Malamnya, aku berbaring di ranjangku dengan was-was, meskipun Fatih telah tidur pulas di sisiku. Harusnya dia tidur saja di kamarnya seperti biasa, tapi justru kepalaku kena getok bapak.
Terpaksa aku berbagi ranjangku dengan dia medkipun aku tak ikhlas sepenuhnya. Dengan perasaan dongkol, aku melangkah keluar kamar untuk mengisi air di tumbler yang sudah kosong. Saat melewati kamar Meta, suara-suara aneh itu kembali terdengar. Tanganku kini mengepal. Dasar, Damar. Katanya mau merebutku tapi ternyata begitu menikmati malam pertamanya tanpa sungkan. Aku segera melangkah ke dapur dan mengisi kerongkonganku dengan air kulkas setelah terlebih dulu duduk di kursi makan. Sayangnya, air dingin itu tetap tak bisa menyejukkan hatiku yang masih terasa panas. "Panas, ya Safira?" Meta mendekat sembari menyibakkan rambutnya. "Astaghfirullah!" Aku terlonjak saat Meta kini ada di sisiku. Rambutnya awut-awutan dengan lingerie merah menyala yang memperlihatkan semua bagian tubuhnya lewat pakaoan yang transparan. Tanpa permisi. Meta meraih botol air dingin yang masih ada dalam genggamanku dan meneguknya sambil berdiri. Bar-bar sekali, batinku. "Ngagetin aja sih. Mana kayak genderuwo lagi!" Ejekku sebal. "Ya, gimana ya. Damar-nya maksa terus. Aku jadi kewalahan kan!" Meta kembali meneguknya hingga tanpa sisa kemudian menyerahkan botol yang telah kosong padaku kembali. Kalau gak takut bikin bapak dan ibu bangun malam-malam begini, pasti sudah kupukulkan botol kosong ini ke kepalanya yang sama kosongnya dengam botol ini. "Apa hubungannya sama penampilanmu yang acak-acakan begini? Gak jelas!" Jawabku. "Kok kamar kamu tenang banget!" Dih, sok-sokan, batinku. "Emang harus serame apa? Tidur kali, Met. Capek!" Kataku sambil memutar mata, malas. Bukannya ini malam pertama?" "Buat aku emang malam pertama, tapi gak harus teriak-teriak kayak tarzan juga kali, Met! Nah, kamu bukan yang pertama kan? Kenapa mesti teriak-teriak? Ini rumah bukan hutan! Ada bapak ibu tuh. Gak punya sopan! Emang cuma kamu aja sama Damar yang malam pertamaan?" Jawabku gemas. "Mauku sih gak kenceng-kenceng juga Ra! Tapi Mas Damar-nya hot banget! Bener-bener deh, bikin panas dingin!" !Meta cekikikan menatapku. "Emang dispenser!" "Aduh, Ra. Beneran deh. Kamu gak akan nyangka kalau Mas Damar bisa pinter banget gitu!" Meta membasahi kedua bibirnya. Dih, bener-bener! Aku tak menanggapi. Hanya bergidik lalu berjalan meninggalkannya setelah mengisi penuh tumblerku dengan air dari botol lain di kulkas. Saat melewati kamar Meta, Damar menunggu di depan pintu hanya dengan memakai celana boxer dengan tubuh yang penuh keringat. "Astaga. Gak laki gak perempuan. Gak ada malu-malunya! Ngapain juga kayak satpam kurang kerjaan di depan pintu kamar begitu?" Kataku lirih. "Meta mana, Ra?" Damar sepertinya iseng bertanya padaku. "Noh. Di atas pohon belakang rumah!" Tunjukku sebal. Damar menatapku tak percaya. Ekor matanya masih menatapku hingga membuatku berjalan cepat memasuki kamar. Setelah mengunci pintu, aku berdiri di depan kaca besar yang ada di sisi lemari. Kerudung lebar yang menutupi hingga ke dada dengan piyama panjang yang bercorak floral. Apakah karena penampilan Meta yang menantang dan berani hingga membuat Damar jatuh hati lalu berpaling dariku? Apakah aku juga harus berdandan seperti itu untuk mendapatkan laki-laki yang kuinginkan? Tubuhku luruh ke bawah dengan tangisan yang tertahan. Kupeluk lututku dan membenamkan kepalaku dalam-dalam. Aku menangis. Akhirnya tangisan yang