Hari itu tiba. Hari di mana harusnya aku bersanding dengan Damar di pelaminan. Tapi kini, aku duduk di sisi Fatih. di ruangan tengah dengan akad sederhana. Tak ada gegap gempita, tapi penuh kusyuk dan berlangsung dengan khidmat.
Fatih Maulana, resmi menikahiku dengan mahar perhiasan emas seberat tiga puluh gram dengan uang sebanyak seratus juta. Tentu saja hal itu membuat kaget semua yang hadir tak menyangka karena Fatih hanyalah seorang sopir pribadi Lurah Desa Kemuning. "Gak hasil nyolong kan?" Aku berbisik lirih di sisi Fatih. Terus terang, aku sendiri juga punya ketakutan. Aku gak mau setelah akad nikah, Fatih di giring polisi. Bukan karena dia sudah menjadi suamiku saat ini, tapi larena aku gak mau menanggung malu untuk yang kedua kali. "Tenang, saja. Perhiasan ini milik ibu turun temurun. Sedang uangnya, hasil bapak aku jual sawah!" Fatih mengedipkan sebelah mata. Selesai akad, kami semua berdiri. Setelah aku terpaksa harus mencium tangannya, tangan kanan Fatih menyentuh kepalaku setelah mengecup dahiku lalu dia mulai melafadzkan doa. "Allahumma inni as 'aluka khairaha, wa khaira ma jabaltaha 'alaih, wa 'audzubika min syariha wa syarrima jabaltaha 'alaih" Tubuhku mendadak kaku saat Fatih membacakan doa tepat di atas ubun-ubunku. Entah kenapa, aku merasakan atmosfer di sekelilingku yang tiba-tiba tampak berbeda. "Apa yang kau baca?" Tanyaku seketika. Meski aku tahu apa yang Fatih baca, tapi dengan profesinya yang hanya sopir dan lulusan SMA tentu saja membuatku meragukannya. "Doa ini sebagai tanda cinta dan tanggung jawabku sebagai suami! Mulai sekarang, aku yang akan bertanggung jawab padamu! Dunia dan akhiratmu!" Aku terdiam. Bahkan kini, kata-katanya penuh makna. Aku mengernyitkan dahi. Dari mana dia merangkai kata seindah ini? Aku mengggeleng pelan. Mengusir kekaguman yang muncul secara tiba-tiba. Ibu dan Bapak mendekat dan mencium kami bergantian. Begitu pula tamu-tamu yang terdiri kerabat dekat juga orang tua Damar, memberi semangat juga doa terbaiknya. Setelah akad selesai, kini semua beralih ke halaman depan dan,mengambil tempat duduk masing-masing. Menanti Akad yang akan dilafadzkan Damar untuk Meta. Damar duduk bersisihan dengan Meta yang tampak cantik memakai kebaya yang harusnya kukenakan. Bahkan kebaya yang Damar pilih pun, aku tak sudi untuk mengenakan. Aku melirik kebaya yang kini membungkus tubuhku dengan cantik. Kebaya putih dengan corak sederhana namun tetap elegan. Kebaya bekas ibu saat akad dengan bapak bertahun-tahun lalu terpaksa kupakai karena tak ada lagi waktu untuk memesan yang baru. Aku kembali menatap Damar. Dadaku berdenyut nyeri. Harusnya aku yang duduk di sana bersanding dengan Damar, tapi apa mau di kata. Pengkhianatan Damar benar-benar membuatku terluka. "Bukannya yang menikah harusnya Mas Damar dan Mbak Safira? Kenapa sekarang jadi Mas Damar sama Meta? Kenapa Mbak Safira malah nikah sama sopir bapaknya?" Kasak kusuk tamu mulai terdengar hingga membuatku merasa mulai tak nyaman. Dengan lembut, Fatih menggenggam tanganku. Awalnya aku ingin melepaskan genggaman Fatih, tapi saat aku menatap Damar yang juga menatapku, niat itu kuurungkan. Aku ingin Damar melihat bahwa aku juga bahagia dengan pernikahanku. "Seharusnya kita saling memberi selamat bukan?" Damar mendekat dan mengulurkan tangan. Fatih tersenyum lalu bangkit berdiri dan membalas uluran tangan Damar. "Tentu. Selamat atas pernikahan Mas Damar dengan Mbak Meta. Ini adalah jodoh terbaik untuk kita semua!" Ucap Fatih sambil melirikku. "Mungkin untuk saat ini. Tapi suatu saat nanti, Safira akan menjadi milikku kembali!" Aku terdiam saat mendengar bisik Damar di telinga Fafih. Damar berjalan meninggalkan aku dan Fafih setelah Meta menghampiri dan menarik lengannya pergi. Aku segera duduk kembali di sisi Fatih dengan pandangan tajam dari warga yang sempat mengawasi. Acara demi acara selesai di gelar hingga akhirnya kami duduk bersama di ruang depan. Bapak yang masih rapi dengan beskapnya mencoba memberi wejangan. Sementara