Aku mulai merasakan ketenangan saat Ibu tak menemukan kecurigaan. Aku dan Tante Arini tertawa kecil.
"Baru kali ini, Tante bohong sama orang!" Tante Arini menggelengkan kepalanya."Maaf Tante. Kalau Ibu tahu, pasti akan heboh. Dan Bapak yang akan repot nantinya. Bapak gak bisa cuti terlalu lama!"Tante Arini mengangguk pelan. "Hem, Tante tahu!"Tak lama kemudian, pintu kamarku diketuk pelan sebelum akhirnya terbuka. Pramudya masuk, kali ini ia tidak membawa bunga atau buah, hanya sebuah map tipis di tangannya. Wajahnya yang biasanya dihiasi senyum jahil kini tampak lebih serius, meskipun ada kilat geli di matanya.“Selamat sore, Nyonya Safira,” sapanya, sedikit membungkuk dengan gaya teatrikal. “Kudengar kau sudah bangun dari tidur cantikmu.”Aku hanya bisa tersenyum tipis. "Bagaimana menurutmu?" Kataku pelan."Kau bangun karena Fatih menciummu!" Kini, Pramudya dan Tante Arini terkekeh geli. "Benar sekali, Pram! Dari mana kau tahu?" Pramudya hanyaTanpa kusadari, aku telah masuk dalam jebakan yang telah Fatih atur. Semua itu arena kesepakatan yang kubuat dengannya pagi ini. Dan ternyata adalah awal dari sebuah penyiksaan Fatih dengan gaya baru. Fatih benar-benar kembali ke wujud aslinya. Di kantor, ia adalah sang Raja, CEO yang tegas, perfeksionis, dan tidak kenal kompromi. Aura kepemimpinannya begitu kuat hingga semua orang, termasuk aku, justru merasa berjalan di atas paku! Ia memang menepati janjinya. Hari ini juga, ia membuatkanku sebuah ruangan tepat di seberang ruangannya. Melihat posisinya yang strategis, memungkinkan Fatih untuk mengawasiku setiap saat. Dan ia, memang benar-benar pintar. Dia cukup tahu bagaimana memanfaatkanku dengan caranya. "Safira, tolong buatkan ringkasan laporan keuangan kuartal ini. Aku butuh sebelum jam makan siang." Lihat saja, ia cukup berteriak saat melihatku yang baru saja berdiri. Huf, aku membuang nafasku dengan perlahan. Sabar Safira, sabar. Aku mengelus dadaku. Aku kembali dudu
Beberapa hari di rumah, membuat Fatih tak ingin membuang waktunya percuma. Saa ini, Diptayang menjadi dunianya. Hampir satu tahun Dipta bermanja dengan Bayu, sosok pemgganti ayahnya yang selalu ada untuk Dipta. "Sehari gak nampakin muka napa sih, udah tahu aku lagi sama Dipta!" Fatih memasang wajah kecut saat Dipta yang sedang ada dakam pelukan Fafih, berlari memeluk Bayu yang baru saja masuk bersama Bram. Sejak pulang dari rumah skait, aku dan Fatih memang ambil cuti selama beberapa hari. Dan praktis, urusan kantor menjadi tanggung jawab Bayu dan Pak Ibrahim. "Terus. ini salahku gitu? Salah sendiri pakai amnesia segala!" Bayu melirik Fatih lalu tertawa lebar saat menatap Dipta yang terkikik geli berayun di lengan Bayu. "Sudah, sudah. Om Bayu lagi capek. Dipta sama Papa aja!" Fatih tak sabar menunggu. Dia segera bangkit dan menarik Dipta kembali ke pelukannya. "Papaaa!" Dipta masih bergelayut manja di lengan Bayu dan mencoba berteriak kala Fatih menarik tubuhnya menjauh. "Fat
Seperti yang diinginkan Fatih, hari ini, kami berkumpul di ruang tengah dengan Pramudya. "Wah, wah, wah… lihat siapa yang sudah kembali ke setelan pabrik,” kata Pramudya sambil menepuk pundak Fatih. Ia kemudian menatap Fatih dengan ekspresi pura-pura sedih. “Jujur saja, kawan, aku tidak sepenuhnya bahagia dengan kembalinya ingatanmu. Rencanaku untuk merebut istrimu jadi gagal total.” Pramudya membuka kancing jasnya sambil melirik Fatih. Fatih hanya bisa memukul lengan sahabatnya itu dengan gemas. “Dasar tidak berubah. Kau bilang ingin insyaf saat menemukan wanita yang tepat. Tapi kapan kamu menemukannya kalau tiap hari kau keluar masuk diskotik saja!" Pramudya tak mengelak tapi justru tertawa terbahak-bahak. "Menikah saja. Jangan suka permainkan anak gadis orang!" Fatih merangkul bahuku, bukannya diam, Pramudya semakin keras tertawa. "Kau tahu, justru mereka yang ingin menjebakkan dirinya padaku. aku sih gak ada niatan merusak anak gadis orang, tapi kalau mereka yang ingin dir
