Share

3. Akad Kilat

Author: Banyu Biru
last update Last Updated: 2025-07-08 22:34:50

Hari itu tiba. Hari di mana harusnya aku bersanding dengan Damar di pelaminan. Tapi kini, aku duduk di sisi Fatih. di ruangan tengah dengan akad sederhana. Tak ada gegap gempita, tapi penuh kusyuk dan berlangsung dengan khidmat.

Fatih Maulana, resmi menikahiku dengan mahar perhiasan emas seberat tiga puluh gram dengan uang sebanyak seratus juta. Tentu saja hal itu membuat kaget semua yang hadir tak menyangka karena Fatih hanyalah seorang sopir pribadi Lurah Desa Kemuning.

"Gak hasil nyolong kan?" Aku berbisik lirih di sisi Fatih. Terus terang, aku sendiri juga punya ketakutan. Aku gak mau setelah akad nikah, Fatih di giring polisi. Bukan karena dia sudah menjadi suamiku saat ini, tapi larena aku gak mau menanggung malu untuk yang kedua kali.

"Tenang, saja. Perhiasan ini milik ibu turun temurun. Sedang uangnya, hasil bapak aku jual sawah!" Fatih mengedipkan sebelah mata.

Selesai akad, kami semua berdiri. Setelah aku terpaksa harus mencium tangannya, tangan kanan Fatih menyentuh kepalaku setelah mengecup dahiku lalu dia mulai melafadzkan doa.

"Allahumma inni as 'aluka khairaha, wa khaira ma jabaltaha 'alaih, wa 'audzubika min syariha wa syarrima jabaltaha 'alaih" Tubuhku mendadak kaku saat Fatih membacakan doa tepat di atas ubun-ubunku. Entah kenapa, aku merasakan atmosfer di sekelilingku yang tiba-tiba tampak berbeda.

"Apa yang kau baca?" Tanyaku seketika. Meski aku tahu apa yang Fatih baca, tapi dengan profesinya yang hanya sopir dan lulusan SMA tentu saja membuatku meragukannya.

"Doa ini sebagai tanda cinta dan tanggung jawabku sebagai suami! Mulai sekarang, aku yang akan bertanggung jawab padamu! Dunia dan akhiratmu!" Aku terdiam. Bahkan kini, kata-katanya penuh makna. Aku mengernyitkan dahi. Dari mana dia merangkai kata seindah ini? Aku mengggeleng pelan. Mengusir kekaguman yang muncul secara tiba-tiba.

Ibu dan Bapak mendekat dan mencium kami bergantian. Begitu pula tamu-tamu yang terdiri kerabat dekat juga orang tua Damar, memberi semangat juga doa terbaiknya.

Setelah akad selesai, kini semua beralih ke halaman depan dan,mengambil tempat duduk masing-masing. Menanti Akad yang akan dilafadzkan Damar untuk Meta.

Damar duduk bersisihan dengan Meta yang tampak cantik memakai kebaya yang harusnya kukenakan. Bahkan kebaya yang Damar pilih pun, aku tak sudi untuk mengenakan.

Aku melirik kebaya yang kini membungkus tubuhku dengan cantik. Kebaya putih dengan corak sederhana namun tetap elegan. Kebaya bekas ibu saat akad dengan bapak bertahun-tahun lalu terpaksa kupakai karena tak ada lagi waktu untuk memesan yang baru.

Aku kembali menatap Damar. Dadaku berdenyut nyeri. Harusnya aku yang duduk di sana bersanding dengan Damar, tapi apa mau di kata. Pengkhianatan Damar benar-benar membuatku terluka.

"Bukannya yang menikah harusnya Mas Damar dan Mbak Safira? Kenapa sekarang jadi Mas Damar sama Meta? Kenapa Mbak Safira malah nikah sama sopir bapaknya?"