ibu masih tampak berbincang dengan Bu Dewi. Wanita itu memang yang paling keras menentang pernikahan antara Meta dan Damar. Tangan Bu Dewi masih sibuk meremas pinggang Damar dengan emosi sementara Damar hanya bisa meringis tanpa perlawanan. "Kita wajib mencintai orang yang telah menjadi pilihan kita, jangan mencintai orang lain yang bukan pasangan kita karena sebuah pengkhianatan akan terjadi saat hatimu tak bersyukur dengan apa yang telah di beri!" Bapak menutup kata-katanya dengan makna yang dalam. Seketika mataku berembun. Kata-kata bapak seakan menampar wajahku berkali-kali. Aku tak bisa berbohong pada diriku sendiri jika aku memang masih berharap Damar akan memperjuangkanku suatu saat dan mimpi yang kini terberai akan kembali menjadi kenyataan. Sementara itu, Fatih mengenggam tanganku dan membawanya dalam dadanya. Seakan dia ingin menyampaikan jika ikatan ini akan terus dia pertahankan. Meta yang paling tampak berbahagia. Senyumnya terukir lebar di wajahnya. Berkali-kali dia menatapku dengan sinis. "Damar, nanti maharnya di tambah ya. Masak cuma cincin dua gram!" Aku seketika menahan tawa. Jadi, Bu Dewi menukar cincin yang semula lima gram jadi dua gram? Lalu, perhiasan-perhiasan lain yang beratnya lebih dari lima belas gram, dikemanakan? Apakah Bu Dewi simpan kembali? Ah, sepertinya ada kejutan yang aku tak tahu. "Sudah bagus ibu mau kasih mahar meski cuma dua gram. Kamu pikir aku punya uang sebanyak apa? Aku cuma tenaga kontrak di kelurahan!" Damar meninggalkan Meta dan berbaur dengan pemuda yang masih berkumpul di halaman, menyisakan Meta yang berdecak sebal. Syukurin. batinku gemas. Bapak hanya menggelengkan kepala lalu berpamitan untuk berganti pakaian. "Meta cuma di kasih cincin dua gram!" Ibu berkata lirih sambil memberiku segelas air. "Bu Dewi tampaknya benci banget sama dia!" Sambung ibu ketika menerima gelasku yang sudah kosong. Terang saja Bu Dewi benci. Karena sejak dulu, aku yang diharapkannya untuk jadi menantu!Sekembalinya dark klinik, aku mendapati Isna dan Tante Arini yang telah bersiap-siap. SementaracDipta bermain di ranjang dengan beberapa mainannya. Seperti biasa, Dipta akan tertawa riang saat melihatku lalu berusaha turun dari ranjang dan menghampiriku. "Sudah beres semua, Safira?" Aku mengangguk mendengar pertanyaan Tante Arini sambil terus bermain dengan Dipta. Sesekali tangannya menepuk pipiku pelan laku tertawa lebar. "Bram sudah siap?" Kali ini, Tante Arini mengulurkaj tangannya untuk menggendong Dipta. "Barangkali sedang merapukan barangnya di kamar sebelah. Sebentar lagi pasti datang bantu kita bawa barang!" Tante Arini urung menggendong Dipta karena aku sudah lebih dulu memberikan Dipta pada Isna. Benar saja, saat aku sedang membenahi pashminaku, terdengar pintu kamar yang di ketuk. Bram masuk setelah Tante Arini membuka kamar. "Sudah siap? Saya bawa barang-barang ke mobil sekarang?" Tanya Bram sopan. "Sudah, Mas. tinggal bawa aja!" Isna segera menunjuk dua koper dan t
Pagi seperti biasa. kami sarapan di kamar tanpa banyak bicara. Tante Arini cukup gesit membantu Isna menjaga Dipta. Beberap hari ini, aku memang sering meninggalkan Dipta dengan Tante Arini dan Isna saja. Baru sebentar aku menyusui Dipta, anak itu sudah ribut ingin turun dan bermain di balkon. Aku yang berniat mengikuti anakku, segera di cegah oleh Tante Arini yang segera menyudahi makannya demi bisa menjaga Dipta."Sudah, biar sama Tante dan Isna. Kamu lanjutin makan aja!" Aku mengangguk lalu meneruskan makanku yang tertunda. Baru saja satu suap, ponselku berdering cukup nyaring. Nama Bayu terpampang di layarnya. "Iya, Bayu?" Tanyaku sambil mengunyah makanan. "Safira, sepertinya aku sudah menemukan orang yang sabotase proyek kita di Indramayu!" Suara Bayu terdengar tegang di seberang. Aku tercekat, jemariku otomatis mengepal. “Kau yakin?!” “Sangat yakin, Safira. Lewat beberapa orang yang menutupi pekerjaannya. Ada baiknya kamu segera balik di Jakarta. Lagian Kakek dan Ayah