memenuhi dadaku selama beberapa hari ini, keluar tanpa bisa lagi kutahan. Aku menggeliat pelan ketika hidungku terasa dingin. Aku mengerjapkan mata sesaat lalu beringsut duduk ketika melihat Fatih ada di sisiku. Aku memindai sekitar untuk mencoba mengingat. Sepertinya aku duduk di bawah sambil menangis tapi kini, aku ada di ranjang dengan selimut yang menutupi. Segera kulihat tubuhku yang masih lengkap dengan piyama dan kerudung, seketika aku bernafas dengan lega. "Kalau mau nangis, gak papa di atas ranjang aja. Biar aku gak repot angkat-angkat kamu ke atas!" Fatih berkata sambil memijit lengannya. "Apa? Jadi kamu yang angkat aku ke atas?" Tanyaku sambil mendelik. "Ya iya. Memang siapa lagi kalau bukan aku! Pak RT?" Fatih melihatku sambil geleng-geleng. "Ya Ampun!"Kataku sambil menutup wajah. "Capek?" Seketika aku kembali bertanya karena melihatnya terus menerus memijit lengan. "Lumayan sih. Rasanya kayak angkut karung gabah bapak waktu panen di desa!" "APA! FATIH!"Setelah hampir satu jam menemaniku, Elena akhirnya pamit. Ia mencium kedua pipiku dan berjanji akan datang lagi besok. Aku mengangguk, mengantarnya dengan senyum tipis. Tapi setelah pintu tertutup, keheningan kembali menyergap. Aku menatap langit-langit kamar. Sinar matahari mulai redup. Rasanya... damai sekaligus hampa. Tiba-tiba, ponselku yang diletakkan di nakas bergetar. Nada deringnya menyayat sunyi. Aku menoleh, dan nama itu terpampang jelas di layar.Nomof Fatih. Jantungku berdegup. Tanganku ragu saat meraihnya, tapi akhirnya kutekan tombol hijau. "Halo?" suaraku lirih. "Safira!" Suara Fatih terdengar panik. Nafasnya terdengar berat. "Kamu... kamu gak apa-apa, kan? Aku baru tahu dari Bram... kenapa kamu gak kabari aku, Safira?" Aku diam sejenak, menatap luar jendela untuk mengusir lara. Suaranya... hangat sekaligus asing bagiku kini. "Aku baik-baik saja," jawabku datar. "Bram sudah menjagaku. Dokter juga bilang bayinya selamat. Jadi... kamu gak perlu khawatir." "Safira.
Hari kedua dirawat. Aku masih harus bed rest total sesuai saran dokter. Bapak dan Ibu pamit sejak pagi karena ada rapat penting di kelurahan yang tak bisa ditinggalkan. Mereka merasa tenang karena ada Bram yang menjaga dan mengawasi kebutuhanku. Aku sendiri tak masalah karena perutku tak lagi terasa sakit. Dan Bram yang setia menunggu sejak semalam kuminta untuk pulang dan istirahat. “Mbak, saya pulang. Kalau Mbak Safira butuh apa-apa segera telepon saya, ya?" katanya sambil menyisakan segelas air putih dan roti di nakas. Aku mengangguk. "Mbak Safira, beneran gak papa saya tinggal pulang?" Bram kembali menatapku, ragu. Aku mengangguk lemah, "Beneran, Mas Bram. Mas Bram pulang saja. Mas Bram capek nungguin saya dari semalam loh!" Bram manggut-manggut. "Mbak Safira sudah menghubungi Mas Fatih?" Tanya Bram kembali. Aku menggeleng. "Kemaren aku udah menghubungi Fatih berkali-kali. Gak ada tanggapan! Gak papa, Mas Bram. Aku udah baikan kok. Gak usah kabarin Fatih. Biar dia sel
Aku harus mencari tahu. Tapi bagaimana? Fatih tidak bisa dihubungi. Bram pun terkesan menyembunyikan sesuatu. Aku merasa sendirian di tengah badai informasi yang tiba-tiba menerpaku. Sesaat kemudian, perutku terasa kram. Berita pertunangan Fatih dan Nancy, ditambah kebungkaman Bram, memicu sakit hingga ke perut. Ternyata tak hanya hatiku yang sakit, perutku juga ikut terasa sakit. Aku merosot ke lantai, memegangi perutku yang terasa begitu nyeri. Napasku tersengal, pandanganku mengabur. Apa ini? Kenapa rasanya begini sakit? Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang hangat dan lengket mengalir di antara kakiku. Aku mulai panik. Tak paham dengan apa yang terjadi. Apakah aku hamil?Kenapa aku tak merasakan kehamilanku? Dengan tangan gemetar, kuraba area itu. Cairan kental, bercampur kehangatan, membuatku merasakan firasat buruk. Aku menunduk, dan pandanganku jatuh pada noda merah pekat yang luruh di kaki. Darah! "MAS BRAMMM!" Teriakanku pecah, membelah keheningan rumah. Suarak
