Sejak mendengar rahasia yang kutahu dari balik pintu ruang kerja Kakek membuatku tak lagi banyak bicara. Hanya saja aku mulai menata diri, memperbaiki sedikit demi sedikit sikapku yang terkadang membuat Fatih gemas. Aku belum tahu harus mengambil sikap apa hanya bisa menjalankan peranku seperti hari-hari biasa. Memang masih terasa dilema tapi aku tahu, aku adalah bagian dari keluarga ini, namun dengan cara yang paling rumit. Seperti pagi ini, ketika Fatih bangun dengan energi yang berbeda. Rambutnya masih setengah basah dengan dada yang terbuka dan handuk yang melilit tubuh bagian bawahnya. Fatih menatapku dengan senyum saat aku sedang menyisir rambut yang juga basah di depan cermin.“Sayang, aku sudah memutuskan,” ucapnya, suaranya mantap. “Aku akan mengadakan konferensi pers.”Aku berhenti sejenak, menatap bayangannya di cermin. “Konferensi pers? Untuk apa?” Tanyaku ingin tahu. "Untuk mengakhiri semua ini,” jawabnya. Ia berjalan mendekat dan berdiri di belakangku, tangannya dilet
Malamya, saat kami sedang berkumpul untuk makan malam, Fatih menatapku beberapa kali. Aku mengangguk. Hal yang jauh-jauh hari kami rencanakan. Pindah di rumah kami sendiri. Fatih memang membawaku ke rumah ini awalnya tapi karena saat itu memang khawatir dengan keberadaan Nancy. Sedang sekarangi, Nancy telah menjalani proses peradilan, yang tentu saja tak lagi bisa dengan mudah menyakiti siapapun. Sementara, Tante Arini juga telah menjalani proses perceraian dengan Om Danu. Bagiku dan Fatih, tak ada lagi alasan untuk menyembunyikan diri lagi. Masalah orang tua Fatih. akan kami hadapi dengsn berjalannya waktu. Selepas makan malam bersama, Fatih yang biasanya santai, kali ini terlihat serius. Ia meletakkan sendoknya perlahan, lalu menghela napas. “Tante, Kek,” ucapnya hati-hati. “Aku mau bicara sesuatu. Aku… ada rencana untuk pindah rumah. Jauh-jauh hari aku sudah merencanakan tapi karena saat itu situasinya belum memungkinkan, aku membawa Safira ke sini!" Seketika, sendok yang d
Pagi itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Aku masih berbaring di ranjang ketika terdengar suara riuh di ruang dekat kamar. Suara kursi yang digeser dan riuh orang bercakap-cakap. Aku mengerjap. Aku ingat jika hari ini, bapak dan inu akan kembali. Aku segera beranjak menuju kamar mandi dan bersiap. Saat keluar, memang beberapa ART tampak sibuk menyiapkan oleh-oleh yang Tante Arini belikan. Dari ambang pintu kamar tamu, kulihat Ibu dan Bapak sudah berpakaian rapi. Jaket tipis melekat di tubuh Bapak, sementara Ibu memegang tas kecil yang biasanya ia bawa saat bepergian. Fatih berdiri di dekat mereka, wajahnya hangat namun sedikit sendu. “Harus sekarang pulangnya? Aku kan masih kangen, Bu?" Tanyaku manja sambil bergelayut manja di lengan ibu. Bapak tersenyum lalu mengusap pucuk kepalaku lembut. Ibu menoleh, tersenyum lebar. “Iya, Safira. Bapakmu kan gak bisa cuti lama-lama. Kayak gak tahu aja urusan bapakmu. Ini ada udah ada urusan yang menunggu di rumah!" "Bukan Dam
Setelah dokter memutuskan aku boleh pulang sore itu, Fatih selalu ada di sisiku untuk menemani, membuatku agar selalu merasa nyaman. Ibu dan Bapak juga ikut membantu membereskan barang-barang, sementara Tante Arini sudah lebih dulu menelepon ke rumah untuk memastikan semuanya siap menyambutku. Begitu mobil Fatih berhenti di depan rumah, suasana yang menyambutku membuatku sedikit terkejut. Aroma wangi kayu manis bercampur vanila menyeruak dari dalam rumah. "Kau sudah pulang, Safira?" Kakek menyambutku saat aku masuk. Aku tersenyum dan mencium tangan kakek. "Istirahatlah. Tantemu sudah ribut sejak tadi begiti tahu kau akan pulang!" Tante Arini mendahului dan berdiri dengan kedua tangan di pinggang, memberikan arahan seperti seorang komandan perang di depan kamarku. "Mbak, tolong pastikan kamar Safira wangi, ganti semua sprei dengan yang baru setiap hari. Taruh juga diffuser di sudut ruangan. Oh, dan di meja samping, taruh termos air panas sama teh chamomile, jangan lula roti dan
Sejak kejadian kemarin, ada sesuatu yang terasa berbeda di sekelilingku. Bukan hanya karena kehadiran Ibu dan Bapak yang kini menemaniku di rumah sakit, tapi juga karena cara mereka memandang Fatih. Pandangan yang… entah bagaimana, terasa hangat, penuh kasih, sekaligus seperti menyimpan sesuatu yang berat. Aku memang sudah lama tidak berkumpul bersama mereka. Tapi bahkan dulu, saat aku masih tinggal di rumah orang tua, aku jarang melihat tatapan seperti itu. Sejak pagi, Ibu tak henti-hentinya menanyakan kabar Fatih. Bahkan saat Fatih keluar sebentar untuk bicara dengan dokter, Ibu segera memanggilnya begitu ia kembali. “Safira, Fatih, belum sarapan kan? Ibu bawakan bubur ayam nih. Kamu suka kan? Ayo makan dulu, Fatih biar barengan sama ibu nanti!" katanya, seakan Fatih adalah anaknya sendiri. Aku mengangguk. Mengunyah dan menelannya perlahan sambil terus memperhatikan. Fatih hanya tersenyum dan duduk di kursi, menerima mangkuk bubur dari tangan Ibu tanpa curiga sedikit pun. “
Fatih duduk di kursi samping ranjang dengan menggenggam erat tanganku. Matanya masih merah, namun kini tak lagi dipenuhi ketakutan. Setelah kejadian dengan Nancy tadi, suasana memang kacau. Tapi setelah dokter kembali memeriksa kondisiku dan memastikan bahwa aku dan bayi kami selamat, Fatih bisa bernapas lega. Padahal sudah kukatakan berkali-kali jika kondisiku dan janinku baik-bsik saja. “Kamu yakin nggak sakit di bagian perut?” tanya Fatih lagi, seperti kaset rusak yang diputar ulang. Aku tersenyum kecil meski masih lemas. “Enggak. Dokternya juga udah bilang kan?" Jawabku gemas. “Tetap aja...” Fatih mengusap wajahnya, lalu menatapku dengan wajah cemas. “Aku takut. Banget.” Aku mengangkat tangan dan menyentuh pipinya pelan. “Sekarang udah gak apa-apa. Kita aman.” Belum sempat Fatih menjawab, suara ketukan pintu terdengar. Fatih langsung bangkit dan membukanya. Seorang pria berseragam sopan berdiri di depan pintu. “Mas Fatih, tamunya sudah datang,” katanya singkat. Fa