Sejak pertemuanku dengan Fafih, pikiranku tak pernah lagi bisa tenang. Sosok Fatih yang kini mengenalkan dirinya sebagai Raka terus saja menghantuiku setiap detik. Tatapan matanya yang kosong dan penuh kebingungan seperti menggoreskan luka baru di hatiku. Aku tak bisa hanya diam dan menunggu. Aku harus mendapatkan kepastian. Jika benar dia adalah Fatih, maka aku harus tahu sejauh mana hubungannya dengan Aryani. Sore itu, setelah urusan di klinik milik dokter Aryani selesai dan para pekerja sudah diperbolehkan untuk pulang, aku memberanikan diri untuk berjalan-jslsn sebentar di area klinik hingga di ujung belakang. Udara yang terasa panas dan sedikit lembab yang bercampur aroma debu membuat Jantungku semakin berdeguo tak karuan saat langkahku semakin dekat. Di halaman belakang, aku melihat Fatih yang sedang duduk sendirian sambil merapikan beberapa kardus. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap saja memancarkan pesona yang selalu kurindukan. Aku menarik napas panjang, mencoba menguatka
Dengan berbagai pertimbangan, aku segera menenggelamkan diri dalam pekerjaan pembangunan kembali proyek di Indramayu. Selain aku bisa memantau perkembangannya, aku juga ingin lebih dekat dan mengetahui sosok laki-laki yang aku yakini sebagai Fatih. Hingga kesempatan itu datang saat aku merasa lelah setelah seharian menemani pekerja yang akan pulang. dari klinik. Karena lelah, aku memutuskan ke warung depan klinik untuk mencari segelas kopi. Dan.. di sanalah aku melihatnya. Fatih. Nafasku tercekat. Dia memang Fatih. Suamiku. Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya. Ia duduk sendirian di sebuah bangku kayu panjang, menghadap ke jalanan yang ramai. Dengan hanya mengenakan kaus oblong polos dan celana kargo, ia masih saja tampan seperti dulu. Saat pertama kali ia datang bersama Bapak untuk menjadi sopir. Meskipun dengan penampilannya yang begitu sederhana, tetap saja tak mampu membuang aura mahal yang biasa tampak dengan stelan berkelasnya. Secangkir teh hangat masih mengepul di
Pak Asep, manajer lapangan yang selama ini setia mendampingi para pekerja yang di rawat, ternyata sudah menunggu di pintu klinik saat mobil yang kutumpangi berhenti. Begitu melihatku turun, ia langsung berlari kecil menghampiri sambil merapikan helm proyek yang masih dikenakannya. Wajahnya tampak lelah, tapi sorot matanya penuh rasa hormat.“Assalamualaikum, Bu Safira,” sapanya sambil menunduk sopan.“Waalaikumussalam, Pak Asep,” jawabku sambil tersenyum tipis. “Bagaimana kondisi para pekerja, Pak?” Tanyaku membuka percakapan. “Alhamdulillah, sebagian besar sudah membaik dan pulang ke rumah masing-masing, Bu Safira. Tinggal beberapa yang patah tulang saja yang masih dirawat di sini,” jelasnya sambil mempersilakan aku masuk. “Mereka sangat senang karena Ibu langsung turun tangan menangani semua administrasi dan biaya. Mereka tak menyangka perusahaan benar-benar peduli seperti ini.” Ulangnya berkali-kali.Aku mengangguk kecil, tersenyum dan .encoba menahan rasa haru. Fatih pasti juga a
Aku terdiam sepanjang perjalanan menuju hotel.Mobil yang kami tumpangi terasa begitu sesak, bukan karena ruangnya yang sempit, tetapi karena pikiranku yang penuh dengan pertanyaan dalam kepalaku. Jika hanya sekali aku melihatnya, mungkin saja itu halusinasu. Tapi aku melihatnya hungga dua kali. Tak mungkin kan jika halusinasi sejelas itu? Bram sesekali melirikku melalui spion tengah, tampak khawatir melihatku hanya duduk terpaku sambil menggenggam tangan Dipta erat-erat. Tante Arini duduk di sampingku, berkali-kali mencoba mengajakku bicara, tapi aku hanya mengangguk atau menggumam pendek tanpa benar-benar mendengar ucapannya.Bram sepertinya juga tak ingin banyak bicara. Namun, dari tatapan sekilas yang sesekali kulihat melalui cermin, jelas ia ingin bertanya atau menyampaikan sesuatu. Tidak mungkin salah. Itu Fatih. Aku mengenal cara dia berjalan, cara dia menoleh… bahkan dari kejauhan pun aku bisa merasakan jika laki-laki itu adalah Fatih.Air mataku hampir jatuh lagi, tapi kuu