Aku melongo, tidak menyangka ucapan bapak. "Bapak mau nikahin aku sama siapa?" Ulangku.
Bapak menoleh ke belakang, ke arah sopirnya yang berdiri di belakang kami. "Dengan Fatih!" "Apa, Pak!" Seketika tubuhku luruh. Suara Bapak menggelegar mengalahkan petir saat badai. Aku menatap bapak tak percaya. Bapak akan menikahkanku dengan Fatih? Sopir baru bapak? Ini sih keluar dari kandang singa tapi masuk kandang buaya. Damar yang kenal bertahun-tahun saja bisa mengkhianatiku apalagi Fatih yang baru kenal beberapa bulan? "Bapak mau nikahin Safira sama Fatih? Laki-laki ini? Yang cuma sopir? Pak Atmojo gak salah?" Damar menatap Fatih dengan tatapan menghina. Aku mendesah pelan. Kupikir bapak akan menikahkanku dengan laki-laki yang jauh di atas Damar, tapi ternyata cuma dinikahkan dengan sopir, apa gak jadi bahan tertawaan satu desa nantinya? Benar saja, Meta yang mendengarnya menahan senyum sambil melirikku sinis. Aku kembali terduduk. Tak ada lagi tenaga untuk mendebat bapak saat ini. Aku benar-benar tak percaya dengan takdir yang seakan mempermainkanku. Seorang Safira Hardian, ASN muda di salah satu SMA batal menikah dengan Damar Laksono, lelaki incaran para wanita, anak tunggal saudagar kaya yang cerah masa depannya, lalu menikah dengan sopir yang gak jelas asal usulnya. Astaga. Mau di taruh di mana muka ini. "Apa yang salah dengan Fatih? Hanya karena dia sopir? Gak punya keluarga lalu gak bisa menikahi anak Pak Lurah Desa Kemuning? Kalian ini anak muda tapi pikiran kalian ternyata kolotnya luar biasa!" Semua terdiam tak lagi berani membantah bapak. "Aku memandang tinggi kehormatan seseorang bukan dari harta dan keturunannya tapi dari akhlak dan adabnya. Kamu pikir derajatmu lebih tinggi dari Fatih yang hanya sopir?" Damar tak menjawab saat bapak menunjuk wajahnya. "Pulang! Katakan pada orang tuamu jika kau menginginkan Meta untuk menjadi istrimu... Jika tidak...aku akan mengatakan pada orangtuamu tentang hari ini!" Damar tak lagi membantah. Ancaman bapak kali ini benar-benar membuatnya tak berkutik. Dengan langkah lesu, Damar ijin pulang tanpa melihatku. Ada yang hilang saat melihat Damar berjalan menjauh. Mimpi yang kurajut bersamanya bertahun-tahun lalu hancur karena cara berpikirnya yang pendek. Andai saja Damar mau menahan diri, segala hal akan kulakukan untuk bisa membuatnya bahagia. "Dan kamu, Meta!" Aku mendengar suara helaan nafas berat yang keluar dari mulut bapak. "Aku benar-benar kecewa dengan sikapmu! Segera kabari orang tuamu karena aku tak mau jadi walimu!" Meta hanya mengangguk lalu kembali ke kamarnya. Kini, tinggal aku yang hanya terdiam menatap bapak dan Fatih bergantian. "Bapak, yakin mau nikahin aku sama Fatih?" Bapak mengedikkan bahunya lalu menatap.Fatih. "Memangnya kenapa kalau kamu bapak jodohin sama Fatih? Fatih, kamu mau gak nikahin anak saya?" Fatih menggaruk tengkuknya sambil tersenyum. "Mau, Pak!" Fatih mengangguk mantap. "Eh, jangan asal mau aja dong. Gak pake mikir dulu gitu?" Celetukku. Entah kenapa tiba-tiba saja aku menyesali keputusan bapak. Kupikir bapak akan menjodohkanku dengan laki-laki yang lain karena kupikir masih banyak yang lebih pantas untuk menjadi suamiku dibanding Fatih. "Ini tawaran