Share

PESTA ULANG TAHUN

Effendy membanting pintu kamar Eleanor dan masuk ke dalam ruang kerjanya untuk menyibukka diri dan berusaha melupakan pertengkaran kecilnya dengan Ele. Laki-laki itu menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan nya dan menyuruh maid untuk mengantarkan makan siang ke kamarnya. Saat hari memasuki sore, ketika dia berdiri menyegarkan pikiran di balkon ruang kerjanya, ponselnya berbunyi. Kontak dengan nama Ashley tampak di layar. Effendy mengangkatnya.

"Hallo,"

"Kamu datang kan Mi Amor? Malam ini adalah pesta ulangtahun ku."

Effendy mengusap wajahnya. Dia nyaris lupa kalau malam ini dia harus menghadiri ulangtahun perempuan itu. "Tentu saja, Ly." Balasnya pula.

***

Effendy keluar dari mobilnya dan menuju ballroom hotel yang menjadi tempat perayaan ulang tahun Ashley Bimantara. Ketika dia masuk, lelaki itu langsung dapat merasakan nuansa remang nan romantis tapi tidak berat, tak salah lagi, sesuai dengan selera yang berulang tahun. Setiap orang yang melihatnya menyapa dengan senyum, dibalas oleh Effendy dengan anggukan. Ashley muncul menyambutnya. Gadis berkulit putih cemerlang itu tampak demikian cantik dengan balutan gaun merahnya.

"Hei, " sapa Ashley dengan senyum manisnya. Gadis itu adalah putri keluarga Bimantara, dia merupakan salah satu sahabat masa kuliah Effendy. Dia bahkan pernah berpacaran dengan gadis ini semasa kuliah, namun putus karna Ashley yang hendak pindah kuliah ke Boston. Alasan Effendy memutuskan hubungan mereka sederhana, dia hanya tidak ingin membatasi kebebasan putri salah satu konglomerat Indonesia itu. Gadis itu kembali dari Boston baru dua tahun yang lalu, dan sekarang sedang mencoba untuk memperbaiki hubungannya kembali dengan Chislon.

"Selamat ulang tahun." Ucap Effendy sembari tersenyum, mengulurkan kotak perhiasan ungu gelap yang elegan. Hadiah mahal itu diserahkannya pada Ashley. Wanita dihadapannya tampak senang menerima hadiah pemberian Effendy, dia menerima kotak perhiasan itu lalu membukanya. Di sana ada sebuah kalung berliontin berlian De Beers Centenary. Ashley Bimantara tampak speechless. Dia mengangkat mata menatap Effendy dengan senyum bahagia yang tak dapat di sembunyikan.

"O My! This is gorgeous! Thankyou, Mi Amor."

Effendy meraih kalung itu dan memasangkannya ke leher Ashley. Saat itu, tiga orang mendekat ke arah mereka. Mereka adalah sahabat-sahabat Effendy dan Ashley semenjak kuliah, Salma Andara, Antonio, dan Andika sang dokter muda. Ketiganya tampak menggeleng-gelengkan kepala, Andika dan Salma saling lirik penuh arti.

"Kapan acaranya? Aku kira kamu mau melamar tadi, Chislon." Tukas Salma pula.

"Jangan tunda lama-lama." Goda Andika. Dia menatap Effendy dengan tatapan penuh arti. Di antara yang lain, hanya dia yang tahu kalau Effendy sudah menikahi Eleanor. Jelas ucapannya itu menyindir halus. Sementara Antonio, paling kalem di antara mereka, hanya tersenyum tipis memperhatikan.

"Sudah, jangan membuat Effendy tidak nyaman dengan ucapan-ucapan kalian." Semprot Ashley dengan cantik. "Ini adalah pesta ulangtahun ku, maka nikmati dengan baik selagi orangtuaku tidak disini." Ujarnya pula dengan semangat, menggandeng tangan Effendy, membawanya menjauh dari ke tiga sahabat mereka.

"Dimana kedua orangtuamu?" Tanya Effendy pula. Ashley membawanya menepi dari pesta, di taman buatan cantik nan remang, cahaya lampu taman yang kekuningan terpantul oleh kolam renang hotel yang berkilau-kilau.

"Mereka sedang di luar negeri." Balas Ashley pula. Sepasang matanya menatap lembut pada Effendy. "Jangan bicarakan mereka. Sekali-kali bicarakan tentang kita, Chislon Abimanyu."

Effendy mengangkat alisnya, bibirnya tersenyum. "Ada apa dengan kita, Ashley?"

"Kau masih mencintaiku bukan?"

