alasan, mencari cara agar Naila tidak meninggalkannya.
Sebuah gagasan singkat, liar, tapi terasa masuk akal baginya: seorang anak. Anak itu akan menjadi ikatan, simpul yang tak bisa dengan mudah diputus.
Rama ingin menyampaikannya perlahan, dengan tenang. Namun begitu melihat Naila keluar dari kamar mandi, wajahnya bersih tanpa riasan, tubuhnya dibalut handuk, logika yang tipis itu runtuh.
Dulu, sentuhan seperti ini mungkin akan membuat Naila luluh, tubuhnya meleleh dalam kehangatan pelukan.
Tapi malam itu, yang menjalar justru rasa dingin yang menusuk tulang. Naila memutar tubuh, mendorong Rama dengan kekuatan yang lahir dari jijik dan kemarahan. Tatapannya tajam, mata hitamnya memantulkan api yang bukan lagi cinta.
“Jangan sentuh aku. Aku merasa kotor.”
Rama terdiam sepersekian detik. Kata-kata itu menamparnya, tapi genggamannya tidak goyah. Ia meraih tangan Naila lagi, seolah masih ada ruang untuk tawar-menawar.
“Bukankah dari dulu kamu memang ingin punya anak? Yuk, kita usahakan sekarang…” Nada suaranya dibuat ringan, seakan ia sedang mengajak bicara tentang hal remeh, seolah tak ingat dengan ucapannya pada perempuan selingkuhannya.
Naila menepis kasar. “Itu dulu. Mungkin aku akan punya anak nanti, tapi bukan dari kamu.”
Kata-kata itu menyalakan sesuatu yang gelap dalam diri Rama. Matanya berubah, tajam dan muram.
Pria itu menarik tubuh Naila dengan kasar, membantingnya ke ranjang hingga istrinya terhuyung. Tubuh Rama menindihnya, menciptakan bayangan besar yang menutup ruang.
“Ulangi kalau berani!”
Namun Naila tidak gentar. “Mau aku ulang seribu kali pun, tetap nggak akan berubah. Aku jijik padamu. Lebih baik mati daripada punya anak darimu.”
Kalimat itu bahkan belum sempat mengendap di udara ketika Rama menunduk, menutup mulut Naila dengan ciuman kasar. Bibirnya menekan, mendesak, tanpa kelembutan.
Tubuh Naila membeku sepersekian detik, lalu menegang. Ia meronta, tangannya menghantam dada Rama berulang-ulang.
Di kepala Naila, bayangan lain menari, ingatan yang membakar: bibir pria itu pernah singgah di tubuh perempuan lain. Hanya membayangkannya saja sudah cukup untuk membuat lambungnya melilit, membuat dadanya dipenuhi rasa muak.
“Lepaskan aku!” teriaknya, suara pecah di tengah air mata yang mulai berkumpul.
Namun tubuh Rama jauh lebih kuat. Ia justru mempererat pelukan di pinggang Naila, menariknya semakin dekat.
Handuk yang melilit tubuh perempuan itu longgar, melorot sedikit, memperlihatkan kulit pucat di bawah cahaya lampu kamar. Tatapan Rama menggelap, ada kilatan yang berbahaya di sana, seperti bara yang hampir menyambar kayu kering.
Naila merasakan tubuh pria itu bergerak mengancam hingga membuat amarahnya memuncak. Dengan gigitan penuh nekat, Naila menancapkan giginya di bahu Rama, cukup keras hingga rasa besi darah memenuhi lidahnya.
Rama meringis, mengeluarkan desisan pendek, tapi tidak melepaskan. Tangannya malah menyusup lebih jauh ke balik handuk Naila. Sentuhan itu membuat Naila menegang, tubuhnya bergetar di antara rasa takut dan benci.
“Rama, jangan sentuh aku!” suaranya meninggi, tercekik.
Namun pria itu tak berhenti. Jemarinya mencari, menuntut. Bibirnya melontarkan kalimat yang menusuk telinga Naila. “Naila, bilang saja. Kamu juga butuh aku, kan?”
Panik merambat dan meremas ulu hati Naila. Nafasnya memburu. Ia meronta, menendang, mencakar, tapi seolah melawan tembok yang tak bisa digerakkan.
Saat Rama mulai memposisikan dirinya di antara kaki istrinya, Naila menutup mata rapat-rapat. Dalam kepasrahan yang getir, ia berbisik, lirih tapi menusuk. “Rama, jangan paksa aku membencimu.”
Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada gigitan di bahunya. Gerakan Rama terhenti. Ia menatap wajah Naila, melihat rapuhnya perempuan itu.
Wajah Naila yang dulu penuh tawa, kini pucat, mata yang dulu penuh kasih, kini dipenuhi ketakutan. Ia tampak seperti boneka porselen yang hampir retak, dan bila ia memaksakan diri, mungkin akan hancur selamanya.
