Share

Tamparan Keras

Plaak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Anggara. Tangan Amisha bergetar hebat. Dia bergegas pergi sebelum Anggara membalas perbuatannya. Amisha lari sekencang mungkin tanpa arah dan tujuan. Yang ada dalam pikiran wanita itu, dia harus pergi sejauh mungkin. Memang tidak baik berada dalam satu ruangan dengan Anggara di saat dia tengah marah.

Amisha hanya bisa menangis sendirian di bangku taman. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika tidak bisa lepas dari pria itu. Dia bergidik ngeri membayangkannya.

Sentuhan tangan di pundaknya membuat Amisha kaget bukan main. Dia langsung menepis tangan itu dan beranjak. Matanya membulat sempurna saat melihat siapa yang ada di hadapannya. Salman berdiri dengan tatapan penuh rasa khawatir.

"Kamu ngapain menangis sendirian di sini, Sha? Apa ada yang menyakitimu? Katakan padaku!" Salman terlihat sangat khawatir. Masih terlihat di matanya cinta yang begitu besar untuk wanita itu.

Amisha menepis tangan Salman saat hendak memegang pundaknya. Dia mundur beberapa langkah.

"Tolong, tinggalkan aku sendiri!" pinta Amisha.

"Aku gak bisa, Sha. Kamu sedang tidak baik-baik saja. Katakan padaku, ada apa? Kenapa kamu di sini sendirian? Bukannya kamu ada kelas hari ini?"

Salman memberondong Amisha dengan banyak pertanyaan, tetapi tidak satupun yang dijawab wanita itu. Amisha memilih untuk pergi dari sana, meninggalkan Salman dengan banyak pertanyaan.

Menjelang malam, Amisha baru kembali. Dia masuk dengan mengendap-endap, takut pemilik apartemen terganggu dan kembali menyerangnya atau menghinanya.

Ruang apartemen sudah gelap. Amisha yakin Anggara pasti sudah terlelap. Dia langsung berjalan menuju kamarnya. Tiba-tiba terdengar suara yang setengah berteriak. Amisha menghentikan langkahnya. Dadanya tiba-tiba bergemuruh dengan sangat hebat.

"Dari mana kamu? Lihat! Sudah jam berapa sekarang? Pria mana yang sudah kamu temui?" Amisha tidak habis pikir dengan Anggara. Dia yang sudah melakukan perbuatan hina, tetapi malah menuduh dirinya yang jelas-jelas tidak melakukan apa-apa.

"Apa pedulimu? Aku mau menemui siapapun, itu urusanku. Urus saja hubungan terlarangmu, jangan sampai ketahuan orang lain!" Anggara mundur beberapa langkah. Dia kaget dengan perkataan Amisha.

"Apa kamu cemburu?" Anggara mengerlingkan matanya menggoda Amisha.

"Jangan bermimpi untuk hal yang tidak mungkin. Aku tidak sudi cemburu dengan yang sudah kamu lakukan bersama wanita itu. Aku jijik denganmu dan semua yang kamu lakukan diluar sana. Seharusnya kamu sadar, yang jalang itu bukan aku tapi kamu!"

Amisha meninggalkan Anggara yang tengah berdiri mematung. Hatinya merasa takut karena sudah berani melawan perkataan pria itu. Sikap Anggara sudah sangat kelewatan, dia tidak bisa diam saja.

Malam ini akan menjadi malam terberat bagi Amisha. Dia enggan terpejam walau sebentar saja. Takut Anggara masuk dan berbuat sesuatu padanya. Dia masih merasa takut jika teringat kejadian tadi siang saat Anggara hendak memaksa menciumnya.

"Aku gak akan membiarkan dia menyentuhku. Dia akan menyesal jika sampai berani melakukannya." Amisha bicara sendiri.

Seperti hari kemarin, Amisha sudah siap pergi bekerja. Dia sudah rapi dengan setelan kemeja dan celana panjangnya. Satu buah roti dimasukkannya ke dalam tas selempang yang selalu menemani wanita itu ke manapun pergi.

Langkahnya terhenti saat Anggara berdiri di depan kamarnya. Tiba-tiba Amisha merasa ketakutan. Takut Anggara masih menyimpan amarahnya.