Untuk pertanyaan itu, Effendy tak langsung menjawab. Dia kemudian mengusap rambut Ashley yang tertata anggun malam itu. "Kurasa tidak ada yang berubah, Ashley Bimantara." Ucapnya pula. Wanita di depannya tersenyum lembut, dia melingkarkan tangannya ke leher Effendy, berjinjit untuk mencium bibir tipis laki-laki itu. Hanya seujung kuku, bibir mereka akan bertemu, entah mengapa bayangan wajah Eleanor singgah dalam pikiran Effendy. Mengingat gadis itu, mood Effendy mendadak menjadi buruk. Dia menahan bahu Ashley, membuat gadis itu sedikit tersentak, dia membuka sepasang matanya.

"Kita sebaiknya kembali ke pesta, Ly. Orang-orang akan kebingungan jika bintang pesta nya menghilang." Ujarnya pula mengingatkan. Ashley Bimantara menahan rasa kecewanya. Dia tersenyum dengan paksa. "Baiklah."

Malam itu acara berlangsung dengan meriah, namun entah mengapa Effendy terus merasa moodnya tidak baik. Dia terus teringat Eleanor yang menelpon laki-laki lain dan menganggap pernikahan mereka tidak berharga. Dia memang tidak yakin dengan pernikahan ini. Tapi tidak bisakah Ele tahu kalau dia sudah mengorbankan banyak hal demi memenuhi pesan mendiang sang ibu?

Akhirnya sebelum tengah malam, Effendy berakhir dengan berpamitan lebih dulu. Dia merasa capek dan ingin cepat-cepat pulang untuk beristirahat.

Saat dia tiba di rumah, dia menyaksikan Maritha baru saja keluar dari kamar Eleanor.

"Dia sudah tidur?" Tanya Effendy secara refleks.

Maritha mengangguk. "Iya, Tuan."

"Bagus." Ucap Effendy sembari menaiki tangga loteng menuju kamarnya sendiri.

***

Dokter Andika kembali datang di Minggu berikutnya untuk kembali membantu Ele melakukan terapi.

"Pelan-pelan," bisik sang dokter sembari membantu Ele berjalan dengan penyangga. Pria itu sudah selesai melakukan rangkaian pemeriksaan dan sekarang sedang membantu Ele menjalankan terapinya. Mereka memilih taman berumput luas dengan udara segar pagi itu sebagai tempat untuk latihan berjalan.

"Bagian kakimu yang mana yang masih terasa sakit?" Tanya dokter Andika sembari mengamati gerak-gerik Ele. Sedang Arinda-salah satu maid-, tengah berdiri tak jauh dari sana kalau-kalau bantuannya dibutuhkan.

"Tungkai saya lemas seperti nyaris tak bertulang," keluh Ele dengan sedikit kerutan di kening. "Persendian lutut yang terasa seperti pusat nyerinya, dok."

"Jangan di paksa, pelan-pelan saja." Sang dokter mengulurkan tangan. "Come with me." Ujarnya dengan senyum profesionalnya. Ele sejenak ragu, namun akhirnya berani melepas krunya dan menyambut sepasang tangan sang dokter yang terulur. Dia mendesis nyeri, menyeret kakinya tertatih-tatih dengan bantuan dokter Andika. Akhirnya Ele dapat duduk kembali di atas kursi rodanya. Dia merasa lega sekaligus cukup puas.

"Terus lakukan ini setiap hari ya. Untuk melatih sendi Nona untuk kuat kembali. Nona bisa meminta tolong pada para maid atau pada Chislon, tentu saja."

Mendengar cara Andika menyebut nama putra Astakara, Ele bisa menduga kalau mereka adalah orang yang akrab. Gadis itu kemudian hanya menyambut dengan senyum."terimakasih dok."

"Panggil namaku saja, Nona." Balas sang dokter sambil lagi-lagi menampilkan senyumannya yang membuat wajahnya terlihat semakin baby face.

"Ah ya, Baik. Kalau demikian kami tidak perlu memanggil aku dengan nona, panggil saja aku Ele."

"Baik," sahut Andika pula. Dia mengambil kotak medisnya. "Aku akan kembali. Ah ya, aku tidak bisa datang setiap hari El, si Chislon itu memintaku untuk melakukan terapi setiap hari, aku tidak bisa karna aku juga bekerja di rumah sakit. Aku akan datang seminggu sekali, dan aku rasa kamu pasti bisa melakukan terapi itu dengan bantuan para maid."

"Ya," balas Ele. "Andika..."

"Panggil saja aku Dika."

"Kira-kira, kapan aku bisa terus berjalan jika aku terus konsisten dalam pengobatan ini?"

"Melihat kondisimu, itu tidak akan lama. Mungkin enam bulan kamu sudah bisa berjalan lagi."

Enam bulan bukan waktu yang lama. Diam-diam Ele menyemangati dirinya.

"Tetap semangat dan jaga pola makanmu." Ujar Andika pula sesaat sebelum dia berpamitan lebih dulu, sedang Arinda bergerak mendekati Eleanor untuk mendorong kursi rodanya.