terbaik di waktu terbaik. Saya sangat bersyukur Pak Atmojo berkenan memilih saya jadi menantu!" Bapak tampak tersenyum senang. Cuma aku yang berdecak sebal. Gayanya udah kayak Pak RT menyambut tamu kelurahan yang bawa bantuan! "Pak. Bapak yakin? Masih banyak loh Pak laki-laki di luar sana yang....!" Aku tetap mencoba agar bapak merubah keputusannya yang ini. "Kamu tetap akan menikah Safira. Dengan Damar atau dengan Fatih, kamu sendiri yang putuskan!" Bapak menatao Fatih dengan ragu, "Kau akan menikahi Safira. Punya mahar untuk menikahinya?" Dadaku kini berdegup kencang mendengar pertanyaan bapak yang bernada menginterogasi. "Alhamdulillah punya, Pak.. Tapi....!" "Baik!" Fatih belum selesai menjawab bahkan mengatakan apa maharnya, bapak sudah memotong cepat. "Siapkan dengan segera!" Fatih hanya mengangguk. "Kamu, gimana sih. Main mau aja. Gak bisa ya kamu nolak saya?" Sepeninggal bapak, aku melampiaskan kekesalanku padanya. "Gak. Saya gak bisa nolak Mbak Safirai!" Fatih tertawa memamerkan giginya yang berderet rapi. Aku mendelik mendengarnya. Secara fisik, Fatih memang gak jauh beda dengan Damar bahkan kulitnya lebih bersih dan terawat di banding Damar. Tapi bagaimanapun penampilannya, sopir tetaplah sopir. Masih jauh di bawah Damar. "Ya Tuhan. Mimpi apa aku semalam!" Aku meraup wajahku kasar dan berjalan sambil memghentak kaki menuju kamar. ***** Keputusan ini, tentu saja membuat heboh dua keluarga malam ini. Semua berkumpul tanpa terkecuali. Fatih. juga Meta. Mereka juga ada di tengah-tengah pertemuan. Orang tua Damar juga ibu, sangat terkejut dan tak bisa menerima. Tentu saja, mereka tak tahu menahu apa yang terjadi pada keputusan yang tiba-tiba berubah jelang pernikahan yang tinggal menghitung hari. Semua menyalahkan Damar, tanpa mengerti alasannya karena Damar juga tak berani menceritakan yang sesungguhnya. Pengecut bukan? Dia hanya bersikukuh ingin menikahi Meta. Aku dan bapak berpura-pura terlihat berhati besar dengan keinginan Damar. Benar-benar ayah dan anak yang kompak, dan pantas untuk mendapatkan piala Oscar, bukan? "Karena Damar sudah memilih Meta, maka aku akan menikahkan Safira dengan Fatih!" Mereka lebih terkejut lagi. "Apa, Pak. Kamu gak salah? Kamu biarkan Damar menikahi Meta? Lalu, anak kandungmu kau nikahkan dengan sopir?" Ibu seketika berdiri tak terima. "Pak Atmojo? Apa Bapak ndak salah?" Pak Laksono, ayah Damar terlihat tak setuju. "Yah, bagaimana lagi. Damar ngotot mau menikahi Meta. Lalu, Safira? Saya gak bisa biarkan Safira menanggung aib karena batal dinikahi anak Pak Laksono!" "Dasar anak tak tahu diri!" Bu Dewi berdiri dan menampar Damar emosi. "Kami saling mencintai, Bu!" Cih. Aku ingin muntah saat Meta menangis melihat Damar yang sudah ditampar beberapa kali sehari ini. "Cukup. Jangan ribut. Keputusan selesai!" Bapak menengahi. Aku hanya mendelik ke arah bapak. Sayang kan, atraksi ini do hentikan begitu saja? Sayangnya, bapak hanya menggeleng pelan. "Besok, kita akan menikahkan Meta dengan Damar, sedang Safira dengan Fatih. Di rumah ini!" Semua mendengus sebal. Kecuali, Meta dan Fatih! Tak ada yang membantah. Bahkan ibu dan orang tua Damar hanya bisa menatapku iba. Bagi semuanya, perintah bapak