Satu minggu lebih menahan kerinduan pada anakku, Dipta, akhirnya hari ini aku diijinkan pulang. Dengan sabar, Fatih membantuku mulai dari keluar ruang perawatan sampai masuk kamar. "Jangan lakukan apapun sendirian, Safira!" Aku mengangguk mendengar perintah Fatih. Setelah membersihkan diri dibantu Fatih, aku bersandar di ranjang. "Aku ambil Dipta dulu, ya. Kalian pasti kangen!" Fatih mengusap kepalaku perlahan. Tak berapa lama, ponselku berbunyi. Aku sedikit mengeryitkan dahiku. nomor baru. Dengan ragu, aku menerimanya. Menggeser tombol berwarna hijau, dan menempelkannya di telingaku. "Halo, Safira!" Aku sedikit berpikir. Aku tak terlalu mengenali suaranya. "Kau sudah terlalu lama bersamanya, Safira. Harusnya kau paham, tempat Fatih bukan di kampung denganmu!" Aku mencoba mengenali suaranya. "Sudah saatnya Fatih kembali!" Suara ini milik Elinda! "Aku akan membuat dirimu menyadarinya, Safira. Kau bisa membuktikannya jika Fatih tak pernah benar-benar mencintaimu.
Aku menatap wajah ibu dengan seksama. Wajah wanita yang telah merawat dan menjagaku. seperri anaknya sendiri. "Sekarang ibu lega, akhirnya kau kembali ke tempatmu yang seharusnya!" Ibu merapikan anak rambutku dengan perlahan. "Aku tetap anakmu kan, Bu." Tanyaku hati-hati. "Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan kamu anak ibu. gak mungkin Meta kan?" Aku tergelak sesaat. "Ngomong-ngomong. ibu gak lihat Meta lagi! Kemana anak itu?" Ibu seperti bertanya pada dirinya sendiri. Aku hanya tersenyum lalu membuang muka. Mungkin, keponakan ibu tersayang itu, gak akan pernah datang lagi, batinku. Perempuan itu memang lebih aman di tempatkan di rumah sakit jiwa dengan Damar! Hingga akhirnya Ibu berpamitan untuk pulang dan bergantian untuk menjaga Dipta, karena Tante Arini dan Kakek Pranata sudah datang menggantikan. “Bagaimana keadaanmu, Sayang?” tanya Tante Arini, suaranya terdengar lembut saat ia duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan Ibu. “Jauh lebih baik, Tante,” jawabku sambil
Sudah dua hari di rumah sakit, aku mulai merasa tak betah. Sayangnya Fatih nasih tak mau membawaku pulang. Bahkan dengan suka rela, ia mengubah sudut ruangan menjadi kantor daruratnya, lengkap dengan laptop dan tumpukan dokumen. Ia hanya akan meninggalkanku jika ada panggilan telepon penting yang tidak bisa ia hindari. Bapak dan ibu juga lainnya hanya dibolehkan beberapa jam saja setelahnya, Fatih akan meminta mereka untuk pulang. Sedang ASI untuk Dipta, Fatih membantuku memompa yang nantinya akan dititipkan ibu saat pulang. "Belum bisa pulang, ya?" Tanyaku perlahan. Fatih menggeleng sesaat lalu kembali fokus menatap laptopnya. "Udah kangen Dipta nih!" kataku beralasan. "Masih perlu observasi. Kalau dua hari ke depan gak ada masalah, baru diijinkan pulang!" Kata Fatih tanpa menoleh. Aku tahu, pekerjaannya pasti sudah menumpuk. Niat beberapa hari jadi mundur karena insiden dengan Bu rahma. Namun pagi ini, ia tampak gelisah. “Aku ada zoom meeting penting dengan dewan direksi,
Bau disinfektan yang tajam adalah hal pertama yang kuhirup disamping rasa sakit yang mulai berdenyut di kepala juga tangan dan kaki, membuat mataku mengerjap hingga cahaya putih yang menyilaukan dari langit-langit membuatku terpaksa menyipit. Perlahan, bayangan mulai terbentuk menjadi jelas. Sebuah ruangan dengan dinding putih juga tirai berwarna biru pucat, dengan sebuah tiang infus di sisiku. Aku ada di rumah sakit. Mencoba merangkai kepingan yang sempat tercecer dalam otakku dan kejadian itu akhirnya mampu kurangkum kembali. Ya, aku ingat. Aku ada di tangga bersama Bu Rahma. "Safira!" Panggilan lembut itu terdengar menyapa telinga. Ibu yang tadinya duduk di sofa segera mendekat. Mungkin karena memperhatikan kepalaku yang bergerak bingung. "Alhamdulillah. akhirnya kamu sadar. Ibu akan telpon Fafih ya. Dia baru saja ke ruang dokter untuk membahas kondisimu!" Aku hanya memberi isyarat dengan mata. Ibu segera mengambil sesuatu di atas nakas. Dengan panik, ibu tampak memenc
Suara grup rebana dari beberapa pondok yang turut hadir mengalun syahdu, melantunkan shalawat dan puji-pujian yang menyejukkan hati. Bapak dan Ibu, tak henti-hentinya menyalami para tetangga dan kerabat yang datang silih berganti. Dan inii adalah pesta rakyat yang sesungguhnya. "Kau lihat wajah Bapak dan Ibu?" bisik Fatih di telingaku. Aku menoleh dan melihat orang tuaku sedang tertawa bersama Kakek Pranata. Benar, kebahagiaan yang menular. "Ini semua berkatmu," balasku tulus. Fatih menggeleng pelan lalu merapatkan pelukannya. "Bukan. ini bukan karena aku. Ini idemu!" Katanya kemudian. Di tengah keramaian, Bram muncul dari arah gerbang dengan tergesa-gesa. Ia berjalan cepat melewati kerumunan tamu dan menghampiri kami dengan wajah yang sedikit berkeringat diikuti oleh beberapa orang bawahannya yang kini segera mengambil posisi di sudut-sudut untuk mengamankan. "Lapor, Mas. Mbak Safira!" kata Bram dengan gaya santai mendekati Fatih dan sedikit mengecilkan suaranya. Fat
Kami berlari pulang sambil tertawa dan bergandengan tangan. Sementara ibu mengikuti kamii sambil terus mengomel. Hingga akhirnya memasuki halaman belakang rumah. Napas kami tersengal, dan tawa kami masih tersisa. Namun, tawa itu langsung lenyap begitu kami melihat pemandangan di ruang tengah. Bapak, Kakek, dan Tante Arini berdiri dengan wajah tegang, jelas ditarik oleh teriakan Ibu dari halaman. Dan Ibu, berdiri di ambang pintu dengan tangan di pinggang, menatap kami dengan tatapan paling galak yang pernah kulihat. "Bagus sekali!" omel Ibu, suaranya menggema. "Sudah punya anak, kelakuan masih saja seperti ini! Main air di sungai! Kalau masuk angin bagaimana? Kalau Dipta butuh kalian bagaimana?!" Aku dan Fatih saling pandang, "Maaf, Bu," kataku dan Fatih hampir bersamaan. "Sudah, sudah, jangan dimarahi terus," Tante Arini menengahi, meskipun sudut bibirnya berkedut menahan senyum. "Yang penting mereka tidak apa-apa. Cepat kalian ke atas, mandi dan ganti baju kering. Nanti T