Malam menutup langit Kemang dengan tabir gelap yang berat, seakan-akan bintang pun enggan menampakkan diri. Lampu-lampu jalan berkilat redup, sementara rumah besar di sudut jalan itu berdiri gagah dengan dinding putihnya yang dingin.
Dari jendela besar di lantai dua, cahaya kuning lembut memancar, seolah menandakan ada seseorang yang gelisah menunggu.
Naila baru saja sampai, tumit sepatunya beradu pelan dengan lantai marmer ruang tamu yang dingin. Begitu menutup pintu, ia mendapati keheningan rumah terasa lebih pekat dari biasanya. Dadanya berdesir kecil ketika menyadari Galih belum juga pulang.
Pandangannya segera jatuh pada ponsel di genggamannya. Jempolnya sempat menyentuh ikon telepon, ragu-ragu menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala. Tapi sebelum benar-benar menekan, ia menarik napas panjang lalu menurunkan tangannya.
Tadi Galih sudah berjanji pulang malam ini, ia mencoba menenangkan diri dengan itu.
Ponsel itu akhirnya ia letakkan d
Restoran itu dipenuhi cahaya kuning temaram, lampu gantung berkilau seperti bintang yang terperangkap di dalam kaca. Suara sendok beradu dengan piring, percakapan bercampur dengan tawa kecil dari meja-meja lain, menciptakan suasana ramai tapi tetap intim.Di tengah hiruk pikuk itu, tiga orang duduk dengan keheningan yang menggumpal di antara mereka, seperti ada jarak tak kasatmata yang menahan napas.Naila hampir membuka mulut, berniat memperkenalkan dua pria yang kini duduk berhadap-hadapan. Namun Galih lebih cepat, dengan senyum yang terlatih, senyum yang seakan sudah dipoles untuk setiap pertemuan bisnis.“Pak Harsa, senang sekali akhirnya bertemu. Saya Galih Santosa, pacarnya Naila, sekaligus CEO Teknologi Prospexa.”Nada suaranya datar tapi penuh percaya diri, seolah ia sedang memperkenalkan diri dalam konferensi besar. Jabat tangannya tegap, mantap, sedikit lebih lama dari sekadar formalitas.Mata Niko menyorot tajam, ada kilat ha
Ruang pertemuan yang seharusnya terasa netral justru dipenuhi hawa panas yang sulit dijelaskan. Dinding kaca yang memantulkan bayangan kota sore itu seakan ikut menahan ketegangan di antara dua orang yang saling berhadapan.Naila duduk tegak, tangannya bersedekap di atas meja. Tatapannya jernih namun menusuk, tak sekalipun ia goyah oleh nada merendahkan dari lawan bicaranya.Brahma, dengan wajah kaku penuh garis kesombongan, bersandar di kursinya lalu merendahkan suara, seolah sedang menawar barang dagangan di pasar gelap. “Sebutkan saja harganya. Asal kamu mau melepaskan Gusti, uang bukan masalah.”Ia mengangkat dagu, seakan yakin semua orang pada akhirnya bisa dibeli. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi matanya tajam, menelanjangi setiap ekspresi Naila.Naila menarik napas perlahan, hampir tak terdengar. Jemarinya mengetuk halus meja kayu, ritmenya teratur seperti detak jam dinding. “Lalu berapa yang Anda tawarkan?” suaranya di
Tatapan Naila berputar di wajah Galih, mencari, menggali, menelisik tiap lekuk ekspresinya. Namun yang ia temukan hanyalah dinding datar, tanpa retakan rasa bersalah. Justru semakin lama ia memandang, semakin perih rasanya, seakan hatinya digores halus tapi terus menerus.Pertanyaan menggantung di benaknya: apakah semua laki-laki yang bersalah pada pacar atau istrinya memang selalu lihai bersikap seolah tak terjadi apa-apa?Ia menundukkan kepala, berusaha menutupi sorot matanya yang panas. Suaranya keluar lirih tapi dingin, membeku di udara.“Tak apa. Aku tak keberatan. Aku mau istirahat.”Galih bergeming sejenak, lalu berkata dengan nada rendah, nyaris hati-hati, “Aku dengar kamu belum makan malam. Jadi aku buatkan sandwich.”Naila buru-buru menggeleng, nada suaranya lebih cepat dari pikirannya sendiri. “Tidak usah, aku tidak lapar.”“Meski tak lapar, sebaiknya tetap makan sedikit,” Galih menc