adalah keputusan yang tak bisa diubah. Tapi tetap saja, mereka tak bisa sepenuhnya menerima keputusan Damar yang tiba-tiba. Mereka sepertinya tahu, jika Damar telah melakukan sebuah kesalahan yang fatal sehingga membuat bapak murka meski tak kentara. Sayangnya, mereka tak bisa meraba, kesalahan apa yang telah Damar lakukan hingga membuat bapak memberi keputusan yang sulit diterima akal.Setelah hampir satu jam menemaniku, Elena akhirnya pamit. Ia mencium kedua pipiku dan berjanji akan datang lagi besok. Aku mengangguk, mengantarnya dengan senyum tipis. Tapi setelah pintu tertutup, keheningan kembali menyergap. Aku menatap langit-langit kamar. Sinar matahari mulai redup. Rasanya... damai sekaligus hampa. Tiba-tiba, ponselku yang diletakkan di nakas bergetar. Nada deringnya menyayat sunyi. Aku menoleh, dan nama itu terpampang jelas di layar.Nomof Fatih. Jantungku berdegup. Tanganku ragu saat meraihnya, tapi akhirnya kutekan tombol hijau. "Halo?" suaraku lirih. "Safira!" Suara Fatih terdengar panik. Nafasnya terdengar berat. "Kamu... kamu gak apa-apa, kan? Aku baru tahu dari Bram... kenapa kamu gak kabari aku, Safira?" Aku diam sejenak, menatap luar jendela untuk mengusir lara. Suaranya... hangat sekaligus asing bagiku kini. "Aku baik-baik saja," jawabku datar. "Bram sudah menjagaku. Dokter juga bilang bayinya selamat. Jadi... kamu gak perlu khawatir." "Safira.
Hari kedua dirawat. Aku masih harus bed rest total sesuai saran dokter. Bapak dan Ibu pamit sejak pagi karena ada rapat penting di kelurahan yang tak bisa ditinggalkan. Mereka merasa tenang karena ada Bram yang menjaga dan mengawasi kebutuhanku. Aku sendiri tak masalah karena perutku tak lagi terasa sakit. Dan Bram yang setia menunggu sejak semalam kuminta untuk pulang dan istirahat. “Mbak, saya pulang. Kalau Mbak Safira butuh apa-apa segera telepon saya, ya?" katanya sambil menyisakan segelas air putih dan roti di nakas. Aku mengangguk. "Mbak Safira, beneran gak papa saya tinggal pulang?" Bram kembali menatapku, ragu. Aku mengangguk lemah, "Beneran, Mas Bram. Mas Bram pulang saja. Mas Bram capek nungguin saya dari semalam loh!" Bram manggut-manggut. "Mbak Safira sudah menghubungi Mas Fatih?" Tanya Bram kembali. Aku menggeleng. "Kemaren aku udah menghubungi Fatih berkali-kali. Gak ada tanggapan! Gak papa, Mas Bram. Aku udah baikan kok. Gak usah kabarin Fatih. Biar dia sel
Aku harus mencari tahu. Tapi bagaimana? Fatih tidak bisa dihubungi. Bram pun terkesan menyembunyikan sesuatu. Aku merasa sendirian di tengah badai informasi yang tiba-tiba menerpaku. Sesaat kemudian, perutku terasa kram. Berita pertunangan Fatih dan Nancy, ditambah kebungkaman Bram, memicu sakit hingga ke perut. Ternyata tak hanya hatiku yang sakit, perutku juga ikut terasa sakit. Aku merosot ke lantai, memegangi perutku yang terasa begitu nyeri. Napasku tersengal, pandanganku mengabur. Apa ini? Kenapa rasanya begini sakit? Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang hangat dan lengket mengalir di antara kakiku. Aku mulai panik. Tak paham dengan apa yang terjadi. Apakah aku hamil?Kenapa aku tak merasakan kehamilanku? Dengan tangan gemetar, kuraba area itu. Cairan kental, bercampur kehangatan, membuatku merasakan firasat buruk. Aku menunduk, dan pandanganku jatuh pada noda merah pekat yang luruh di kaki. Darah! "MAS BRAMMM!" Teriakanku pecah, membelah keheningan rumah. Suarak