Tangannya masih mencengkeram pinggang Naila, tapi getaran halus mulai merambat. Beberapa detik terasa seperti keabadian. Lalu, tanpa sepatah kata pun, ia bangkit dengan kasar, melangkah keluar.
Pintu kamar dibanting hingga bergetar, meninggalkan keheningan yang mencekik.
Naila tersentak, lalu buru-buru menarik selimut, membungkus tubuhnya rapat. Bahunya bergetar, tapi air matanya kering, seolah sudah habis.
***
Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Rumah itu terasa sangat sepi. Rama tidak pulang, tidak menghubungi.
Naila mencoba menelepon, mengetik pesan, hanya untuk menatap layar ponsel yang dingin, tak kunjung berbunyi. Ia ingin membicarakan perceraian, tapi seolah Rama sengaja menghilang, menunda pertempuran berikutnya.
***
Akhir pekan tiba dengan langit mendung. Naila duduk di ruang tamu, laptop terbuka di pangkuannya.
Jari-jari sang perempuan menari di atas keyboard, mengirimkan lamaran pekerjaan ke perusahaan demi perusahaan. Cahaya layar memantul di wajahnya yang lelah, tapi matanya tetap menyala, menyimpan sisa-sisa tekad.
Bunyi pintu depan terbuka mendadak memutus kesunyian. Naila mendongak. Rama berdiri di ambang pintu, wajahnya kusut, matanya merah, rambut acak-acakan. Ia tampak seperti seseorang yang sudah berhari-hari terjaga, berkelana dalam gelap.
Mereka saling tatap, udara di ruang tamu mengeras. Naila menutup laptop perlahan, menaruhnya di meja, lalu berdiri dengan tenang.
“Karena kamu sudah pulang, mari kita bicarakan soal perceraian.”
Wajah Rama langsung menegang, mengeras seperti batu.
“Sudah kubilang, aku tidak akan menceraikanmu. Aku pulang untuk mengingatkan, malam ini kita harus datang ke acara makan malam keluarga.”
Naila menarik napas dalam. Sejak menikah, acara makan malam keluarga Santosa adalah ritual bulanan. Namun di balik senyum dan formalitas, ia selalu merasa seperti tamu asing yang tidak diundang.
Pandangan sinis, bisik-bisik halus, dan keramahan palsu menjadi santapan rutin. Naila bertahan hanya karena percaya Rama mencintainya. Tapi kini, cinta itu tak lebih dari sekadar bangkai yang membusuk.
“Aku tidak mau datang. Pergi saja sendiri.”
Nada dinginnya membuat Rama mengerutkan kening.
“Naila, sampai kapan kamu begini terus?” Suaranya meninggi, kesabaran menipis. Ia sengaja menghilang beberapa hari, berharap emosi istrinya mereda. Tapi nyatanya, api itu semakin menyala.
“Aku tidak ‘begini’. Aku hanya ingin bercerai. Lagipula, bukannya kamu sendiri yang mau menceraikanku?”
Kata ‘cerai’ jatuh seperti batu besar ke wajah Rama. Ia menatap Naila seakan perempuan itu bicara bahasa asing, seakan sudah hilang akal sehat.
“Cerai? Kamu nggak kerja sejak kita menikah. Kamu mau hidup dari mana? Perusahaan mana yang mau terima kamu? Belum lagi tagihan rumah sakit ayahmu yang selangit, kamu bisa bayarin sendiri? Naila, kamu bukan anak SMA lagi. Umurmu sudah 28. Saatnya bersikap dewasa!”
Dunia seakan berhenti. Ponsel dalam genggaman Naila bergetar pelan, seolah makhluk kecil yang tak lelah mengusik ketenangan, tapi justru membuat jari-jarinya semakin kaku mencengkeram.Ujung kukunya menekan kulit hingga memutih. Sunyi merambat di dadanya, hanya suara napas berat yang terputus-putus, naik turun, seperti Naila sedang berusaha meraih udara di ruangan yang tiba-tiba terasa terlalu sempit untuk menampung dirinya.Dengan gerakan cepat namun gemetar, Naila mengetuk layar, mengambil tangkapan pesan itu, lalu langsung mengirimkannya pada Rama. Ia tidak menambahkan sepatah kata pun. Tak ada kebutuhan untuk menjelaskan, tak ada ruang untuk alasan.Setelah itu, tanpa ragu, Naila menekan satu tombol terakhir: blokir. Jessie lenyap dari daftar kontaknya, tapi tidak dari ingatannya.
Lorong menuju laboratorium berbau dingin, seolah dindingnya menyerap setiap langkah yang lewat. Aroma logam tua berpadu dengan lembap cat yang memudar, membuat napas sedikit berat.Di ujung lorong, pintu besi bercat putih gading berdiri tegak. Bahkan sebelum pintu itu terbuka, bau khas kimia sudah menyelinap masuk: alkohol menusuk, resin berbau getir, dan jejak logam samar yang membuat lidah seperti berkarat.Begitu pintu didorong, ruangan penuh cahaya lampu neon menyambut. Kilau kaca tabung reaksi memantulkan sinar, membuat meja-meja kerja tampak seperti permukaan danau yang pecah oleh riak kecil.Suara berdenting alat gelas bercampur dengan bisikan diskusi para peneliti, menciptakan musik latar yang hanya dimengerti mereka yang terbiasa hidup di dunia eksperimen.