Kasak kusuk tamu mulai terdengar hingga membuatku merasa mulai tak nyaman. Dengan lembut, Fatih menggenggam tanganku.

Awalnya aku ingin melepaskan genggaman Fatih, tapi saat aku menatap Damar yang juga menatapku, niat itu kuurungkan. Aku ingin Damar melihat bahwa aku juga bahagia dengan pernikahanku.

"Seharusnya kita saling memberi selamat bukan?" Damar mendekat dan mengulurkan tangan. Fatih tersenyum lalu bangkit berdiri dan membalas uluran tangan Damar.

"Tentu. Selamat atas pernikahan Mas Damar dengan Mbak Meta. Ini adalah jodoh terbaik untuk kita semua!" Ucap Fatih sambil melirikku.

"Mungkin untuk saat ini. Tapi suatu saat nanti, Safira akan menjadi milikku kembali!" Aku terdiam saat mendengar bisik Damar di telinga Fafih.

Damar berjalan meninggalkan aku dan Fafih setelah Meta menghampiri dan menarik lengannya pergi. Aku segera duduk kembali di sisi Fatih dengan pandangan tajam dari warga yang sempat mengawasi.

Acara demi acara selesai di gelar hingga akhirnya kami duduk bersama di ruang depan. Bapak yang masih rapi dengan beskapnya mencoba memberi wejangan. Sementara ibu masih tampak berbincang dengan Bu Dewi. Wanita itu memang yang paling keras menentang pernikahan antara Meta dan Damar. Tangan Bu Dewi masih sibuk meremas pinggang Damar dengan emosi sementara Damar hanya bisa meringis tanpa perlawanan.

"Kita wajib mencintai orang yang telah menjadi pilihan kita, jangan mencintai orang lain yang bukan pasangan kita karena sebuah pengkhianatan akan terjadi saat hatimu tak bersyukur dengan apa yang telah di beri!" Bapak menutup kata-katanya dengan makna yang dalam. Seketika mataku berembun.

Kata-kata bapak seakan menampar wajahku berkali-kali. Aku tak bisa berbohong pada diriku sendiri jika aku memang masih berharap Damar akan memperjuangkanku suatu saat dan mimpi yang kini terberai akan kembali menjadi kenyataan.

Sementara itu, Fatih mengenggam tanganku dan membawanya dalam dadanya. Seakan dia ingin menyampaikan jika ikatan ini akan terus dia pertahankan.

Meta yang paling tampak berbahagia. Senyumnya terukir lebar di wajahnya. Berkali-kali dia menatapku dengan sinis.

"Damar, nanti maharnya di tambah ya. Masak cuma cincin dua gram!" Aku seketika menahan tawa. Jadi, Bu Dewi menukar cincin yang semula lima gram jadi dua gram? Lalu, perhiasan-perhiasan lain yang beratnya lebih dari lima belas gram, dikemanakan? Apakah Bu Dewi simpan kembali? Ah, sepertinya ada kejutan yang aku tak tahu.

"Sudah bagus ibu mau kasih mahar meski cuma dua gram. Kamu pikir aku punya uang sebanyak apa? Aku cuma tenaga kontrak di kelurahan!" Damar meninggalkan Meta dan berbaur dengan pemuda yang masih berkumpul di halaman, menyisakan Meta yang berdecak sebal. Syukurin. batinku gemas.

Bapak hanya menggelengkan kepala lalu berpamitan untuk berganti pakaian.

"Meta cuma di kasih cincin dua gram!" Ibu berkata lirih sambil memberiku segelas air.

"Bu Dewi tampaknya benci banget sama dia!" Sambung ibu ketika menerima gelasku yang sudah kosong.