Aku terbangun dengan perasaan sedikit lebih ringan, meski bayangan Damar semalam masih menari-nari di benakku. Setidaknya, semua sudah jelas. Aku sudah memilih, dan pilihanku adalah Fatih. Keyakinan itu mengalir hangat, menenangkan sisa bara emosi yang sempat membakar dadaku. Pagi seperti biasa. Aku bersiap dengan rutinitasku untuk mengajar. Sesekali melirik infotainment yang selalu ibu putar untuk menemaninya beraktifitas pagi. Suguhan yang menayangkan berita para selebritis dan sosialita tanah air. Hingga berita itu muncul. Saat pembawa acara dengan intonasi ceria mengumumkan, “Pemirsa, kabar mengejutkan datang dari dunia sosialita! Salah satu pewaris Keluarga Maulana. pemilik Fath Company yang merajai bisnis property dan beberapa tambang ini, kemaren sore resmi bertunangan dengan Nancy Gumelar. Acara meriah ini tentu memakan biaya yang tak sedikit. ...!" Aku tak bisa lagi mendengarnya. Telingaku tak bisa lagi merespon. Jantungku berdebar tak karuan. Maulana? Fath Company? La
Pintu kamar kututup perlahan. Tubuhku lemas, bukan karena lelah secara fisik, tapi karena jiwaku nyaris habis terbakar oleh emosi yang kutahan sepanjang malam. Kukunci pintu, lalu bersandar pada dinding. Aku mencoba menarik napas panjang, tapi rasanya masih ada bara yang menyala di dada. Damar benar-benar sudah melewati batas. Suara dari ruang tengah masih terdengar samar. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain menjauh. Aku ingin malam ini berakhir. Aku hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Namun, baru saja aku hendak duduk di atas tempat tidur, suara berat dan keras terdengar menggema dari luar kamar.Brak! Aku terkesiap. "Kalian kira semudah itu? Kalian pikir apa kesalahan Damar samoai Safira harus kunikahkan dengan sopir!" Aku melangkah pelan ke arah pintu. Tidak membukanya, tapi menempelkan telinga. Nafasku tertahan. "Tapi Pak Atmojo, Damar tidak bisa melupakan Safira. Dia sangat merasa bersalah. Itu ssbabnya dia dia datang maalm ini dan kami terpaksa ikut untuk menga
Selepas isya, seperti biasa, kami berkumpul di ruang tengah. Suasana malam yang seharusnya hangat tiba-tiba jadi hening kala Damar dan Meta kembali datang tanpa pemberitahuan. Bapak dan ibu saling pandang sementara aku memutar mata malas. Entah kenapa dengannya, seharian ini, senang betul cari pekara. "Maaf, Lak Bu saya datang lagi!" Damar duduk seolah tak pernah terjadi apapun. Bapak yang justru tampak canggung, Ibu berusaha tersenyum meski sorot matanya jelas tak menyukai suasana ini. Aku duduk di seberang mereka, masih memegang toples kue yang kubawa sejak tadi. Akhir-akhir ini, nafsu makanku memang meningkat dan aku tak bisa menahannya. Perutku gampang lapar, tapi selera makanku menguap saat dua manusia ini muncul lagi. Meta duduk di sebelah Damar, tangannya bersedekap, wajahnya cemberut sejak awal. Seolah menahan emosi yang sewaktu-waktu bisa meledak. Sedangkan Damar… ah, pria itu justru terus-menerus menatapku, seakan hanya aku satu-satunya yang ada di ruangan ini. "Safi