Aku terbangun dengan perasaan sedikit lebih ringan, meski bayangan Damar semalam masih menari-nari di benakku. Setidaknya, semua sudah jelas. Aku sudah memilih, dan pilihanku adalah Fatih. Keyakinan itu mengalir hangat, menenangkan sisa bara emosi yang sempat membakar dadaku. Pagi seperti biasa. Aku bersiap dengan rutinitasku untuk mengajar. Sesekali melirik infotainment yang selalu ibu putar untuk menemaninya beraktifitas pagi. Suguhan yang menayangkan berita para selebritis dan sosialita tanah air. Hingga berita itu muncul. Saat pembawa acara dengan intonasi ceria mengumumkan, “Pemirsa, kabar mengejutkan datang dari dunia sosialita! Salah satu pewaris Keluarga Maulana. pemilik Fath Company yang merajai bisnis property dan beberapa tambang ini, kemaren sore resmi bertunangan dengan Nancy Gumelar. Acara meriah ini tentu memakan biaya yang tak sedikit. ...!" Aku tak bisa lagi mendengarnya. Telingaku tak bisa lagi merespon. Jantungku berdebar tak karuan. Maulana? Fath Company? La
Pintu kamar kututup perlahan. Tubuhku lemas, bukan karena lelah secara fisik, tapi karena jiwaku nyaris habis terbakar oleh emosi yang kutahan sepanjang malam. Kukunci pintu, lalu bersandar pada dinding. Aku mencoba menarik napas panjang, tapi rasanya masih ada bara yang menyala di dada. Damar benar-benar sudah melewati batas. Suara dari ruang tengah masih terdengar samar. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain menjauh. Aku ingin malam ini berakhir. Aku hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Namun, baru saja aku hendak duduk di atas tempat tidur, suara berat dan keras terdengar menggema dari luar kamar.Brak! Aku terkesiap. "Kalian kira semudah itu? Kalian pikir apa kesalahan Damar samoai Safira harus kunikahkan dengan sopir!" Aku melangkah pelan ke arah pintu. Tidak membukanya, tapi menempelkan telinga. Nafasku tertahan. "Tapi Pak Atmojo, Damar tidak bisa melupakan Safira. Dia sangat merasa bersalah. Itu ssbabnya dia dia datang maalm ini dan kami terpaksa ikut untuk menga
Selepas isya, seperti biasa, kami berkumpul di ruang tengah. Suasana malam yang seharusnya hangat tiba-tiba jadi hening kala Damar dan Meta kembali datang tanpa pemberitahuan. Bapak dan ibu saling pandang sementara aku memutar mata malas. Entah kenapa dengannya, seharian ini, senang betul cari pekara. "Maaf, Lak Bu saya datang lagi!" Damar duduk seolah tak pernah terjadi apapun. Bapak yang justru tampak canggung, Ibu berusaha tersenyum meski sorot matanya jelas tak menyukai suasana ini. Aku duduk di seberang mereka, masih memegang toples kue yang kubawa sejak tadi. Akhir-akhir ini, nafsu makanku memang meningkat dan aku tak bisa menahannya. Perutku gampang lapar, tapi selera makanku menguap saat dua manusia ini muncul lagi. Meta duduk di sebelah Damar, tangannya bersedekap, wajahnya cemberut sejak awal. Seolah menahan emosi yang sewaktu-waktu bisa meledak. Sedangkan Damar… ah, pria itu justru terus-menerus menatapku, seakan hanya aku satu-satunya yang ada di ruangan ini. "Safi