Terang saja Bu Dewi benci. Karena sejak dulu, aku yang diharapkannya untuk jadi menantu!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   194. Rencana Besar

    Setelah menidurkan Raina yang kembali rewel, aku dan Fatih menikmati kebersamaan di sofa dekat jendela. Menikmati semilir angin yang berhembus lirih. "Bagaimana urusan di Bandung. Kau bilang sehari?" Aku duduk di sisinya, bergelayut manja di pundaknya. Fatih mengangguk. Tangannya membelai lembut rambut panjangku yang terurai. "Aku. datang hanya untuk tanda tangan, masalah pertemuan ternyata bisa via daring. Jadi, aku bisa cepat pulang!" Jelasnya. "Lagi pula beberapa pertemuan ada yang di tunda beberapa hari ke depan karena masalah tekhnis!" Fatih memelukku erat. "Syukurlah!" Jawabku lega. Fatih sedikit bersandar sambil memejamkan matanya. "Bagaimana kalau kita tidur? Kita perlu istirahat cepat malam ini!" Aku segera berdiri. Menutup jendela lalu mensrik tubuh Fatih. Baru saja aku hendak merapikan selimut di ataa tubuh Fatih, ponselku bergetar di atas nakas. Aku segera beringut menggeser bobot tubuhku mendekat. "Siapa? Tumben ponselmu bunyi malam-malam begini?" Fatih hafal betul

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   193. Hampir Saja

    Aku bangun dengan perlahan tanpa memganggu Raina yang kini tampak tertidur pulas. Puas rasanya bisa memejamkan mata meski sejenak. Aku menyelimuti Raina, lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan melepaskan sisa ketegangan dari conference call yang cukup melelahkan tadi. Aku membiarkan air hangat mengalir di tubuhku. Pikiranku masih terbagi. Di satu sisi, aku merasa bersalah karena meninggalkan Raina saat ia sakit. Di sisi lain, aku tahu aku harus mendukung Paman Hermawan untuk memulihkan perusahaan Wiratmaja. Dan dengan semua itu, sepertinya aku harus berterima kasih pada Diana. Jika bukan karena bantuannya, aku pasti sudah kebingungan hari ini. “Diana? A-apa yang kau lakukan di sini?” Aku menajamkan telingaku. Itu suara Fatih. Bukankah Fatih akan pulang besok? Kenapa suaranya terdengar sangat jelas? Diana? Kenapa dengan Diana? Aku penasaran. Aku buru-buru memakai handuk dan berjalan keluar kamar. Aku tersenyum lebar saat Fatih berdiri di sisi sofa, tapi langkah

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   192. Memupus Curiga

    Pagi hari, rumah kembali repot dengan persiapan kepulangan Bapak dan Ibu. Banyak oleh-oleh yang harus mereka bawa. Siapa lagi kalau bukan Tante Arini yang menyiapkannya. Tante beralasan jika Ibu dan Bapak jarang bisa berkunjung jadi semua disiapkan hingga mobil penuh barang dan makanan. Ibu, seperti biasa, masih tak rela meninggalkanku apalagi setelah melihat gerak gerik Diana yang buat Ibu cukup membahayakan rumah tanggaku. Sayangnya Ibu gak bisa berbuat banyak dan tak bisa memaksa untuk tinggal karena Bapak juga tak mungkin kembali sendirian. Ibu memelukku lebih lama. sambil membisikkan kata-kata itu lagi. Bukan. Bukan kata-kata, peringatan lebih tepatnya. Aku mengangguk berulang kali dan berusaha menenangkannya bahwa semua tak seperti yang Ibu takutkan. "Ingat baik-baik pesan Ibu, Safira. Kamu tahu kan, Ibu dan Bapak gak bisa lama-lama di sini!" bisik Ibu. "Aku mengerti, Bu. Tenang saja. Aku akan baik-baik saja." Tangan Ibu memukul dahiku pelan, "Awas kamu!" Aku hanya meringi

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   191. Yang berbeda dari Diana