Malam menutup langit Kemang dengan tabir gelap yang berat, seakan-akan bintang pun enggan menampakkan diri. Lampu-lampu jalan berkilat redup, sementara rumah besar di sudut jalan itu berdiri gagah dengan dinding putihnya yang dingin.Dari jendela besar di lantai dua, cahaya kuning lembut memancar, seolah menandakan ada seseorang yang gelisah menunggu.Naila baru saja sampai, tumit sepatunya beradu pelan dengan lantai marmer ruang tamu yang dingin. Begitu menutup pintu, ia mendapati keheningan rumah terasa lebih pekat dari biasanya. Dadanya berdesir kecil ketika menyadari Galih belum juga pulang.Pandangannya segera jatuh pada ponsel di genggamannya. Jempolnya sempat menyentuh ikon telepon, ragu-ragu menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala. Tapi sebelum benar-benar menekan, ia menarik napas panjang lalu menurunkan tangannya.Tadi Galih sudah berjanji pulang malam ini, ia mencoba menenangkan diri dengan itu.Ponsel itu akhirnya ia letakkan d
Meski hatinya sudah lama tidak bergetar saat mengingat Rama, luka itu masih menempel seperti bekas luka bakar yang sulit hilang. Kadang-kadang ia merasa bekas itu sudah pudar, tapi cukup satu sentuhan kecil, rasa perih kembali menyala.Pengkhianatan Rama membuatnya menutup rapat pintu hati. Ada rasa takut yang tak bisa ia lawan, takut jatuh lagi, takut patah lagi, takut kehilangan dirinya untuk kedua kali.“Aku nggak salahin kamu. Bukan salahmu. Aku saja yang belum cukup,” suara Galih terdengar pelan, nyaris seperti bisikan. Tatapannya lembut, seperti berusaha meraih hati Naila yang bersembunyi di balik dinding tebal ketakutan.Naila menggeleng cepat, bulu matanya bergetar menahan air mata yang hendak pecah. “Tidak. Kamu sudah sangat baik.” Bibirnya gemetar, kata-kata itu terasa pahit begitu keluar dari mulutnya.Kenyataannya berbeda. Naila sadar dialah yang terpenjara oleh rasa takutnya sendiri. Ada bayangan menakutkan dalam pikir
Masalah itu telah jadi bisik-bisik panas di lingkaran sosialita Jakarta. Seperti api kecil yang jatuh ke tumpukan kertas kering, kabar itu cepat sekali menjalar. Semakin banyak telinga yang mendengar, semakin tinggi taruhannya.Rama, yang baru saja menggantikan Gusti di kursi pimpinan, tahu benar risikonya. Ia tak bisa membiarkan skandal pribadi berubah menjadi alasan para pemegang saham meragukan kompetensinya. Di matanya, reputasi sama berharganya dengan modal.Di ruang tamu yang luas, dengan sofa krem melingkar dan aroma kopi hitam yang sudah mulai dingin di atas meja, ketegangan terasa kental. Tirai tipis berwarna gading hanya membiarkan cahaya sore masuk samar, membuat wajah-wajah yang duduk di sana tampak lebih muram dari biasanya.Naila bersandar dengan tenang, meski matanya menyala penuh kewaspadaan. Alisnya terangkat, memberi isyarat bahwa ia takkan mudah dibujuk. Ia melirik Sinta, yang duduk kaku di seberang. Dari caranya menggenggam tas kecil di pangk