"Mau ke mana pagi-pagi begini? Bukankah jam kuliahmu dimulai jam sepuluh?" Amisha tersenyum sinis mendengar perkataan Anggara.

"Apa kamu mulai peduli padaku? Hingga jam kuliahku saja sampai tahu. Untuk pertanyaan pertama, kamu gak perlu tahu. Itu urusanku. Ok? U-ru-san-ku!" Amisha enggan berdebat lebih lama dengan pria itu. Dia melewati Anggara begitu saja.

Langkahnya terhenti saat Anggara menarik tangan Amisha. Dia melarang wanita itu untuk pergi.

"Siapa kamu berani menyuruhku untuk tidak pergi? Apa hak yang kamu miliki atas diriku?" Amisha menatap Anggara tanpa rasa takut.

"Aku suamimu. Aku punya atas dirimu, tubuhmu, dan semua yang berurusan denganmu. Aku punya hak!" Keberanian yang tadi Amisha memiliki kini menciut, tetapi sebisa mungkin Anggara tidak melihatnya.

"Suami? Kita menikah hanya sebatas di atas kertas saja. Jika kamu mau mengakui aku sebagai istri, akui saja di atas kertas." Amisha hendak keluar, tetapi Anggara kembali menarik tangannya.

Kini Anggara tidak membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Dia akan membuat perhitungan dengannya.

"Bibirmu sudah mulai lancang. Aku harus membungkamnya agar kamu diam." Amisha berontak. Dia tidak akan membiarkan pria itu melakukan sesuatu padanya.

"Lepaskan aku, Brengsek! Aku jijik denganmu. Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" Amisha terus memukul tangan Anggara, berharap dia bisa lepas dari cengkraman pria itu.

"Jangan sok suci. Kamu cuma Wanita Jalang. Wanita hina di mata masyarakat." Anggara tertawa meledek Amisha.

"Jika aku hina, kamu jauh lebih hina. Mana ada pria baik-baik yang menjalin hubungan terlarang dengan wanita bersuami? Apalagi sampai bermain di kamar hotel." Cengkaraman tangan Anggara mulai longgar, itu dimanfaatkan oleh Amisha untuk melepaskan diri.

Sayangnya, saat Amisha sudah membuka pintu apartemen, Anggara kembali menarik Amisha. Dia merangkul wanita itu dan hendak memaksakan kehendaknya.

Amisha memukul tangan Anggara sekeras mungkin. Dia bahkan mengigit tangan pria itu. Anggara mengabaikan rasa sakit di tangannya. Dia terus memaksa hendak mencium wanita itu.

Amisha didorong hingga punggungnya menempel di dinding. Dia sudah kehabisan tenaga, tidak mampu lagi berontak. Melihat Amisha yang sudah terlihat lelah karena terus berontak, Anggara langsung mendaratkan bibirnya tepat di bibir ranum Amisha. Sekejap dia menikmati manisnya bibir wanita itu hingga akhirnya Anggara berteriak. Amisha menggigit bibir pria itu hingga berdarah.

"Beraninya kamu mencuri ciuman pertamaku, Brengsek!" maki Amisha. Wajahnya terlihat memerah karena marah.

Amisha bergegas pergi sebelum Anggara kembali menangkapnya. Sepanjang jalan dia mengusap bibirnya hingga membuat bibirnya sedikit lecet. Dia merasa jijik dengan bibirnya yang sudah ternoda.

Bu Sari menatap aneh dengan bibir Amisha yang kemerahan. Dia yakin itu bukan dari lipstik, melainkan luka lecet. Wajahnya tampak khawatir, takut pegawainya mengalami pelecehan seksual.

"Saya tidak apa-apa, Bu. Tadi saya terlalu kasar menggaruknya. Jadi lecet, deh." Amisha berbohong. Dia tidak mau sampai Bu Sari sampai tahu kejadian yang sebenarnya.

Setelah meyakinkan Bu Sari kalau semuanya baik-baik saja. Amisha langsung menuju motornya berada. Di sana sudah penuh dengan bungkusan berisi pakaian bersih yang sudah siap diantar ke pemiliknya.