    Aku sedang membersamai Dipta saat Diana dan Bayu datang dari luar. Wajah mereka memang terlihat sedikit lelah. "Jadi, suka yang mana?" Bayu duduk dan mengisi gelas kosong dengan air. Diana hanya menggeleng lalu ikut duduk di sebelahku, mencoba menggoda Dipta yang sedang menyusun mobil-mobilannya. "Kayaknya lebih enak di sini, deh Bay. Lebih rame tahu gak. Kalau kita pindah, sepi. Cuman kita berdua!" Bayu membuang nafasnya, "Terus kenapa tadi gak bilang waktu aku ajak kamu lihat-lihat rumah yang lain?" Diana mengangkat bahu. “Aku merasa lebih nyaman di sini,” kata Diana tanpa merasa bersalah. Hingga saat Fatih datang dengan Raina di gendongannya.“Lagipula, Safira baru melahirkan. Aku tidak tega melihatnya bolak-balik antara mengurus bayi dan video conference Wiratmaja. Biarkan aku di sini untuk membantunya!" Diana mendekat ke arah Fatih lalu meminta Raina. Tanpa curiga, Fatih menyerahkan Raina lalu duduk di sisiku. "Lihat! Lucu kan? Mana tega ninggalin mereka, Bayu!" Diana terliha

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   190. Honey Moon yang Berbeda

    Aku tak tahu harus bagaimana, jika Fatih mengatakan iya, aku pasti akan ikut saja toh aku melakukannya demi menjaga perasaan Fatih. Laki-laki yang telah melakukan segala hal untukku Tapi di sisi lain, usulan Diana yang begitu tiba-tiba ini terasa aneh. Terlihat janggal. "Astaga!" Fatih menatapku dengan lembut. "Sepertinya tidak, Diana,” Fatih menjawab pelan sebelum aku sempat bersuara. Ia meletakkan sendoknya dan menggeser piringnya sedikit. Matanya kembali menatap Diana, “Terima kasih banyak atas tawarannya, itu ide yang menarik, tapi sepertinya. kami akan menundanya beberapa waktu!"Diana yang duduk di seberang, seketika memasang ekspresi terkejut, walau hanya sesaat. Senyum manis yang tadi menghiasi wajahnya memudar, tergantikan kerutan samar di kening. “Menunda? Kenapa, Fatih? Bukankah itu akan lebih seru? Kita bisa pergi berempat.”“Sayangnya, kamu tahu sendiri, kan?" Fatih menoleh padaku sebentar, lalu kembali pada Diana. “Safira baru dua minggu pulang dari rumah sakit. Kondis

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   189. Kekhawatiran Ibu

    Meski suaranya samar, tapi aku cukup mengenalnya. Itu suara Bu Rahma. Apakah dia tak setuju bermenantukan Diana? Apa yang kurang dari Diana? Kupikir, Diana tidak hanya cantik. Yang paling penting dia mencintai Bayu, itu cukup. "Ayo!" Senggol Fatih. Aku mengangguk. Berjalan cepat melewati kamar Bayu tanpa suara. "Kenapa Bu Rahma tak ingin Diana menjadi menantunya?" Tanyaku ingin tahu. Fatih menggeleng pelan. "Entahlah!" Katanya. Aku terdiam. Entah kenapa, tak bisa mengabaikan hal-hal kecil yang terjadi akhir-akhir ini. "Ngelamun aja?" Ibu menyenggol lenganku saat aku hanya diam memperhatikan Bapak dan Fatih yang bermain dengan Dipta. "Kenapa?" Ibu mencondongkan tubuhnya mendekat lalu menepuk pahaku pelan. "Kamu baru saja melahirkan. Fokus saja dengan kesehatanmu. Ibu rasa. kau akan lebih sibuk nanti. Bukan hanya membantu Fatih mengurus perusahaannya tapi juga akan mengurus perusahaanmh sendiri!" Aku masih terdiam tapi otakku memikirkan kata-kata Ibu. Ibu mungkin benar. Kedep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status