Di luar, hujan mencakar bumi tanpa ampun. Butir-butirnya jatuh deras, berderai seperti rentetan benang perak yang dijatuhkan langit dengan murka. Trotoar basah berkilau di bawah lampu jalan, memantulkan cahaya temaram yang pecah di genangan air.Naila berdiri di sana, tubuhnya sedikit terbungkuk, jemari mungilnya mencengkeram erat kantong belanjaan hingga plastiknya berderit pelan.Udara dingin menusuk kulit, membuat napasnya berembus tipis-tipis. Perempuan itu melirik layar ponsel, jempolnya sempat melayang di atas ikon aplikasi taksi online.Satu tarikan napas lagi mungkin akan membuatnya menekan, kalau saja mobil hitam dengan bodi mengilap itu tidak berhenti tepat di depannya.Maybach. Jendela belakang perlahan turun, menyingkap wajah Galih Santosa y
Keesokan paginya, di sebuah kantor agen properti kecil di Tebet, tangan Naila sempat bergetar ketika pena menyentuh kertas. Garis tanda tangannya tak hanya sekadar formalitas—itu adalah kunci keputusan besar: sebuah apartemen mungil untuk satu tahun penuh. Satu tahun tanpa Rama.Uang sewa tiga bulan Naila serahkan. Beberapa lembar bukti pembayaran berpindah tangan, dan tatapannya jatuh pada angka-angka itu. Hatinya berdenyut campur aduk. Dompet perempuan itu kini menipis, hanya tersisa beberapa lembar lusuh, bahkan tak cukup untuk membeli tas kerja mahal baru. Namun di balik cemas itu, ada sensasi aneh yang menyelinap. Seperti beban besi yang akhirnya terguling dari bahunya.Unit apartemen mungil itu menyambut dengan kesunyian. Aroma cat dinding masih samar, bercampur dengan bau debu lembap yang lama terkurung. Lantai keramik memantulkan cahaya siang, licin tapi berlapis debu tipis. Naila membuka jendela; angin membawa masuk bau hujan yang masih segar. Dengan tangan kecilnya ia me
“Perceraian enggak bisa buru-buru,” ucap Naila pelan, seakan menenangkan dirinya sendiri lebih daripada Larasati yang duduk di seberang. Suaranya serak tapi tegas, seperti seseorang yang memaksa diri berdiri di atas tanah yang rapuh. “Sekarang aku fokus cari kerja dan tempat tinggal dulu. Sisanya nyusul.”Larasati, yang sejak awal menjadi saksi retakan rumah tangga Naila, menatap sahabatnya itu dengan mata cemas. Tatapan itu penuh tanya, penuh keraguan, tapi ada pula tekad untuk tidak menambah berat beban. Kedua tangannya yang menggenggam gelas tampak sedikit gemetar, tapi senyumnya berusaha menenangkan.“Kalau gitu, aku izin setengah hari ya,” katanya, nada suaranya setengah memohon, setengah bersikeras. “Aku temenin kamu cari apartemen.”Naila menggeleng lembut. Gerakan kecil itu tegas, meski ia berusaha menyampaikannya tanpa menyakiti. “Enggak usah repot. Aku bisa sendiri.”Larasati sempat terdiam, lalu akhirnya mengangguk dengan berat hati. Wajahnya tertunduk sebentar, sebelum ia
Sementara itu, di kantor yang hampir gelap, hanya cahaya monitor menerangi wajah Rama. Guratan lelah mengintai di balik rahang kerasnya. Jemarinya mengetik gugup:Bagaimana caranya mendapatkan kembali hati istri setelah berselingkuh?Balasan berdatangan cepat. Kebanyakan menyarankan cerai. Rambut di tengkuknya berdiri. Ia marah, panas, tak rela. Dengan kasar ia hapus postingan itu, seolah setiap kalimat adalah tamparan.Belum sempat mematikan laptop, ponselnya berdering. Nama yang muncul membuat perutnya mual: Jessie.***Rama duduk terpaku, mendengarkan suara isakan Jessie dari ujung telepon yang semakin menekan telinga.Kesal, Rama merogoh saku, menyalakan rokok. Asap tipis mengepul, melayang ke udara seperti doa yang ditolak. Tarikan panjang ia hembuskan kasar, seolah berharap semua kerumitan ikut lenyap bersama kepulan putih itu.“Kalau kamu nggak mau gugurkan, aku punya cara buat memastikan kamu nggak akan bisa lahiran,” ucapnya dingin. Suaranya tenang, tapi justru karena ketenan