Hari ini, aku dan Fatih akhirnya bisa pulang. Kalau biasanya kami akan diam dengan pikiran masing-masing, kali ini sedikit berbeda. Meskipun aku dan Fatih masih diam tapi tangan Fatih tidak pernah lepas dari genggamanku, ibu jarinya terus-menerus mengusap punggung tanganku dengan lembut. Berkali-kali aku meliriknya. Sungguh besar pengorbanan yang harus kuberikan untuk membuatnya sadar kembali. Meskipun, vas itu hanya berukuran 2 atau 3 kilogram saja tapi jika di lempar dengan kekuatan penuh, tetap saja membuatku terluka! Lemparan vas Aryani membuatku harus mengalami luka robek di kulit kepala sepanjang lima sentimeter juga pembengkakan di jaringan bawahnya. kecil di otak, sebab itulah aku pingsan selama dua hari penuh. Begitu kami turun dari mobil, Dipta, yang berada dalam gendongan Bayu, langsung merentangkan tangannya ke arah Fatih. "Papa!” Panggilan itu, untuk pertama kalinya diucapkan dengan kesadaran penuh, membuat Fatih membeku sesaat. Matanya langsung berkaca-kaca. Tanpa
Aku mulai merasakan ketenangan saat Ibu tak menemukan kecurigaan. Aku dan Tante Arini tertawa kecil. "Baru kali ini, Tante bohong sama orang!" Tante Arini menggelengkan kepalanya. "Maaf Tante. Kalau Ibu tahu, pasti akan heboh. Dan Bapak yang akan repot nantinya. Bapak gak bisa cuti terlalu lama!" Tante Arini mengangguk pelan. "Hem, Tante tahu!" Tak lama kemudian, pintu kamarku diketuk pelan sebelum akhirnya terbuka. Pramudya masuk, kali ini ia tidak membawa bunga atau buah, hanya sebuah map tipis di tangannya. Wajahnya yang biasanya dihiasi senyum jahil kini tampak lebih serius, meskipun ada kilat geli di matanya.“Selamat sore, Nyonya Safira,” sapanya, sedikit membungkuk dengan gaya teatrikal. “Kudengar kau sudah bangun dari tidur cantikmu.”Aku hanya bisa tersenyum tipis. "Bagaimana menurutmu?" Kataku pelan. "Kau bangun karena Fatih menciummu!" Kini, Pramudya dan Tante Arini terkekeh geli. "Benar sekali, Pram! Dari mana kau tahu?" Pramudya hanya
Fatih menatapku lama dengan senyum yang terus mengembang. Sesekali ia menciumku dengan lembut. "Maaf, Safira!" Berkali-kali, Fatih mengatakan maaf dengan lirih. Aku hanya menggeleng. Aku tahu, itu bukan kesalahannya.Hingga pintu kamar terbuka pelan. Tante Arini masuk dengan senyum. Wajahnya menunjukkan kelegaan saat melihatku sudah sadar dan berbicara. Meskipun ada lelah yang tampak dari sorot matanya. “Syukurlah, kau sudah sadar, Sayang,” katanya lembut."Tante benar-benar takut, Safira. Tante gak nyangka jika Aryani bisa sehisteris itu!" Aku mengangguk. Aku paham kenapa Aryani melakukannya. Dia dalam posisi yang terjepit. Kini Tante Arini menatap Fatih dan meletakkan tangannya di bahu pria itu. “Fatih, kau juga butuh istirahat. Kau belum tidur sama sekali. Biar Tante yang menemani Safira sebentar.”Fatih tampak enggan untuk pergi, matanya tak mau lepas dariku. “Aku tidak apa-apa, Tante!"“Tidak,” kata Tante Arini tegas. “Lihat dirimu. Kau pucat sekali. Pergilah istirahat. S