Amisha mengucap bismillah sebelum dia menyalakan mesin motornya. Sebait doa dipanjatkan supaya hari ini dia diberi kelancaran dalam segala urusannya.

"Hati-hati, Sha. Kamu langsung saja ke kampus pakai motor itu. Jangan kayak kemarin." Amisha tidak mengerti dengan yang dikatakan Bu Sari. Dia bertanya dan Bu Sari menjelaskannya.

Rupanya kemarin Lastri datang ke laundry. Dia mencari Amisha karena tidak masuk kuliah. Ada tugas yang harus dikerjakannya. Bu Sari kaget saat tahu Amisha tidak ke kampus. Dia berpikir kalau pegawainya mungkin saja kecapekan karena harus berjalan kaki dari laundry ke kampus.

"Iya, Bu. Terima kasih sebelumnya." Amisha sangat beruntung memiliki majikan sebaik Bu Sari. Padahal dia baru bekerja dua hari saja. Amisha tidak akan mengecewakan wanita baik itu.

Tanpa Amisha tahu, Anggara mengikuti ke mana pun dia pergi. Pria itu penasaran dengan apa yang dilakukan Amisha diluaran sana. Ada yang mengganjal dalam hatinya. Dia ingin membuktikan dengan mata kepalanya sendiri.

Apa yang Amisha katakan sebelum pergi membuat Anggara bertanya-tanya. Mungkinkah wanita yang selalu Anggara panggil dengan sebutan Wanita Jalang itu baru pertama kali dicium? Apa dia sudah salah menduga?

Anggara baru tahu kalau Amisha bekerja sebelum kuliah. Dia tidak mengenal siapa wanita itu sebenarnya. Anggara tidak pernah berniat untuk mencari tahu, tetapi sekarang dia penasaran dan ingin tahu.

Sosok pria yang mengaku sebagai kakaknya Amisha membuat Anggara semakin penasaran. Mengingat apa yang dipakai Dito, Anggara yakin pria itu bukan orang sembarangan. Jas yang dipakainya saat itu adalah jas mahal. Dia juga melihat mobil mewah terparkir di depan kantor KUA. Dia yakin mobil itu milik kakaknya Amisha.

Saat menunggu Amisha memberikan pakaian pakaian bersih kepada si pemiliknya. Anggara mencari tahu siapa mereka lewat internet.

Anggara menggerutu saat dia tidak tahu siapa nama lengkap Dito. Dia beralih pada Amisha, mencoba mengingat nama lengkap wanita itu.

"Amisha Afifah. Bukan, bukan itu. Amisha Latifah Shanum." Anggara merasa yakin sudah mengetik nama yang benar, tetapi dia tidak menemukan apa pun.

"Amisha Latifah Hanum. Ya, aku yakin itu namanya." Kembali Anggara mengetikkan nama lengkap wanita itu. Kini dia bisa melihat foto Amisha yang berdiri di samping Dito.

"Dito Darmanto Subrata? Jadi dia pemilik kafe DDS yang lagi viral itu?" Anggara baru tahu siapa pria yang menjadi kakak iparnya itu. Rupanya wanita yang dinikahi secara terpaksa itu bukan dari keluarga biasa. Kini dia semakin yakin kalau penilaiannya pada wanita itu sudah salah.

Anggara membaca profil Amisha. Begitu banyak prestasi yang diraihnya semenjak dia masih di sekolah dasar. Beberapa piala berhasil diraihnya dalam ajang bergengsi. Dari mulai cerdas cermat hingga mewakili sekolahnya dalam lomba matematika.

Tanpa sadar, Anggara tersenyum saat melihat deretan foto Amisha saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Lucu dan menggemaskan. Rambutnya yang ikal ternyata sudah dari dulu seperti itu. Bibirnya yang ranum sudah terlihat dimilikinya dari sejak dia masih kecil.

"Semakin dewasa, kamu semakin cantik dan memukau. Beruntung bagi pria yang sudah memilikimu," gumamnya tanpa sadar.

"Ah, bukannya dia milikku? Akan kupastikan dia menjadi milikku seutuhnya." Kembali Anggara bergumam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status