***

"Bagaimana?"

Andika Syalendra mengangkat sebelah alisnya, memperhatikan laki-laki berpakaian rumahan yang asyik dengan segelas air putih di tangannya, menyerangnya dengan pertanyaan saat dia baru saja masuk ke pintu samping kediaman Abimanyu.

"Kenapa kamu tidak di sana mendampinginya, kucing hutan? Apa dia itu benar-benar istrimu?" Sindir Andika sembari tersenyum smirk. Mereka memang sahabat. Andika Syailendra adalah salah satu yang termasuk dalam circle Chislon ketika kuliah. Dia adalah putra pemilik perusahan Indonesia yang bergerak di bidang teknologi namun memilih menjadi dokter.

"Kamu tahu ceritanya, tidak usah berlagak aku ini laki-laki brengsek." Sahut Chislon sembari membalas senyum smirk itu. "Kamu sudah langsung pulang?"

"Aku punya banyak pasien yang kutinggalkan."

"Baik, setidaknya jawab dulu pertanyaanku yang tadi."

"Pertanyaan apa?" Tanya Andika dengan raut tidak sabar, berubah drastis dengan raut sabar menggemaskan yang selalu di tunjukkannya di depan pasien termasuk Ele tadi.

"Bagaimana keadaannya? Dia akan bisa berjalan dalam waktu dekat? Aku tidak ingin terlalu lama menanggung beban rasa bersalah."

"Dia akan sembuh." Sahut Andika pendek."kalau dia sembuh, kau akan menceraikannya?"

"Aku tidak tahu, aku hanya tidak bisa mengecewakan ibuku."

"Bodoh." Ejek Andika sembari menepuk kasar pundak sahabatnya. "Gadis itu bukan boneka. Kau tidak bisa selamanya mengikat dia dalam pernikahan yang hambar. Biarkan dia mencari kebahagiaannya sendiri kalau dia memang ingin."

Chislon tak menjawab.

Andika menepuk pundaknya sekali lagi kemudian berlalu menuju pintu depan yang langsung di bukakan oleh seorang maid.

Sementara Chislon Abimanyu, masih berdiri menatap ke arah taman, dimana Eleanor masih ada di sana. Diam menatap kolam dengan pandangan kosong. Sedang Arinda duduk dengan sabar di atas kursi taman.

"Tenang saja, aku akan akan menceraikannya kalau memang itu yang dia inginkan." Gumam Effendy lalu meneguk air putihnya sampai tuntas.

***

Mas Tristan." Tawa Ele pula. Tristan terdengar menghela napas. "Kalau ada apa-apa kabari aku, El. Miranti juga khawatir dan sering menanyakanmu." Sambungnya menyebut nama sang istri.

"Sampaikan salam ku pada Kak Miranti,"

Memandangi kolam di tengah taman dalam hening, mendadak Eleanor merindukan Tristan.

Laki-laki yang selalu ada untuknya, orang pertama yang mengulurkan tangan padanya meskipun mereka tidak memiliki ikatan darah. Bohong kalau Ele tidak jatuh cinta padanya. Tristan adalah sosok material husband yang sangat sesuai dengan tipe Ele. Sayangnya laki-laki itu murni hanya menganggapnya sebagai adik, dan menikahi Miranti, perempuan yang dicintainya sejak awal. Tinggallah Eleanor menutup rapat perasaannya dan melepaskan Tristan untuk kebahagiaannya sendiri. Setidaknya, dia masih bisa berada di sekitar Tristan dan menjadi salah satu orang yang di perhitungkan laki-laki itu. Mengenai perasaannya, Tristan sama sekali tidak mengetahui bahwa Eleanor menyukai dirinya. Di matanya, perempuan itu adalah adik kecil yang harus senantiasa di jaganya.

Eleanor menghela napas pelan. "Arinda..."

Sang Maid berdiri dengan sigap, "Ya Nona?"

"Boleh antarkan aku ke kamar?"

"Baik." Arinda mulai mendorong kursi roda Ele secara manual.

"Aku tidak melihat Maritha, dimana dia?" Tanya Ele dengan senyum saat dia sudah berada dalam kamarnya.

"Hari ini Maritha di panggil kepala maid untuk membantu di dapur."

"Memangnya kenapa?'

"Tuan Chislon bilang malam nanti akan ada dinner bersama teman-temannya disini."

Ele mengangguk. Ingin bertanya lebih banyak tapi merasa enggan. Memangnya untuk apa dia harus bertanya?

"Boleh tinggalkan aku sendiri, Rin? Aku akan memanggilmu jika sekiranya perlu."

"Baik, Nona." Arinda mengangguk dan membungkuk sedikit. Maid muda itu pun meninggalkan kamar Eleanor. Di tinggal dalam keheningan, Ele membuka laptopnya lagi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status